Latar Belakang Masalah Kontrak Franchise sebagai agunan kredit dalam hukum jaminan di Indonesia
untuk melunasi utangnya sesuai perjanjian, sedangkan agunan kredit adalah jaminan tambahan yang pada umumnya berwujud fisik misalnya : rumah,
tanah, mobil, surat berharga, dan lain-lain yang dicadangkan untuk pelunasan hutang. Agunan kredit terdiri dari agunan pokok dan agunan
tambahan. Pengertian jaminan kredit secara tersirat dan tersurat dijelaskan dalam pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang
Perbankan yang menyatakan bahwa: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur
untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai
dengan yang diperjanjikan”. Agunan kredit tidaklah menjadi masalah apabila barang yang
dijadikan sebagai agunan merupakan barang yang lazim digunakan masyarakat sebagai objek penjaminan atas utang, tetapi akan timbul masalah
apabila barang yang dijadikan agunan tidaklah umum dipakai sebagai objek jaminan. Dalam hal konsep hukum perdata dikenal dengan asas kebebasan
berkontrak freedom of contract yakni suatu perjanjian dapat mengesampingkan undang-undang selama perjanjian tersebut tidak
mencederai kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, melainkan kebebasan
berkontrak tersebut akan batal demi hukum apabila tidak memberikan keadilan yang proporsional kepada salah satu pihak, karena hal tersebut
dianggap tidak memenuhi Pasal 1320 tentang syarat sahnya perjanjian terkait sebab yang halal. Oleh sebab itu dalam hal perjanjian yang bersifat
tambahan, undang-undang harus memberikan legitimasi perlindungan terhadap pihak-pihak yang melakukan hubungan hukum perjanjian. Hukum
penjaminan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
serta peraturan pelaksanaannya melalui peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan peraturan Bank Indonesia. Surat berharga itu sendiri adalah
surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksana pemenuhan suatu prestasi, yang berupa pembayaran sejumlah uang yang
pembayarannya tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang, melainkan dengan alat bayar lain
6
. Seiring berkembangnya bisnis dan dunia perbankan khususnya
perkreditan surat berharga pun bisa dijadikan jaminan. Saat ini berdasarkan regulasi yang terkait, Surat berharga yang dapat dijadikan jaminan antara
lain saham, obligasi, sukuk dan lain-lain, namun didalam praktik terdapat surat berharga yang tidak termasuk kedalam kategori surat berharga yang
dapat dijadikan agunan, melainkan surat yang berharga untuk pihak tertentu saja dan tidak berlaku umum, yakni Sertifikat franchise. Seiring dengan hal
tersebut, keberadaan Hak Kekayaan Intelektual HKI hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna
untuk manusia khususnya kontrak franchisse kurang diperhatikan untuk dimasukkan ke dalam bentuk barang-barang yang dapat dijadikan agunan.
Hal tersebut dikarenakan nilai objek dari HKI bersifat fluktuatif atau tidak
6
Abdulkadir Muhammad. Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007, h. 5.
tetap, namun akan terjadi perbedaan kepentingan yang disebabkan oleh terpenuhinya nilai-nilai yang terkandung dalam HKI sehingga dapat
dijadikan sebagai objek collateral apabila dikaitkan dengan syarat-syarat benda jaminan yang diatur di dalam hukum jaminan di Indonesia dengan
praktik yang terjadi. Sehubungan dengan surat berharga yang dapat dijadikan sebagai jaminan, maka penulis tertarik membahas status surat
kontrak franchise sebagai jaminan kredit perbankan ditinjau dari hukum jaminan Indonesia.
Dengan judul “KONTRAK FRANCHISE SEBAGAI AGUNAN KREDIT DALAM HUKUM JAMINAN DI INDONESIA
”