Kerangka Teori Tinjauan Yuridis Alas Hak Di Bawah Tangan Sebagai Dasar Pendaftaran Hak Atas Tanah

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang telah disediakan oleh pihak civitas akademika dan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Maka penelitian dengan judul Tinjauan Yuridis Alas Hak di Bawah Tangan Sebagai Dasar Pendaftaran Hak Atas Tanah, belum pernah ada yang meneliti. Dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

“ Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan baik yang langsung untuk kehidupannya maupun untuk usahanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian tanah yaitu “permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali”. 13 Pengertian tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria diatur dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa: “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta bahan-bahan hukum. 13 Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, halaman 3. Universitas Sumatera Utara Dengan demikian yang dimaksud istilah tanah dalam Pasal 4 di atas adalah permukaan bumi. Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dijadikan hak oleh setiap orang atau badan hukum, oleh karena itu hak-hak yang timbul di atas permukaan bumi hak atas tanah termasuk di dalamnya bangunan atau benda-benda yang terdapat di atasnya merupakan persoalan hukum. Persoalan hukum yang dimaksud adalah persoalan yang berkaitan dengan dianutnya asas-asas yang berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan tanaman dan bangunan yang terdapat di atasnya. 14 “ Menurut Boedi Harsono sebagaimana dikutip oleh Supriadi bahwa dalam hukum tanah negara-negara dipergunakan apa yang disebut asas accessie atau asas perlekatan, yaitu bahwa bangunan-bangunan dan benda-bendatanaman yang terdapat di atasnya merupakan suatu kesatuan dengan tanah serta merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan”. 15 Dengan demikian yang termasuk pengertian hak atas tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah yang dijadikan hak, kecuali kalau ada yang lain. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Pokok Agraria, hak tertinggi atas tanah adalah hak bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan. Untuk melaksanakan hak tersebut, negara Republik Indonesia diberi wewenang untuk: b. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa; 14 Ibid. 15 Ibid. Universitas Sumatera Utara d. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan perubahan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Hak negara tersebut di atas disebut hak menguasai, atas dasar hak tersebut negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia berwenang memberikan berbagai hak atas tanah kepada orang perseorangan atau badan hukum. 16 Untuk mewujudkan kepastian hukum hak-hak atas tanah, maka perlu Diupayakan penyeragaman sesuai dengan hak-hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Hak-hak tanah yang belum sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria harus dikonversi menjadi hak-hak tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional membagi hak-hak tanah dalam dua bentuk, yaitu: 1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer adalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seseorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahkan kepada orang lain atau ahli warisnya. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. 2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, oleh karena hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas selain itu juga hak itu dimiliki oleh orang lain. Hak atas tanah yang bersifat sekunder meliputi hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa atas tanah pertanian. 17 Hak-hak atas tanah menurut ketentuan Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria terdiri dari hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, 16 Supriadi, Op.Cit, halaman 29. 17 Ibid, halaman 64. Universitas Sumatera Utara hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan melalui Undang- Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria yaitu hak gadai, hak guna usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah pertanian. Hak-hak tersebut diusahakan hapus dalam waktu yang singkat. “ Dalam literatur pendaftaran tanah sering juga disebut dengan land record atau cadastral” 18 atau dalam bahasa Belandanya “cadastre”. 19 Kadaster adalah suatu istilah teknis suatu record atau rekaman yang menunjukkan kepada luas, nilai dan kemilikan atau lain-lain atas hak terhadap suatu bidang tanah. Sebenarnya kadaster ini mulanya berasal dari bahasa Latin “Capitasrum” yang berarti register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi. 20 Menurut Maria S.W. Sumardjono, Pendaftaran tanah berarti mencatat hak-hak yang dipegang oleh perorangan atau kelompok ataupun suatu lembaga atas sebidang tanah oleh pejabat yang berwenang dan mengeluarkan surat bukti hak. Hak-hak ini bermacam-macam, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan sebagainya. 21 Secara yuridis pendaftaran tanah telah dijamin di seluruh wilayah Republik Indonesia. Hal itu dapat diketahui dari Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa demi kepastian hukum tanah harus didaftarkan, dengan 18 Herman Hermit, Op.Cit, halaman 131. 19 Supriadi, Op.Cit, halaman 152. 20 Ibid. 21 Maria S.W. Sumardjono, Hukum Pertanahan dalam Berbagai Aspek, Medan: Bina Media, 2000, halaman 36. Universitas Sumatera Utara memperhatikan keadaan sosial ekonomis dan rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya pendaftaran. Pendaftaran tanah dalam Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah diartikan sebagai berikut: Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukaan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Sesuai pengertian pendaftaran tanah tersebut di atas, dapat diketahui bahwa kegiatan pendaftaran tanah dilakukan dalam bentuk peta dan daftar. Selain itu juga salah satu rangkaian kegiatan pendaftaran tanah adalah pemeliharaan data fisik dan data yuridis yang juga dilakukan dalam bentuk peta dan daftar yang membuat data fisik dan data yuridis pada bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun. Menurut A.P. Parlindungan, pendaftaran sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dipertegas sebagai berikut: a. Pendaftaran awal yang mendaftarkan hak-hak atas tanah untuk pertama kali dan harus dipelihara atau ajudikasi; b. Pendaftaran hak-hak karena adanya mutasi hak, ataupun adanya pengikatan jaminan hutang dengan tanah sebagai agunan dan pendirian hak baru atau Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai di atas Hak Milik; Universitas Sumatera Utara c. Hak-hak yang timbul dari rumah susun dan bagian-bagian dari rumah susun; d. Pendaftaran tersebut meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta memelihara data fisik dan data yuridis. 22 Yang dimaksud data fisik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 butir 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah “keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftarkan, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya”. Dengan demikian yang menjadi objek pendaftaran tanah adalah bidang tanah dan satuan rumah susun, dan keterangan yang diperlukan terhadap objek tersebut adalah mengenai letak, batas, luas serta bangunan yang ada di atasnya. 23 Mengenai data fisik ini, A.P. Parlindungan berpendapat bahwa: Yang dimaksud dengan data fisik adalah segala informasi mengenai letak, batas dan luas bidang tanah atau satuan rumah susun yang sudah terdaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya, tentunya termasuk juga bagian dari bangunan yang terdapat dibawah permukaan bumi yang berkaitan dengan bangunan tersebut. Dalam pendaftaran yang modern termasuk gambar fisik bangunan tersebut dan termasuk bangunan yang permanen, semi permanen dan sebagainya, demikian juga tanaman yang ada di atasnya. Inilah yang dikembangkan oleh pendaftaran Land Information System LIS dan Geographic Information System GIS. 24 Sistem informasi terdiri dari Non Spatial Information System dan Spatial Information System SIS. Sedangkan SIS terbagi dua menjadi Non Resource SIS dan Resource SIS. Kemudian Resource SIS terbagi dua lagi, yaitu Geographical Information System GIS dan Land Information System LIS. GIS lebih dikenal sebagai software tools perangkat lunak, antara lain seperti misalnya, ArcInfo, MapInfo, AutoCadMap, Grass, dan masih banyak lagi. Dengan tools yang sama maka GIS berkaitan dengan proses dan presentasi peta-peta skala kecil atau peta Land Use, Kehutanan, sedangkan LIS berkaitan dengan peta-peta skala besar, yaitu peta bidang- bidang tanah atau land parcels. Sedangkan yang dimaksud dengan data yuridis sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah “keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta badan-badan lain 22 A.P. Parlindungan, Op.Cit, halaman 73. 23 Suardi, Op.Cit, halaman 142. 24 A.P. Parlindungan, Op.Cit, halaman 74. Universitas Sumatera Utara yang membebaninya”. A.P. Parlindungan menjelaskan bahwa: Data yuridis adalah haknya itu sendiri, atas bidang tanah dan satuan rumah susun, pemegang haknya, atau hak orang lain atas tanah tersebut atau Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Milik, Hak Pengelolaan, Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai di atas Hak Milik, Hak Tanggungan; dan tanah negara lainnya. Undang-Undang Pokok Agraria tidak menyatakan secara tegas bahwa sistem pendaftaran yang mana yang dianut. Tetapi apabila didasarkan pada ketentuan Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang terakhir adalah pemberian tanda bukti hak yang berlaku sebagai “Alat pembuktian yang kuat, jelas bahwa Undang-Undang Pokok Agraria menganut sistem negatif dalam hal pendaftaran tanah. Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria menganut sistem negatif dengan pertimbangan bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah menggunakan waktu relatif singkat. Menurut A.P. Parlindungan: Asas negatif tercermin dalam pernyataan sebagai alat pembuktian yang kuat, bukan sebagai satu- satunya alat pembuktian. Sehingga dapat dinyatakan dengan menganut azas negatif, sertifikat tersebut hanya atau dapat dipandang sebagai suatu bukti permulaan saja belum menjadi sertifikat itu sebagai suatu yang final sebagai bukti hak tanahnya. 25 Dengan menelusuri beberapa Putusan Mahkamah Agung tentang kasus yang timbul berkaitan dengan tanah di Indonesia, ternyata sistem pendaftaran tanah di Indonesia mengarah pada pengakuan sistem stelselsistem negatif. 26 Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa putusan pengadilan sebagai berikut: 1 Putusan MA tanggal 18 September 1975 Nomor 459 Ksip1975 menentukan mengingat stelsel negatif tentang registerpendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka pendaftaran nama seseorang di dalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain. 2 Putusan MA tanggal 2 Juli 1974 Nomor 480 KSip1973 menentukan pengoperan hak atas tanah menurut Pasal 26 UUPA jo. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 harus dibuat dihadapan pejabat Pembuat Akta Tanah dan tidak dapat dilaksanakan seseorang di bawah tangan seperti halnya sekarang, cara yang harus ditempuh oleh penggugat. Kalau pihak tergugat tidak mau memenuhi perjanjian tersebut dengan sukarela, penggugat dapat memohon agar kedua akta di bawah tangan itu 25 A.P. Parlindungan, Op.Cit, halaman 14. 26 Supriadi, Loc cit. Universitas Sumatera Utara oleh pengadilan dinyatakan sah dan berharga, serta mohon agar tergugat dihukum untuk bersama-sama dengan penggugat menghadap kepada seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk membuat akta tanah mengenai kedua bidang persil tersebut. 3 Putusan MA Nomor 2339KSip1982 menentukan: Menurut Undang- Undang Pokok Agraria Pasal 5 bagi tanah berlaku hukum adat, hal mana berarti rumah dapat diperjualbelikan terpisah dari tanah atau pemisahan horizontal. 27 Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria atau disingkat UUPA dan PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, Pemerintah berharap dapat melaksanakan penyelenggaraan pendaftaran tanah atas seluruh bidang tanah di Indonesia. Akan tetapi selama kurun waktu 30 tahun, yaitu sejak tahun 1960 hingga 1980, ternyata penyelenggaraannya tidak berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan. Salah satu kendala utama yang dihadapi ialah bahwa pendaftaran tanah memerlukan biaya yang tinggi, sementara pada sisi yang lain, budget yang tersedia amat tak memadai. Guna mengatasi masalah ini, diperlukan cara terpadu yang melibatkan Pemerintah dan rakyat, khususnya masyarakat pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah. Upaya terpadu ini adalah penyelenggaraan operasi agraria, yang selanjutnya dikenal dengan istilah PRONA atau Proyek Operasi Nasional Agraria. Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui kegiatan ini adalah untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam bidang pertanahan sebagai usaha untuk berpartisipasi dalam menciptakan stabilitas politik serta ekonomi. Negara RI 27 Chaidir, Ali, Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Agraria, Bandung: Bina Cipta, Jilid III, 1985, halaman 66-67. Universitas Sumatera Utara adalah negara hukum atau rechtstaat, yang berarti bahwa segala tindakan, termasuk kebijakan Pemerintah sekalipun, harus mempunyai landasan hukum. Prona sebagai salah satu kebijakan Pemerintah dibidang agraria, juga wajib didasarkan pada aturan pelaksanaan, maka mulai Tahun 1981 diterbitkanlah Keputusan Menteri Dalam Negeri KMDN Nomor 189 Tahun 1981, Nomor 220 Tahun 1981, Nomor 226 Tahun 1982, dan Nomor 348 Tahun 1982 yang berlaku sebagai dasar hukum pelaksanaannya. Menurut kamus hukum, ajudikasi adalah proses penyelesaian sengketa informasi publik antara para pihak yang diputus oleh komisi informasi. Akan tetapi pengertian yang digunakan oleh BPN RI bukan berarti demikian. Ajudikasi adalah salah satu metode pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh BPN dengan cara proaktif menerjunkan satu tim ajudikasi dengan target yang jelas mengenai waktu penyelesaiannya. Tim yang dibentuk oleh BPN tersebut diberi nama Panitia Ajudikasi. Terdiri dari dua komponen pokok, yaitu tim yuridis dan tim teknis. Tim yuridis melaksanakan tugas dalam rangka pengumpulan surat-surat yang berkaitan dengan data kepemilikan. Sedangkan tim teknis melaksanakan tugas pengukuran. Target waktu penyelesaian adalah 1 tahun anggaran, dengan target bidang yang telah ditetapkan oleh Kepala BPN. Satu Panitia Ajudikasi dapat meliputi beberapa desa. Sistem pendaftaran yang digunakan disebut sistem pendaftaran secara sistematis, artinya pengukuran yang dilaksanakan merupakan satu rangkaian sistem koordinat. Universitas Sumatera Utara Ajudikasi merupakan salah satu implementasi dari peraturan perundang- undangan di bidang pertanahan khususnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 serta peraturan dan ketentuan lainnya. Berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka untuk melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang agrariapertanahan, sumber pembiayaannya berasal dari rupiah murni dan bantuan luar negeri atau Bank Dunia. Mewujudkan hal tersebut merupakan beban kerja sangat berat, namun tekad yang kuat, motivasi yang tinggi serta optimisme dan tanggung jawab penuh, para panitia dan tim ajudikasi supaya bekerja lebih cermat, teliti dan akurat sebab ini berkaitan dengan sertifikat hak atas tanah yang merupakan tanda bukti hak yang berkekuatan hukum. Oleh karena itu Badan Pertanahan Nasional membentuk tim ajudikasi untuk mengumpulkan dan menetapkan kebenaran data fisik serta data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.

2. Kerangka Konsepsi