Aktivitas Antimikroba Kulit Batang Kayu Api-Api Betina (Avicennia marina) terhadap Bakteri dan Fungi Patogen secara In Vitro

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mangrove menempati luasan area yang luas di Indonesia yaitu sekitar 42.550 km2 atau mencapai 25% dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia (Siregar 2009). Hutan mangrove merupakan salah satu hutan tropis yang mudah berkembang dan memiliki banyak sumberdaya terbarukan. Mangrove telah dimanfaatkan sejak lama untuk keperluan manusia. Pemanfaatan mangrove sebagai sumber bahan makanan, penghasil kayu untuk bahan bangunan dan kayu bakar, serta sebagai obat tradisional.

Avicennia marina (api-api betina) merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang sering dimanfaatkan. Suku Wamesa di daerah Teluk Wondama, Papua menggunakan kulit mangrove sebagai obat tradisional untuk pengobatan penyakit kulit (kudis) (Pemkab Teluk Wondama 2005). Menurut Yusuf (2010), kayu A. marina dapat digunakan untuk kayu bakar, perabot rumah tangga, mengasapi ikan, juga dapat digunakan untuk membuat lumpang padi. Kulit batangnya di Sumatera Selatan dimanfaatkan sebagai obat-obatan tradisional misalnya obat sakit gigi, dan mempunyai khasiat sebagai anti fertilitas.

Beberapa penelitian yang dilakukan terhadap tumbuhan A. marina menunjukkan bahwa ekstrak daun, hipokotil dan biji tumbuhan ini memiliki aktivitas antimikroba. Ravikumar et al. (2010) dan Abeysinghe et al. (2006) telah menunjukkan aktivitas antibakteri ekstrak A. marina terhadap beberapa bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Menurut Tariq et al. (2006), ekstrak tumbuhan A. marina mampu mereduksi infeksi jamur pada akar tanaman kacang dan buncis.

Potensi mangrove untuk bahan obat alami sangat besar karena mangrove diketahui sebagai sumber dari beberapa senyawa bioaktif (Setyawan dan Winarno 2006). Menurut Bandaranayake (2002) senyawa bioaktif yang terkandung pada mangrove yaitu alkaloid, senyawa fenolik, steroid, triterpenoid, flavonoid, kuinon, dan produk metabolit sekunder lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan Yusuf (2010) menunjukkan adanya senyawa triterpenoid pada kulit batang A. marina. Potensi kulit batang A. marina secara khusus sebagai antibakteri dan antifungi


(2)

belum banyak diteliti. Senyawa-senyawa yang terkandung dalam kulit batang A. marina dan aktivitas antimikrobanya perlu dikaji lebih lanjut.

1.2 Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh pelarut terhadap ekstrak kulit batang api-api yang dihasilkan. Tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu:

1) menentukan rendemen ekstrak dari kulit batang api-api (Avicennia marina) 2) menguji aktivitas antibakteri dari ekstrak yang diperoleh

3) menentukan konsentrasi minimum ekstrak dalam menghambat aktivitas antimikroba

4) menentukan senyawa bioaktif yang berperan dalam aktivitas antimikroba 5) menentukan kandungan total fenol yang terdapat pada ekstrak


(3)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Api-api (Avicennia marina)

Avicennia marina atau yang umum disebut api-api banyak ditemukan di wilayah mangrove yang terletak paling luar atau dekat dengan lautan. Mangrove ini hidup di tanah berlumpur agak lembek atau dangkal, dengan substrat berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam tinggi. Api-api mampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang mendekati tawar sampai dengan 90 ‰. Api-api biasa berasosiasi dengan jenis mangrove Rhizophora dan merupakan tumbuhan pionir pada lahan pantai yang terlindung (Noor et al. 2006).

Tumbuhan A. marina tumbuh dengan tegak, serta memiliki banyak cabang. Api-api memiliki batang yang mengeluarkan getah dan memiliki rasa yang pahit. Daun tumbuhan ini tumbuh berhadapan, bertangkai, berbentuk bulat telur terbalik dengan ujung tumpul dan pangkal yang rata. Bunga tumbuhan ini berwarna kuning dengan kelopak bunga yang pendek dan pucat. Buah berbentuk kotak, berkatup, berbiji satu serta berkecambah sebelum rontok. Kulit kayu tumbuhan ini halus, berwarna kelabu dan hijau loreng. Akar napas api-api tumbuh lurus, berbentuk ramping dan berjumlah banyak (Purnobasuki 2004).

Api-api merupakan salah satu tumbuhan mangrove yang termasuk dalam famili Verbenaceae. Daun api-api digunakan untuk mengatasi kulit yang terbakar dan resin yang keluar dari kulit kayu digunakan sebagai alat kontrasepsi (Noor et al. 2006). Menurut Bandaranayake (2002) tumbuhan api-api ini banyak mengandung senyawa aktif seperti fitoaleksin, steroid, tanin, triterpenoid. Morfologi tumbuhan api-api dapat dilihat pada Gambar 1.


(4)

2.2 Ekstraksi Senyawa Bioaktif

Pengambilan bahan aktif yang bersifat sebagai antibakteri dilakukan dengan cara ekstraksi. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harborne 1987).

Pada proses maserasi, pelarut akan menembus dinding sel dan akan masuk ke dalam rongga sehingga komponen bioaktif akan larut. Perbedaan konsentrasi antara larutan komponen bioaktif di dalam sel dengan di luar sel menyebabkan larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut terjadi berulang kali hingga terjadi keseimbangan antara larutan di luar dengan di dalam sel (Nur dan Adijuwana 1989).

Kelarutan zat dalam pelarut bergantung pada kepolarannya. Zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar begitu pula zat non polar hanya larut dalam pelarut non polar. Pemilihan pelarut dalam ekstraksi harus memperhatikan selektivitas pelarut, kemampuan untuk mengekstraksi komponen sasaran, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga pelarut. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi adalah tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, dan tipe pelarut (Harborne 1987). Ekstraksi beberapa kali dengan pelarut yang lebih sedikit akan lebih efektif dibanding ekstraksi satu kali dengan semua pelarut sekaligus (Nur dan Adijuwana 1989).

2.3 Senyawa Fitokimia

Analisis fitokimia dilakukan dengan tujuan untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat yang ditunjukkan oleh ekstrak tumbuhan kasar bila diujikan dengan sistem biologi. Idealnya untuk analisis fitokimia harus digunakan jaringan tumbuhan segar. Cara lain, tumbuhan dapat dikeringkan, pengeringan harus dilakuan secepatnya tanpa menggunakan suhu tinggi, lebih baik dengan aliran udara yang baik untuk mencegah perubahan kimia yang terlalu banyak (Harborne 1987).

Alkaloid adalah senyawa alami amina, baik pada tanaman, hewan, ataupun jamur dan merupakan produk yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder,


(5)

saat ini diketahui sebanyak 5.500 jenis alkaloid (Harborne 1987). Alkaloid sebagian besar terdiri dari komponen ammonia berbasis nitrogen yang disintesis dari asam amino. Senyawa ini bersifat basa karena adanya atom nitrogen. Sebagian besar alkaloid terdapat pada padatan yaitu atropine, beberapa berbentuk cairan berisi karbon, hidrogen dan nitrogen (Doughari 2012). Bandaranayake (2002) mengemukakan bahwa alkaloid memiliki banyak aktivitas farmakologi. Singh et al. (2011) dalam penelitiannya melaporkan bahwa alkaloid yang diisolasi dari tumbuhan Prosopis juliflora dan memiliki aktivitas antibakteri dengan spektrum luas.

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yaitu nisbi rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Triterpenoid berupa senyawa tidak berwarna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik yang umumnya sukar dicirikan karena tidak ada kereaktifan kimianya (Harborne 1987). Hasil penelitian yang dilakukan Ravikumar et al. (2011) menunjukkan bahwa senyawa terpenoid terkandung dalam jumlah banyak pada ekstrak A. marina, sedangkan jumlahnya sedikit pada ekstrak Ceriops decandra dan Bruguiera cylindrica.

Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, mempunyai ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua penyulih hidroksil (Harborne 1987). Michalowicz (2007) mengemukakan bahwa senyawa fenol tidak berwarna, mengkristal, larut dalam air dan pelarut organik. Ravikumar et al. (2011) menemukan bahwa senyawa polifenol terkandung pada A. marina dalam jumlah kecil.

Flavonoid merupakan golongan terbesar dari ribuan senyawa fenol, tapi fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid dan kuinon fenolik juga terdapat dalam jumlah besar. Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air (Harborne 1987). Penelitian yang dilakukan oleh Prabhu dan Guruvayoorappan (2012) menunjukkan bahwa ekstrak metanol A. marina mengandung senyawa flavonoid antara lain luteolin 7-o-methylether, galactoside analogue, quercetin dan kaempferol.


(6)

Saponin adalah molekul gula yang tergabung dengan aglikon triterpenoid atau steroid. Saponin terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu saponin steroid dan saponin triterpenoid. Saponin larut dlam air namun tidak larut dalam eter, serta menghasilkan aglikon (Doughari 2012). Francis et al. (2002) melaporkan saponin juga dapat ditemukan pada organisme laut tingkat rendah dan beberapa bakteri. Hasil penelitian Ravikumar et al. (2011) menunjukkan saponin terkandung dalam jumlah sedikit pada ekstrak daun A. marina.

Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh khususnya dalam jaringan kayu. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air (Harborne 1987). Menurut Clinton (2009) tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin kondensasi dan tanin hidrolisis. Tanin hidrolisis terbentuk dari unit asam galat atau asam epigalat yang terkondensasi pada molekul gula. Tanin kondensasi adalah dimer atau oligomer dari katekin, epikatekin dan unit sejenisnya. Berdasarkan penelitian Hong et al. (2011), tanin hidrolisis telah berhasil diisolasi dari Rhizophora apiculata.

2.4 Bakteri

Bakteri adalah sel prokariot yang khas dan bersifat uniseluler. Sel bakteri berbentuk bulat, batang atau spiral. Umumnya bakteri berdiameter 0,5-1,0 µm. Bakteri menimbulkan berbagai perubahan kimiawi pada substansi yang ditumbuhinya, mampu menghancurkan banyak zat dan dapat menyebabkan penyakit (Pelczar dan Chan 1986). Feliatra et al. (2004) menyatakan bahwa beberapa jenis bakteri dapat menguntungkan bagi inang yang ditinggalinya yang dinamakan bakteri probiotik.

Bakteri dapat dibedakan menjadi bakteri positif dan bakteri Gram-negatif berdasarkan perbedaan pada komposisi dan struktur dinding selnya (Pelczar dan Chan 1986). Dinding sel Gram-positif tersusun komponen pokok yang disebut mucocompleks. Mucocompleks ini adalah polimer dari gula amino N-asetilglukosamin dan asam N-asetil-muramic, peptide alanin, asam glutamat, dan asam diaminopimelik atau lysin. Dinding sel bakteri gram positif juga terdiri dari polimer ribitol fosfat yang disebut asam teikhik dan sebuah polimer gliserol fosfat. Dinding sel bakteri gram negatif lebih komplek, terdiri dari dua


(7)

mucocompleks dan satu komplek lipoprotein-polisakarida, yang terdiri dari semua jenis asam amino (Jawetz et al. 1960).

Bakteri Gram-positif dan Gram-negatif juga berbeda dalam sensitivitasnya terhadap enzim, kerusakan fisik, desinfektan dan antibiotik. Bakteri Gram-positif lebih sensitif terhadap penisilin tetapi lebih tahan terhadap perlakuan fisik atau enzim dibandingkan bakteri Gram-negatif. Bakteri Gram-negatif lebih sensitif terhadap antibiotik lainnya seperti streptomisin (Fardiaz 1989).

2.4.1 Escherichia coli

Escherichia coli termasuk dalam kelompok bakteri anaerobik fakultatif Gram-negatif. Bakteri ini merupakan penghuni normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan (Pelczar dan Chan 1986). E. coli sering terdapat dalam feses dan sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran (Fardiaz 1989). Bakteri E. coli tersebar luas sebagai parasit pada mamalia dan burung. (Greenwood et al. 1992). Jenis bakteri ini bersifat motil dan dapat tumbuh pada kisaran suhu yang luas yaitu 15-45 °C.

Bakteri E. coli menyebabkan penyakit diare, infeksi saluran urin dan sepsis (Cowan dan Talaro 2009). Penyakit lain yang ditimbulkan dari kontaminasi E. coli yaitu pneumonia, endokarditis, meningitis pada bayi yang baru lahir. E. coli enteropatogenik (EPEC) merupakan penyebab diare pada bayi. Mekanismenya adalah melekatkan dirinya pada sel mukosa usus kecil dan membentuk filamentous actin pedestal sehingga menyebabkan diare cair. Bakteri ini secara alami sensitif terhadap antibiotik, salah satunya yaitu kloramfenikol (Greenwood et al. 1992). Morfologi E. coli dapat dilihat pada Gambar 2.


(8)

2.4.2 Staphylococcus aureus

Staphylococcus merupakan bakteri berbentuk bulat yang terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan atau berkelompok seperti buah anggur. Bakteri ini termasuk dalam kelompok bakteri kokus Gram-positif. Staphylococcus aureus memproduksi pigmen berwarna kuning sampai jingga. Kebanyakan galur S. aureus bersifat patogen dan memproduksi enterotoksin yang tahan panas (Fardiaz 1989). Mikrorganisme ini tidak menghasilkan spora, non-motil dan biasanya tidak menghasilkan kapsul. Kenampakan individual bakteri ini bundar dengan permukaan yang halus dan berkilau sedangkan kenampakan koloni buram dan menghasilkan pigmen secara berkala. Bakteri ini memproduksi nukleus tahan panas yang dapat memecah Deoxyribose Nucleid Acid (DNA) sel (Greenwood et al. 1992).

Bakteri S. aureus dapat menimbulkan penyakit yang disebabkan infeksi pada manusia dan hewan seperti misalnya bisul dan luka (Greenwood et al. 1992). S. aureus merupakan organisme penyebab keracunan makanan karena dapat melepas enterotoksin pada makanan yang terkontaminasi. Makanan yang mengandung toksin jika masuk ke sistem pencernaan manusia akan menimbulkan efek muntah-muntah, mual dan diare setelah 6 jam (Madigan 2009). Morfologi S. aureus dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Staphylococcus aureus (Todar 2011) 2.5 Fungi

Fungi merupakan organisme yang tidak berklorofil dan memiliki dinding sel yang kaku. Komponen dinding sel fungi tersusun atas khitin dan selulosa atau

glukan. Fungi atau cendawan terdiri dari kapang dan khamir (Pelczar dan Chan 1986). Perbedaan utama antara organisme tersebut yaitu


(9)

khamir merupakan fungi sel tunggal tanpa filamen. Fungi memproduksi spora yang berfungsi sebagai alat reproduksinya (Fardiaz 1989).

Fungi memperoleh nutrient dengan cara mengabsorpsi materi organik dari organism yang telah mati. Saat fungi menginvasi jaringan hidup, umumnya organisme ini membunuh sel jaringan tersebut dan mengabsorpsi nutriennya. Fungi dapat bersifat saprofitik atau parasit yang dapat mengambil nutrisi dengan cara difusi dari inangnya (Greenwood et al. 1992). Sifat parasit fungi ini dapat merugikan manusia. Beberapa fungi yang bersifat sebagai parasit dapat menimbulkan penyakit pada tumbuhan dan hewan, termasuk manusia (Pelczar dan Chan 1986).

2.5.1 Candida albicans

Candida albicans termasuk dalam kelas ascomycetes. Sel Candida tumbuh membentuk pseudomiselium atau hifa yang mengandung banyak sel-sel tunas (Fardiaz 1989). Candida merupakan jenis khamir berukuran 4-6 µm yang bereproduksi dengan pertunasan. Candida dapat ditemukan pada tanah, benda mati, makanan dan lingkungan rumah sakit. Candida dikenal luas sebagai fungi patogen dan menginfeksi manusia, namun fungi ini dapat hidup pada permukaan tubuh manusia tanpa menyebabkan infeksi (Ostrosky-Zeichner 2012).

Fungi Candida menginfeksi dengan cara menurunkan fungsi sistem imun (Ostrosky-Zeichner 2012). Infeksi C. albicans umum ditemukan pada selaput lendir mulut, vagina dan saluran pencernaan yang disebut dengan kandidiasis (Pelczar dan Chan 1986). Sudirman (2006) melaporkan bahwa C. albicans juga menimbulkan infeksi pada bagian kulit yang basah dan hangat seperti pada ketiak, lipatan paha, skrotum atau lipatan di bawah payudara. Morfologi C. albicans dapat dilihat pada Gambar 4.


(10)

2.5.2 Microsporum gypseum

Microsporum gypseum merupakan fungi yang umum menginfeksi kulit dan rambut. Kurniati dan Rosita (2008) melaporkan bahwa penyakit yang disebabkan infeksi fungi ini antara lain tinea kapitis (infeksi jamur pada kulit kepala dan rambut) dan tinea favosa (infeksi jamur pada kulit kepala dan kulit muda).

M. gypseum tumbuh dengan cepat dan matang dalam 6 hingga 10 hari. M. gypseum menghasilkan hifa, makronidia dan mikronidia. Makronidia tersebar banyak, fusiform dan berbentuk simetris dengan ujung bulat, sedangkan mikronidia berjumlah sedikit, bergerombol dan terdapat di sepanjang hifa (Ostrosky-Zeichner 2012). Menurut Kurniati dan Rosita (2008) penampakan koloni M. gypseum datar dan tekstur permukaan koloni fungi ini seperti granula berwarna kecokelatan. Gambaran mikroskopik berupa beberapa mikronidia dan sejumlah makronidia berdinding tipis. Morfologi M. gypseum dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Microsporum gypseum (Sutton 2007) 2.6 Antimikroba

Senyawa antimikroba didefinisikan sebagai senyawa biologis atau kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa antimikroba dapat dibedakan menjadi mikrosidal (bakterisidal) dan mikrostatik (bakteriostatik). Senyawa yang bersifat bakterisidal mampu membunuh bakteri sedangkan senyawa yang bersifat bakteriostatik dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Senyawa yang bersifat membunuh lebih baik daipada yang hanya bersifat menghambat (Fardiaz 1989). Respon setiap


(11)

mikroorganisme terhadap antimikroba berbeda-beda. Bakteri Gram-positif lebih rentan dibandingkan bakteri Gram-negatif yang secara alami lebih resisten (Madigan 2009).

Antimikroba bisa dibedakan menurut toksisitasnya yaitu selektif dan non-selektif. Senyawa non-selektif punya efek sama pada semua sel sedangkan senyawa selektif lebih beracun terhadap mikroorganisme daripada jaringan tubuh hewan atau manusia (Madigan 2009). Senyawa antibakteri yang digunakan dalam pengobatan pada manusia harus memiliki sifat toksisitas selektif artinya senyawa tersebut harus mampu menghambat dan membunuh mikroba tanpa merugikan inang (manusia) (Greenwood et al. 1992).

Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan dari mikroorganisme, yang memiliki sifat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Sifat antibiotik menurut Waluyo (2008) adalah sebagai berikut:

a) menghambat atau membunuh patogen tanpa merusak inang b) bersifat bakterisidal, bukan bakteriostatik

c) tidak menyebabkan resistensi pada kuman

d) berspektrum luas (efektif digunakan bagi banyak spesies bakteri)

e) tidak bersifat alergenik atau menimbulkan efek samping bila dipergunakan dalam waktu lama

f) tetap aktif dalam plasma, cairan badan atau eksudat g) larut dalam air serta stabil

h) jika bersifat bakterisidal, cepat dicapai dan bertahan untuk waktu lama di dalam tubuh

Kloramfenikol merupakan salah satu zat antibiotik. Kloramfenikol memiliki kemampuan antibakteri yang sangat besar, tetapi kloramfenikol digunakan terbatas pada beberapa indikasi klinis (Greenwood et al. 1992). Kloramfenikol termasuk kelompok antibiotik bakteriostatik yang tidak membunuh bakteri melainkan hanya menghambat sintesa protein yang sangat diperlukan dalam perbanyakan dan pembelahan sel bakteri. Kloramfenikol merupakan antibiotik yang paling stabil dan netral. Zat ini juga cepat dan hampir sempurna diarbsorpsi oleh saluran pencernaan (Fardiaz 1989).


(12)

Menurut Sadeghnia dan Hassanzadeh-Khayyat (2005) ketoconazol merupakan senyawa antifungi yang termasuk dalam kelompok imidazol. Zat ini diberikan melalui mulut bagi penderita kandidiasis kronis, infeksi saluran pencernaan oleh jamur, infeksi dermatofit pada kulit dan kuku dan penyakit akibat fungi patogen lain. Penyerapan ketoconazol dalam saluran pencernaan bervariasi dan meningkat seiring dengan penurunan pH perut. Lebih dari 90% ketoconazol terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Paolicelli (2011) melaporkan bahwa ketoconazol bersifat larut air dan mudah mengalami degradasi kimia seperti oksidasi dan hidrolisis.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa tumbuhan mangrove mengandung senyawa bioaktif yang bersifat antimikroba. Penelitian yang dilakukan Saad et al. (2012) menunjukkan tanin yang terdapat pada Soneratia telah dibuktikan memiliki aktivitas antibakteri. Hasil serupa dinyatakan oleh Hong et al. (2011), bahwa tanin hidrolisis yang diisolasi dari kulit batang Rhizophora apiculata memiliki aktivitas antifungi terhadap C. albicans. Haq et al. (2011) menemukan bahwa senyawa fenolik yang diekstrak dari Bruguiera gymnorrhiza efektif menghambat pertumbuhan beberapa bakteri gram positif dan Gram-negatif.

2.7 Minimum Inhibitory Concentration (MIC)

Aktivitas antimikroba diukur berdasarkan jumlah terkecil senyawa yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan dari mikroorganisme yang diuji dengan nilai yang disebut MIC (Madigan 2009). Minimum Inhibitory Concentration (MIC) adalah konsentrasi terendah dari senyawa antimikroba yang dapat mencegah pertumbuhan mikroba secara kasat mata. Luasan dari masing-masing dari zona hambat merupakan ukuran langsung dari tingkat sensitivitas senyawa (Greenwood et al. 1992). Menurut Wiegand et al. (2008) penentuan MIC dapat digunakan untuk mengevaluasi perkembangan daya tahan obat antibiotik.

Ada 2 metode yang digunakan dalam pengujian MIC, yaitu teknik tabung pengenceran (tube dillution technique) dan metode difusi agar (agar diffusion method). Teknik tabung pengenceran dilakukan dengan menginokulasikan bakteri uji ke dalam beberapa tabung reaksi yang telah diisi medium dengan konsentrasi


(13)

senyawa antimikroba berbeda. Tabung diinkubasi, setelah itu ditentukan MIC nya berdasarkan kekeruhannya (Madigan 2009). Wiegand et al. (2008) menyatakan bahwa metode difusi agar dilakukan dengan menaruh sejumlah bakteri dalam cakram nutrient agar yang telah diisi dengan zat antimikroba dengan konsentrasi berbeda. Adanya koloni bakteri pada cakram setelah inkubasi menunjukkan pertumbuhan mikroba.

Menurut Wiegand et al. (2008) dilusi cair menggunakan media cair untuk pertumbuhan yang berisi senyawa antimikroba dengan konsentrasi yang meningkat secara berurutan, dan diinokulasi sejumlah sel bakteri. Volume yang digunakan menentukan jenis metode termasuk makrodilusi atau mikrodilusi. Jika volume yang digunakan sebanyak 2 mL maka disebut makrodilusi sedangkan mikrodilusi menggunakan microtiter plate dengan volume sebanyak 500 µL per sumur. Penampakan kekeruhan atau endapan setelah inkubasi menunjukkan pertumbuhan mikroba. Nilai MIC ditunjukkan dengan konsentrasi terendah (dalam mg/L) senyawa antimikroba yang mencegah pertumbuhan mikroorganisme secara kasat mata dibawah kondisi tersebut.

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) tidak sama untuk setiap senyawa antibakteri, tetapi dipengaruhi oleh jenis organisme, ukuran inokulum, komponen media kultur, waktu inkubasi, serta kondisi inkubasi berupa suhu, pH atau aerasi (Madigan 2009). Menurut Davis dan Stout (1971), ketentuan kekuatan antibiotik-antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm (kuat), daerah hambatan 5-10 mm (sedang), dan daerah hambatan 5 mm atau kurang (lemah). Faktor yang mempengaruhi ukuran daerah penghambatan, yaitu sensitivitas organisme, medium kultur, kondisi inkubasi, dan kecepatan difusi agar.


(14)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret sampai Juli 2012 di Laboratorium Biokimia, Laboratorium Mikrobiologi, dan Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Laboratorium Kimia Organik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit batang tumbuhan api-api (Avicennia marina) yang diperoleh dari kawasan mangrove Pantai Indah Kapuk, Jakarta.

Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, yaitu metanol, etil asetat, dan n-heksan. Bahan-bahan kimia untuk uji fitokimia, yaitu H2SO4 2N, akuades, kloroform p.a, anhidrat asetat, asam sulfat pekat, HCl 2 N, pereaksi Dragendorff, pereaksi Wagner, pereaksi Meyer, bubuk magnesium, alkohol, amil alkohol, etanol 70%, FeCl3 5%, dan FeCl3 0,1 M. Bahan untuk uji aktivitas antibakteri yaitu nutrient broth (NB), nutrient agar (NA), Mueller Hinton Agar (MHA), dan kloramfenikol sedangkan untuk uji antifungi yaitu potato dextrose broth (PDB), potato dextrose agar (PDA) dan ketoconazol. Mikroorganisme yang digunakan adalah bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dari golongan bakteri serta Candida albicans dan Microsporum gypseum dari golongan fungi.

Alat-alat yang digunakan antara lain pisau, talenan, timbangan digital, alat-alat gelas, evaporator, shaker orbital, shaker water bath, sudip, cawan petri, oven, spektrofotometer, tabung reaksi, labu Erlenmeyer, kertas saring Whatman 42, plastik, vortex, botol vial, mikropipet, inkubator, pipet, autoklaf, jarum ose, penggaris, dan lampu bunsen.

3.3 Prosedur Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap satu meliputi koleksi dan preparasi sampel, ekstraksi bahan bioaktif, serta pengujian aktivitas antibakteri


(15)

dari ekstrak yang diperoleh. Tahap dua yaitu uji Minimum Inhibitory Concentration (MIC), uji kandungan total fenol dan uji fitokimia dari ekstrak kasar kulit batang api-api yang terpilih.

3.3.1 Penelitian tahap satu

Penelitian tahap satu dimulai dengan tahapan koleksi dan preparasi sampel. Kulit batang api-api diambil dengan cara menguliti batang pohon api-api. Sampel kulit batang api-api yang sudah diambil, dikeringkan hingga kadar airnya kurang dari 10% dan dihaluskan hingga menjadi serbuk.

Sampel serbuk kulit batang api-api selanjutnya diekstraksi. Tahap ekstraksi dilakukan menggunakan tiga macam pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu metanol, etil asetat dan n-heksan. Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi partisi dan maserasi bertingkat menggunakan pelarut metanol, etil asetat dan n-heksan. Ekstraksi secara maserasi partisi meliputi ekstraksi padat-cair dan ekstraksi air-padat-cair. Ekstraksi padat-padat-cair bertujuan untuk menarik semua senyawa bioaktif aktif dengan cara merendam sampel pada metanol. Ekstraksi cair-cair pemisahan senyawa bioaktif berdasarkan kepolarannya dengan cara mempartisi fase metanol dengan n-heksan atau etil asetat pada corong pemisah. Ekstraksi secara maserasi bertingkat dilakukan dengan ekstraksi padat-cair. Maserasi dilakukan secara bertahap dengan pelarut n-heksan, kemudian etil asetat dan terakhir metanol.

Ekstrak yang diperoleh dari kedua ekstraksi tersebut diuji aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri dan fungi. Metode uji yang digunakan adalah metode difusi sumur. Pada metode ini, lubang (sumur) dibuat pada agar padat yang telah diinokulasi dengan mikroba. Jumlah dan letak lubang disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian lubang diisi dengan larutan yang akan diuji. Pertumbuhan mikroba diamati setelah inkubasi untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan disekeliling lubang.

3.3.2 Penelitian tahap dua

Penelitian tahap dua merupakan beberapa pengujian terhadap ekstrak kulit batang api-api yang terpilih (memiliki aktivitas antimikroba terbaik) pada penelitian tahap satu. Ekstrak kulit batang api-api terpilih dilakukan pengujian Minimum Inhibitory Concentration (MIC) untuk menentukan konsentrasi terkecil


(16)

yang masih efektif menghambat pertumbuhan bakteri. Pengujian MIC dilakukan dengan metode dilusi cair. Metode ini menggunakan media cair untuk pertumbuhan yang berisi senyawa antimikroba dengan konsentrasi yang meningkat secara berurutan, dan diinokulasi sejumlah sel bakteri. Penampakan kekeruhan atau endapan setelah inkubasi menunjukkan pertumbuhan mikroba.

Uji berikutnya terhadap ekstrak terpilih adalah uji fitokimia dan kandungan total fenol. Pengujian fitokimia bertujuan untuk menentukan golongan senyawa bioaktif yang bertanggung jawab atas aktivitas antimikroba. Uji fitokimia dilakukan dengan mereaksikan ekstrak dengan reagent sesuai dengan golongan senyawa yang dimaksud. Golongan senyawa bioaktif yang diuji meliputi alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, fenol hidrokuinon dan tanin. Pengujian kandungan total fenol dilakukan untuk mengetahui jumlah fenol yang terdapat dalam sampel. Uji kandungan total fenol menggunakan metode Follin-Ciocalteu dengan standar asam galat.

3.4 Metode Analisis 3.4.1 Rendemen ekstrak

Sampel (kulit batang) api-api diambil dari kawasan mangrove Pantai Indah Kapuk, Jakarta. Kulit batang diambil dengan menyayat batang pohon hingga batas kambium. Sampel kulit batang api-api dibawa dengan plastik ber-sealer, agar terhindar dari udara luar. Sampel tersebut kemudian dicuci untuk menghilangkan kotoran yang menempel dan dijemur di bawah sinar matahari sampai kadar airnya dibawah 10%. Bagian yang sudah dikeringkan, dihaluskan dengan blender hingga menjadi serbuk dan ditimbang sebanyak 50 gram.

Sampel serbuk kulit batang api-api selanjutnya diekstraksi dengan cara maserasi partisi dan maserasi bertingkat. Perbandingan antara sampel dan masing-masing pelarut adalah 1: 3 (b/v). Maserasi partisi dilakukan dengan merendam sampel dalam pelarut metanol selama 24 jam, tujuannya untuk menarik semua komponen bioaktif pada kulit batang api-api. Hasil maserasi disaring, kemudian filtrat dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 50 °C. Ekstrak metanol pekat dipartisi dengan n-heksan menggunakan corong pemisah. Fase n-heksan dipekatkan dan didapatkan ekstrak n-heksan. Ekstrak metanol, setelah dipartisi dengan n-heksan dipartisi kembali dengan etil asetat. Fase etil


(17)

asetat dipekatkan dan didapatkan ekstrak etil asetat. Ekstrak metanol sisa partisi dipekatkan kembali dan didapatkan ekstrak metanol. Hasil ekstrak yang diperoleh dalam bentuk pasta. Diagram alir proses ekstraksi komponen bioaktif kulit batang api-api secara maserasi partisi disajikan pada Lampiran 1.

Maserasi bertingkat dilakukan dengan cara merendam sampel dalam pelarut n-heksan selama waktu maserasi 24 jam. Hasil maserasi disaring menggunakan kertas saring hingga diperoleh residu dan filtrat yang diinginkan. Residu sisa ekstraksi n-heksan dimaserasi kembali menggunakan etil asetat selama 24 jam, sedangkan filtratnya dievaporasi hingga didapatkan pelarut dan ekstrak yang terpisah (ekstrak n-heksan). Hasil maserasi etil asetat kemudian disaring, residu yang dihasilkan dilarutkan dengan metanol dan dimaserasi selama 24 jam, sedangkan filtratnya dievaporasi hingga didapatkan pelarut dan ekstrak etil asetat. Hasil maserasi metanol kemudian disaring dan filtratnya dievaporasi (ekstrak metanol). Hasil ekstrak yang diperoleh dalam bentuk pasta. Diagram alir proses ekstraksi komponen bioaktif kulit batang api-api secara maserasi bertingkat disajikan pada Lampiran 2.

Masing-masing ekstrak yang diperoleh, baik hasil maserasi partisi maupun maserasi bertingkat, ditimbang beratnya. Persentase rendemen ekstrak kulit batang api-api dapat dihitung dengan rumus:

3.4.2 Uji aktivitas antimikroba (modifikasi Coyle 2005)

Uji ini meliputi persiapan media cair, persiapan media padat dan prosedur aktivitas antibakteri. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi sumur agar (Kirby Bauer).

a. Persiapan media cair

Bakteri uji yaitu Escherichia coli dan Staphylococcus aureus disegarkan terlebih dahulu menggunakan media nutrient broth (NB), sedangkan untuk golongan khamir yaitu Candida albicans dan Microsporum gypseum disegarkan menggunakan media potato dextrose broth (PDB). Nutrient Broth dan Potato Dextrose Broth (Oxoid) dilarutkan dalam akuades, media tersebut dihomogenkan menggunakan


(18)

hotplate pada suhu 100 °C. Media yang telah homogen dimasukkan sebanyak 20 mL ke dalam tabung reaksi dan ditutup menggunakan kapas dan alumunium foil. Media tersebut disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit. Media didinginkan di tempat yang steril pada suhu ruang.

b. Persiapan media padat

Media padat yang digunakan adalah Mueller Hinton agar (MHA) dan Potato Dextrose Agar (PDA). Bubuk MHA dan PDA (Oxoid) dilarutkan dalam akuades, lalu dihomogenkan menggunakan hotplate pada suhu 100 °C. Larutan kemudian dipipet 20 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan masing-masing tabung ditutup menggunakan kapas dan alumunium foil. Media tersebut disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit. Media didiamkan di laminar aseptik sampai agar beku. Apabila media sudah beku, media disimpan dalam refrigerator. c. Persiapan suspensi mikroba

Sebanyak satu ose bakteri uji dimasukkan ke dalam media cair nutrient broth (NB) yang telah dingin secara aseptik, kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama 18-24 jam. Biakan bakteri yang telah diinkubasi, diukur rapat optis atau optical density (OD) nya dengan nilai antara 0,5-0,8 pada panjang gelombang 600 nm. Fungi yang telah disegarkan sebelumnya diambil satu ose dan dimasukkan ke dalam media cair potato dextrose broth (PDB) secara aseptik. Media berisi mikroba uji tersebut diinkubasi pada suhu ruang selama 18-24 jam.

d. Pengujian antibakteri

Tahap pertama pada uji aktivitas antimikroba yaitu sebanyak 20 mL media MHA dalam keadaan cair ditambahkan 20 µL bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus menggunakan pipet mikro, sedangkan untuk Candida albicans dan Microsporum gypseum menggunakan media PDA. Media agar yang telah ditambahkan bakteri uji dihomogenkan dengan vortex, kemudian segera dituangkan ke dalam cawan petri steril dan digoyangkan membentuk angka delapan agar bakteri lebih menyebar dan media MHA tercampur merata. Media agar terebut


(19)

didiamkan dalam clean bench aseptik selama 15 menit atau sampai agar beku. Pada pengujian antifungi Microsporum gypseum, media PDA sebanyak 20 mL dalam keadaan cair dituang ke cawan petri dan didiamkan dalam clean bench aseptik hingga agar beku. Microsporum gypseum diteteskan sebanyak 20 µL dan disebar ke seluruh permukaan agar menggunakan hockey stick.

Apabila media MHA dan PDA tersebut telah membeku, dibuat sumur berdiameter 6 mm menggunakan pangkal pipet pasteur. Tiap sumur

ditambahkan ekstrak sejumlah 2 mg/sumur, 1 mg/sumur dan 0,5 mg/sumur. Cawan disimpan dalam refrigerator selama 3 jam supaya

ekstrak berdifusi dengan agar. Cawan tersebut kemudian diinkubasi dalam inkubator selama 18-20 jam dengan suhu 37 °C untuk bakteri dan suhu ruang untuk fungi. Aktivitas antimikroba dapat dilihat dengan mengamati zona hambatan yang terbentuk di sekeliling sumur. Antimikroba dikatakan positif jika terbentuk zona hambatan berupa zona bening di sekeliling sumur dan antibakteri negatif ditandai dengan tidak terbentuknya zona bening. Diameter zona hambat yang terbentuk diukur lebarnya menggunakan penggaris. Data aktivitas antimikroba berupa rataan diameter zona bening disajikan dalam statistik deskriptif.

3.4.3 Uji Minimum Inhibitory Concentration (Mazzola et al. 2009)

Uji Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dilakukan untuk mengetahui konsentrasi minimum dari ekstrak yang terpilih dalam menghambat aktivitas pertumbuhan dari bakteri uji. Beberapa tahapan dalam proses MIC, yaitu prekultur dan perhitungan MIC.

a. Prekultur bakteri uji

Prekultur dilakukan dengan cara mengambil biakan bakteri uji sebanyak 1 ose dan dimasukkan dalam media NB dan biakan fungi dalam media PDB, kemudian diinkubasi dalam shaker water bath pada suhu 37 °C untuk bakteri dan suhu ruang untuk fungi.

b. Perhitungan MIC

Ekstrak kulit batang tumbuhan api-api yang mempunyai aktivitas penghambatan yang terbaik dilanjutkan dengan penentuan MIC. Metode


(20)

yang digunakan adalah metode dilusi cair (Broth Dilution). Media cair untuk bakteri menggunakan media NB dan untuk fungi menggunakan media PDB. Tabung reaksi disiapkan sejumlah 9 buah dan diberi nomor sesuai urutan. Setiap tabung diisi 3 mL media cair. Tabung ke-1 hingga ke-8 secara berurutan ditambahkan ekstrak antimikroba terpilih dengan konsentrasi 0,5 mg/mL, 0,6 mg/mL, 0,7 mg/mL, 0,8 mg/mL, 0,9 mg/mL, 1 mg/mL, 1,5 mg/mL dan 2 mg/mL.

Tabung 1 hingga 9 ditambah 3 µL suspensi mikroba. Tabung 9 digunakan sebagai kontrol positif sehingga tidak ditambah dengan ekstrak antimikroba. Tabung diinkubasi pada suhu 37 °C untuk bakteri dan pada suhu 30 °C untuk fungi selama 18-24 jam. Pertumbuhan mikroba diamati dengan adanya kekeruhan pada media. Penentuan MIC dilakukan dengan melihat konsentrasi ekstrak terendah yang masih menunjukkan penghambatan, ditandai dengan nomor tabung terkecil yang masih jernih. 3.4.4 Uji fitokimia (Harborne 1987)

Uji fitokimia bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa yang terkandung dalam ekstrak kulit batang api-api (Avicennia marina). Uji fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, dan tanin.

a. Alkaloid

Sebanyak 1 g sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu pereaksi Dragendorff, Meyer dan Wagner. Hasil uji dinyatakan positif apabila pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan cokelat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah sampai jingga dengan pereaksi Dragendorff.

b. Steroid/triterpenoid

Sebanyak 1 g sampel dilarutkan dalam 2 mL kloroform dalam tabung reaksi yang kering, lalu kedalamnya ditambahkan 10 tetes anhidrat asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau.


(21)

c. Flavonoid

Sebanyak 1 g sampel ditambah 0,1 mg bubuk magnesium dan 0,4 mL amil alkohol (campuran HCl 37% dan etanol 95% dengan volume sama) dan ditambah 4 mL alkohol kemudian campuran dikocok. Adanya flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.

d. Saponin

Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2N menunjukkan adanya senyawa saponin.

e. Fenol hidrokuinon

Sebanyak 1 g sampel diekstrak dengan 20 mL etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5%. Adanya senyawa fenol dalam bahan ditandai dengan terbentuknya warna hijau atau hijau biru.

f. Tanin

Sebanyak 1 g sampel ditambahkan pereaksi FeCl3. Adanya komponen tanin ditandai dengan terbentuknya warna merah tua.

3.4.5 Uji kandungan total fenol (Ramamoorthy dan Bono 2007)

Uji kandungan total fenol dilakukan untuk mengetahui jumlah fenol yang terdapat pada sampel. Ekstrak kasar yang memiliki aktivitas antibakteri terbaik, ditimbang sebanyak 5 mg lalu dilarutkan dengan 2 mL etanol 95%. Larutan ditambahkan 5 mL akuades dan 0,5 mL reagen Folin-Ciocalteau 50% (v/v). Campuran didiamkan selama 5 menit dan ditambahkan 1 mL Na2CO3 5% (b/v). Campuran dihomogenkan lalu diinkubasi dalam kondisi gelap selama satu jam. Serapan yang dihasilkan diukur dengan spektrofotometer UV-Visible pada pannjang gelombang 725 nm. Asam galat digunakan sebagai standar dengan konsentrasi 5, 10, 15, 20, 25, dan 50 mg/L. Kandungan total fenol diinterpretasikan sebagai miligram ekivalen asam galat (GAE= Galic Acid Equivalen) per 1000 gram sampel (mg GAE/1000 g sampel).


(22)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Rendemen Ekstrak Kulit Batang Api-api

Senyawa bioaktif dari kulit batang api-api didapatkan dengan proses ekstraksi. Proses ekstraksi senyawa antibakteri dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu aqueous phase dan organic phase. Ekstraksi aqueous phase dilakukan dengan pelarut air, sedangkan ekstraksi organic phase menggunakan pelarut organik. Prinsip kelarutan yaitu polar melarutkan senyawa polar, pelarut semi polar melarutkan senyawa semi polar, dan pelarut non polar melarutkan senyawa non polar (Harborne 1987).

Preparasi dari sampel segar menjadi sampel serbuk dimulai dengan sortasi untuk menghilangkan kotoran seperti tanah atau debu. Proses selanjutnya dilakukan pengeringan yang bertujuan menurunkan kadar air hingga kurang dari 10% sehingga tidak mudah busuk saat disimpan dan ekstraksi. Sampel kering kemudian dihaluskan menjadi serbuk. Hal ini dilakukan untuk memperluas permukaan kontak sampel dengan pelarut agar proses ekstraksi lebih efektif.

Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi yaitu merendam sampel dalam pelarut dengan perbandingan sampel kulit batang api-api dan volume pelarut yaitu 1:3 (b/v). Menurut Ubulom et al. (2011) maserasi dilaporkan menghasilkan rendemen yang kecil dibandingkan metode ekstraksi yang lain, namun metode maserasi tidak membutuhkan pemanasan. Berdasarkan hal tersebut pemilihan maserasi sebagai metode ekstraksi dapat mencegah kerusakan senyawa yang kurang tahan panas pada penelitian ini. Pelarut yang digunakan terdiri dari tiga jenis yaitu metanol untuk mewakili pelarut polar, etil asetat untuk pelarut semi polar dan n-heksan sebagai pelarut non polar. Penggunaan ketiga pelarut ini bertujuan untuk mengekstrak komponen bioaktif dalam kulit batang api-api sesuai dengan tingkat kepolarannya sehingga zat aktif dapat diekstrak secara optimal pada salah satu pelarut yang digunakan.

Proses maserasi dilakukan dengan modifikasi menjadi dua cara yaitu maserasi partisi dan maserasi bertingkat. Maserasi partisi meliputi ekstraksi padat-cair dan ekstraksi cair-cair. Proses ekstraksi tersebut dilakukan dengan metode maserasi (ekstraksi padat-cair) yang dilanjutkan dengan partisi cair-cair.


(23)

Pada proses partisi cair-cair akan terbentuk dua fase karena perbedaan kelarutan. Ekstrak dari ketiga jenis pelarut tersebut menghasilkan karakteristik yang berbeda. Ekstrak metanol berwarna hijau kehitaman dengan tekstur cukup halus, berbeda dengan ekstrak n-heksan yang bertekstur kasar. Ekstrak etil asetat berwarna cokelat dan menggumpal. Hasil ekstraksi maserasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Ekstrak hasil maserasi partisi

Maserasi bertingkat dilakukan dengan ekstraksi padat-cair. Maserasi dilakukan secara bertahap dengan pelarut n-heksan, kemudian etil asetat dan terakhir metanol. Hal ini dilakukan untuk langsung memisahkan senyawa non polar dan semi polar terlebih dahulu. Umumnya pelarut metanol dapat melarutkan sebagian senyawa non polar dan semi polar. Hasil ekstraksi maserasi bertingkat dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Ekstrak hasil maserasi bertingkat

Ekstrak dari hasil maserasi bertingkat memiliki karakteristik yang berbeda dengan ekstrak hasil maserasi partisi. Esktrak metanol pada maserasi bertingkat


(24)

menghasilkan warna kuning kehitaman, ekstrak etil asetat berwarna hijau sedangkan ekstrak n-heksan berwarna kuning dan lengket.

Gambar 8 Rendemen ekstrak kasar kulit batang api-api metanol etil asetat n-heksan

Rendemen ekstrak kulit batang api-api yang diekstraksi dengan metanol menunjukkan jumlah yang paling tinggi, dari kedua metode maserasi yang dilakukan. Nilai rendemen ekstrak kulit batang api-api pada maserasi partisi menggunakan metanol, etil asetat dan n-heksan secara berturut-turut yaitu 7,256%, 1,647% dan 0,273%. Hasil dari ekstraksi maserasi bertingkat menunjukkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi yaitu metanol sebesar 8,017%, diikuti dengan n-heksan sebesar 0,444% dan etil asetat sebesar 0,386%.

Berdasarkan Gambar 8 diketahui bahwa rendemen ekstrak kasar kulit batang api-api tertinggi diperoleh dari pelarut metanol, mengindikasikan bahwa senyawa-senyawa bioaktif pada kulit batang api-api cenderung larut pada pelarut metanol. Komponen bioaktif semi polar dan non polar terhitung sedikit sehingga rendemen ekstrak kasar etil asetat dan n-heksan yang dihasilkan bernilai kecil. Hasil serupa diperoleh dari penelitian Fitrial et al. (2008) yang mengekstrak biji teratai menggunakan tiga pelarut yaitu etanol, etil asetat dan n-heksan. Penelitian

7,256

8,017

1,647

0,386

0,273 0,444

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ekstraksi maserasi partisi Ekstraksi maserasi bertingkat

Rend

em

en

(%


(25)

tersebut menunjukkan rendemen tertinggi diperoleh dari pelarut polar (etanol). Nurhayati et al. (2010) dalam penelitiannya mengenai aktivitas inhibitor protease ekstrak karang lunak, melaporkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi dihasilkan oleh metanol, jauh melebihi rendemen ekstrak dari etil asetat dan n-heksan.

Metanol dikenal sebagai pelarut universal dan termasuk dalam golongan alkohol. Alkohol adalah pelarut serbaguna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan untuk mengekstraksi habis senyawa bioaktif. Pelarut yang bersifat polar seperti metanol mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam amino, dan glikosida (Harborne 1987).

4.2 Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kulit Batang Api-Api (Avicennia marina)

Uji aktivitas antimikroba ekstrak kasar metanol, etil asetat dan n-heksan kulit batang api-api dari hasil maserasi partisi dan maserasi bertingkat dilakukan terhadap bakteri dan fungi patogen. Bakteri uji yang digunakan yaitu Staphylococcus aureus untuk mewakili bakteri Gram-positif dan Escherichia coli untuk mewakili Gram-negatif, sedangkan fungi uji yang digunakan yaitu khamir (Candida albicans) dan kapang (Microsporum gypseum).

Tiap ekstrak dari masing-masing pelarut diujikan dengan tiga jumlah ekstrak per sumur yang berbeda. Kontrol positif yang digunakan untuk bakteri adalah kloramfenikol dengan jumlah 0,3 µg/sumur dan untuk fungi adalah ketoconazol dengan jumlah 0,3 µg/sumur. Kontrol negatif yang digunakan yaitu pelarut yang sesuai dengan ekstraknya. Hasil pengujian aktivitas antimikroba ekstrak kulit batang api-api disajikan pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa ekstrak etil asetat kulit batang api-api dari maserasi partisi dan maserasi bertingkat memiliki diameter zona hambat terbesar. Ekstrak etil asetat kulit batang api-api maserasi partisi hanya memiliki aktivitas antimikroba terhadap S. aureus, sedangkan esktrak etil asetat kulit batang api-api maserasi bertingkat memiliki aktivitas antimikroba terhadap E. coli, S. aureus dan M. gypseum. Esktrak etil asetat hasil maserasi bertingkat memiliki aktivitas yang lebih tinggi daripada ekstrak etil asetat hasil maserasi partisi karena dapat menghambat pertumbuhan tiga mikroorganisme uji. Ekstrak etil asetat hasil maserasi bertingkat pada jumlah yang lebih kecil (1 µg/sumur) sudah menunjukkan aktivitas antimikroba dibandingkan dengan eksrak etil asetat hasil


(26)

Tabel 1. Hasil pengujian aktivitas antimikroba ekstrak kulit batang api-api (A. marina)

Metode

ekstraksi Bakteri

Diameter zona hambat (mm) Ekstrak Metanol

(per sumur)

Ekstrak Etil asetat (per sumur)

Ekstrak N-heksan

(per sumur) Kontrol positif

Kontrol negatif

2 mg 1 mg 0,5 mg 2 mg 1 mg 0,5 mg 2 mg 1 mg 0,5 mg

Maserasi partisi

E. coli - - - 37,1 ± 0,25 -

S. aureus - - - 9,4 ± 0,15 - - - 37,5 ± 3,02 -

M. gypseum - - - -

C. albicans - - - 24,4 ± 1,27 -

Maserasi bertingkat

E. coli - - - 11,7 ± 0,40 10 ± 0,01 - - - - 55,5 ± 0,97 -

S. aureus - - - 19,6 ± 0,58 14,6 ± 0,58 - - - - 52,4 ± 4,78 - M. gypseum - - - 12,3 ± 2,52 10,3 ± 1,53 - - - - 23,0 ± 1,56 -

C.albicans - - - 39,8 ± 3,27 -

Keterangan:

Kontrol + bakteri : kloramfenikol Kontrol + fungi : ketoconazol Kontrol - metanol : metanol Kontrol - etil asetat : etil asetat Kontrol - n-heksan : n-heksan


(27)

partisi dimana aktivitas antimikroba ditunjukkan pada jumlah 2 µg/sumur, sebaliknya ekstrak metanol dan n-heksan tidak memiliki aktivitas terhadap keempat mikroorganisme uji.

Zona hambat yang ditunjukkan oleh ekstrak etil asetat maserasi partisi yaitu sebesar 5-10 mm. Hal ini menunjukkan kekuatan senyawa antimikroba yang sedang. Kekuatan antibakteri ekstrak etil asetat kulit batang api-api hasil maserasi bertingkat tergolong kuat (diameter zona hambat 10-20 mm). Kloramfenikol dan ketoconazol sebagai kontrol positif, menunjukkan aktivitas antibakteri yang sangat kuat karena memiliki zona hambat lebih dari 20 mm. Menurut Davis dan Stout (1971), ketentuan kekuatan antibiotik-antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm (kuat), daerah hambatan 5-10 mm (sedang), dan daerah hambatan 5 mm atau kurang (lemah).

Berdasarkan Tabel 1, ekstrak etil asetat yang memiliki aktivitas antimikroba terbaik dibandingkan ekstrak lainnya. Kemampuan antimikroba senyawa semi polar yang terlarut dalam etil asetat diduga berkaitan dengan komponen dinding sel bakteri. Menurut Fitrial et al. (2008) dinding sel bakteri tidak bersifat absolut hidrofobik maupun absolut hidrofilik, begitu pula senyawa semi polar diketahui memiliki dua sifat kelarutan yaitu hidrofilik dan lipofilik. Senyawa semi polar dapat lebih baik berinteraksi dengan dinding sel bakteri karena sifat tersebut. Sifat hidrofilik diperlukan untuk menjamin senyawa dapat larut dalam fase air yang merupakan tempat hidup mikroba dan senyawa yang bekerja pada membran sel yang hidrofobik memerlukan sifat lipofilik.

Etil asetat mampu mengestrak senyawa fenol dan terpenoid/steroid (Harborne 1987). Kedua senyawa tersebut diduga terdapat dalam ekstrak etil asetat sehingga berperan dalam aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat. Angeh et al. (2007) melaporkan bahwa senyawa triterpenoid dari daun Crobretum padoides memiliki aktivitas antibakteri tanpa aktivitas sitotoksik. Haq et al. (2011) dalam penelitiannya mengenai aktivitas antimikroba dan antioksidan mangrove Bruguiera gymnorrhiza, melaporkan bahwa senyawa fenolik memiliki aktivitas antimikroba terhadap beberapa bakteri.


(28)

Ekstrak kasar metanol tidak menunjukkan aktivitas antibakteri dan antifungi terhadap keempat mikroorganisme uji. Metanol merupakan pelarut universal yang dapat melarutkan hampir sebagian besar komponen senyawa bioaktif. Senyawa-senyawa pada ekstrak metanol terdiri atas senyawa antimikroba dan senyawa bukan antimikroba. Pada pengujian aktivitas antimikroba, jumlah ekstrak yang digunakan dari masing-masing ekstrak sama besar. Pada jumlah tersebut diduga jumlah senyawa antimikroba lebih sedikit daripada senyawa bukan antimikroba pada ekstrak metanol, jika dibandingkan dengan ekstrak lain. Akibatnya aktivitas terhadap bakteri dan fungi tidak terlihat. Pelarut metanol dapat melarutkan sebagian besar senyawa bioaktif beserta gula, asam amino, dan glikosida (Harborne 1987). Senyawa-senyawa tersebut diduga terdapat dalam ekstrak metanol.

Ekstrak n-heksan tidak memiliki aktivitas antimikroba yang ditunjukkan oleh tidak terbentuknya zona hambat pertumbuhan pada keempat mikroorganisme

uji. Pelarut n-heksan merupakan pelarut yang bersifat non polar. Ekstrak n-heksan. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa ekstrak yang memiliki aktivitas

antibakteri bukan termasuk kelompok senyawa non polar.

Pengujian aktivitas antibakteri terhadap S. aureus menunjukkan zona hambat yang lebih besar bila dibandingkan dengan E. coli. Hal tersebut menunjukkan bahwa bakteri positif lebih sensitif daripada bakteri Gram-negatif terhadap senyawa antimikroba pada penelitian ini. Kesensitifan terhadap antimikroba diduga disebabkan oleh perbedaan komponen dinding sel kedua jenis bakteri.

Bakteri Gram-positif lebih sensitif daripada bakteri Gram-negatif terhadap antibiotik, walaupun beberapa antibiotik hanya bekerja pada bakteri Gram-negatif (Brock dan Madigan 1991). Komponen penyusun dinding sel bakteri Gram-positif hanya terdiri asam teikhik dan lapisan peptidoglikan. Dinding sel bakteri Gram-negatif jauh lebih komleks dan lebih banyak dari bakteri Gram-positif, yaitu membran luar, porin, lipopolisakarida, lipoprotein, lapisan peptidoglikan dan ruang periplasma (Coyle 2005). Nikaido dan Vaara (1985) menyatakan bahwa struktur lipopolisakarida yang berada pada membran fosfolipid juga membuat dinding sel menjadi tidak dapat ditembus molekul lipofilik. Bakteri Gram-positif


(29)

hanya memiliki bagian luar berupa lapisan peptidoglikan yang lebih rentan sehingga menjadi penghalang yang tidak efektif.

Pada pengujian aktivitas antifungi, ekstrak etil asetat pada maserasi bertingkat menunjukkan aktivitas antifungi terhadap M. gypseum dan terhadap C. albicans tidak ada aktivitas. Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat kulit batang api-api hasil maserasi bertingkat efektif menghambat pertumbuhan fungi M. gypseum namun tidak efektif terhadap C. albicans. Pernyataan ini didukung oleh Shukla et al. (2011), bahwa senyawa yang memiliki aktivitas fungisidal terhadap fungi tertentu bisa jadi tidak efektif terhadap patogen lain. Menurut LaFleur (2011) C. albicans membentuk komunitasnya dengan membentuk ikatan koloni yang disebut biofilm. Biofilm C. albicans terbentuk ketika satu sel melekat pada permukaan benda dan tumbuh menjadi mikrokoloni, menyatu dan menghasilkan struktur komplek tiga dimensi yang diikat bersama oleh hifa dan matrik exopolimer. Biofilm berisi campuran dari khamir, hifa dan pseudohifa. Biofilm tersebut dapat berfungsi sebagai pelindung, sehingga mikroba yang membentuk biofilm biasanya mempunyai resistensi terhadap antimikroba biasa. Hal ini menjadi penyebab ekstrak kasar kulit batang api-api tidak memiliki aktivitas antifungi terhadap C. albicans pada penelitian ini.

Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh senyawa antimikroba bermacam-macam. Mekanisme penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri dapat berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat pembentukannya atau mengubah struktur dinding sel setelah selesai terbentuk, perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan keluarnya bahan makanan dari dalam sel, perubahan molekul protein dan asam nukleat, penghambatan kerja enzim, dan penghambatan sintesis asam nukleat dan protein (Pelczar dan Chan 1986). Mekanisme senyawa antifungi dalam menghambat pertumbuhan fungi meliputi peningkatan permeabilitas membran sel, menghambat enzim sitokrom P450 yang dibutuhkan untuk sintesis membran sel,

dan menghambat metafase pada siklus sel (Dudek 1950).

Suatu senyawa antimikroba umumnya dapat bekerja secara efektif terhadap bakteri maupun fungi. Pada beberapa kasus senyawa antimikroba hanya


(30)

mampu bekerja pada bakteri atau fungi saja. Perbedaan komponen dinding sel kedua jenis mikroorganisme tersebut diduga menjadi penyebabnya.

Komponen utama dinding sel bakteri adalah peptidoglikan sedangkan

dinding sel fungi tersusun atas khitin dan selulosa atau glukan (Pelczar dan Chan 1986). Senyawa antibakteri umumnya mengandung fenol,

lakohol, halogen, logam berat, detergen dan aldehid. Senyawa fenol merupakan senyawa yang paling banyak digunakan untuk antibakteri (Madigan 2006). Fenol dapat merusak membran sel bakteri dengan cara mengkoagulasikan protein (Waluyo 2008). Senyawa antimikroba yang mengandung enzim khitinase akan dapat bekerja pada fungi. Reyes-Ramirez et al. (2004) melaporkan bahwa enzim khitinase memiliki aktivitas antifungi terhadap 11 strain fungi fitopatogen. Menurut Herdyastuti et al. (2009) enzim khitinase mampu mendegradasi khitin. Khitin dapat didegradasi dalam dua jalur, yaitu degradasi oleh mekanisme kitinolitik yag menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosida atau polimer mengalami deasetilasi pertama yang selanjutnya dihidrolisis oleh kitosanase.

Kontrol positif yang digunakan, baik kloramfenikol maupun ketoconazol menunjukkan aktivitas bakteri yang kuat, dilihat dari zona hambat yang terbentuk (lebih besar dari 20 mm). Kloramfenikol dan ketoconazol menunjukkan aktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak etil asetat kulit batang api-api pada penelitian ini. Esekhiagbe et al. (2009) melaporkan bahwa, umumnya komponen senyawa bioaktif murni menunjukkan potensi aktivitas antimikroba yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak kasar.

Kloramfenikol sering digunakan dalam kemoterapi sebagai bakteriostatik yang kuat (Schlegel dan Schmidt 1994). Senyawa tersebut diketahui aktif terhadap sejumlah bakteri Gram-positif dan Gram-negatif (Waluyo 2008). Mekanisme kerja kloramfenikol yaitu zat ini terikat pada sisi tertentu ribosom dan mengganggu pembentukan ikatan peptida pada bakteri dan sel prokariot lainnya, tetapi tidak pada ribosom eukariot (Fardiaz 1989).

Ketoconazol yang secara luas digunakan sebagai obat dermatofit (penyakit yang disebabkan oleh fungi), efektif diberikan secara oral. Ketoconazol dapat diabsorpsi dengan baik pada usus, terdistribusi secara luas dalam jaringan. Ketoconazol termasuk dalam kelompok imidazol. Mekanisme aksi ketoconazol


(31)

adalah mengganggu enzim oksidatif fungi sehingga menyebabkan akumulasi mematikan dari hidrogen peroksida, dan mengurangi formasi ergosterol (unsur pokok dalam sel fungi) sehingga membuat dinding selnya permeable terhadap komponen dari luar sel (Laurence dan Bennet 1992)

Kontrol negatif yang merupakan pelarut dari masing-masing ekstrak tidak menunjukkan zona hambat terhadap mikroorganisme uji. Hal ini membuktikan bahwa zona hambat yang terbentuk tidak dipengaruhi oleh jenis pelarut, walaupun metanol dapat bersifat desinfektan. Zona hambat yang terbentuk tidak lain berasal dari senyawa antibakteri yang terdapat pada ekstrak.

Tidak semua senyawa antimikroba efektif bekerja pada semua mikroba. Beberapa mikroba resisten terhadap antimikroba (Brock dan Madigan 1991). Aktivitas antimikroba dari senyawa bioaktif bergantung pada beberapa faktor yaitu pH lingkungan, komponen medium, stabilitas senyawa antimikroba, ukuran

inokulum, lama inkubasi, dan aktivitas metabolism mikroorganisme (Jawetz et al. 1960).

Hasil terbaik pada tahap pengujian aktivitas antimikroba ditunjukkan oleh ekstrak etil asetat hasil maserasi bertingkat. Ekstrak tersebut menghasilkan zona hambat terbesar dibandingkan ekstrak lainnya. Ekstrak etil asetat hasil maserasi bertingkat selanjutnya digunakan untuk analisis berikutnya.

4.3 Minimum Inhibitory Concentration (MIC)

Minimum Inhibitory Concentration merupakan konsentrasi terendah dari suatu zat antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Suatu zat dapat dikatakan mempunyai aktivitas yang tinggi apabila dengan konsentrasi yang rendah tetapi mempunyai daya hambat yang besar (Coyle 2005).

Pengujian MIC dilakukan dengan metode dilusi cair menggunakan ekstrak kulit batang api-api yang memiliki aktivitas antibakteri terbaik yaitu ekstak etil asetat hasil maserasi bertingkat. Nilai MIC diketahui berdasarkan konsentrasi senyawa antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme uji setelah inkubasi 24 jam. Pertumbuhan mikroorganisme bersifat subyektif berdasarkan kekeruhan yang dilihat pada media cair. Hasil uji MIC dilusi cair disajikan pada Tabel 2.


(32)

Tabel 2. Hasil uji MIC dilusi cair ekstrak etil asetat (ekstraksi bertingkat) Konsentrasi

ekstrak (mg/mL) E. coli S. aureus M. gypseum C. albicans

2 + - + +

1,5 + - + +

1 + - + +

0,9 + - + +

0,8 + - + +

0,7 + - + +

0,6 + + + +

0,5 + + + +

Keterangan

- : jernih (tidak ada pertumbuhan) + : keruh (ada pertumbuhan)

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa ekstrak etil asetat kulit batang api-api hasil maserasi bertingkat memiliki nilai MIC yang berbeda-beda. Bakteri S. aureus memiliki nilai 0,7 mg/mL sedangkan ketiga mikroba lain yaitu E. coli, C albicans dan M. gypseum memiliki nilai MIC lebih besar dari 2 mg/mL. Pada inkubasi selama 24 jam, ekstrak etil asetat tidak memiliki aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan E. coli, C albicans dan M. gypseum. Pengamatan setiap jam menunjukkan aktivitas penghambatan hanya berlangsung selama beberapa jam setelah mikroba tumbuh pada media yang tidak diberi ekstrak (kontrol). Penghambatan pertumbuhan E. coli oleh semua ekstrak berlangsung selama 2 jam setelah bakteri tersebut tumbuh dalam media kontrol. Penghambatan

pertumbuhan fungi M. gypseum dan C. albicans oleh ekstrak terendah (0,5 mg/mL) berlangsung selama 2 jam setelah fungi tumbuh dalam media

kontrol, dan penghambatan oleh ekstrak tertinggi (2 mg/mL) berlangsung selama 5 jam. Berdasarkan data tersebut, ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antimikroba yang bersifat bakteriostatik atau fungistatik.

Senyawa antimikroba dikatakan berspektrum luas apabila dapat menghambat pertumbuhan banyak jenis mikroba termasuk kelompok bakteri Gram-negatif dan Gram-positif, serta fungi. Senyawa antibakteri dikatakan berspektrum sempit apabila hanya menghambat pertumbuhan sedikit jenis mikroba (Brock dan Madigan 1991). Pada penelitian ini dapat dikatakan bahwa ekstrak etil asetat kulit batang api-api hasil maserasi bertingkat memiliki spektrum

yang sempit karena hanya menghambat pertumbuhan satu mikroba yaitu S. aureus.


(33)

Nilai MIC tidak selalu konstan terhadap setiap senyawa antibakteri yang diberikan, hal ini bervariasi berdasarkan organisme uji, ukuran inokulum, komposisi media kultur, waktu inkubasi, serta kondisi inkubasi itu sendiri yakni suhu, aerasi dan pH (Madigan et al. 2006). Berdasarkan pengujian MIC pada penelitian ini diketahui bahwa S. aureus merupakan bakteri yang paling rentan terhadap senyawa antimikroba.

S. aureus termasuk golongan bakteri Gram-positif yang tidak memiliki membran luar dan struktur dinding selnya sederhana (Coyle 2005). Hal tersebut diduga menjadi penyebab kerentanan dari S. aureus terhadap senyawa antimikroba. Menurut Nikaido dan Vaara (1985) lapisan membran luar menambah resistansi pada bakteri dan mampu manghindari serangan zat antimikroba.

Hasil MIC dari jenis mangrove lain menunjukkan hasil yang berbeda. Mukesh et al. (2012) melaporkan bahwa pengujian MIC terhadap E.coli, S. aureus dan S. typhi oleh ekstrak etanol Rhizophora mucronata menunjukkan konsentrasi pengahmbatan terendah (0,5 mg/mL). Pengujian MIC oleh ekstrak Rhizophora apiculata terhadap S. aureus dan C. albicans menunjukkan nilai MIC sebesar 1 mg/mL.

Hasil MIC pada penelitian ini menunjukkan aktivitas yang lebih lemah jika dibandingkan dengan uji aktivitas antimikroba. Pada uji aktivitas antimikroba, ekstrak etil asetat maserasi bertingkat dapat menghambat tiga mikroba uji, sedangkan pada uji MIC ekstrak tersebut hanya efektif pada satu mikroba uji. Perbedaan media uji yang digunakan diduga menjadi penyebab hal ini. Ekstrak etil asetat tidak mampu terlarut sempurna pada media cair yang menjadi media uji MIC, karena perbedaan kelarutan antara ekstrak dan media. Akibatnya aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat hasil maserasi bertingkat tidak optimal. Media agar yang digunakan pada uji aktivitas antimikroba juga bersifat polar seperti, sama media cair. Hal tersebut menyebabkan ekstrak tidak dapat berdifusi pada media agar, namun penempatan ekstrak dalam lubang berdiameter 6 mm pada media agar memungkinkan kekuatan aktivitas antimikrobanya lebih baik daripada ekstrak pada media cair. Ekstrak pada media agar hanya akan


(34)

bekerja pada luasan lubang di media tersebut, sedangkan ekstrak pada media cair akan bekerja di seluruh media cair yang luasannya lebih besar.

4.4 Senyawa Fitokimia

Uji fitokimia dilakukan terhadap ekstrak yang menunjukkan aktivitas antibakteri terbaik pada uji sebelumnya, yaitu ekstrak etil asetat hasil maserasi bertingkat. Pengujian fitokimia dilakukan untuk menentukan senyawa yang bertanggung jawab atas aktivitas antibakteri pada ekstrak etil asetat kulit batang api-api. Senyawa bioaktif yang diuji hanya terbatas pada senyawa yang berpotensi memiliki aktivitas antimikroba yaitu alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, fenol hidrokuinon, saponin dan tanin. Hasil uji fitokimia dapat dilihat pada Tabel 3 dan Lampiran 3.

Tabel 3. Hasil identifikasi kandungan fitokimia ekstrak etil asetat kulit batang api-api (A. marina) hasil maserasi bertingkat

Uji fitokimia Hasil uji (warna)

Keterangan Standar (warna) a. Alkaloid Wagner Meyer Dragendorff (-) (-) (-) Tidak terbentuk endapan Endapan cokelat

Endapan putih kekuningan Endapan merah sampai jingga

b. Steroid/Triterpenoid (+) Biru Merah menjadi biru atau hijau

c. Flavonoid (-) Hijau (ekstrak

tidak larut)

Merah, kuning/jingga pada lapisan amil alkohol

d. Saponin (-) Tidak terbentuk

busa

Terbentuk busa stabil selama 30 menit

e. Fenol hidrokuinon (+) Kehijauan Hijau / hijau biru

f. Tanin (-) Jingga Biru kehitaman

Keterangan (+) : terdeteksi (-) : tidak terdeteksi

Tabel 3 menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat kulit batang api-api hasil maserasi bertingkat memiliki kandungan senyawa steroid/triterpenoid dan fenol. Steroid/triterpenoid positif berada dalam ekstrak etil asetat, dilihat dari kepekatan warna hijau yang terbentuk. Uji penentuan senyawa steroid dan triterpenoid didasarkan pada reaksi Liebermann-Burchard, dimana warna hijau atau biru akan terbentuk jika terdapat senyawa tersebut. Fenol hidrokuinon terdapat pada ekstrak etil asetat, ditunjukkan dengan warna kehijauan. Keberadaan senyawa fenol dan


(35)

steroid/triterpenoid pada ekstrak etil asetat mengindikasikan bahwa kedua senyawa tersebut berperan dalam aktivitas antimikroba.

Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa mulai dari komponen minyak atsiri yaitu monoterpena dan seskuiterpena yang mudah menguap, diterpena yang lebih sukar menguap, hingga senyawa yang tidak menguap yaitu triterpenoid dan sterol. Triterpenoid dapat dipilah menjadi triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung. Steroid merupakan salah satu kelompok senyawa dari triterpenoid. Steroid adalah senyawa yang berbentuk padatan kristal yang memiliki warna putih dan dapat berbentuk jarum kecil, lembaran, lempengan atau partikel amorf tergantung pelarut yang digunakan dalam proses kristalisasi (Harborne 1987).

Beberapa penelitian sebelumnya sudah menunjukkan adanya senyawa steroid dan triterpenoid pada tumbuhan api-api (A. marina). Zhu et al. (2009) melaporkan bahwa steroid dan triterpenoid ditemukan pada kulit batang, daun, bunga dan buah A. marina. Penelitian yang dilakukan oleh Yusuf (2010) berhasil mengisolasi dan menentukan struktur molekul senyawa triterpenoid dari kulit batang api-api. Ravikumar et al. (2011) pada penelitiannya tentang antimikroba, menyatakan bahwa A. marina mengandung terpenoid.

Senyawa triterpenoid dan steroid dalam ekstrak etil asetat kulit batang api-api diduga memiliki aktivitas antimikroba. Pernyataan ini didukung oleh Kiplimo et al. (2011) yang melaporkan aktivitas antimikroba dari senyawa triterpenoid terhadap beberapa jenis bakteri.

Senyawa triterpenoid dan steroid diketahui memiliki aktivitas antimikroba (Doughari 2012). Mekanisme aksi senyawa triterpenoid terutama adalah mengganggu kekuatan membran sel fungi (Ahmad et al. 2010). Triterpenoid dapat menyebabkan kerusakan integritas membran dengan cara membentuk komplek dengan sterol pada membran fungi (Dudek 1950). Menurut Cowan (1999), mekanisme penghambatan bakteri oleh senyawa steroid/triterpenoid diduga dengan cara merusak membran sel bakteri.

Fenol merupakan metabolit sekunder dari tumbuhan yang cenderung mudah larut air. Hal tersebut disebabkan oleh fenol yang sering berikatan dengan gula sebagai glikosida. Beberapa golongan bahan polimer penting dalam


(36)

tumbuhan seperti tanin adalah senyawa polifenol dan kadang satuan fenolik dijumpai pada protein, alkaloid dan diantara terpenoid (Harborne 1987). Bandaranayake (2002) menyebutkan bahwa senyawa fenolik dapat ditemukan pada mangrove, termasuk pada A. marina.

Senyawa aktif lain yang mendukung kemampuan antibakteri ekstrak etil asetat pada penelitian ini yaitu senyawa fenolik. Senyawa fenolik terbukti memiliki aktivitas antimikroba. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Haq et al. (2011) yang mengekstrak senyawa fenolik dari Bruguiera gymnorrhiza, fenol terbukti memiliki aktivitas antioksidan dan antimikroba.

Senyawa fenol mampu mengkoagulasikan protein dan merusak membran sel dengan cara menurunkan tegangannya (Waluyo 2008). Cowan (1999) melaporkan bahwa mekanisme aktivitas antimikroba dari fenol meliputi adsorpsi dan gangguan pada membran mikroba, interaksi dengan enzim dan substrat, serta penghilangan besi. Maris (1995) menyatakan bahwa fenol bekerja secara spesifik pada membran sel dan enzim intrasitoplasma dengan cara membentuk kompleks yang tidak stabil.

Salah satu target penting dari senyawa antibakteri adalah dinding sel (Brock dan Madigan 1991). Kemampuan fenol dalam mengendapkan atau mendenaturasi protein dapat menggangu dinding sel bakteri yang tersusun dari

protein. Komponen utama dinding sel bakteri adalah peptidoglikan (Pelczar dan Chan 1986).

Alkaloid adalah salah satu kelompok metabolit sekunder yang paling penting berdasarkan jumlahnya pada tumbuhan dan aktivitas farmakologinya. Umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya merupakan bagian dari sistem siklik. Banyak alkaloid bersifat terpenoid (Harborne 1987). Menurut Perez-Amador et al. (2007) senyawa ini tersebar luas pada tumbuhan yang dipengaruhi oleh lokasi tumbuh tanaman dan kondisi lingkungan. Ravikumar et al. (2011) menemukan ekstrak etanol daun A. marina mengandung alkaloid. Pada penelitian ini, senyawa alkaloid tidak terdeteksi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada senyawa alkaloid tidak larut pada etil asetat.


(37)

Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan (Harborne 1987). Pada penelitian Ravikumar et al. (2011) ditemukan bahwa flavonoid terkandung dalam jumlah banyak pada ekstrak etanol daun A. marina, namun pada penelitian ini tidak terdeteksi. Flavonoid bersifat larut air sehingga diduga kelarutannya kecil dalam etil asetat (semi-polar) yang mengakibatkan tidak terdeteksinya senyawa ini pada ekstrak etil asetat kulit batang api-api hasil maserasi bertingkat.

Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Harborne 1987). Menurut Francis et al. (2001) nama saponin berasal dari kemampuannya untuk berbentuk busa mirip sabun yang stabil dalam larutan encer. Pada uji fitokimia (Tabel 3) tidak terdeteksi senyawa saponin dalam ekstrak etil asetat kulit batang api-api hasil maserasi bertingkat yang ditandai dengan tidak terbentuknya busa pada larutan. Hasil serupa didapat oleh Abeysinghe et al. (2006) yang melaporkan tidak ditemukannya saponin pada ekstrak daun A. marina.

Menurut Cowan (1999), tanin secara umum ditemukan pada semua bagian tumbuhan. Tanin dibagi dalam dua kelompok yaitu tanin hidrolisis dan tanin kondensasi. Clinton (2009) menyatakan bahwa tanin memiliki fungsi perlindungan pada kulit di batang dan akar, atau lapisan luar lain pada tumbuhan. Senyawa ini membentuk kompleks yang kuat dengan protein, pati dan makromolekul lain.

Tumbuhan mangrove diketahui memiliki kandungan tanin yang tinggi, hal ini didukung oleh penelitian Hong et al. (2011) yang mengekstrak tanin hidrolisis dari mangrove Rhizopora apiculata. Senyawa tanin tidak terdeteksi dalam ekstrak etil asetat kulit batang api-api hasil maserasi bertingkat pada uji fitokimia.

Penggunaan jaringan kering untuk ekstraksi tanin akan menyebabkan hasil tanin yang agak berkurang karena terjadinya pelekatan tanin pada tempatnya di dalam sel. Umumnya tanin dapat terekstrak dengan asam panas (Harborne 1987). Pengeringan kulit batang api-api sebelum ekstraksi pada penelitian ini


(38)

menyebabkan senyawa tanin melekat pada jaringan sehingga sulit terekstrak oleh etil asetat pada suhu ruang yang menyebabkan senyawa tanin tidak terdeteksi. 4.5 Kandungan Total Fenol

Fenol pada awalnya digunakan sebagi germisida pada ruang bedah untuk mencegah timbulnya infeksi paskabedah. Pada konsentrasi yang rendah (2-4%), daya bunuhnya disebabkan fenol mempresipitasikan protein secara aktif dan merusak membran sel dengan cara menurunkan tegangan permukaannya. Fenol merupakan standar pembanding untuk menentukan aktivitas atau khasiat dari suatu desinfektan (Waluyo 2008).

Pengetahuan mengenai kandungan fenol yang ada pada kulit api-api sangat penting karena fenol merupakan salah satu senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba. Pengujian senyawa fitokimia ekstrak terpilih yaitu ekstrak etil asetat dari hasil maserasi bertingkat menunjukkan adanya senyawa fenol hidrokuinon sehingga dilakukan uji total fenol untuk mengetahui kuantitas dari senyawa fenol yang terdapat pada ekstrak etil asetat hasil maserasi bertingkat. Total fenol diuji menggunakan metode Follin-Ciocalteu dengan standar asam galat. Total fenol yang terkandung pada ekstrak yang diuji dihitung berdasarkan standar asam galat dan disajikan dalam ekuivalen asam galat (GAE) per gram sampel kering. Kurva standar asam galat dapat dilihat pada Lampiran 3.

Nilai total fenol diperoleh dari pengukuran nilai absorban dan perhitungan menggunakan persamaan regeresi linear asam galat. Kandungan total fenol yang terdapat pada ekstrak etil asetat kulit batang api-api yang dimaserasi secara bertingkat sebesar 177,023 mg GAE/1000 g sampel. Nilai ini lebih sedikit bila dibandingkan penelitian terhadap kulit batang mangrove sebelumnya yang dilakukan oleh Haq et al. (2011). Pada penelitian tersebut, total fenol ekstrak metanol kulit batang Bruguiera gymnorhiza sebesar 268,47 mg GAE/g sampel. Hal ini diduga disebabkan oleh senyawa fenol yang lebih larut pada metanol. Fenol cenderung larut pada pelarut polar (Harborne 1987).

Menurut Maris (1995) fenol bekerja secara spesifik pada membran sel, dan menginaktifkan enzim intrasitoplasma dengan cara membentuk kompleks tak stabil. Molekul lipofilik akan terperangkap pada membran fosfolipid. Proses


(39)

tersebut meliputi pelepasan komponen sel ke lingkungan, mendenaturasi protein bakteri dan memecah membran sel.

Fenol menyerang lapis batas sel dan merusak semipermeabilitas membran sitoplasma (Schlegel dan Schmidt 1994). Pada konsentrasi tinggi, fenol dengan cepat merusak dinding sel dan membran, serta mengendapkan protein. Senyawa fenol pada konsentrasi rendah akan menginaktifkan sistem enzim tertentu (Cowan dan Talaro 2009).


(40)

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Perbedaan penggunaan pelarut dalam proses ekstraksi berpengaruh pada hasil rendemen ekstrak kasar kulit batang api-api yang dihasilkan. Rendemen ekstrak kulit batang api-api dari hasil maserasi partisi yang terbesar adalah ekstrak metanol, diikuti dengan etil asetat dan n-heksan. Sementara itu rendemen ekstrak kulit batang api-api tertinggi dari hasil maserasi bertingkat adalah metanol, diikuti dengan n-heksan dan etil asetat.

Aktivitas antimikroba terbaik didapatkan dari ekstrak etil asetat kulit batang api-api hasil maserasi bertingkat karena mampu menghambat pertumbuhan tiga mikroorganisme uji yaitu E. coli, S. aureus, dan M. gypseum namun tidak dapat menghambat pertumbuhan C. albicans. Kekuatan aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat terhadap E. coli, S. aureus, dan M. gypseum tergolong kuat (diameter zona hambat 10-20 mm). Nilai MIC ekstrak etil asetat terhadap S. aureus yaitu sebesar 0,7 mg/mL. Pada konsentrasi 2 mg/mL ekstrak etil asetat tidak mampu menghambat pertumbuhan tiga mikroorganisme uji lain yaitu E. coli, C. albicans, dan M. gypseum.

Senyawa fitokimia yang terkandung dalam ekstrak etil asetat kulit batang api-api hasil maserasi bertingkat yaitu steroid/triterpenoid dan fenol hidrokuinon. Kedua senyawa tersebut berperan dalam mendukung kemampuan antimikroba ekstrak etil asetat maserasi bertingkat. Kandungan total fenol ekstrak tersebut sebesar 177,023 mg GAE/1000 g sampel. Senyawa fenol ini bertanggung jawab terhadap aktivitas antimikroba karena memiliki kemampuan merusak jaringan sel mikroba.

5.2 Saran

Perlu dilakukan fraksinasi dan pemurnian ekstrak etil asetat kasar sehingga didapatkan senyawa yang aktivitas antimikrobanya lebih kuat. Saran lainnya yaitu diperlukan pengujian antimikroba terhadap bakteri dan fungi dengan spektrum yang lebih luas.


(41)

Aktivitas Antimikroba Kulit Batang Kayu Api-api Betina

(

Avicennia marina

) terhadap Bakteri dan Fungi Patogen

secara

In Vitro

MUFIDA ELFA WINDAYU

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(1)

bertingkat

Uji fitokimia Hasil uji Standar (warna) Gambar Alkaloid

-Wagner -Meyer -Dragendorff

(-) (-) (-)

Endapan cokelat Endapan putih kekuningan Endapan merah

sampai jingga

Wagner Meyer Dragendorf

Steroid/

Triterpenoid (+++)

Merah biru atau hijau

Flavonoid (-)

Merah, kuning/jingga pada lapisan amil

alkohol

Saponin (-)

Terbentuk busa stabil selama 30

menit

Fenol hidrokuinon (+) Hjau/hijau biru


(2)

Lampiran 4 Persamaan regresi linear standar asam galat

Lampiran 5 Data rendemen ekstrak kulit batang api-api maserasi partisi Jenis

Pelarut

Ulangan Berat Sampel (g) Berat Ekstrak (g) Berat Rata-rata (g) Rendemen (%) Metanol 1 2 3 50 50 50 3.6309 3.6601 3.5927

3.6279 7.2558

Etil Asetat 1 2 3 50 50 50 0.8033 0.7583 0.9092

0.8236 1.6472

N-heksana 1 2 3 50 50 50 0.1328 0.1297 0.1467

0.1364 0.2728

a) Ekstrak Metanol

 Berat rata-rata ekstrak = = 3.6279 g

 % Rendemen ekstrak =

x 100% = 7.2558% b) Ekstrak Etil Asetat

 Berat rata-rata ekstrak = = 0.8236 g

 % Rendemen ekstrak =

x 100% = 1.6472% c) Ekstrak N-heksana

 Berat rata-rata ekstrak = = 0.1364 g

 % Rendemen ekstrak =

x 100% = 0.2728%

y = 0.0012x + 0.0099 R² = 0,9999

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

0 20 40 60 80 100 120

A b sor b an si Konsentrasi (ppm)

Asam Galat


(3)

Lampiran 6 Data rendemen ekstrak kulit batang api-api maserasi bertingkat Jenis

Pelarut

Ulangan Berat Sampel (g)

Berat Ekstrak (g)

Berat Rata-rata (g)

Rendemen (%) Metanol

1 2 3

25 25 25

2.1795 1.9141 1.9192

2.0043 8,017

Etil Asetat

1 2 3

25 25 25

0.0962 0.0970 0.0964

0.0965 0.386

N-heksana

1 2 3

25 25 25

0.1038 0.1342 0.0952

0.1111 0.444

d) Ekstrak Metanol

 Berat rata-rata ekstrak = = 2.0043 g

 % Rendemen ekstrak =

x 100% = 8.017% e) Ekstrak Etil Asetat

 Berat rata-rata ekstrak = = 0.0965 g

 % Rendemen ekstrak =

x 100% = 0.386% f) Ekstrak N-heksana

 Berat rata-rata ekstrak = = 0.1111 g

 % Rendemen ekstrak =


(4)

Lampiran 7 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak kulit batang api-api hasil maserasi partisi

Methanol etil asetat n-heksana Escherichia coli

Methanol etil asetat n-heksana Staphylococcus aureus

Methanol etil asetat n-heksana Microsporum gypseum

Methanol etil asetat n-heksana Candida albicans


(5)

Methanol etil asetat n-heksana Escherichia coli

Methanol etil asetat n-heksana Staphylococcus aureus

Methanol etil asetat n-heksana Microsporum gypseum

Methanol etil asetat n-heksana Candida albicans


(6)

RINGKASAN

MUFIDA ELFA WINDAYU

.

Aktivitas Antimikroba Kulit Batang Kayu Api-api Betina (Avicennia marina) terhadap Bakteri dan Fungi Patogen secara In Vitro. Dibimbing oleh SRI PURWANINGSIH dan KUSTIARIYAH TARMAN.

Avicennia marina (api-api betina) merupakan tumbuhan mangrove yang

sudah sejak lama dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Biji tumbuhan ini digunakan untuk penyembuh luka sedangkan kulit batangnya dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan tradisional misalnya obat sakit gigi, dan mempunyai khasiat anti fertilitas. Potensi tumbuhan mangrove jenis ini untuk bahan obat alami sangat besar karena mangrove diketahui sebagai sumber dari beberapa senyawa bioaktif. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh pelarut terhadap ekstrak senyawa bioaktif dari kulit batang api-api (Avicennia marina), menguji aktivitas antimikroba dari senyawa bioaktif yang diperoleh dan menentukan golongan senyawa bioaktif yang bertanggung jawab atas aktivitas antimikroba.

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu koleksi dan preparasi sampel, ekstraksi komponen bioaktif, uji aktivitas antimikroba, uji Minimum

Inhibitory Concentration (MIC), uji fitokimia dan uji kandungan total fenol.

Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi partisi dan maserasi bertingkat menggunakan pelarut metanol, etil asetat dan heksana. Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus,

Candida albicans dan Microsporum gypseum.

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi dihasilkan dari ekstraksi dengan pelarut metanol. Nilai rendemen ekstrak kulit batang api-api menggunakan metanol, etil asetat dan n-heksan pada maserasi partisi secara berturut-turut yaitu 7,2558%, 1,6472% dan 0,272%, sedangkan pada maserasi bertingkat yaitu sebesar 8,017%, 0,444% dan 0,386%. Ekstrak tersebut

diuji aktivitas antimikroba terhadap E. coli, S. aureus, C. albicans dan

M. gypseum menggunakan metode sumur. Ekstrak etil asetat hasil maserasi

bertingkat memiliki aktivitas antimikroba terbaik dengan zona hambat terbesar pada setiap mikroba uji, kecuali C. albicans. Diameter zona hambat senyawa antimikroba terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan

Microsporum gypseum berturut-turut adalah 11,7 mm; 19,6 mm; 12,3 mm. Nilai

MIC ekstrak etil asetat terhadap S. aureus yaitu sebesar 0,7 mg/ml. Pada konsentrasi 2 mg/ml ekstrak etil asetat tidak mampu menghambat pertumbuhan tiga mikroorganisme uji lain yaitu E. coli, C. albicans, dan M. gypseum. Ekstrak etil asetat kulit batang api-api hasil maserasi bertingkat mengandung senyawa steroid/triterpenoid dan fenol hidrokuinon. Kandungan total fenol ekstrak tersebut sebesar 177,023 mg GAE/1000 g sampel. Senyawa steroid/triterpenoid dan fenol berperan dalam aktivitas antibakteri dari ekstrak etil asetat kulit batang api-api.