perjanjian sepihak, perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang, membebani, perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama perjanjian
kebendaan dan perjanjian obligator dan perjanjian konsensual dan perjanjian real, sedangkan fungsi suatu perjanjian adalah agar kedua belah pihak tahu akan hak
dan kewajibanya.
I. Berakhirnya Perjanjian
Suatu perjanjian berakhir apabila tujuan dari perjanjian tersebut telah tercapai, yaitu dengan terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak. Dalam hal ini
hapusnya perjanjian dapat pula mengakibatkan hapusnya perikatan, yaitu apabila suatu perjanjian hapus dengan berlaku surut, misalnya sebagai akibat daripada
pembatalan berdasarkan wanprestasi Pasal 1266 KUHPerdata, maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, perikatan tersebut tidak perlu lagi
dipenuhi dan apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan. Dalam Pasal 1381 KUHPerdata dinyatakan tentang cara berakhimya suatu perikatan, yaitu :
“Perikatan-perikatan hapus karena : 1.
Pembayaran; 2.
Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
3. Karena pembaharuan hutang;
4. Karena perjumpaan hutang atau kompensasi;
5. Karena percampuran hutang;
6. Karena pembebasan hutangnya;
7. Karena musnahnya barang yang terhutang;
8. Karena kebatalan atau pembatalan;
9. Karena berlakunya suatu syarat batal;
10. Karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri
Cara-cara hapusnya perikatan itu akan dijelaskan satu persatu di bawah ini.
ad.1. Pembayaran Nama”pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara
suka rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjual pun dikatakan “membayar” jika ia
menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya. Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang debitur tetapi juga seorang kawan berhutang dan
seorang penanggung hutang “borg”. Menurut pasal 1322 KUHPerdata bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak
mempunyai kepentingan asal saja orang pihak ketiga bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya si berhutang, atau jika ia bertindak atas namanya
sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang. Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang kreditur atau kepada
seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh undang-undang untuk menerima pembayaran-pembayaran bagi si
berpiutang. Pembayaran yang dilakukan kepada seorang yang tidak berkuasa menerima bagi si berpiutang adalah sah, sekedar si berpiutang telah
menyetujuinya atau nyata-nyata telah mendapat manfaat karenanya. Si debitur tidak boleh memaksa krediturnya untuk menerima pembayaran hutangnya
sebagian demi sebagian,meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi. Mengenai tempatnya pembayaran, Pasal 1933 KUHPerdata menerangkan sebagai berikut :
“Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian,jika dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat,maka pembayaran yang mengenai
suatu barang tertentu,harus dilakukan di tempat di mana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat.
Di luar kedua hal tersebut, pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang, selama orang itu terus menerus berdiam dalam keresidenan di mana
ia berdiam sewaktu dibuatnya perjanjian, dan di dalam hal-hal lainnya di tempat tinggalnya si berhutang”.
Ketentuan dalam ayat pertama yang menunjuk pada tempat di mana barang berada sewaktu perjanjian ditutup adalah, sama dengan ketentuan dalam
Pasal 1477 KUHPerdata dalam jual beli , dimana juga tempat tersebut ditunjuk sebagai tempat dimana barang yang dijual harus diserahkan. Memang sebagai
mana sudah diterangkan “pembayaran” dalam arti yang luas juga ditujukan pada pemenuhan prestasi oleh si penjual yang terdiri atas penyerahan barang yang telah
diperjual belikan. Ketentuan dalam ayat kedua, berlaku juga dalam pembayaran-pembayaran
di mana yang dibayarkan itu bukan suatu barang tertentu, jadi uang atau barang yang dapat dihabiskan, teristimewa ketentuan tersebut adalah penting untuk
pembayaran yang berupa uang. Dengan demikian maka hutang-hutang yang berupa uang pada asasnya harus dibayar di tempat tinggal kreditur,dengan
perkataan lain pembayaran itu harus dihantarkan. Hutang uang yang menurut undang-undang harus dipungut di tempat tinggalnya debitur hanyalah hutang
wesel. Sesuai dengan ketentuan tersebut di atas maka oleh pasal 1395 ditetapkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran harus
dipikul oleh debitur.
Suatu masalah yang muncul dalam soal pembayaran, adalah masalah subrogasi atau penggantian hak-hak si berpiutang kreditur oleh seorang ketiga
yang membayar kepada si berpiutang itu. Dalam subrogasi atau penggantian ini, seorang ketiga yang membayar suatu utang menggantikan kedudukan si kreditur
,terhadap si debitur. Subrogasi atau penggantian tersebut di atas dapat terjadi baik dengan perjanjian, baik demi undang-undang. Dari apa yang telah dibicarakan di
atas, dapat dilihat bahwa jika seorang membayar hutangnya orang lain, maka pada umumnya tidak terjadi subrogasi, artinya : pada umumnya orang yang membayar
itu tidak menggantikan kreditur. Hanya apabila itu dijanjikan atau dalam hal-hal di mana itu ditentukan oleh undang-undang , maka barulah ada penggantian.
ad.2. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penyimpanan Atau Penitipan Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si
berpiutang kreditur menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut: barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau
seorang juru sita pengadilan. Notaris atau juru sita membuat suatu perincian dari barang-barang atau uang yang akan dibayarkan itu dan pergilah ia ke rumah atau
tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah debitur datang untuk membayar hutangnya debitur tersebut, pembayaran mana
akan dilakukan dengan menyerahkan membayarkan barang atau uang yang telah
diperinci itu. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses verbal.
Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak yang biasanya
memang sudah dapat diduga maka notaris atau juru sita akan mempersilahkan kreditur itu menandatangani proses verbal tersebut dan jika kreditur tidak suka
menaruh tanda tangannya maka hal itu akan dicatat oleh notaries atau juru sita di atas surat proses verbal tersebut. Dengan demikian terdapatlah suatu bukti yang
resmi bahwa si berpiutang telah menolak pembayaran. Langkah yang berikutnya ialah : si berhutang debitur di muka pengadilan
negeri dengan permohonan kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu. setelah penawaran
disimpankan atau dititipkan kepada panitera pengadilan negeri dengan demikian hapuslah hutang piutang itu. Barang atau uang tersebut di atas berada dalam
simpanan di kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tanggungan atau resiko si berpiutang. Si berhutang sudah bebas dari hutangnya. Segala biaya yang
dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang.
ad.3 Pembaharuan Hutang Menurut Pasal 1413 KUHPerdata ada tiga macam jalan untuk
melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau novasi itu, yaitu : a.
Apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang akan menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang
lama yang dihapuskan karenanya. b.
Apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpihutang dibebaskan dari perikatannya.
c. Apabila sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru
ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya.
ad.4 Perjumpaan hutang atau kompensasi Ini adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan
atau memperhitungkan hutang piutang secara tertimbal balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara
mereka satu perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan,demikianlah diterangkan oleh Pasal 1424 KUHPerdata. Pasal tersebut
selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan dengan setidak tahunya orang-orang yang bersangkutan dan kedua hutang itu
yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Agar supaya
dua hutang dapat diperjumpakan,maka perlulah bahwa dua hutang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih.
Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa hutang- pihutang antara kedua belah pihak itu telah dilahirkan, terkecuali :
a. Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan
dengan hukum dirampas dari pemiliknya. b.
Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
c. Terdapat sesuatu barang yang bersumber kepada tunjangan nafkah yang telah
dinyatakan tak dapat disita alimentasi. Demikianlah dapat dibaca dari Pasal
1429 KUHPerdata. Maksudnya adalah terang jika kita memperkenankan perjumpaan dalam hal-hal yang disebutkan di atas, maka itu akan berarti
mengesahkan seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan hukum. Maka dari itu pasal tersebut di atas mengadakan larangan kompensasi dalam hal-hal
yang disebutkan itu. ad.5 Percampuran Hutang
Apabila kedudukan sebagai orang berpihutang kreditur dan orang yang berhutang debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum
suatu percampuran hutang dengan mana utang puiutang itu diapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya
atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya hutang pihutang dalam hal percampuran ini, adalah betul-betul “demi-
hukum” dalm arti otomatis. Percampuran hutang yang terjadi pada dirinya si berhutang utama berlaku
juga untuk keuntungan para penanggung hutangnya borg sebaliknya percampuran yang terjadi pada seorang penanggung hutang borg tidak sekali-
kali mengakibatkan hapusnya hutang pokok.
ad.6 Pembebasan Hutang
Teranglah, bahwa apabila si berpihutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi pretasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas
pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan-yaitu hubungan hutang- piutang hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan. Pembebasan sesuatu
hutang tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Pengembalian sepucuk
tanda piutang asli secara suka rela oleh si berpihutang kepada si berhutang, merupakan suatu bukti tentang pembebasan hutangnya, bahkan terhadap orang-
orang lain yang turut berhutang secara tanggung menanggung. Pengembalian barang yang akan diberikan dalam gadai atau sebagai tanggungan tidaklah perlu
diterangkan, sebab perjanjian gadai pand adalah suatu perjanjian accessoir yang artinya suatu buntut belaka dari perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian pinjam
uang.
ad.7 Musnahnya Barang Yang Terhutang
Jika barang tertentu yang menjadi objek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang sedemikian hingga sama sekali tak diketahui
apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berhutang dan sebelum ia lalai
menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu terlambat, iapun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa
hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah
berada di tangan kreditur. Apabila si berhutang, dengan terjadinya peristiwa-peristiwa seperti di atas
telah dibebaskan dari perikatannya terhadap krediturnya, maka ia diwajibkan menyerahkan kepada kreditur itu segala hak yang mungkin dapat dilakukannya
terhadap orang-orang pihak ketiga sebagai pemilik barang yang telah hapus atau hilang itu.
ad.8 KebatalanPembatalan
Meskipun disini disebutkan kebatalan dan pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan memang kalau kita melihat apa yang diatur oleh
Pasal 1446 KUHPerdata ,ternyatalah bahwa ketentuan-ketentuan disitu kesemuanya mengenai “pembatalan”. Kalau suatu perjanjian batal demi hukum
maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan
barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak dihapus. Yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya adalah pembatalan perjanijan-perjanjian yang dapat
dimintakan pembatalan vernietigbaar atau voidable sebagaimana yang sudah kita lihat pada waktu kita membicarakan tentang syarat-syarat untuk suatu
perjanjian yang sah Pasal 1320 Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara: pertama
,secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk
memenuhi perjanjian dan sisitulah baru memajukan tentang kekurangannya perjanjian itu.
ad.9 Berlakunya suatu syarat-batal Perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan
pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi,baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa
tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi tidak terjadinya peristiwa tersebut. Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa
yang termaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang termaksud itu
terjadi. Perikatan semacam yang terakhir itu dinamakan suatu perikatan denagn suatu syarat batal. Dalam hukum perjanjian pada azasnya syarat batal selamanya
berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala
sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah pasal 1265 KUHPerdata. Dengan demikian maka syarat
batal itu mewajibkan si berhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.
ad.10 Lewatnya Waktu
Menurut Pasal 1946 KUHPerdata, yang dinamakan “daluwarsa” atau “lewat waktu”ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan
dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas
suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitip” sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau suatu tuntutan dinamakan daluwarsa
“extinctip”. Daluwarsa dari macam yang pertama tadi sebaiknya dibicarakan berhubungan dengan hukum benda. Daluwarsa dari macam yang kedua dapat
sekedarnya dibicarakan di sini meskipun masalah daluwarasa itu suatu masalah yang memerlukan pembicaraan tersendiri. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata masalah daluwarsa itu diatur dalam Buku IV bersama-sama dengans oal pembuktian.
Menurut Pasal 1967 maka segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan , hapus karena daluwarsa dengan
lewatnya waktu 30 tahun,sedangkan siapa yang menunjukan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tak dapat
dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk. Dengan lewatnya waktu tersebut di atas hapuslah setiaap perikatan hukum
dan tinggal pada suatu “perikatan bebas” natuurlijke verbintenis artinya kalau dibayarkan boleh tetapi tidak dapat dituntut di muka hakim. Debitur jika ditagih
hutangnya atau dituntut di muka pengadilan dapat memajukan tangkisan eksepsi tentang kadaluwarsanya piutang dan dengan demikian mengelakkan atau
menangkis setiap tuntutan.
28
Suatu perjanjian pada umumnya berakhir apabila tujuan itu telah tercapai, dimana masing-masing pihak telah memenuhi prestasi yang diperjanjikan
sebagaimana yang merupakan kehendak bersama dalam mengadakan perjanjian tersebut. Selain cara berakhirnya perjanjian seperti yang disebutkan di atas,
terdapat beberapa cara lain untuk mengakhiri perjanjian, yaitu : a.
Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya dalam perjanjian itu telah ditentukan batas berakhirnya perjanjian dalam waktu tertentu
b. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian. Misalnya Pasal
1250 KUH Perdata yang menyatakan bahwa hak membeli kembali tidak boleh diperjanjikan untuk suatu waktu tertentu yaitu tidak boleh lebih dari
5 tahun.
28
http:listyawidhati.blogspot.co.id201206cara-cara-hapusnya-suatu-perikatan.html diakses tanggal 1 September 2015.
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir. Misalnya apabila salah satu pihak meninggal dunia maka perjanjian akan menjadi
hapus Pasal 1603 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perhubungan kerja berakhir dengan meninggalnya si buruh.
d. Karena persetujuan para pihak.
e. Pernyataan penghentian pekerjaan dapat dikarenakan oleh kedua belah
pihak atau oleh salah satu pihak hanya pada perjanjian yang bersifat sementara.
f. Berakhirnya perjanjian karena putusan hakim.
g. Tujuan perjanjian sudah tercapai.
h. Karena pembebasan utang.
29
Apabila dalam suatu perjanjian semua perikatan-perikatan telah berakhir, maka berakhir pulalah seluruh perjanjian tersebut. Dalam hal demikian
berakhirnya seluruh perikatan yang terdapat dalam suatu perjanjian menyebabkan perjanjian berakhir, namun sebaliknya berakhirnya suatu perjanjian dapat
mengakibatkan berakhirnya seluruh perikatan yang ada dalam perjanjian tersebut. Hal ini dapat terjadi pada perjanjian yang berakhir karena pembatalan berdasarkan
wanprestasi. Pembatalan perjanjian tersebut menyebabkan seluruh perikatan-perikatan
yang ada berakhir. Perikatan-perikatan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi dan segala apa yang telah dipenuhi harus berakhir.
30
29
Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 387.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA