Asas-asas Perjanjian TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

ditemukan ada kontrak yang tidak dilaksanakan secara tertulis, atau tidak ada kontrak yang dilaksanakan dalam bentuk lisan. Perlunya perjanjian dalam bentuk tertulis dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak dalam melaksanakan prestasi. Wajar saja dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan mudah ditemukan banyak persoalan dagang, oleh karena itu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis inilah yang sering diidentikkan dengan kontrak. Tapi ada juga ahli hukum dengan tegas menentang para pendapat yang menyamakan penggunaan kedua istilah ini walaupun maksudnya sama. Banyak orang mencampuradukkan kedua istilah ini dalam menafsirkan perjanjian overeenkomst dalam Buku III KUH Perdata, padahal sebenarnya hukum kontrak contract law merupakan bidangnya dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan. Hukum kontrak memiliki pengertian yang lebih sempit dari hukum perjanjian. Sedangkan di sisi lain diartikan tidak sependapat untuk membedakan kedua istilah itu, ia justru menyamakan pengertian antara perjanjian dan kontrak 18

F. Asas-asas Perjanjian

Asas-asas hukum bukanlah suatu peraturan yang konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang bersifat umum atau yang merupakan latar belakang dalam pembentukan hukum positif, maka asas hukum merupakan dasar atau 18 http:bisdan-sigalingging.blogspot.co.id201410hukum-perjanjian-oleh-bisdan.html diakses tanggal 29 September 2015, Pukul 10.00 Wib. petunjuk pembentukan hukum positif. Oleh karena itu asas hukum bersifat umum dan abstrak. Fungsi asas hukum adalah sebagai pendukung bangunan hukum, menciptakan kepastian hukum didalam keseluruhan tertib hukum. Hukum perjanjian mengenal beberapa asas hukum yang berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian, isi perjanjian, pelaksanaan dan akibat perjanjian, yang merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan dari perjanjian. Adapun kebebasan untuk membuat perjanjian itu terdiri dari beberapa hal yaitu: a. Kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang diinginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331, ditentukan bahwa andaikatapun seseorang membuat perjianjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap. b. Bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa saja ia ingin membuat perjanjian Kata semua menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang untuk membuat perjanjian dengan siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak dilarang oleh hukum. Artinya bahwa semua ketentuan dalam perjanjian yang telah disepakati para pihak mengikat dan wajib dilaksankan oleh para pihak yang membuatnya. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang tidak melaksanakan tadi Kalimat yang dibuat secara sah diartikan pemasok bahwa apa yang disepakati, berlaku sebagai undang-undang jika tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Apabila bertentangan, kontrak batal demi hukum c. Bebas untuk menentukan isi perjanjian yang dibuatnya Ketentuan Pasal 1320 ayat 1 tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh asas konsensualisme. Ketentuan Pasal 1320 ayat 1 tersebut juga mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi kontrak dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata, lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme. d. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian, dan Para pihak dapat dengan bebas menentukan bentuk perjanjian yang diinginkan sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. e. Kebebasan untuk menentukan terhadap hukum mana perjanjian itu akan tunduk. Perjanjian sebagai suatu figure hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. Di dalam perjanjian dikenal beberapa jenis asas-asas hukum yang merupakan asas-asas umum yang harus diindahkan oleh setiap yang terlibat di dalamnya, antara lain : 1. Asas Kebebasan Berkontrak freedom of contract Kontrak atau contracts dalam bahasa inggris dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah Peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis. Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiabn untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut perikatan verbintenis. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Dari perkataan ‘semua’ dapat ditafsirkan, bahwa masyarakat diberikan kebebasan yang seluas- luasnya untuk membuat perjanjian yang berisi apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, dan perjanjian itu mengikat para pihak yang membuat seperti mengikatnya suatu undang-undang, seperti halnya yang telah ditentukan dalam Pasal 1337 KUH Perdata. 2. Asas Konsensualisme concensualism Asas Konsensualisme ini memberi isyarat bahwa pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat lahir sejak adanya konsensualisme atau kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian. Atau perjanjian telah ada dan sah sejak saat terjadinya kesepakatan. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPerdata. Pada pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam Hukum Jerman tidak dikenal adanya istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian rill adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata dalam hukum adat disebut secara kontan. Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan. Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractur innominat .Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan.Asas Konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata berkaitan dengan bentuk perjanjian. 19 3. Asas Kekuatan Mengikat Hukum pacta sunt servanda Asas kekuatan mengikat atau pacta sunt servanda berarti bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas ini berkenaan dengan akibat dari adanya suatu perjanjian. Asas ini tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 dan 2 KUH Perdata. Pasal 1338 ayat 1 dinyatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan tersebut berarti bahwa perjanjian yang dibuat dengan cara yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, yang berarti mengikat para pihak dalam perjanjian, seperti undang-undang juga mengikat orang terhadap siapa undang-undang itu berlaku. Tujuannya tentu saja ‘demi kepastian hukum’. Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata dinyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat di tarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Dari ketentuan tersebut terkandung maksud bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain adanya kata sepakat dari kedua belah pihak. Asas kepastian hukum ini dapat dipertahankan sepenuhnya asalkan kedudukan para pihak seimbang, jika kedudukan itu tidak seimbang, undang-undang memberi perlindungan dalam bentuk perjanjian tersebut dapat dibatalkan, baik atas perintah pihak yang dirugikan maupun oleh hakim karena jabatannya. Kecuali apabila dapat 19 Salim. HS. Op.cit., hal 9. dibuktikan bahwa pihak yang dirugikan itu sepenuhnya menyadari akibat-akibat yang timbul. 5. Asas Iktikad Baik good faith Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik, seperti yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata. Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu dan oleh kata-kata ketentuan-ketentuan perundang-undangan mengenai perjanjian itu, melainkan juga oleh iktikad baik. Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik mutlak, penilaianya pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan penilaian tidak memihak menurut norma-norma yang objektif. 20 6. Asas Kepribadian personality Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan danatau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini 20 Ibid. hal 11. mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana di intridusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

G. Syarat Sahnya Perjanjian

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Terhadap Kontrak Pengadaan Barang Dan Jasa Di Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Unit Balai Besar Latihan Kerja Industri (BBLKI) Medan

5 133 87

Perjanjian Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah (Studi Di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara)

4 85 130

Tinjauan Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Kerjasama Pengadaan Barang Atas Dasar Wanprestasi (Studi PT.TNC)

3 102 129

Proses Pengadaan Barang Dan Jasa Pada PT. Kereta Api (Persero) Daop II Bandung

0 10 1

PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGADAAN BARANG ANTARA CV. NADIA PERKASA DENGAN PT. KERETA API (PERSERO) DIVISI REGIONAL II SUMATERA BARAT.

0 0 9

Perjanjian Pengadaan Barang Dan Jasa Untuk Peningkatan Jalan Kereta Api Perlanaan – Gunung Bayu Antara Satuan Kerja Pengembangan Perkeretaapian Sumatera Utara dan PT. Wahana Adidaya Pertiwi

0 0 8

Perjanjian Pengadaan Barang Dan Jasa Untuk Peningkatan Jalan Kereta Api Perlanaan – Gunung Bayu Antara Satuan Kerja Pengembangan Perkeretaapian Sumatera Utara dan PT. Wahana Adidaya Pertiwi

0 0 1

Perjanjian Pengadaan Barang Dan Jasa Untuk Peningkatan Jalan Kereta Api Perlanaan – Gunung Bayu Antara Satuan Kerja Pengembangan Perkeretaapian Sumatera Utara dan PT. Wahana Adidaya Pertiwi

0 0 13

Perjanjian Pengadaan Barang Dan Jasa Untuk Peningkatan Jalan Kereta Api Perlanaan – Gunung Bayu Antara Satuan Kerja Pengembangan Perkeretaapian Sumatera Utara dan PT. Wahana Adidaya Pertiwi

0 0 32

Perjanjian Pengadaan Barang Dan Jasa Untuk Peningkatan Jalan Kereta Api Perlanaan – Gunung Bayu Antara Satuan Kerja Pengembangan Perkeretaapian Sumatera Utara dan PT. Wahana Adidaya Pertiwi

0 0 2