42
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syariah melakukan eksekusi barang jaminan
dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah.
Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil uang kelebihan itu, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut,
Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
Aspek Islam tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber
yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini seluruh kegiatan Pegadaian Syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah,
murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerjasama dengan
lembaga keuangan syariah untuk mem-backup modal kerja.
G. Pemanfaatan Barang Gadai
Para ulama sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan barang jaminan tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali,
karena tindakan itu termasuk tindakan yang menyia-nyiakan harta yang dilarang Rasulullah SAW. Akan tetapi, bolehkah pihak pemegang barang jaminan
43
memanfaatkan barang jaminan itu, sekalipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan ?dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat para ulama.
31
1. Pendapat Ulama Syafi‟iyah
Artinya : Manfaat yang diperoleh dari barang gadaian atau mengambil manfaat dengan barang gadaian, semuanya hak yang menggadaikan,
walaupun barang gadaian itu dibawah tangan yang menerima gadai. Maka ketika diambil manfaat dari barang itu, dikembalikan dahulu
kepada yang menggadaikan, terkecuali kalau mungkin dihasilkan manfaatnya dibawah tangan yang menerima gadai. Jika yang menerima
gadai tidak percaya akan dikembalikan lagi barang itu kepadanya, hendaklah diadakan saksi ketika dikembalikan sebentar itu.
32
Ulama syafi‟iyah berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan
barang jaminan itu.Karena apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilakukan sya
ra‟, sekalipun diizinkan dan diridhai pemilik barang. Bahkan menurut mereka, ridha dan
izin dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam itu.
2. Pendapat Ulama Mazhab Imam Malik
31
Harun Nasrun. Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama , 2007 ,h.256
32
Abdurrahhman Al-Jaziri, Kitab Al- Fiqh „Ala Mazahib Al-Arabaah, Beirut : Daar al Ihya
Al Turats al Arabi, 1991 , Jilid 3, h.187
44
Ulama mazhab Imam Malik berpendapat bahwa penerima gadai tidak boleh menerima gadai, jika gadai itu terjadi disebabkann oleh qardh
hutang-piutang sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqh Al-Muamalah „Ala Mazhab Imam Malik :
Artinya : “ Tidak boleh mengsyaratkan pengambilan manfaat pada gadai qardg hutang , karena akan menyebabkan pinjaman yang menarik
manfaat, dan perbuatan seperti itu tidak boleh dilarang ”.
33
Mereka juga berpendapat bahwa penerima gadai boleh memanfaatkan barang barang gadai dengan syarat-syarat tertentu, mereka mengemukakan
tiga syarat, yaitu 1
Bahwa pinjaman itu dibayarkan tidak atas sifat qardh, tetapi untuk urusan dagang, contohnya : seseorang menjual sebidang tanah kepada
seseorang dengan harga yang akan dibayar dalam batas waktu tertentu dan menerima suatu tanggungan untuk harga tanah tersebut,ini
dianggap sebagai suatu pinjaman. 2
Bahwa faedah atau kegunaan itu dijadikan syarat sewaktu pinjaman dilakukan dengan pemegang gadai.
3 Waktu atau kegunaan yang demikian telah ditetapkan dengan jelas.
34
33
Hasan Kamil Al-Mathluwi, Fiqh Al- Muamalah „ala Mazhab al Imam Malik, Kairo : Al-
Majli al „A‟la li asy-Syu‟un al-Islamiyah, tth, h.157
34
Teungku Muhammad Hasbi As Siddieqi, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997 Cet ke-1 h.371
45
3. Pendapat Ulama Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal
Ulama Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan : Artinya : “ barang gadaian dapat berupa hewan yang dapat ditunggangi
atau dapat diperah susunya atau bukan berupa hewan, apabila barang berupa hewan tunggangan atau perahan maka penerima gadai boleh
memanfaatkan dengan menunggang atau memerah susunya tanpa seizin dari pemiliknya pemberi gadai berdasarkan biaya yang telah
dikeluarkan penerima gadai. Dan penerima gadai harus memanfaatkan barang gadaian dengan adil
sesuai dengan biaya yang dikeluarkan”
35
Ulama Mazhab Hanbali juga membolehkan penerima gadai untuk memanfaatkan hewan yang tidak ditunggangi dan tidak diperah susunya
dengan seizin pemberi gadai, tanpa adanya penggantian dengan ketentuan akad gadai bukan qardh.Tetapi jika akad tersebut berdasarkan qardh,
maka penerima gadai dilarang memanfaatkan barang itu walaupun seizin pemberi gadai.
35
Al-Imam Al Hafidh Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, shahih bukhari Beirut, Maktabah Ashiriyah, 1997 , Jilid 2, h.757
46
4. Pendapat Ulama Mazhab Imam Abu Hanifah
Ulama Mazhab Hanafi mengatakan :
Artinya : “ Tidak boleh bagi pemberi gadai untuk memanfaatkan barang gadaian dengan cara bagaimanapun kecuali atas seizin
penerima gadai”. Adapun ulama Hanafiyah mengatakan apabila barang jaminan itu
hewan ternak, maka pihak pemberi piutang pemegang barang jaminan boleh memanfaatkan hewan itu apabila mendapat izin dari pemilik
barang. Dari pendapat para ulama fiqh diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
perbedaan pendapat yang terjadi disebabkan oleh perbedaan pemahaman terhadap hadits nabi SAW.
Nasrun Harun menyatakan pendapatnya pada bukunya yang berjudul fiqh muamalah.Beliau menyatakan bahwa ar-rahn yang dikemukakan
para ulama fiqh klasik hanya bersifat pribadi.Artinya, utang piutang itu hanya terjadi antara seorang yang memerlukan dengan seorang yang
memiliki kelebihan harta.Di zaman sekarang, sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, ar-rahn tidak saja berlaku antar
pribadi, melainkan juga antara pribadi dengan lembaga-lembaga keuangan, seperti bank.Untuk mendapatkan kredit dari lembaga
keuangan, pihak bank juga menuntut barang jaminan yang boleh
47
dipegang bank sebagai jaminan atas kredit itu.Barang jaminan ini, dalam istilah bank disebut dengan Personal Guarantee.Personal Guarantee ini
sejalan dengan al-marhun yang berlaku dalam akad al-rahn.Yang dibicarakan para ulama klasik.Perbedaannya hanya terletak pada
pembayaran hutang yang ditentukan oleh bank.Kredit dibank, biasanya harus dibayar sekaligus dengan bunga uang yang ditentukan oleh bank.
Oleh sebab itu, jumlah uang yang harus dibayar orang yang berhutang akan lebih besar dari uang yang dipinjam dari bank. Dengan demikian,
Mustafa Az-Zarqa, persoalan utang bunga bank yang berlaku di bank yang mewajibkan adanya Personal Guarantee, terkait dengan
penambahan hutang.Persoalan ini, oleh ulama fiqh, dibahas dalam persoalan riba, yaitu apakah bunga sebagai tambahan hutang dibank itu
termasuk riba atau tidak.
48
H. Struktur Organisasi