Perbandingan Olanzapin Intramuskular Dan Haloperidol Intramuskular Dalam Penatalaksanaan Agitasi Pada Pasien Skizofrenik

(1)

PERBANDINGAN OLANZAPIN INTRAMUSKULAR DAN HALOPERIDOL INTRAMUSKULAR DALAM PENATALAKSANAAN

AGITASI PADA PASIEN SKIZOFRENIK

TESIS

VICTOR ELIEZER PINEM 18148

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-I ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/ RSUP.H.ADAM MALIK

MEDAN 2010


(2)

PERBANDINGAN OLANZAPIN INTRAMUSKULAR DAN HALOPERIDOL INTRAMUSKULAR DALAM PENATALAKSANAAN

AGITASI PADA PASIEN SKIZOFRENIK

TESIS

Untuk memperoleh gelar spesialis di Bidang Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedoktrean Universitas Sumatera Utara

VICTOR ELIEZER PINEM 18148

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-I ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/ RSUP.H.ADAM MALIK

MEDAN 2010


(3)

Judul Tesis : Perbandingan Olanzapin Intramuskular Dan

Haloperidol Intramuskular Dalam Penatalaksanaan Agitasi Pada Pasien Skizofrenik

Nama Mahasiswa : Victor Eliezer Pinem

No CHS : 18148

Konsentrasi : Ilmu Kedokteran Jiwa

Menyetujui Komisi Pembimbing:

Prof.dr.Bahagia Loebis, Sp.KJ(K) Ketua

Ketua Program Studi Ketua TKP-PPDS

Prof.dr.Bahagia Loebis, Sp.KJ(K) dr.H.Zainuddin Amir, SpP(K) NIP: 140 105 369


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 24 November 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Heriani, Sp.KJ(K) ……… Sekretaris : dr. Cecep Sugeng Kristanto, Sp.KJ(K) ……… Anggota : Prof.dr.Syamsir BS, Sp.KJ(K) ………


(5)

PERNYATAAN

PERBANDINGAN OLANZAPIN INTRAMUSKULAR DAN HALOPERIDOL INTRAMUSKULAR DALAM PENATALAKSANAAN AGITASI PADA

PASIEN SKIZOFRENIK

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis mengacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka, dan bila terbukti ada maka saya rela gelar saya dicabut.

Medan, 24 November 2010


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat dan karuniaNya penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas yang ada sebelumnya dan memenuhi salah satu syarat untuk melengkapi keahlian dalam bidang Ilmu Kedokteran Jiwa. Saya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang:

“Perbandingan Olanzapin Intramuskular dan Haloperidol Intramuskular Dalam Penatalaksanaa Agitasi Pada Pasien Skizofrenik”

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2. Prof.dr. Syamsir BS, Sp.KJ (K), selaku Ketua Departemen Psikiatri FK

USU, yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah membimbing, memberi pengarahan, masukan-masukan dan memberikan


(7)

literatur-literatur yang sangat berharga selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi.

3. Prof.dr.Bahagia Loebis, Sp.KJ (K), selaku Ketua Program Studi Psikiatri FK USU, guru dan pembimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini, yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah membimbing, memberi pengarahan, masukan-masukan, dan literatur-literatur yang sangat berharga dalam menyelesaikan tesis ini.

4. dr. Harun T. Parinduri, Sp.KJ (K), dr. Raharjo Suparto, Sp.KJ, dr. Marhanuddin Umar, Sp.KJ(K) (Alm), dr. Elmeida Effendy, Sp.KJ

sebagai guru yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi.

5. Prof. dr. M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ (K) sebagai guru yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi, terutama dibidang Psikiatri Anak.

6. dr. Mustafa M. Amin, Sp.KJ, dr. Vita Camellia, Sp.KJ, dr.Surya Husada, Sp.KJ sebagai guru dan senior yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan serta literatur-literatur yang sangat berharga selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi.

7. dr. Dapot Parulian Gultom, Sp.KJ, selaku guru dan Direktur BLUD RSJD Propinsi Sumatera Utara; dr. Donald F. Sitompul, Sp.KJ ; dr. Sulastri

Effendi, Sp.KJ; dr. Evawati Siahaan, Sp.KJ; dr. Mariati, Sp.KJ; dr. Rosminta Girsang, Sp.KJ; dr. Artina R. Ginting, Sp.KJ; dr. Paskawani


(8)

Sp.KJ sebagai senior penulis yang telah memberikan semangat dan dorongan selama mengikuti pendidikan spesialisasi.

8. dr. Herlina Ginting, Sp.KJ; dr. Juskitar, Sp.KJ; dr. Mawar G. Tarigan, Sp.KJ; dr. Freddy S. Nainggolan, Sp.KJ; dr. Adhayani Lubis, Sp.KJ; dr. Yusak P. Simanjuntak, Sp.KJ; dr. Juwita Saragih, Sp.KJ; dr. Laila Sylvia Sari, Sp.KJ; dr. Friedrich Lupini, Sp.KJ, dr. Rudyhard E Hutagalung, Sp.KJ dan dr. Evalina Perangin-angin, Sp.KJ sebagai senior penulis yang telah banyak memberikan masukan-masukan, bimbingan, literatur-literatur, dan menjadi rekan diskusi selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi.

9. Direktur RSUP Haji Adam Malik Medan, Direktur RSU dr. Pirngadi Medan, Direktur RS Tembakau Deli Medan, Kepala Puskesmas Padang Bulan yang telah memberikan izin, kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk belajar dan bekerja selama mengikuti pendidikan spesialisasi.

10. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), selaku Ketua Departemen Neurologi FK USU, dan dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K), selaku Ketua Program Studi Departemen Neurologi dan pembimbing penulis selama menjalani stase di Depertemen Neurologi FK USU dan dr. Puji Pinta OS, Sp.S yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani stase di Depertemen Neurologi FK USU.

11. Prof. dr. Habibah Hanum Nasution, Sp.PD-K.Psi, selaku Kepala Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, yang telah


(9)

menerima dan membimbing penulis selama belajar di stase Divisi Psikosomatik Ilmu Penyakit Dalam FK USU.

12. dr. Dharma Lindarto, Sp.PD-K.EMD, selaku kepala Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, dan dr. Pirma Siburian, Sp.PD-K.Ger, yang telah menerima dan membimbing penulis selama belajar di stase Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU 13. dr.Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes sebagai konsultan statistik dalam tesis ini

yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis.

14. Teman-teman sejawat peserta PPDS-I Psikiatri FK USU : dr. Silvy A. Hasibuan, dr. Siti Nurul Hidayati, dr. Lailan Sapinah, dr. Herny T. Tambunan, dr. Mila Astari Harahap, dr. Ira Aini Dania, dr. Baginda Harahap, dr. Ricky W. Tarigan, dr. M. Yusuf Siregar, dr. Ferdinan Leo Sianturi, dr. Superida Ginting, dr. Hanip Fahri, dr. Lenny C. Sihite, dr. Saulina D. Simanjuntak, dr. Endang Sutry Rahayu, dr. Duma M Ratnawati, dr. Dian Budianti Amalina, dr. Tiodoris Siregar, dr. Andreas Xaverio Bangun, dr. Nirwan Abidin, dr. Nanda Sari Nuralita, dr. Nauli

Aulia Lubis, dr. Wijaya Taufik Tiji, dr. Alfi Syahri Rangkuti, dr. Agussyah Putra, dr. Rini Gissya Liza dan dr. Gusri Girsang yang

banyak memberikan masukan berharga kepada penulis melalui diskusi-diskusi kritis baik dalam pertemuan formal maupun informal, serta selalu memberikan dorongan yang membangkitkan semangat penulis dalam menyelesaikan pendidikan spesialisasi.


(10)

15. Seluruh perawat dan pegawai RSUP Haji Adam Malik Medan, RSUP dr. Pirngadi Medan, RS Tembakau Deli Medan, BLUD RSJD Propinsi Sumatera Utara, RS Polri Brimob Medan, Puskesmas Padang Bulan Medan, yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan spesialisasi.

16. Kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan cintai: dr.Djamal Eka Pinem, Sp.KJ dan Bethseba br Ginting (alm) yang telah dengan susah payah membesarkan, mendidik, memberi rasa aman, cinta dan doa restu kepada penulis selama ini.

17. Kedua mertua yang sangat penulis hormati dan cintai: Baslim Ginting (alm) dan Dra.Nurhati br Tarigan yang telah banyak memberikan semangat dan doa kepada penulis selama ini.

18. Buat istriku tercinta, Agnes Ine Kamusta br Ginting, ST, terima kasih atas segala doa dan dukungan, kesabaran dan pengertian yang mendalam serta pengorbanan atas waktu yang diberikan kepada penulis selama penulis menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa dan menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari, tanpa semua itu, penulis tidak akan mampu menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa dan tesis ini dengan baik.

19. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu namanya yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan spesialisasi.

Akhirnya penulis hanya mampu berdoa dan memohon semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang memberikan rahmat-Nya kepada


(11)

mereka yang telah membantu penulis selama pendidikan spesialisasi dan dalam menyelesaikan Tesis ini.

Medan, 24 November 2010

Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan Pembimbing... ii

Ucapan Terima Kasih ... v

Daftar Isi... xi

Daftar Tabel... xiii

Daftar Gambar ... xiii

Daftar Singkatan dan Lambang ... xiv

Abstrak ... xv

Bab 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Hipotesis... 5

1.4. Tujuan Penelitian... 6

1.5. Manfaat Penelitian... 6

Bab 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agitasi ... 6

2.2. Skizofrenia ... 7

2.3. Agitasi Pada Skizofrenia ... 8

2.4. Farmakoterapi Pada Agitasi ... 11

2.5. Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) ... 15

2.6. Kerangka Konsep ... 16

Bab 3. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ... 19

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian... 19

3.3. Populasi Penelitian ... 19

3.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel... 19

3.5. Perkiraan Besar Sampel... 20

3.6. Kriteria Penelitian... 20

3.7. Ijin Subyek Penelitian... 21

3.8. Etika Penelitian... 21

3.9. Cara Kerja Penelitian... 21

3.10. Kerangka Operasional ... 23

3.11. Identifikasi Variabel ... 23

3.12. Definisi Operasional ... 23

3.13. Analisis dan Penyajian Data ... 25

3.14. Jadwal Penelitian ... 25

Bab 4. HASIL PENELITIAN ... 26

Bab 5. PEMBAHASAN... 35


(13)

Ringkasan ... 45

Daftar Referensi... 46

Lampiran 1. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subyek Penelitian ... 48

2. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) ... 50

3. PANSS-Excitement Component... 51

4. Data sampel penelitian... 56

5. Persetujuan komite etik... 59


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Distribusi sampel penelitian berdasarkan umur dan jenis

kelamin ... 26 Tabel 4.2 Karakteristik berat badan dan BMI pada penggunaan injeksi

olanzapin dan haloperidol ... 27 Tabel 4.3 Karakteristik skor PANSS-EC saat pertama kali masuk... 28 Tabel 4.4 Karakteristik tingkat keparahan agitasi saat pertama kali

masuk ... 29 Tabel 4.5 Perubahan skor PANSS-EC setelah 2 jam setelah diinjeksi ... 30 Tabel 4.6 Perubahan tingkat keparahan agitasi dalam 2 jam setelah

diinjeksi ... 30 Tabel 4.7 Perubahan skor PANSS-EC setelah 4 jam setelah diinjeksi ... 31 Tabel 4.8 Perubahan tingkat keparahan agitasi dalam 4 jam setelah

diinjeksi ... 32 Tabel 4.9 Perubahan skor PANSS-EC setelah 24 jam setelah diinjeksi ... 32 Tabel 4.10 Perubahan tingkat keparahan agitasi dalam 24 jam setelah

diinjeksi ... 33 Tabel 4.11 Efek samping setelah diberikan injeksi ... 34

DAFTAR GAMBAR


(15)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG BLUD : Badan Layanan Umum Daerah

BMI : Body Mass Index

DA : Dopamin

DSM-IV-TR : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition, Text Revision

FGA : First Generation Antipsychotic

N : jumlah sampel

PANSS-EC : Positive and Negative Syndrome Scale-Excitement Componen

PPDGJI-III : Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III

SDA : Serotonin Dopamine Antagonist SPSS : Statistical Package for the Social Sciences Z : tingkat kepercayaan

Zβ : kekuatan

5HT : 5-hydroxytryptamine < : lebih kecil dari


(16)

ABSTRAK

Latar Belakang : Agitasi merupakan gejala perilaku yang sering dijumpai didalam pelayanan gawat darurat psikiatri sebagai keluhan pasien-pasien dengan gangguan psikotik. Pada pasien skizofrenik dengan agitasi perlu ditangani dengan cepat dan aman sehingga kejadian-kejadian yang tidak diinginkan sehubungan dengan perilaku agitasinya dapat dihindari seperti mencelakai keluarga, orang lain, petugas kesehatan, lingkungan dan diri pasien sendiri. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perbandingan efektifitas dan waktu yang dibutuhkan olanzapin intramuskular dan haloperidol intramuskular dalam meredakan agitasi pada pasien skizofrenik.

Metode : Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental two group pretest-posttest design berupa uji klinis terbuka secara paralel dengan 2 kelompok. Penelitian dilakukan di BLUD Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara periode 1 April 2010-30 Juni 2010. Sampel penelitian adalah pasien skizofrenik akut dengan agitasi dan pemilihan sampel dengan cara non probability sampling jenis

consecutive sampling. Keparahan agitasi diukur dengan PANSS-EC.

Hasil : Dari uji statistik dengan Independent Sample Test setelah 2 jam pemberian injeksi olanzapin dan haloperidol intramuskular didapati nilai rata-rata akhir skor PANSS-EC masing-masing 12,5 (SD 2,1) dan 14,7 (SD 2,7) dengan nilai p = 0,01. Setelah 4 jam pemberian injeksi olanzapin dan haloperidol intramuskular didapati nilai rata-rata akhir skor PANSS-EC masing-masing 8,2 (SD 1,3) dan 9,8 (SD 1,7) dengan nilai p = 0,0001. Selanjutnya, setelah 24 jam pemberian injeksi olanzapin dan haloperidol intramuskular didapati nilai rata-rata akhir skor PANSS-EC masing-masing 6,7 (SD 0,7) dan 8,2 (SD 0,9) dengan nilai p = 0,0001. Nilai p < 0,05 tersebut menunjukkan bahwa terdapat perubahan skor PANSS-EC yang bermakna dalam 2 jam, 4 jam dan 24 jam setelah pemberian injeksi olanzapin dibandingkan haloperidol. Dari uji statistik dengan Chi-square terhadap perubahan tingkat keparahan agitasi pada pasien skizofrenik, diperoleh nilai p = 0,355 pada jam ke-2, p = 0,015 pada jam ke-4 dan p = 0,313 pada jam ke-24 setelah pemberian injeksi olanzapin dan haloperidol. Olanzapin intramuskular memberikan hasil yang berbeda secara bermakna dalam menurunkan tingkat keparahan agitasi setelah 4 jam dibandingkan haloperidol intramuskular.

Kesimpulan : Olanzapin intramuskular lebih bermakna dalam menurunkan skor PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi dan lebih cepat menurunkan tingkat keparahan agitasi dibandingkan dengan haloperidol intramuskular.


(17)

ABSTRAK

Latar Belakang : Agitasi merupakan gejala perilaku yang sering dijumpai didalam pelayanan gawat darurat psikiatri sebagai keluhan pasien-pasien dengan gangguan psikotik. Pada pasien skizofrenik dengan agitasi perlu ditangani dengan cepat dan aman sehingga kejadian-kejadian yang tidak diinginkan sehubungan dengan perilaku agitasinya dapat dihindari seperti mencelakai keluarga, orang lain, petugas kesehatan, lingkungan dan diri pasien sendiri. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perbandingan efektifitas dan waktu yang dibutuhkan olanzapin intramuskular dan haloperidol intramuskular dalam meredakan agitasi pada pasien skizofrenik.

Metode : Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental two group pretest-posttest design berupa uji klinis terbuka secara paralel dengan 2 kelompok. Penelitian dilakukan di BLUD Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara periode 1 April 2010-30 Juni 2010. Sampel penelitian adalah pasien skizofrenik akut dengan agitasi dan pemilihan sampel dengan cara non probability sampling jenis

consecutive sampling. Keparahan agitasi diukur dengan PANSS-EC.

Hasil : Dari uji statistik dengan Independent Sample Test setelah 2 jam pemberian injeksi olanzapin dan haloperidol intramuskular didapati nilai rata-rata akhir skor PANSS-EC masing-masing 12,5 (SD 2,1) dan 14,7 (SD 2,7) dengan nilai p = 0,01. Setelah 4 jam pemberian injeksi olanzapin dan haloperidol intramuskular didapati nilai rata-rata akhir skor PANSS-EC masing-masing 8,2 (SD 1,3) dan 9,8 (SD 1,7) dengan nilai p = 0,0001. Selanjutnya, setelah 24 jam pemberian injeksi olanzapin dan haloperidol intramuskular didapati nilai rata-rata akhir skor PANSS-EC masing-masing 6,7 (SD 0,7) dan 8,2 (SD 0,9) dengan nilai p = 0,0001. Nilai p < 0,05 tersebut menunjukkan bahwa terdapat perubahan skor PANSS-EC yang bermakna dalam 2 jam, 4 jam dan 24 jam setelah pemberian injeksi olanzapin dibandingkan haloperidol. Dari uji statistik dengan Chi-square terhadap perubahan tingkat keparahan agitasi pada pasien skizofrenik, diperoleh nilai p = 0,355 pada jam ke-2, p = 0,015 pada jam ke-4 dan p = 0,313 pada jam ke-24 setelah pemberian injeksi olanzapin dan haloperidol. Olanzapin intramuskular memberikan hasil yang berbeda secara bermakna dalam menurunkan tingkat keparahan agitasi setelah 4 jam dibandingkan haloperidol intramuskular.

Kesimpulan : Olanzapin intramuskular lebih bermakna dalam menurunkan skor PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi dan lebih cepat menurunkan tingkat keparahan agitasi dibandingkan dengan haloperidol intramuskular.


(18)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) agitasi didefinisikan sebagai aktivitas motorik yang berlebih-lebihan terkait dengan perasaan ketegangan dari dalam diri. Gangguan perilaku yang kompleks yang dikarakteristikkan dengan agitasi ini terdapat pada sejumlah gangguan psikiatri seperti skizofrenia, gangguan bipolar, demensia (termasuk penyakit Alzheimer) dan penyalahgunaan zat (obat dan/atau alkohol).1 Dari data-data pasien yang mengunjungi unit gawat darurat psikiatri, agitasi merupakan simtom yang sering sekali dikeluhkan pada penderita dengan psikosis, gangguan bipolar dan demensia. Di Amerika Serikat, penderita dengan agitasi yang datang ke unit gawat darurat psikiatri meliputi 21% pasien-pasien skizofrenik, 13% pasien dengan gangguan bipolar dan 5% pasien dengan demensia.2

Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas yang sering dijumpai didalam unit gawat darurat psikiatri sebagai keluhan pasien-pasien dengan gangguan psikotik.3,4 Kondisi ini dikarakteristikkan dengan gambaran perilaku berupa perilaku mengancam dan disforik yang dapat dihubungkan dengan penyebab dasar yang bervariasi. Agitasi pada psikotik akut sering terjadi pada pasien skizofrenik, gangguan skizoafektif, gangguan skizofreniform, gangguan psikotik singkat dan


(19)

gangguan bipolar. Ketika dijumpai pasien di unit gawat darurat dengan agitasi pada psikotik akut, dibutuhkan intervensi yang cepat untuk meredakan gejala-gejala dan mencegah pasien mencederai diri sendiri atau orang lain.4

Sebelum dikenalnya antipsikotik, penanganan psikosis akut dilakukan dengan restrain (pengekangan) fisik. Dengan dikenalnya antipsikotik (klorpromazin), pengekangan fisik mengalami perubahan menjadi kimiawi. Penanganan psikosis akut dengan agitasi dengan pengobatan antipsikotik sekarang dihubungkan dengan efek yang merugikan yang membuat pasien menghindari proses-proses penatalaksanaan jangka panjang. Berkembangnya formulasi obat antipsikotik kerja cepat menjanjikan suatu penatalaksanaan psikosis akut yang revolusioner melalui keefektifannya dan toleransi yang baiknya sebagai alternatif dari obat-obat konvensional.4

Pengobatan dengan antipsikotik intramuskular diindikasikan untuk pengobatan awal pasien-pasien dengan psikosis akut yang disertai dengan adanya agitasi psikomotor. Pada pasien-pasien ini dibutuhkan pengobatan yang berespons cepat sedangkan pemberian pengobatan secara oral sering tidak praktis. Pengobatan agitasi pada psikotik akut bertujuan untuk menenangkan agitasi, penyerangan, kekerasan/kasar (violent) atau menghindari pasien membahayakan dirinya ataupun orang lain dengan efek samping yang minimal. Haloperidol merupakan antipsikotik konvensional yang luas digunakan sebagai pilihan pada pasien psikotik akut dengan agitasi.4 Dosis haloperidol intramuskular 2-5 mg dipergunakan untuk mengontrol dengan cepat pasien skizofrenik akut yang agitasi dengan gejala-gejala yang


(20)

agak berat sampai sangat berat. Bergantung kepada respons pasien, dosis berikutnya dapat diberikan tiap jam, walaupun dengan interval 4-8 jam sudah memuaskan.5 Onset of action haloperidol intramuskular bervariasi dan umumnya antara 30 dan 60 menit. Pengobatan antipsikotik konvensional berhubungan dengan efek tidak nyaman yang luas. Biasanya dosis lebih tinggi dari 10-15 mg haloperidol atau ekivalensinya dengan antipsikotik konvensional lain lebih menimbulkan efek yang merugikan yang lebih berat daripada dosis yang lebih rendah. Efek yang merugikan dapat berupa gejala ekstrapiramidal, hipotensi yang ringan, sedasi dan disforik. Yang termasuk dalam gejala ekstrapiramidal adalah gejala parkinsonisme yang diinduksi obat neuroleptik, distonia akut dan akatisia. Meskipun obat antipsikotik potensi tinggi sering menimbulkan gejala ekstrapiramidal, obat antipsikotik potensi rendah lebih besar risiko terjadinya hipotensi dan sedasi sehingga penggunaannya terbatas pada pemberian intramuskular.4

Obat antipsikotik atipikal memberikan efek yang sama dengan obat konvensional dalam mengurangi simtom positif dengan risiko gejala ekstrapiramidal yang lebih rendah pada dosis terapeutik. Lebih jauh lagi, obat antipsikotik atipikal ini lebih baik dibandingkan obat antipsikotik konvensional dalam hal keuntungan kognitif. Disamping mempunyai risiko yang lebih rendah untuk terjadinya gejala ekstrapiramidal, pengobatan antipsikotik atipikal intramuskular juga mempunyai keuntungan dalam menangani psikosis akut karena obat ini berhubungan dengan mengurangi disforia, kurang menimbulkan sedasi dan mengurangi risiko hipotensi. Oleh karena itu,


(21)

pengobatan antipsikotik atipikal efektif dan ditoleransi dengan baik dalam bentuk intramuskular maupun oral dengan meningkatkan kepatuhan terhadap terapi maintenance.4

Secara umum, jika pasien-pasien yang agitasi tidak menunjukkan simtom-simtom psikotik maka pilihan obatnya adalah benzodiazepin sedangkan pada pasien-pasien dengan skizofrenia obat neuroleptik lebih diindikasikan.6 Sudah banyak penelitian yang membandingkan pemakaian antipsikotik dalam meredakan simtom agitasi pada pasien skizofrenik seperti yang dilakukan oleh Baker dan kawan-kawan (dkk) yang meneliti keefektifan olanzapin yang dengan segera menurunkan gejala-gejala agitasi pada pasien skizofrenik, gangguan skizoefektif, gangguan skizofreniform atau gangguan bipolar,7 Alan Breier dkk yang meneliti bahwa dosis olanzapin intramuskular 10 mg lebih efektif daripada dosis yang lebih kecil dalam meredakan agitasi dan tidak ada perbedaan bermakna dalam menurunkan agitasi setelah 2 jam pemberian olanzapin dan haloperidol intramuskular,8 Padraig Wright dkk yang meneliti bahwa olanzapin 10 mg intramuskular memberikan hasil yang berbeda secara bermakna dalam menurunkan agitasi dibandingkan haloperidol 7,5 mg intramuskular yang diobservasi pada 15, 30 dan 45 menit pertama setelah injeksi pertama diberikan,9 Padraig Wright yang meneliti bahwa olanzapin 10 mg im lebih cepat meredakan agitasi daripada haloperidol 7,5 mg im dan menunjukkan efek samping ekstrapiramidal lebih ringan dalam 24 jam setelah pengobatan,10 dan Vincenzo Villari dkk yang meneliti bahwa olanzapin, risperidon dan quetiapin oral sama efektifnya dengan haloperidol


(22)

oral dan ditoleransi lebih baik dalam menangani agitasi psikotik di praktek klinis gawat darurat psikiatri.11

Olanzapin intramuskular mempunyai onset of action yang lebih cepat dibandingan olanzapin oral. Onset of action olanzapin intramuskular terjadi sekitar 15 menit sampai 2 jam setelah pemberian awal. Perusahaan merekomendasikan olanzapin intramuskular sebagai injeksi tunggal 10 mg dan diperbolehkan sampai 3 kali injeksi 10 mg dalam 24 jam.4,12

1.2. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah olanzapin intramuskular lebih baik menurunkan agitasi pada pasien skizofrenik dibandingkan dengan haloperidol intramuskular?

2. Apakah olanzapin intramuskular memiliki waktu yang lebih cepat menurunkan tingkat keparahan agitasi pada pasien skizofrenik dibandingkan dengan haloperidol intramuskular? 1.3. Hipotesis

1. Olanzapin intramuskular lebih baik menurunkan agitasi pada pasien skizofrenik dibandingkan haloperidol intramuskular.

2. Olanzapin intramuskular memiliki waktu yang lebih cepat dalam menurunkan tingkat keparahan agitasi pada pasien skizofrenik dibandingkan haloperidol intramuskular.


(23)

1.4. Tujuan Penelitian Tujuan Umum :

Untuk membandingkan olanzapin intramuskular dan haloperidol intramuskular dalam mengurangi agitasi pada pasien skizofrenik .

Tujuan Khusus:

1. Untuk mengetahui apakah olanzapin intramuskular lebih baik dibandingkan haloperidol intamuskular dalam menurunkan agitasi pada pasien skizofrenik.

2. Untuk mengetahui apakah olanzapin intramuskular memiliki waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan haloperidol intramuskular dalam menurunkan tingkat keparahan agitasi pada pasien skizofrenik.

1.5. Manfaat Penelitian

Dengan menurunkan agitasi dengan cepat maka kemungkinan pasien mencelakai diri sendiri atau orang lain semakin berkurang dan klinisi dapat lebih bijak dalam memilih pengobatan.


(24)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Agitasi

Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas. Agitasi sangatlah sering dijumpai di dalam pelayanan gawat darurat psikiatri sebagai keluhan pasien-pasien dengan gangguan psikotik.3 Agitasi memiliki manifestasi yang bermacam-macam. Umumnya komponen perilaku dari agitasi dapat dikenali sebagai agresif secara fisik atau verbal (seperti berkelahi, melempar, merebut, menghancurkan barang-barang, memaki dan berteriak) dan juga yang nonagresif (tidak dapat tenang, mondar-mandir, bertanya berulang-ulang, bercakap-cakap dan inappropriate disrobing).2

Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika di dalam DSM-IV-TR, agitasi didefinisikan sebagai aktivitas motorik yang berlebih-lebihan terkait dengan perasaan ketegangan dari dalam diri. Gangguan perilaku yang kompleks yang dikarakteristikkan dengan agitasi terdapat pada sejumlah gangguan psikiatri seperti skizofrenia, gangguan bipolar, demensia (termasuk penyakit Alzheimer) dan penyalahgunaan zat (obat dan/atau alkohol).1

Dari data-data pasien yang mengunjungi pelayanan gawat darurat psikiatri, agitasi merupakan simtom yang sering sekali dikeluhkan pada penderita dengan psikosis, gangguan bipolar dan demensia. Di Amerika Serikat, penderita dengan agitasi yang datang ke pelayanan gawat darurat


(25)

psikiatri meliputi 21% pasien-pasien skizofrenik, 13% pasien dengan gangguan bipolar dan 5% pasien dengan demensia.2

2.2. Skizofrenia

Skizofrenia secara definisi merupakan suatu gangguan yang harus terjadi sedikitnya selama 6 bulan atau lebih, termasuk sedikitnya selama 1 bulan mengalami waham, halusinasi, pembicaraan yang kacau, perilaku kacau atau katatonik atau simtom-simtom negatif. Meskipun tidak dikenali secara formal sebagai bagian dari kriteria diagnostik untuk skizofrenia, sejumlah studi-studi melakukan subkatagori terhadap gejala-gejala gangguan ini kedalam 5 dimensi, yaitu simtom positif, simtom negatif, simtom kognitif, simtom agresif/permusuhan dan simtom depresif/ansietas.13

Simtom positif tampaknya merefleksikan suatu ketidaksesuaian dengan fungsi-fungsi yang normal dan secara tipikal meliputi waham dan halusinasi, juga termasuk bahasa dan komunikasi yang terdistorsi atau berlebihan (bicara yang kacau) dan juga dalam perilaku (perilaku yang kacau atau perilaku agitasi). Simtom negatif terdiri dari sedikitnya 5 tipe gejala, yaitu afek yang datar, alogia, avolisi, anhedonia dan perhatian yang terganggu. Dalam skizofrenia, simtom negatif sering dipertimbangkan sebagai suatu fungsi normal yang berkurang seperti afek yang tumpul, emotional withdrawal,

rapport yang buruk, pasif dan penarikan sosial. Simtom kognitif skizofrenia mungkin sebagai gambaran tambahan yang dapat tumpang-tindih dengan simtom-simtom negatif. Gejala kognitif termasuk secara spesifik kedalam gangguan pikiran skizofrenia dan kadang-kadang menggunakan bahasa yang


(26)

aneh, termasuk inkoheren, asosiasi longgar dan neologisme. Perhatian dan proses informasi yang terganggu merupakan gangguan kognitif spesifik lain sehubungan dengan skizofrenia. Simtom agresif dan permusuhan bisa tumpang-tindih dengan simtom positif tetapi secara spesifik menekankan pada permasalahan dalam mengontrol impuls. Simtom ini meliputi permusuhan yang jelas, seperti perlakuan kasar baik secara verbal atau fisik ataupun sampai melakukan penyerangan. Beberapa simtom juga termasuk seperti perilaku melukai diri sendiri, bunuh diri, membakar rumah dengan sengaja atau merusakkan milik orang lain. Tipe yang lain dari ketidakmampuan mengontrol impuls (impulsiveness), seperti sexual acting out, juga termasuk kedalam katagori simtom agresif dan permusuhan. Simtom depresif dan ansietas sering sehubungan dengan skizofrenia, tetapi adanya simtom ini bukan berarti memenuhi kriteria diagnostik untuk komorbid dengan gangguan ansietas atau gangguan afektif.13

Gambar 1. Lima Dimensi Skizofrenia.

Dikutip dari: Essential psychopharmacology 2nd ed Stephen M Stahl Cambridge University Press. 2000


(27)

2.3. Agitasi Pada Skizofrenia

Agitasi merupakan kejadian yang sering terjadi pada pasien-pasien dengan skizofrenia akut atau bipolar mania dan jika semakin parah dapat menimbulkan perilaku yang agresif atau kasar.14 Pasien-pasien skizofrenik yang kasar mempunyai lebih banyak simtom positif dan perilaku aneh yang lebih menonjol dan mungkin bertindak sesuai dengan waham mereka, terutama jika waham mereka menimbulkan distressing (menyusahkan / membingungkan) bagi mereka. Pasien yang mengalami halusinasi perintah untuk mencederai orang lain juga sering menjadi kasar.15

Gejala-gejala inti dari agitasi meliputi kegelisahan yang menonjol, permusuhan, perilaku agresif, penyerangan, kekerasan atau perilaku perusakan fisik, memaki, sikap atau bicara yang mengancam. Keadaan agitasi termasuk kedalam kegawat daruratan psikiatri yang membutuhkan pendekatan pengobatan yang cepat dan efektif untuk mengurangi risiko perilaku yang tidak diinginkan atau mencederai dan untuk melindungi baik pasien dan pengasuh dari kemungkinan cedera.16

Pada tahun 2004, American Psychiatric Association Steering Committee on Practice Guidelines menegaskan bahwa meskipun hanya sedikit dari pasien skizofrenik yang bertindak kasar (violent), bukti-bukti menunjukkan bahwa pasien skizofrenik berhubungan dengan meningkatnya risiko berperilaku agresif. Dalam studi retrospektif yang dilakukan di Eropa dengan mengevaluasi data seluruh pasien skizofrenik yang masuk ke rumah sakit di Munich disimpulkan bahwa 14% menunjukkan perilaku agresif


(28)

sewaktu masuk ke rumah sakit. Dalam studi ini, perilaku agresif paling banyak dijumpai pada pasien skizofrenik pria, pasien dengan subtipe skizofrenia yang

disorganized dan pasien psikotik yang memperlihatkan gejala waham dan berpikir yang kacau. Dalam studi yang lain, didapati bukti-bukti bahwa pasien yang kasar lebih banyak dijumpai pada skizofrenia terutama bila komorbid dengan penyalahgunaan zat.2

Didalam sampel komunitas, sejumlah studi-studi epidemiologi telah menunjukkan kekonsistenannya bahwa pasien skizofrenik memiliki risiko lebih tinggi terlibat dalam tindakan kekerasan dibandingkan gangguan mental lain.17 Pasien skizofrenik berisiko tinggi berperilaku kasar bila memiliki kecurigaan dan permusuhan, halusinasi yang parah, insight yang buruk terhadap wahamnya, mengalami gangguan berpikir yang lebih menonjol dan kemampuan mengontrol impuls agresifnya yang buruk dibandingkan pasien yang tidak berperilaku kasar. Secara keseluruhan, keadaan tersebut merupakan alasan bagi keluarga untuk merawat pasien dengan skizofrenia.2

Ada bukti yang menyarankan bahwa skizofrenia berhubungan dengan meningkatnya risiko perilaku yang agresif. Faktor risiko menjadi agresif pada skizofrenia adalah pria, miskin, tidak punya pekerjaan/keahlian (unskilled), tidak berpendidikan (uneducated) atau tidak menikah dan mempunyai riwayat pernah ditahan atau riwayat kekerasan sebelumnya.15

Dasar neuroanatomi dan neurokimia agitasi masih belum banyak diketahui. Agitasi sering sebagai bagian dari suatu episode psikotik akut dan kebanyakan terkait dengan domain simtom positif. Sistem neurotransmitter


(29)

yang mendasari dalam patofisiologi simtom psikotik telah diimplikasikan pada

pathway dopaminergik, serotonergik, GABAergik dan glutamatergik.18 Obat-obat yang menurunkan dopaminergik atau noradrenergik, atau meningkatkan serotonergik dan GABAergik akan melemahkan agitasi.17,18 Neurotransmisi glutamatergik di striatum mempunyai peran utama dalam regulasi fungsi psikomotor.18

Psikosis akut mungkin dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu sindrom diskoneksi mesokortikal disebabkan karena hiperaktif dopaminergik di limbik dengan terputusnya modulasi glutamatergik dari neurotransmisi dopaminergik dengan mereduksi inhibisi GABAergik dimana akan menurunkan aktifitas prefrontal kortikal, simtom positif dan negatif, dan simtom kognitif. Oleh sebab itu fokus dari antiagitasi adalah antagonis dopaminergik oleh antipsikotik dengan bermacam variasi profil binding

reseptor dopamin-2 (D2) dan 5-hydroxytryptamine type 2 (5-HT2). Obat yang secara spesifik mempunyai afinitas ikatan reseptor D2 dan afinitas yang tinggi pada reseptor 5HT2 akan meminimalkan gejala ekstrapiramidal, dan tambahan kualitas sedasi diperoleh dari afinitas yang tinggi histamin-1 (H1) dibutuhkan untuk tujuan meredakan agitasi.18

Agitasi pada psikotik akut sering dijumpai di unit gawat darurat. Kondisi ini dikarakteristikkan dengan gambaran perilaku berupa perilaku mengancam dan disforik yang dapat dihubungkan dengan penyebab dasar yang bervariasi sehingga membutuhkan intervensi yang cepat untuk mengurangi gejala-gejala dan mencegah pasien mencederai diri sendiri atau orang lain.4


(30)

Simtom positif menjadi prioritas target utama untuk distabilkan pada pasien-pasien psikosis akut yang dihospitalisasi. Agitasi dan permusuhan, sering berkaitan dengan simtom positif, sering juga menjadi prioritas utama untuk distabilkan pada pasien psikosis akut yang dihospitalisasi terutama pada hari pertama penatalaksanaan. Untuk alasan inilah dalam memilih regimen pengobatan dipertimbangkan yang memiliki efikasi terhadap simtom positif, agresi pada psikotik dan agitasi pada psikotik.19

2.4. Farmakoterapi Pada Agitasi

Sebelum dikenalnya antipsikotik, penanganan psikosis akut dilakukan dengan

restrain (pengekangan) fisik. Dengan dikenalnya antipsikotik (klorpromazin), pengekangan fisik mengalami perubahan menjadi kimiawi. Penanganan psikosis akut dengan agitasi dengan pengobatan antipsikotik sekarang dihubungkan dengan efek yang merugikan yang membuat pasien menghindari proses-proses penatalaksanaan jangka panjang. Berkembangnya formulasi obat antipsikotik kerja cepat menjanjikan suatu penatalaksanaan psikosis akut yang revolusioner melalui keefektifannya dan toleransi yang baiknya sebagai alternatif dari obat-obat antipsikotik yang konvensional.4

Obat antipsikotik dapat dibagi kedalam dua kelompok utama, yaitu antipsikotik konvensional yang sering disebut juga first-generation antipsychotics (FGA) atau dopamine receptor antagonist dan antipsikotik golongan kedua yang sering disebut juga second-generation antipsychotics

(SGA) atau serotonin-dopamine antagonist (SDA).20,21 Istilah FGA dan SGA berdasarkan pada teori bahwa efek antipsikotik dari obat antagonis reseptor


(31)

dopamin dihasilkan dari blokade reseptor dopamin tipe 2 (D2) sedangkan pada SGA berbeda, terkait rasio blokadenya sebagai antagonis D2 dan

5-hydroxytryptamine type 2A (5-HT2A). Antagonis reseptor dopamin selanjutnya lagi dapat dibagi dengan yang berpotensi rendah, sedang dan tinggi terhadap reseptor D2. Obat yang mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor D2 mempunyai tendensi menimbulkan efek samping ekstrapiramidal yang lebih besar pula. Sedangkan obat yang potensi rendah akan menimbulkan efek samping ekstrapiramidal yang lebih kecil tetapi lebih sering pula menyebabkan hipotensi postural, sedasi dan efek antikolinergik.20

Meskipun semua antipsikotik tersedia dalam formulasi oral, hanya beberapa saja yang tersedia dalam bentuk injeksi. Klinisi sebaiknya memilih pemberian obat secara injeksi apabila pasien tersebut agitasi yang akan lebih menguntungkan jika obat mencapai kadar plasma dengan lebih cepat. Sebagai contoh, kebanyakan antipsikotik intramuskular mencapai kadar maksimum plasma dalam 30 sampai 60 menit. Pasien biasanya tenang dalam waktu 15 menit.20,21

1. Haloperidol

Haloperidol merupakan butyrophenone pertama dari antipsikotik utama.5 Kerja terapeutik obat-obat antipsikotik konvensional adalah memblok reseptor D2 khususnya di pathway mesolimbik. Hal ini menimbulkan efek berkurangnya hiperaktivitas dopamin pada pathway ini yang didalilkan sebagai penyebab simtom positif pada psikosis.13


(32)

Pemberian secara intramuskular dalam dosis 2-5 mg diperlukan untuk mengontrol dengan cepat pasien skizofrenik akut yang agitasi dengan gejala-gejala yang sedang-berat sampai sangat berat. Tergantung terhadap respons pasien, dosis ulangan dapat juga diberikan dalam setiap jam walaupun dengan interval 4-8 jam sudah memuaskan. Efek samping ekstrapiramidal sering dilaporkan terjadi selama beberapa hari pertama pengobatan. Efek samping ekstrapiramidal secara umum dapat dibagi atas gejala-gejala mirip Parkinson, akatisia atau distonia (termasuk opistotonus dan okulogirik krisis).5

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Alan Brairer menunjukkan tidak ada perbedaan antara haloperidol 7,5 mg intramuskular dengan olanzapin 7,5 mg dan 10 mg intramuskular dalam menurunkan skor Positive and Negative Syndrome Scale-Excitement Scale (PANSS-EC) dalam 2 jam setelah injeksi pertama 8 dan haloperidol mempunyai efektivitas yang sama dibandingkan risperidon, olanzapin dan quetiapin oral dalam meredakan agitasi pada psikotik.11

2. Olanzapin

Olanzapin adalah sebuah antipsikotik atipikal kelompok kelas

thienobenzodiazepine. 12 Olanzapin obat yang aman dan efektif dalam penatalaksanaan gejala-gejala skizofrenia, termasuk simtom positif dan negatif, dengan profil efek samping yang lebih ringan. Olanzapin secara spesifik memblok reseptor 5-HT2A dan D2 dan sebagai tambahannya lagi memblok reseptor-reseptor muskarinik (M1), histaminik (H1), 5-HT2C, 5-HT3, 5-HT6, 1, D1 dan D4.22


(33)

Sediaan olanzapin intramuskular yang tersedia adalah dengan dosis 10 mg dan hanya digunakan secara intramuskular dengan pemberian yang lambat dan otot yang dalam (deep into the muscle mass).12 Olanzapin intramuskular absorbsinya cepat dengan konsentrasi plasma puncak terjadi dalam waktu 15 sampai 45 menit.12

Sediaan intramuskular diindikasikan untuk pengobatan agitasi akut berhubungan dengan skizofrenia. Kemanjuran olanzapin intramuskular dalam mengendalikan agitasi pada gangguan ini telah didemonstrasikan pada kisaran dosis 2,5 mg sampai 10 mg. Dosis yang dianjurkan pada pasien adalah 10 mg. Jika agitasi memerlukan dosis intramuskular tambahan tetap mengikuti dosis awal, dosis berikutnya hingga 10 mg dapat diberikan. Namun, kemanjuran dosis ulangan untuk injeksi intramuskular olanzapin pada pasien agitasi belum secara sistematis dievaluasi dalam uji klinis. Dosis maksimal olanzapin intramuskular (misalnya: 3 dosis 10 mg yang diberikan dalam 2-4 jam) dapat berhubungan dengan terjadinya hipotensi ortostatik yang signifikan. Dengan demikian, disarankan bahwa pasien yang memerlukan suntikan olanzapin intramuskular selanjutnya akan dinilai untuk hipotensi ortostatik sebelum administrasi suatu dosis berikutnya olanzapin untuk injeksi intramuskular. 12

Olanzapin telah menunjukkan hasil yang dengan cepat mengurangi simtom-simtom positif dan agitasi pada pasien-pasien dengan skizofrenia akut,8-10,23 agitasi pada pasien dengan bipolar mania24,25dan demensia26


(34)

2.5. Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS)

Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) merupakan suatu alat ukur yang valid untuk menilai beratnya simtom yang dialami pasien skizofrenik dan penilaian terhadap keluaran terapeutikPANSS mempunyai 30 butir penilaian dengan 3 skala (skala positif = 7 butir; skala negatif = 7 butir ; skala psikopatologi umum = 16 butir). Masing-masing butir mempunyai rentang nilai dari 1-7. (1=tidak ada ; 2=minimal ; 3=ringan ; 4=sedang ; 5=agak berat ; 6=berat ; 7=sangat berat). Total skor PANSS antara 30-210.29

Selain itu PANSS juga dapat dibagi kedalam 5 komponen, yaitu:29 1. Komponen positif (isi pikiran yang tidak biasa, waham, kebesaran,

kurangnya daya nilai dan tilikan, perilaku halusinasi)

2. Komponen negatif (penarikan emosional, penarikan diri dari sosial secara pasif, kurangnya spontanitas dan arus percakapan, afek tumpul, kemiskinan

rapport, perhatian buruk, penghindaran sosial secara aktif, retardasi motorik, gangguan dorongan kehendak, mannereisme dan sikap tubuh) 3. Komponen kognitif/disorganisasi (kesulitan dalam pemikiran abstrak,

disorientasi, kekacauan proses pikir, kecurigaan/kejaran, pemikiran steriotipik).

4. Komponen gaduh gelisah (gaduh gelisah, pengendalian impuls yang buruk, ketegangan, permusuhan, ketidakkooperatifan,)

5. Komponen depresi (ansietas, rasa bersalah, depresi, kekhawatiran somatik, preokupasi).


(35)

2.6. Kerangka Konsep

penurunan agitasi

waktu berkurangnya keparahan agitasi

penurunan agitasi

Haloperidol  intramuskular 

Olanzapin  intramuskular  Pasien 

skizofrenik dg   agitasi 

waktu berkurangnya keparahan agitasi


(36)

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Disain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental two group pretest-posttest design yang merupakan uji klinis terbuka secara paralel dengan 2 kelompok dengan melakukan randomisasi.28

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian : Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara

2. Waktu Penelitian : 1 April 2010 – 30 Juni 2010

3.3. Populasi Penelitian

1. Populasi target adalah pasien skizofrenik yang datang berobat ke BLUD Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

2. Populasi terjangkau adalah pasien skizofrenik di BLUD Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara periode 1 April 2010 sampai 30 Juni 2010.

3.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel

Sampel penelitian adalah pasien skizofrenik akut dengan agitasi.

Pemilihan sampel dengan cara non probability sampling jenis consecutive sampling.28


(37)

3.5. Perkiraan Besar Sampel

Besar sampel diukur dengan menggunakan rumus: 28 (Z + Zβ)S 2

n1 = n2 = 2

(X1-X2)

Z = tingkat kepercayaan = 95%; pada  = 5% = 1,64 (satu arah = one tail)

Zβ = power = 80%; pada β = 20% = 0,84 X1-X2 = 4

S = 5,9 (dari penelitian sebelumnya) n1 = n2 = 26,76  30

Dengan menggunakan rumus diatas didapati jumlah sampel untuk masing-masing kelompok 30 orang.

3.6. Kriteria Penelitian Kriteria Inklusi

1. Pasien skizofrenik yang memenuhi kriteria menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJI-III) dengan agitasi

2. Usia 15-45 tahun 3. Berat badan ideal

4. Skor PANSS-EC > 20 (tingkat keparahan = agak berat) 5. Keluarga bersedia bila pasien menjadi subjek penelitian


(38)

Kriteria Ekslusi

1. Pasien dengan riwayat tidak respons/hipersensitif terhadap haloperidol atau olanzapin

2. Pernah diberikan depo antipsikotik dalam 2 minggu terakhir 3. Dalam keadaan hamil atau menyusui

4. Tekanan darah sitolik < 100 mmHg

3.7. Ijin Subyek Penelitian

Semua subyek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua atau keluarga terdekat setelah terlebih dahulu diberi penjelasan sebelum diberikan pengobatan dengan menggunakan injeksi haloperidol atau olanzapin pada pasien skizofrenik.

3.8. Etika Penelitian

Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komite Etika Penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.9. Cara Kerja Penelitian

Pasien skizofrenik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan keluarga telah mengisi persetujuan secara tertulis setelah mendapatkan penjelasan yang terperinci dan jelas dari peneliti. Selanjutnya subjek penelitian dipilih yang memiliki kesamaan mean dalam hal usia, berat badan dan tingkat keparahan agitasi yang sama (diukur dengan PANSS-EC). Sebelum dilakukan intervensi,


(39)

dilakukan randomisasi terhadap subjek penelitian untuk menentukan subjek mana yang mendapatkan injeksi olanzapin dan injeksi haloperidol dengan menggunakan tabel angka random.28 Selanjutnya dilihat berapa besar skor PANSS-EC sebelum dilakukan intervensi. Selanjutnya, subjek yang ingin diteliti, diintervensi dengan 10 mg olanzapin intramuskular sedangkan subjek yang menjadi kontrol diintervensi dengan 5 mg haloperidol intramuskular. Jika belum didapati kemajuan, maka pemberian injeksi kedua dapat diberikan setelah 2 jam dari pemberian pertama dengan dosis yang sama dengan dosis injeksi yang pertama. Jika belum juga didapati kemajuan pada dua jam berikutnya maka pemberian injeksi ketiga dapat diberikan dengan dosis yang sama dengan dosis pertama. Penilaian kemajuan injeksi kedua dinilai setelah 4 jam sedangkan penilaian injeksi ketiga dinilai dalam 24 jam. Jika setelah dilakukan 3 kali injeksi dalam 24 jam tidak ada kemajuan, subjek tidak dikeluarkan dari penelitian tetapi tetap diperhitungkan diakhir penelitian. Kemudian diamati perubahan skor agitasi dan waktu yang dibutuhkan dalam menurunkan skor agitasi pada subjek yang mendapatkan injeksi olanzapin dan haloperidol. Apabila selama dilakukan penelitian pasien tersebut mengalami efek samping distonia akut diberikan injeksi difenhidramin29 25 mg secara intramuskular.30


(40)

3.10. Kerangka Operasional

Pasien  skizofrenik dg  

agitasi 

 

eksklusi  inklusi

haloperidol  intramuskular  olanzapin 

intramuskular 

PANSS‐EC  2 jam ; 4 jam ; 24 jam 

Randomisasi

PANSS‐EC  2 jam ; 4 jam ; 24 jam 

 

PANSS-EC 

3.11. Identifikasi Variabel

Variabel bebas : olanzapin intramuskular, haloperidol intramuskular

Variabel tergantung : skor PANSS-EC 3.12. Definisi Operasional

1. Pasien skizofrenik adalah pasien yang memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia berdasarkan PPDGJI-III.


(41)

2. Agitasi adalah aktivitas motorik yang berlebih-lebihan terkait dengan perasaan ketegangan dari dalam diri.

3. Usia adalah lamanya hidup sejak lahir yang dinyatakan dalam satuan tahun.

4. Jenis kelamin dibedakan atas laki-laki dan perempuan

5. Berat badan ideal diukur dengan menilai Body Mass Index (BMI) dalam rentang 18,50 - 24,99, yang dihitung dengan menggunakan rumus:

Berat badan (kg) BMI =

Tinggi Badan (m)2

6. PANSS-EC terdiri atas gaduh gelisah (P4), permusuhan (P7), ketegangan (G4), ketidakkooperatifan (G8) dan pengendalian impuls yang buruk (G14).

7. Olanzapin intramuskular adalah antipsikotik atipikal golongan

thienobenzodiazepine yang pemakaiannya hanya untuk intramuskular.

8. Haloperidol intramuskular adalah antipsikotik tipikal golongan

butyrophenone.

9. Penurunan skor yang dianggap ada kemajuan dalam terapi adalah penurunan skor PANSS-EC sebesar 40% dari baseline.

10. Waktu berkurangnya agitasi adalah lama yang diperlukan untuk menurunkan tingkat keparahan agitasi yang dihitung dalam waktu 2 jam, 4 jam dan 24 jam


(42)

11. Tingkat keparahan komponen gaduh gelisah: Skor PANSS-EC 0-5 = Tidak ada Skor PANSS-EC 6-10 = Minimal Skor PANSS-EC 11-15 = Ringan Skor PANSS-EC 16-20 = Sedang Skor PANSS-EC 21-25 = Agak berat Skor PANSS-EC 26-30 = Berat

Skor PANSS-EC 31-35 = Sangat berat 3.13. Analisis dan Penyajian Data

Untuk melihat perbandingan efek olanzapin dan haloperidol terhadap penurunan gaduh gelisah pada pasien skizofrenik dinilai dengan skor PANSS-EC.

Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan uji statistik SPSS versi 15,5 dengan uji hipotesis chi square dan uji-t.28

3.14. Jadwal Penelitian

Waktu kegiatan Maret 2010

April-Juni 2010

Juli 2010 Agustus 2010

Persiapan

Pelaksanaan Penyusunan

Laporan Seminar hasil


(43)

BAB 4. HASIL PENELITIAN

Enampuluh orang pasien skizofrenik yang memenuhi kriteria penelitian dikumpulkan dari Unit Gawat Darurat dan Poliklinik Psikiatri BLUD Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya dilakukan randomisasi untuk menentukan pasien mana yang akan memperoleh injeksi olanzapin dan haloperidol. Pasien yang diikut sertakan pada penelitian ini adalah pasien yang datang berobat dalam periode 1 April 2010 – 30 Juni 2010.

Tabel 4.1. Distribusi sampel penelitian berdasarkan umur dan jenis kelamin Karakteristik

Demografi

Olanzapin i.m n (%)

Haloperidol i.m

n (%) p Umur (tahun)

 15 20 – 25 – 30 – 35 – 40 –  45 Jumlah Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah

0 (0) 5 (16,7) 7 (23,3) 8 (26,7) 8 (26,7) 2 (6,6) 0 (0) 30 (100)

24 (80) 6 (20) 30 (100)

0 (0) 3 (10) 11 (36,7) 8 (26,7) 7 (23,3) 1 (3,3) 0 (0) 30 (100)

26 (86,7) 4 (13,3) 30 (100)

0,606

0,488

Tabel 4.1 memperlihatkan karakteristik demografi dari kelompok subjek yang mendapatkan injeksi olanzapin dan haloperidol. Pada kedua kelompok tidak dijumpai subjek pada kelompok umur < 20 tahun dan  45 tahun. Dari uji statistik pada kelompok umur terhadap pemberian injeksi


(44)

hasil p = 0,606 (p > 0,05). Tidak dijumpai perbedaan proporsi subjek penelitian menurut umur yang bermakna pada kedua kelompok yang akan diintervensi dengan injeksi olanzapin maupun dengan haloperidol.

Tabel 4.1 juga dapat diketahui bahwa dari subjek penelitian yang mendapatkan injeksi olanzapin berjenis kelamin laki-laki sebanyak 24 orang (80%) sedangkan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 6 orang (20%). Selanjutnya, pada subjek penelitian yang mendapatkan injeksi haloperidol yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 26 orang (86,7%) sedangkan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 4 orang (13,3%). Dari uji statistik pada jenis kelamin terhadap pemberian injeksi olanzapin dan haloperidol dengan menggunakan Chi-Square test diperoleh hasil p = 0,488 (p > 0,05). Tidak dijumpai perbedaan proporsi subjek penelitian menurut jenis kelamin yang bermakna pada kedua kelompok yang diintervensi dengan injeksi olanzapin maupun dengan haloperidol.

Tabel 4.2. Karakteristik berat badan dan BMI pada penggunaan injeksi olanzapin dan haloperidol

Olanzapin i.m Haloperidol i.m

n Mean SD n Mean SD p

Berat

Badan 30 65,0 5,9 30 65,7 4,9 0,638

BMI 30 22,6 1,5 30 22,8 1,2 0,636

Dari uji statistik dengan menggunakan independent samples test pada berat badan terhadap pemberian injeksi olanzapin dan haloperidol diperoleh nilai rata-rata berat badan pada kelompok subjek yang mendapatkan injeksi


(45)

olanzapin adalah 65,0 (SD 5,9) kg dan rata-rata berat pada kelompok subjek yang mendapatkan injeksi haloperidol 65,7 (SD 4,9) kg dengan nilai p = 0,638 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak dijumpai perbedaan proporsi berat badan yang bermakna pada kelompok yang akan mendapat injeksi olanzapin dan haloperidol.

Dari uji statistik dengan menggunakan independent samples test

terhadap BMI diperoleh nilai rata-rata BMI pada kelompok subjek yang mendapatkan injeksi olanzapin 22,6 (SD 1,5) dan rata-rata BMI pada kelompok sampel yang mendapatkan injeksi haloperidol 22,8 (SD 1,2) dengan

p = 0,636 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak dijumpai perbedaan BMI yang bermakna pada terhadap kelompok yang akan mendapat injeksi olanzapin dan haloperidol.

Tabel 4.3. Karakteristik skor PANSS-EC saat pertama kali masuk Olanzapin i.m Haloperidol i.m 0 jam

n mean SD n mean SD p

PANSS-EC 30 27,3 3,1 30 28,0 2,9 0,375

Tabel 4.3 memperlihatkan bahwa rata-rata skor PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi yang mendapatkan injeksi olanzapin adalah sebesar 27,3 (SD 3,1) sedangkan yang mendapatkan injeksi haloperidol adalah sebesar 28,0 (SD 2,9).

Dari uji statistik dengan menggunakan independent samples test

terhadap skor PANSS-EC terhadap pasien skizofrenik dengan agitasi pada saat datang ke rumah sakit diperoleh nilai p = 0,375 (p > 0,05). Hal ini


(46)

menunjukkan bahwa tidak dijumpai perbedaan skor PANSS-EC yang bermakna terhadap pada pasien skizofrenik dengan agitasi sebelum diberikan injeksi pada masing-masing kelompok.

Tabel 4.4. Karakteristik tingkat keparahan agitasi saat pertama kali masuk Tingkat keparahan

Agak berat Berat Sangat berat 0 jam

n (%) n (%) n (%)

p

Olanzapin 9 (30,0) 17 (56,7) 4 (13,3)

Haloperidol 5 (16,7) 19 (63,3) 6 (20,0) 0,437

Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa tingkat keparahan agitasi subjek penelitian yang akan mendapat injeksi olanzapin dengan katagori agak berat adalah sebanyak 9 orang (30%), berat sebanyak 17 orang (56,7%) sedangkan yang sangat berat sebanyak 4 orang (13,3%). Sementara itu, tingkat keparahan agitasi pada subjek penelitian yang akan mendapatkan injeksi haloperidol dengan kategori agak berat adalah sebanyak 5 orang (16,7%), berat sebanyak 19 orang (63,3%) sedangkan yang sangat berat sebanyak 6 orang (20%). Dengan menggunakan uji statistik Chi-square terhadap tingkat keparahan agitasi saat pertama kali masuk rumah sakit, didapatkan hasil p=0,437 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak dijumpai perbedaan tingkat keparahan agitasi yang bermakna pada pasien skizofrenik yang akan mendapat injeksi olanzapin dan haloperidol.


(47)

Tabel 4.5. Perubahan skor PANSS-EC setelah 2 jam diinjeksi PANSS-EC

2 jam

n Mean SD p

Olanzapin i.m Haloperidol i.m

30 30

12,5 14,7

2,1

2,7 0,001

Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa rata-rata skor PANSS-EC pada pasien yang mendapatkan injeksi olanzapin adalah sebesar 12,5 (SD 2,1) sedangkan yang mendapatkan injeksi haloperidol adalah sebesar 14,7 (SD 2,9). Dari uji statistik dengan menggunakan independent samples test

terhadap skor PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi setelah 2 jam pemberian injeksi olanzapin dan haloperidol, diperoleh nilai p = 0,001 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa dijumpai perubahan skor PANSS-EC yang bermakna setelah pemberian injeksi olanzapin dibandingkan dengan yang diberikan injeksi haloperidol setelah 2 jam.

Tabel 4.6. Perubahan tingkat keparahan agitasi dalam 2 jam setelah diinjeksi Tingkat keparahan

Ringan Sedang Agak berat 2 jam

n (%) n (%) n (%)

p

Olanzapin 29 (96,7) 1 (3,3) 0 (0)

Haloperidol 27 (90,0) 1 (3,3) 2 (6,7) 0,355

Tabel 4.6 memperlihatkan bahwa dalam waktu 2 jam, dari 30 orang pasien yang mendapat injeksi olanzapin, jumlah pasien dengan tingkat keparahan ringan menjadi 29 orang (96,7%) sedangkan dengan tingkat keparahan sedang menjadi 1 orang (3,3%). Sedangkan dalam waktu 2 jam, dari 30 orang pasien yang mendapat injeksi haloperidol, jumlah pasien dengan


(48)

tingkat keparahan ringan menjadi 27 orang (90%), tingkat keparahan sedang menjadi 1 orang (3,3%), sedangkan jumlah pasien dengan tingkat keparahan agak berat masih dijumpai sebanyak 2 orang (6,7%). Dengan menggunakan uji statistik Chi-square terhadap perubahan tingkat keparahan agitasi dalam waktu 2 jam setelah pemberian injeksi, didapatkan hasil p=0,355 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa dalam waktu 2 jam setelah diberikan injeksi dengan olanzapin tidak dijumpai perubahan tingkat keparahan agitasi yang bermakna dibandingkan dengan setelah diinjeksi haloperidol.

Tabel 4.7. Perubahan skor PANSS-EC setelah 4 jam diinjeksi PANSS-EC

4 jam

n mean SD p

Olanzapin i.m Haloperidol i.m

30 30

8,2 9,8

1,3

1,7 0,0001

Tabel 4.7 memperlihatkan bahwa rata-rata skor PANSS-EC pada pasien yang mendapatkan injeksi olanzapin adalah sebesar 8,2 (SD 1,3) sedangkan yang mendapatkan injeksi haloperidol adalah sebesar 9,8 (SD 1,7).

Dari uji statistik dengan menggunakan independent samples test

terhadap skor PANSS –EC terhadap pasien skizofrenik dengan agitasi setelah 4 jam pemberian injeksi olanzapin dan haloperidol, diperoleh nilai p = 0,0001 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa dijumpai perubahan skor PANSS-EC yang bermakna setelah pemberian injeksi olanzapin dibandingkan dengan yang diberikan injeksi haloperidol setelah 4 jam.


(49)

Tabel 4.8. Perubahan tingkat keparahan agitasi dalam 4 jam setelah diinjeksi Tingkat keparahan

Minimal Ringan Sedang 4 jam

n (%) n (%) n (%)

p

Olanzapin 24 (80) 6 (20) 0 (0)

Haloperidol 15 (50) 15 (50) 0 (0) 0,015

Tabel 4.8 memperlihatkan bahwa dalam waktu 4 jam, dari 30 orang pasien yang mendapat injeksi olanzapin, jumlah pasien dengan tingkat keparahan minimal menjadi 24 orang (80%) sedangkan dengan tingkat keparahan ringan menjadi 6 orang (20%). Sedangkan dalam waktu 4 jam, dari 30 orang pasien yang mendapat injeksi haloperidol, jumlah pasien dengan tingkat keparahan minimal menjadi 15 orang (50%), dan dengan tingkat keparahan ringan menjadi 15 orang (50%). Dengan menggunakan uji statistik

Chi-square terhadap perubahan tingkat keparahan agitasi dalam waktu 4 jam setelah pemberian injeksi, didapatkan hasil p=0,015 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa dalam waktu 4 jam setelah diberikan injeksi dengan olanzapin dijumpai perubahan tingkat keparahan agitasi yang bermakna dibandingkan dengan setelah diinjeksi haloperidol.

Tabel 4.9. Perubahan skor PANSS-EC setelah 24 jam setelah diinjeksi PANSS-EC

24 jam

n mean SD p

Olanzapin i.m Haloperidol i.m

30 30

6,7 8,2

0,7

0,9 0,0001

Tabel 4.9 memperlihatkan bahwa rata-rata skor PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi yang mendapatkan injeksi olanzapin adalah


(50)

sebesar 6,7 (SD 0,7) sedangkan yang mendapatkan injeksi haloperidol adalah sebesar 8,2 (SD 0,9).

Dari uji statistik dengan menggunakan independent samples test

terhadap skor PANSS-EC pasien skizofrenik dengan agitasi setelah 24 jam pemberian injeksi olanzapin dan haloperidol, diperoleh nilai p = 0,0001 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa dijumpai perubahan skor PANSS-EC yang bermakna pada pemberian injeksi olanzapin dibandingkan dengan yang diberikan injeksi haloperidol setelah 24 jam.

Tabel 4.10. Perubahan tingkat keparahan agitasi dalam 24 jam setelah diinjeksi PANSS-EC

Minimal Ringan Sedang 24 jam

n (%) n (%) n (%)

p

Olanzapin 30 (100,0) 0 (0,0) 0 (0,0)

Haloperidol 29 ( 96,7) 1 (3,3) 0 (0,0) 0,313

Tabel 4.10 memperlihatkan bahwa dalam waktu 24 jam, tingkat keparahan seluruh pasien yang mendapat injeksi olanzapin semuanya menjadi minimal. Sedangkan dalam waktu 24 jam, dari 30 orang pasien yang mendapat injeksi haloperidol, jumlah pasien dengan tingkat keparahan minimal menjadi 29 orang (96,7%) dan jumlah pasien dengan tingkat keparahan ringan menjadi 1 orang (3,3%). Dengan menggunakan uji statistik Chi-square

terhadap perubahan tingkat keparahan agitasi dalam waktu 24 jam setelah pemberian injeksi, didapatkan hasil p=0,313 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa dalam waktu 24 jam setelah diberikan injeksi, tidak dijumpai perbedaan perubahan tingkat keparahan agitasi yang bermakna baik dengan olanzapin


(51)

Tabel 4.11. Efek samping setelah diinjeksi

Ada Tidak ada

Efek samping

n % n % Total Olanzapin 0 0% 30 100% 30 100% Haloperidol 6 20% 24 80% 30 100%

Tabel 4.11 memperlihatkan bahwa dari 30 orang yang mendapatkan injeksi olanzapin tidak ada satupun yang menunjukkan efek samping distonia akut sedangkan dari 30 orang yang mendapatkan injeksi haloperidol sebanyak 6 orang mengalami efek samping distonia akut.

Dari 30 subjek yang mendapat injeksi haloperidol, ada 5 orang yang membutuhkan 2 kali injeksi, sedangkan subjek yang mendapat injeksi olanzapin hanya membutuhkan sekali injeksi. Dalam penelitian ini mean dose

olanzapin intramuskular yang digunakan adalah 10 mg (SD 0) sedangkan

mean dose haloperidol intramuskular yang digunakan adalah 5,84 mg (SD 2,03).


(52)

BAB 5. PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental two group pretest-posttest design yang merupakan uji klinis terbuka secara paralel dengan 2 kelompok dengan melakukan randomisasi. Sampel penelitian adalah pasien skizofrenik akut dengan agitasi dan pemilihan sampel dengan cara non probability sampling jenis consecutive sampling.28 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan efektifitas olanzapin intramuskular dan haloperidol intramuskular terhadap penurunan agitasi pada pasien skizofrenik. Penurunan agitasi pada pasien skizofrenik diukur dengan menggunakan PANSS-EC yang terdiri atas komponen gaduh gelisah (P4), permusuhan (P7), ketegangan (G4), ketidakkooperatifan (G8) dan pengendalian impuls yang buruk (G14).27

Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada kelompok yang diberikan injeksi olanzapin umur pasien paling banyak dalam rentang 30- < 35 tahun dan 35- < 40 tahun yaitu masing-masing sebanyak 8 orang (26,7%) dengan umur tertua adalah 40 tahun sebanyak 2 orang dan yang termuda adalah umur 21 tahun sebanyak 2 orang. Sedangkan pada kelompok yang diberikan injeksi haloperidol umur pasien paling banyak dalam rentang 25- <30 tahun yaitu sebanyak 11 orang (36,7%) dengan umur tertua yaitu 40 tahun sebanyak 1 orang dan yang termuda adalah umur 21 tahun yaitu sebanyak 1 orang. Dari uji statistik pada kelompok umur terhadap pemberian injeksi olanzapin dan haloperidol dengan menggunakan Chi-Square test diperoleh


(53)

nilai p=0,606. Tidak ada perbedaan bermakna proporsi sampel menurut umur pada kedua kelompok yang akan diintervensi dengan injeksi olanzapin maupun dengan haloperidol.

Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada kelompok yang diberikan injeksi olanzapin dan haloperidol, pasien yang paling banyak adalah yang berjenis kelamin laki-laki masing-masing sebanyak 24 orang (80,0%) dan 26 orang (86,7%) sedangkan yang berjenis kelamin perempuan masing-masing sebanyak 6 orang (20,0%) dan 4 orang (13,3%). Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-Square test diperoleh hasil p=0,488. Tidak ada perbedaan bermakna proporsi sampel menurut jenis kelamin pada kedua kelompok yang akan diintervensi dengan injeksi olanzapin maupun dengan haloperidol.

Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa dari 30 orang pasien yang diinjeksi dengan olanzapin mempunyai rata-rata berat badan 65,0 (SD 5,9) kg dengan berat badan tertinggi adalah 70 kg yaitu sebanyak 4 orang dan berat badan terkecil adalah 48 kg sebanyak 1 orang. Selanjutnya dari 30 orang pasien yang diinjeksi dengan haloperidol mempunyai rata-rata berat badan 65,7 (SD 5,9) kg dengan berat badan tertinggi adalah 74 kg yaitu sebanyak 1 orang dan berat badan terkecil adalah 48 kg sebanyak 1 orang. Dari hasil uji statistik menggunakan independent sample test terhadap berat badan diperoleh nilai p=0,638. Tidak ada perbedaan proporsi berat badan yang bermakna pada kelompok yang akan mendapat injeksi olanzapin dan haloperidol.

Dari hasil penelitaian ini diperoleh hasil bahwa dari 30 orang pasien yang diinjeksi dengan olanzapin mempunyai rata-rata BMI 22,6 (SD 1,5),


(54)

sedangkan dari 30 orang pasien yang diinjeksi dengan haloperidol mempunyai rata-rata BMI 22,8 (SD 1,2). Dari hasil uji statistik menggunakan independent sample test terhadap BMI diperoleh nilai p=0,636. Tidak ada perbedaan BMI yang bermakna pada terhadap kelompok yang akan mendapat injeksi olanzapin dan haloperidol.

Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa dari 30 orang pasien yang akan diinjeksi dengan olanzapin mempunyai rata-rata skor PANSS-EC 27,3 (SD 3,1) dengan skor tertinggi adalah 33 sebanyak 1 orang dan skor terkecil adalah 21 sebanyak 1 orang. Selanjutnya dari 30 orang pasien yang akan diinjeksi dengan haloperidol mempunyai rata-rata skor PANSS-EC 28,0 (SD 2,9) dengan skor tertinggi adalah 33 sebanyak 1 orang dan skor terkecil adalah 21 sebanyak 2 orang. Dari hasil uji statistik dengan menggunakan independent sample test terhadap skor PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi diperoleh nilai p =0,375. Tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap skor PANSS-EC sebelum diberikan injeksi pada masing-masing kelompok.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa dari 30 orang pasien yang akan diinjeksi dengan olanzapin memiliki tingkat keparahan agak berat sebanyak 9 orang (30%), berat sebanyak 17 orang (56,7%) dan sangat berat sebanyak 4 orang (13,3%). Selanjutnya dari 30 orang pasien yang akan diinjeksi dengan haloperidol memiliki tingkat keparahan agak berat sebanyak 5 orang (16,7%), berat sebanyak 19 orang (63,3%) dan sangat berat sebanyak 6 orang (20%). Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-Square test diperoleh hasil


(55)

kelompok yang akan diintervensi dengan injeksi olanzapin maupun dengan haloperidol.

Dari hasil uji statistik terhadap umur, jenis kelamin, berat badan, BMI, skor PANSS-EC saat pertama kali dan tingkat keparahan pada pasien skizofrenik diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok penelitian yang akan di injeksi olanzapin maupun haloperidol, yakni nilai p > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelompok penelitian tersebut memiliki kesetaraan pada saat awal, sebelum dilakukan intervensi pengobatan baik dengan injeksi olanzapin ataupun haloperidol.

Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa dari 30 orang pasien yang diinjeksi dengan olanzapin, setelah 2 jam kemudian, mempunyai rata-rata skor PANSS-EC 12,5 (SD 2,1) dengan skor tertinggi adalah 17 sebanyak 1 orang dan skor terkecil adalah 10 sebanyak 6 orang. Selanjutnya dari 30 orang pasien yang diinjeksi dengan haloperidol, setelah 2 jam kemudian, mempunyai rata-rata skor PANSS-EC 14,7 (SD 2,7) dengan skor tertinggi adalah 25 sebanyak 1 orang dan skor terkecil adalah 11 sebanyak 1 orang. Dari hasil uji statistik dengan menggunakan independent sample test terhadap skor PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi setelah 2 jam pemberian injeksi, diperoleh nilai p < 0,05. Terdapat perubahan skor PANSS-EC yang bermakna setelah 2 jam pemberian injeksi olanzapin dibandingkan dengan yang diberikan injeksi haloperidol.

Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa dalam waktu 2 jam, dari 30 pasien yang sebelumnya memiliki tingkat keparahan agak berat, berat dan


(56)

sangat berat, setelah mendapat injeksi olanzapin jumlah pasien dengan tingkat keparahan sedang menjadi 1 orang (3,3%) dan ringan menjadi 29 orang (96,7%). Sedangkan yang mendapat injeksi haloperidol dalam waktu 2 jam, dari 30 pasien yang sebelumnya memiliki tingkat keparahan agak berat, berat dan sangat berat mengalami perubahan menjadi agak berat sebanyak 2 orang (6,7%), sedang sebanyak 1 orang (3,3%) dan ringan sebanyak 27 orang (90%). Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-Square test diperoleh hasil

p=0,355. Tidak ada perbedaan perubahan tingkat keparahan yang bermakna pada kedua kelompok baik yang diintervensi dengan injeksi olanzapin maupun dengan haloperidol dalam 2 jam.

Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa dari 30 orang pasien yang diinjeksi dengan olanzapin, setelah 4 jam kemudian, mempunyai rata-rata skor PANSS-EC 8,2 (SD 1,3) dengan skor tertinggi adalah 11 sebanyak 1 orang dan skor terkecil adalah 6 sebanyak 3 orang. Selanjutnya dari 30 orang pasien yang diinjeksi dengan haloperidol, setelah 4 jam kemudian, mempunyai rata-rata skor PANSS-EC 9,8 (SD 1,7) dengan skor tertinggi adalah 15 sebanyak 4 orang dan skor terkecil adalah 8 sebanyak 4 orang. Dari hasil uji statistik dengan menggunakan independent sample test terhadap skor PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi setelah 4 jam pemberian injeksi, diperoleh nilai p < 0,05. Terdapat perubahan skor PANSS-EC yang bermakna setelah 4 jam pemberian injeksi olanzapin dibandingkan dengan yang diberikan injeksi haloperidol.


(57)

Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa dalam waktu 4 jam, dari 30 pasien yang sebelumnya memiliki tingkat keparahan agak berat, berat dan sangat berat, setelah mendapat injeksi olanzapin jumlah pasien dengan tingkat keparahan ringan menjadi 6 orang (20%) dan minimal sebanyak 24 orang (80%). Sedangkan yang mendapat injeksi haloperidol dalam waktu 4 jam, dari 30 pasien yang sebelumnya memiliki tingkat keparahan agak berat, berat dan sangat berat mengalami perubahan menjadi ringan sebanyak 15 orang (50%) dan minimal sebanyak 15 orang (50%). Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-Square test diperoleh hasil p=0,015. Dijumpai adanya perubahan tingkat keparahan yang bermakna pada kelompok yang diintervensi dengan injeksi olanzapin dibandingkan dengan haloperidol dalam 4 jam.

Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa dari 30 orang pasien yang diinjeksi dengan olanzapin, setelah 24 jam kemudian, mempunyai rata-rata skor PANSS-EC 6,7 (SD 0,7) dengan skor tertinggi adalah 8 sebanyak 4 orang dan skor terkecil adalah 6 sebanyak 13 orang. Selanjutnya dari 30 orang pasien yang diinjeksi dengan haloperidol, setelah 24 jam kemudian, mempunyai rata-rata skor PANSS-EC 8,2 (SD 0,9) dengan skor tertinggi adalah 11 sebanyak 1 orang dan skor terkecil adalah 7 sebanyak 6 orang. Dari hasil uji statistik dengan menggunakan independent sample test terhadap skor PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi setelah 24 jam pemberian injeksi, diperoleh nilai p < 0,05. Terdapat perubahan skor PANSS-EC yang bermakna setelah 24 jam pemberian injeksi olanzapin dibandingkan dengan yang diberikan injeksi haloperidol.


(58)

Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa dalam waktu 24 jam, dari 30 pasien yang sebelumnya memiliki tingkat keparahan agak berat, berat dan sangat berat, setelah mendapat injeksi olanzapin, seluruh pasien mempunyai tingkat keparahan minimal. Sedangkan yang mendapat injeksi haloperidol dalam waktu 24 jam, dari 30 pasien yang sebelumnya memiliki tingkat keparahan agak berat, berat dan sangat berat mengalami perubahan menjadi ringan sebanyak 1 orang (3,3%) dan minimal sebanyak 29 orang (96,7%). Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-Square test diperoleh hasil

p=0,313. Tidak dijumpai adanya perubahan tingkat keparahan yang bermakna pada kelompok yang diintervensi dengan injeksi olanzapin dibandingkan dengan haloperidol dalam 24 jam.

Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa olanzapin intramuskular memberikan hasil yang berbeda secara bermakna dalam mengurangi agitasi yang diukur dengan PANSS-EC pada pasien skizofrenik dibandingkan haloperidol intramuskular. Hasil penelitian ini mendukung penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Baker,7 Alan Breier,8 dan Padraig Wright10 yang menyatakan bahwa olanzapin lebih bermakna mengurangi agitasi pasien skizofrenik yang diukur dengan PANSS-EC.

Dari penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa waktu yang diperlukan untuk mengurangi tingkat keparahan agitasi dengan memberikan injeksi olanzapin dan haloperidol memberikan hasil yang bermakna dalam 4 jam setelah pemberian injeksi tetapi tidak bermakna dalam waktu 2 jam dan 24 jam setelah pemberian injeksi. Penelitian ini agak berbeda hasilnya dengan


(59)

penelitian Alan Breier dkk dan Padraig Wright dkk yang menyatakan bahwa olanzapin sudah menunjukkan hasil dalam 1 jam setelah diberikan,8,9 namun diperoleh juga hasil yang sama dengan Padraig Wright yang mendapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna diantara kedua obat antipsikotik tersebut setelah 24 jam pemberian.10

Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada kelompok yang diberikan injeksi olanzapin tidak ada yang mengalami efek samping distonia akut sedangkan dari 30 orang pada kelompok yang diberikan injeksi haloperidol, sebanyak 6 orang (20%) pasien mengalami efek samping distonia akut. Hasil penelitian ini memberikan hasil yang sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Padraig Wright dan kawan-kawan yang memperoleh hasil bahwa efek samping distonia akut lebih sering terjadi setelah pemberian injeksi haloperidol dibandingkan olanzapin.10


(60)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Agitasi sering dijumpai pada pasien skizofrenik yang dapat menimbulkan perilaku destruksi atau kasar baik terhadap orang lain, lingkungan sekitar ataupun diri sendiri. Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan penatalaksanaan dengan memberikan injeksi obat antipsikotik intramuskular dengan mempertimbangkan kecepatan obat dalam meredakan perilaku destruksi atau kasar tersebut serta efek samping yang minimal.

Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa olanzapin intramuskular lebih baik dalam meredakan agitasi yang diukur dengan PANSS-EC pada pasien skizofrenik, sedangkan kecepatannya dalam menurunkan tingkat keparahan hanya berbeda bermakna dalam waktu 4 jam setelah diinjeksi olanzapin intramuskular dibandingkan dengan haloperidol intramuskular.

6.2. Saran

Pengobatan dengan menggunakan olanzapin intramuskular menjadi pilihan yang lebih tepat untuk meredakan agitasi dengan cepat jika dibandingkan dengan haloperidol intramuskular.

Efek samping yang paling sering muncul setelah pemberian olanzapin intramuskular dalam 24 jam adalah somnolen, yaitu sebanyak 6%,12 maka perlu diteliti lebih lanjut apakah efek samping somnolen tersebut terkait dengan penurunan skor PANSS-EC pada pasien skizofrenik agitasi yang diobati dengan olanzapin intramuskular.


(61)

Selain daripada efek samping olanzapin tersebut diatas, efek samping penggunaan difenhidramin juga dapat menimbulkan sedasi, sehingga pada subjek penelitian yang mengalami efek samping distonia akut yang selanjutnya diberi suntikan difenhidramin, maka kemungkinan akan mempengaruhi skor PANSS-EC atau tingkat keparahan agitasi pada pasien skizofrenik akibat sedasi yang ditimbulkan difenhidramin.

Kedua hal tersebut diatas adalah merupakan bias dan kelemahan daripada penelitian percobaan klinis ini.


(62)

DAFTAR REFERENSI

1. Marder SR. A review of agitation in mental illness: Treatment guidelines and current therapies. J Clin Psychiatry. 2006; 67 (suppl 10): 13-21.

2. Sachs GS. A review of agitation in mental illness: Burden of illness and underlying pathology. J Clin Psychiatry. 2006; 67 (suppl 10): 5-12.

3. Mintzer JE. The clinical impact of agitation in various psychiatric disorders: management consensus and controversies. J Clin Psychiatry. 2006; 67 (suppl 10): 3-4.

4. Daniel DG. Recent developments in pharmacotherapy for the acutely psychotic patient. J Emerg Nurs. 2002; 28: 12-20.

5. Hadol (haloperidol) injection (prescribing information). Belgium: Janssen Pharmaceutica. 2005.

6. Gallego VF, Pérez EM, Aquilino JS, Angulo CC, Estarlich MCG. Management of agitated patient in the emergency departmenet. Emergencias. 2009; 21: 121-32.

7. Baker RW, Kinon BJ, Maguire GA. Effectiveness of rapid initial dose escalation of up to 40 mg per day of oral olanzapine in acute agitation. J Clin Psychopharmacol. 2003; 23: 342-8.

8. Breier A, Meehan K, Birkett M, David S, Ferchland I, Sutton V, et al. A double-blind, placebo-controlled dose-response comparison of intramuscular olanzapine and haloperidol in the treatment of acute agitation in schizophrenia. Arch Gen Psychiatry. 2002; 59: 441-8.

9. Wright P, Birkett M, David SR, Meehan K, Ferchland I, Alaka KJ, et al. Double-blind, placebo-controlled dose-response comparison of intramuscular olanzapine and haloperidol in the treatment of acute agitation in schizophrenia. Am J Psychiatry. 2001; 158: 1149-51.

10.Wright P, Lindborg SR, Birkett M, Meehan K, Jones B, Alaka K, et al. Intramuscular olanzapine and intramuscular haloperidol in acute schizophrenia: Antipsychotic efficacy and extrapyramidal safety during the first 24 hours of treatment. Can J Psychiatry. 2003; 48: 716-20.

11.Villari V, Rocca P, FonzoV, MontemagniC, PandulloP, Bogetto F. Oral risperidone, olanzapine and quetiapine versus haloperidol in psychotic agitation. Progress in neuro-psychopharmacology and biological psychiatry. 2008; 32: 405-13.

12.Zyprexa intramuscular (olanzapine) for injection (prescribing information). Indianapolis: Eli Lilly and Company. 2010.

13.Stahl SM. Essential psychopharmacology. Neuroscientific basis and practical applications 2nd ed. Cambridge University Press: 2000. p. 368,373.

14.Bartkό G. New formulations of olanzapine in the treatment of acute agitation. Neuropsychopharmacol Hung. 2006; 8(4): 171-8.

15.American Psychiatric Association. Practice guideline for the treatment of patients with schizophrenia 2nd ed. Arlington: American Psychiatric


(1)

aktivitas motorik dapat menimbulkan inkoherensi dan kelelahan. P7. PERMUSUHAN.

Ekspresi verbal dan nonverbal tentang kemarahan dan kebencian, termasuk sarkasme, perilaku pasif agresif, caci maki dan penyerangan.

Dasar penilaian: perilaku interpersonal yang diamati selama wawancara dan laporan oleh perawat atau keluarga.

1. Tidak ada. Definisi tidak dipenuhi

2. Minimal. Patologis diragukan; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan normal.

3. Ringan. Melampiaskan kemarahan secara tidak langsung atau ditahan, seperti sarkasme, sikap tidak sopan, ekspresi bermusuhan dan kadang-kadang iritabilitas.

4. Sedang. Adanya sikap bermusuhan yang nyata, sering memperlihatkan iritabilitas dan ekspresi kemarahan atau kebencian yang langsung. 5. Agak berat. Pasien sangat mudah marah dan kadang-kadang memaki

dengan kata-kata kasar atau mengancam.

6. Berat. Tidak kooperatif dan mencaci maki dengan kasar atau mengancam khususnya mempengaruhi wawancara, dan berdampak serius terhadap relasi sosial. Pasien dapat beringas dan merusak tetapi tidak menyerang orang lain secara fisik.

7. Sangat berat. Kemarahan yang hebat berakibat sangat tidak kooperatif, menghalangi interaksi, atau secara episodik melakukan penyerangan fisik terhadap orang lain.

G4. KETEGANGAN.

Manifestasi yang jelas tentang ketakutan, ansietas dan agitasi, seperti kekakuan, tremor, keringat berlebihan dan ketidaktenangan.

Dasar penilaian: laporan lisan membuktikan adanya ansietas dan karenanya derajat keparahan manifestasi fisik ketegangan dapat dilihat selama wawancara.


(2)

1. Tidak ada. Definisi tidak dipenuhi

2. Minimal. Patologis diragukan; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan normal.

3. Ringan. Postur dan gerakan-gerakan menunjukkan kekhawatiran ringan seperti rigiditas yang ringan, ketidaktenangan yang sekali-sekali, perubahan posisi atau tremor tangan yang halus dan cepat.

4. Sedang. Suatu penampilan yang nyata-nyata gelisah yang terbukti dari adanya pelbagai manifestasi seperti perilaku tidak tenang, tremor tangan yang nyata, keringat berlebihan atau manerisme karena gugup. 5. Agak berat. Ketegangan yang berat yang dibuktikan oleh pelbagai

manifestasi seperti gemetaran karena gugup, keringat sangat berlebihan dan ketidaktenangan, tetapi perilaku selama wawancara tidak terpengaruh secara bermakna.

6. Berat. Ketegangan berat sedemikian rupa sehingga taraf interaksi interpersonal terganggu. Misalnya pasien mungkin terus menerus bergerak seperti cacing kepanasan, tidak dapat tetap duduk untuk waktu lama atau menunjukkan hiperventilasi.

7. Sangat berat. Ketegangan sangat mencolok yang dimnifestasikan oleh tanda-tanda panik atau percepatan gerakan motorik kasar, seperti langkah cepat yang gelisah dan ketidakmampuan tetap duduk untuk waktu lebih lama dari semenit yang menyebabkan percakapan tidak mungkin diteruskan.

G8. KETIDAKKOOPERATIFAN.

Aktif menolak untuk patuh terhadap keinginan tokoh bermakna termasuk pewawancara, staf rumah sakit atau keluarga yang mungkin disertai dengan rasa tidak percaya, defensif, keras kepala, negativistik, penolakan terhadap otoritas, hotilitas atau suka membangkang.

Dasar penilaian: perilaku interpersonal yang diobservasi selam wawancara dan juga dilaporkan oleh perawat atau keluarga.


(3)

Mungkin ada penolakan yang tidak mengganggu, terhadap penyelidikan yang sensitif selama wawancara.

4. Sedang. Kadang-kadang terdapat penolakan langsung untuk patuh terhadap tuntutan-tuntutan sosial yang normal seperti merapikan tempat tidur, mengikuti acara yang telah dijadwalkan dan sebagainya. Pasien mungkin memproyeksikan hostilitas, defensif atau bersikap negatif. Tetapi biasanya masih dapat diatasi

5. Agak berat. Pasien seringkali tidak patuh terhadap tuntutan lingkungannya dan mungkin dijuluki orang sebagai “orang buangan” atau “orang yang mempunyai problem yang serius”. Ketidakkooperatifan tercermin dalam jelas-jelas defensif atau iritabilitas terhadap pewawancara dan mungkin tidak tersedia menghadapi banyak pertanyaan.

6. Berat. Pasien sangat tidak kooperatif, negativistik dan mungkin juga suka membangkang. Menolak untuk patuh terhadap sebagian besar tuntutan sosial dan mungkin tidak mau memulai atau mengikuti wawancara sepenuhnya.

7. Sangat berat. Resistensi aktif yang jelas berdampak serius terhadap benar-benar seluruh bidang fungsi utama. Pasien mungkin menolak untuk ikut dalam aktivitas sosial apapun, mengurus kebersihan diri, bercakap-cakap dengan keluarga atau staf dan bahkan untuk berpartisipasi dalam wawancara singkat sekalipun.

G14. PENGENDALIAN IMPULS YANG BURUK.

Gangguan pengaturan dan pengendalian impuls yang mengakibatkan pelepasan ketegangan dan emosi yang tiba-tiba tidak teratur, sewenang-wenang atau tidak terarah tanpa merisaukan konsekuensinya.

Dasar penilaian: perilaku selama wawancara dan yang dilaporkan oleh perawat atau keluarga.


(4)

1. Tidak ada. Definisi tidak dipenuhi

2. Minimal. Patologis diragukan; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan normal.

3. Ringan. Pasien cenderung mudah marah dan frustasi bila menghadapi stres atau pemuasannya ditolak tetapi jarang bertindak impulsif.

4. Sedang. Dengan provokasi yang minimal pasien menjadi marah dan mencaci maki. Mungkin sekali-sekali mengancam, merusak atau terdapat satu atau dua episode yang melibatkan konfrontasi fisik atau perselisihan ringan.

5. Agak berat. Pasien memperlihatkan episode impulsif yang berulang-ulang, termasuk mencaci maki, pengrusakan harta benda atau ancaman fisik. Mungkin ada satu atau dua episode yang melibatkan serangan serius sehingga pasien perlu diisolasi, difiksasi dan bila perlu diberi sedasi.

6. Berat. Pasien sering agresif secara impulsif, mengancam, menuntut dan merusak, tanpa pertimbangan yang nyata tentang konsekuensinya. Menunjukkan perilaku menyerang dan mungkin juga serangan seksual dan kemungkinan berperilaku yang merupakan respons terhadap perintah-perintah yang bersifat halusinasi.

7. Sangat berat. Pasien memperlihatkan serangan yang dapat membunuh orang, penyerangan seksual, kebrutalan yang berulang atau perilaku merusak diri sendiri. Membutuhkan pengawasan langsung yang terus menerus atau fiksasi karena ketidakmampuan mengendalikan impuls yang berbahaya.

Dikutip dari: Pedoman definisi PANSS. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1994.


(5)

Nomor : ………. Tanggal/bulan/tahun :………

Nomor MR: ……… Pukul : ……….

A. Data Umum

a. Nama :

b. Umur :

c. Jenis kelamin :

d. Berat badan :

e. Tinggi badan :

f. BMI :

g. Tekanan darah :

B. Diagnosis :

C. Skor PANSS saat masuk : D. Tingkat keparahan saat masuk : E. Skor PANSS-EC setelah 2 jam : F. Tingkat keparahan setelah 2 jam : G. Skor PANSS-EC setelah 4 jam : H. Tingkat keparahan setelah 4 jam : I. Skor PANSS-EC setelah 24 jam : J. Tingkat keparahan setelah 24 jam :  


(6)

RIWAYAT HIDUP PENELITI

Data Pribadi

Nama : Victor Eliezer Pinem Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat dan tanggal lahir : Medan, 28 Februari 1972 Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Berdikari no.124 Padang Bulan, Medan

Telepon : 08126008162

E-mail : victor_eliezer@yahoo.co.id

Riwayat Pendidikan

Tahun 1981 – 1984 : SD Kristen Immanuel Medan Tahun 1984 – 1987 : SMP Kristen Immanuel Medan Tahun 1987 – 1990 : SMA Negeri 4 Medan

Tahun 1991 – 2000 : Pendidikan dokter umum di FK UNPAD Bandung Tahun 2006 – sekarang : Program Pendidikan Dokter Spesialis di bidang

Ilmu Kedokteran Jiwa FK USU Medan

Riwayat Pekerjaan

Tahun 2002 – 2004 : Dokter PTT sebagai Kepala Puskesmas Simbur Naik, Kecamatan Muara Sabak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Propinsi Jambi