63 melukai anggota tubuh. Namun, apabila laki-laki diperbolehkan
untuk bersirkumsisi karena memberi dampak yang positif bagi kesehatan dan seksualnya selain dalil teks hadis, maka
selazimnya jua rumus argumen medis yang kuat mesti melandasi keputusan untuk menyirkumsisi perempuan. Karena tanpa bukti
dan rekomendasi medis yang valid, serta efek peningkatan seksualitas perempuan, maka hukumnya kembali pada asalnya,
yaitu haram. Beberapa alasan pengharaman lainnya adalah:
201
1. Sirkumsisi perempuan tidak disyariatkan dalam nash sahih Islam.
2. Diklaim dapat membahayakan kesehatan dan organ genital. 3. Beberapa negara melarang penyirkumsisian perempuan karna
didukung juga oleh argumentasi ahli kedokteran. 4. berefek psikologis dan sosial seperti vrigiditas kedinginan
seksual, sulitnya mencapai kepuasan seksual, dan sebagainya.
C. Hadis sirkumsisi perempuan dan penolakan ahli kesehatan WHO
1. Aspek seksualitas perempuan Ajaran Islam bertujuan Rahmatan lil ‘Alamin sekaligus memuat ajaran
yang bermuara kepada kepentingan umummaslahah al-mursalah. Syariat Islam dibangun atas dasar tujuan mewujudkan kemaslahatan bagi manusia secara
universal baik di dunia maupun di akhirat.
202
Oleh karena itu, sebelum pelabelan status hukum sirkumsisi perempuan, seyogiyanya aspek yang perlu diperhatikan
dan dipertimbangkan dalam mengkaji ulang status hukum sirkumsisi perempuan adalah aspek kemaslahatannya sesuai dengan nilai maqashid al-syari’ah tujuan
pensyari’atan hukum. Sirkumsisi perempuan masih tergolong ranah Ijtihadiyah,
201
“A.Sayuti Anshari Nst.,” “Khitan Wanita Sebuah studi normatif dari perspektif Islam,” artikel diakses tanggal 16 Oktober 2008 dari
www.http:soc.culture.indonesiahtml
202
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Kairo: Musthafa Muhammad, t.th, juz II, 6.
64 artinya masih terbuka untuk pengkajian ulang, sebab ulama mazhab yang empat
belum punya kesepakatan pada status hukum tersebut. Untuk mengkaji lebih jernih sirkumsisi perempuan diperlukan
pertimbangan-pertimbangan yang matang, salah satu pertimbangan yang mesti dipedomani adalah kaidah fiqih, yang menyatakan dengan tegas bahwa menyakiti
tubuh manusia mesti ada alasan manfaat yang ditimbulkannya, jika tidak bermanfaat, maka tindakan tersebut dilarang. Bunyi kaidah tersebut adalah:
203
Artinya: “Menyakiti orangtubuh yang masih hidup itu tidak boleh menurut agama, kecuali ada kemalahatan-kemaslahatan yang kembali
kepadanya dan melebihi rasa sakit yag menimpanya.”
Konkretnya, hukum asal sirkumsisi adalah haram, karena termasuk melukai anggota tubuh. Tetapi, pelaksanaan terhadap lelaki diperbolehkan bahkan
menjadi wajib, karena mengandung kemaslahatan secara medis bahkan, ahli medis merekomendasikan hal tersebut. Demikian semestinya, pengambilan
hukum sirkumsisi perempuan didasarkan atas aspek maslahahnya. Jika ditemukan bukti medis yang kuat untuk pencapaian kemaslahatan yag lebih baik, maka
hukum sirkumsisi perempuan menjadi boleh. Namun sebaliknya, jika tidak alasan medis yang kuat, maka hukum sirkumsisi perempuan kembali kepada asalnya,
yaitu haram.
204
Perempuan juga manusia, yang memiliki hak azasi manusia HAM yang mesti dihargai. Karenanya, alasan pensirkumsisian perempuan sebagai alat
penstabilan seksual atau diproyeksikan sebagai makhluk Tuhan kelas dua,
205
tidak berhak mendapatkan kepuasan seksual, dianggap sebagai pelayan dan pelengkap
kepuasan seksual laki-laki, sebaikya dihilangkan dari ajaran Islam.
203
Muhammad Syaltut, l-Fatawa,.. 333.
204
Sayid Muhammad Husain Fadhullah, Dunya al-Mar’ah, Libanon: Dar al-Malak, 1997, diterjemahkan oleh Muhammad Abdul Kadir al-Kaf, Dunia Wanita Dalam Islam, Jakarta:
Lentera, 2002, cet. Ke-1, 73
205
Vandana Shiva, Bebas Dari Pembangunan Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India, penerjemah Hira Jhamtani Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998 ed. 1, 64. lih.
Simone de Beauvoir, The Second Sex, London: Penguin Books, 1972.
65 2. Aspek kesehatan perempuan
Diantara hak-hak atas kesehatan reproduksi dan seksual perempuan yang merupakan bagian dari HAM Hak Azasi Manusia, ada 3 hak, yaitu;
206
1 Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi 2 Hak untuk hidup dan terbebas dari resiko kematian dan proses
kehamilan 3 Hak untuk bebas dari penganaiyaan dan perlakuan buruk termasuk
perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual.
Sedangkan hak-hak seksual perempuan diantaranya adalah : a. Hak penghargaan atas integritas tubuh
b. Hak memperoleh kehidupan seksual yang memuaskan, sehat, aman dan menyenangkan
Sirkumsisi perempuan merupakan tindakan melukai dan memotong organ seksual tanpa indikasi medis dan biasanya berbahaya secara fisik, seksual dan
psikologis bertentangan dengan hak-hak atas kesehatan reproduksi. Apalagi, pelaksanaan sirkumsisi tanpa seijin yang si empunya tubuh hak penghargaan atas
integritas tubuhnya, dapat berefek pada pengurangan kenikmatan seksual permanen, yang demikian merupakan pelanggaran hak-hak seksualnya.
207
Apa yang terjadi jika perempuan kehilangan alat vitalnya seperti klitoris, padahal, bagian tersebut sangat besar pengaruhnya karena sarat dengan syaraf
sensitif dalam stimulasi seksual?.
208
Menurut DR. Mesraini, dosen di Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, praktek pemotongan yang
berlebihan pada organ seksual perempuan akan menyebabkan perempuan
206
Lihat “Hak Asasi Manusia: Kumpulan Instrumen Internasioanal”, jilid 1 Instrumen- Instrumen Universal. Penerbit PBB, Penjualan No. E.19994.XIV.1. lihat juga
“Khitan Perempuan Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang Diabaikan”, artikel diakses tanggal 20 Juli
2008 dari http:yuliindarti-blog.co.cc?p=6
207
Lebih jauh tentang hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam, baca Masdar F. Mas’udi, “Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan”, Bandung: Mizan, 1997.
208
James H. Sammons, ed., “Clitoris”, The American Medical Association Encyclopedy Of Medicine, New York: Random House, 1989, 284.
66 kesulitan mengalami kenikmatan seksual orgasme.
209
Pendapat ini didukung dari temuan sejumlah data yang menyatakan banyak isteri yang tidak pernah
mengalami orgasme sama sekali.
210
Menurut ajaran Islam, hak untuk memperoleh kepuasan seksual sama antara laki-laki dan perempuan. Artinya, kepuasan dan
kenikmatan seksual secara paralel adalah hak sekaligus kewajiban bagi suami isteri. Seperti diterangkan dalam al-Qur’an pada surat al-Baqarah ayat 187:
... ...
Artinya: “Mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka”.
Ayat tersebut menempatkan suami-isteri pada posisi yang sama. Kepuasan seksual adalah hak dan kewajiban suami-isteri. Seorang suami berhak
memperoleh kepuasan seksual dari isterinya begitu juga sebaliknya. Suami-isteri berkewajiban memuaskan pasangannya masing-masing. Oleh sebab itu, jika
suami sudah mencapai orgasme dan isteri belum, maka rangsangan lain wajib dilakukan suami demi mengantar isterinya meraih orgasme seperti yang dia dapati
dari isterinya.
211
Demikian jua, dalam karya agungnya Ihya ‘Ulumuddin, Imam al- Ghazali, menyebutkan relasi antara suami-isteri dalam kehidupan seksual yang
saling berperan dan melengkapi.
212
209
Mesraini. “Khitan Perempuan, Antara Mitos Dan Legitimasi Doktrinal Keislaman,” Kompas, Jakarta, 13 oktober 2003.
210
Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita PPSW sebagai salah satu Organisasi Non Pemerintah ORNOP perempuan yang didirikan tahun 1986 di Jakarta, telah melakukan kegiatan
pelatihan kepada kelompok perempuan basis dampingan PPSW. Pelatihan itu dimaksudkan untuk mengembangkan program kesehatan dan hak reproduksi. Dalam pelatihan tersebut, para peserta
perempuanibu rumah tangga berkomentar jujur bahwa mereka tidak pernah tahu bagaimana nikmatnya hubugan seks itu. Lebih lanjut baca Nani Zulminarni, “Menguak Tabu: Pengalaman
Lapangan PPSW Menyoal Hak dan Kesehatan Reproduksi Perempuan,” Jakarta: PPSW Ford Foundation, 2002, cet. Ke-1, 57. Baca juga “Pro Kontra Khitan Perempuan”, Pikiran Rakyat,
Bandung, 23 Mei 2003. Selain itu, banyaknya pengaduan atau keluhan kepada dokter ahli seksolog tentang masalah isteri yang jarang sekali atau tidak pernah mengalami orgasme.
Misalnya, “Tanya Jawab Masalah Seksualitas” bersama dokter Naniek L. Tobing yang disiarkan Radio el-Sinta, Jakarta, dan “Rubrik Dialog Seksologi” oleh Dokter Wimple Pangkahila di
Majalah Sarinah, Mingguan Mutiara, Jakarta, atau Dokter Boyke Nugraha di media cetak dan Elektronik. Masalah itu diduga bersumber dari praktek sirkumsisi perempuan yang keliru.
211
Lebih lanjut lihat Fatimah Mernisi, Beyond the Evil Seks Dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita Dalam Masyarkat Muslim Modern, Surabaya: al-Fikr, 1997, 92–107.
212
Imam al-Ghazali, Menyingkap Hakikat Perkawinan, judul asli, Kitab Adab an-Nikah, dari Ihya Ulum al-Dîn, terjemahan Muhammad al-Baqir, Bandung: Karisma, 1988.
67 Demikian penghargaan Islam kepada seksualitas wanita. Jika dalam
praktek dan pelabelan hukum sirkumsisi perempuan tidak berpedoman pada teori maqashid al-syari’ah atau maslahah mursalah, serta dukungan dari kaidah fiqh
diatas, atau meleburkan hak-hak seksualitas perempuan, maka apakah yang didapat oleh perempuan dari budaya tersebut?, selain terjebak dalam produk
budaya yang jauh dari kemaslahatan bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, jika praktek sirkumsisi perempuan terbukti menimbulkan kemudharatan, maka
sirkumsisi perempuan tidak boleh dilaksanakan.
i.Kontektualisasi Hadis Sirkumsisi Perempuan Persfektif Ulama Dan Ahli Kesehatan WHO Word Health Organizazion
Meskipun banyak disuguhkan dalil yang terkait dengan pensyariatan sirkumsisi, ternyata semua dalil tersebut masih belum mampu menunjukkan
secara konkrit status sirkumsisi perempuan. Ulama ortodoks Islam atau mayoritas imam mazhab, seperti imam Hanafi, Maliki dan Hambali, lebih memilih status
hukum sirkumsisi sebagai ‘mukarramah’ atau kemulyaan saja. Namun, menurut ilmuan Islam kontemporer, ijtihad ulama tersebut merupakan produk budaya-
sosial-politik di masa itu. Oleh karena itu, sangat terbuka sekali untuk diteliti dan dikaji ulang di masa sekarang. Sehingga, sirkumsisi perempuan menyandang
predikat status yang mengandung nilai-nilai kemaslahatan.
213
Menurut penulis, salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam mengkaji status sirkumsisi perempuan adalah aspek maqashid syariat. Imam al-Syatibi
dalam kitab al-Muwafaqat fi ushûl al-Syarî’ah mengatakan: “Syariat Islam dibangun untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Tidak satu pun hukum Allah yang tidak mengemban misi kemaslahatan secara universal. Konsep kemaslahatan dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok
terpenuhi, yaitu memelihara agama hifdz al-din, memelihara jiwa hifdz nafs, memelihara keturunan, hifdz al-nasl, memelihara harta hifdz al-mâl,
dan memelihara akal hifdz al-‘aqal.”
214
213
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, 49
214
al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushûl al-Syarî’ah, 6.
68 Untuk mengawal lima unsur tersebut, al-Syatibi membagi maqashid
kepada tiga tingkatan. Pertama, maqashid al-darûriyât, yang dimaksudkan untuk menjaga lima unsur pokok di atas; kedua, maqashid al-hajiyat, yang dimaksud
untuk meghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi; ketiga, maqashid al-tahsiniyât, yang dimaksudkan
agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaaan pemeliharaan lima unsur pokok tersebut.
215
Adapun pengkajian ulang status sirkumsisi perempuan sudah ditawarkan oleh beberapa kalangan. Diantaranya, seperti Mahmud Syaltut, mantan Syaikh Al-
Azhar Kairo, beliau menyatakan: “Legislasi Islam itu memiliki sebuah prinsip umum, yaitu bahwa
orang-orang Muslim harus menguji secara sangat teliti dan hati-hati terhadap hal-hal yag terbukti betul-betul berbahaya dan tidak bermoral, sehingga resmi
kerusakan dan ketidaknormalan itu harus dihentikan. Oleh sebab itu, karena bahaya eksisi itu sudah betul-betul nyata adanya, maka eksisi terhadap klitoris
perempuan jelas bukan merupakan sebuah ajaran yang wajib ataupun sunnah.”
216
Oleh karena itu, dapat dikatakan tanpa ragu-ragu bahwa sirkumsisi perempuan itu tidak memiliki dasar apapun, baik dalam al-Qur’an maupun dalam
hadis. Ditambahkan oleh Syaikh Abbas, Rektor Institut Muslim di Paris menegaskan.
“Kalau sirkumsisi bagi laki-laki meskipun tidak menjadi wajib itu memiliki tujuan estetika dan higienitas, maka tidak ada satupun teks
keagamaan Islam tentang nilai yang menetapkan adanya eksisi bagi perempuan, sebagaimana telah dibuktikan bahwa sebenarnya praktek ini betul-
betul tidak ada dibanyak negara Islam. Dan kalau banyak orang mempertahankan praktek eksisi secara sayang, karena adanya prasangka
215
al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushûl al-Syarî’ah, 10, dan juz III,
27. Secara lebih khusus, al-Ghazali dengan sangat mengesankan telah merumuskan kemaslahatan ini dalam
bukunya, al-Musthafa min ‘Ilm al-‘Ushûl. Ia mengatakan bahwa kemaslahatan adalah mewujudkan lima prinsip pokok agama, yaitu memelihara lima hal; agama, jiwa, harta, keturunan,
dan akal. Setiap hal yang mengandung perlindungan terhadapap lima prinsip ini adalah kemaslahatan, dan setiap yang mengancam keutuhannya adalah kerusakan mafsadah, dan
menolak kemafsadatan adalah kemaslahatan. Lihat al-Ghazali, al-Musthafa min ‘Ilm al-‘Ushûl, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, juz I, 26.
216
Dikutip dari Efua Dorkenoo, Cutting The Rose, Female Genitale Mutilation: The Practice and its Prevention, 37, lihat Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif
Islam dan Kesetaraan Jender, 203-204. Lihat juga, fiqh khitan perempuan, karangan Litfu
Fathullāh, al-Mughni center press, 2006.
69 tradisi-budaya turun temurun, perempuan hyperseks maka, dipotong organ
genitalnya untuk menetralisir seksual, lebih suci, terjaga keperawanannya dan lain-lain, pen. yang besar pada perempuan, maka mungkin ini terjadi karena
mereka praktekkan dahulu sebelum mereka masuk Islam.”
217
Dengan demikian, dalih bahwa praktek sirkumsisi perempuan merupakan ajaran Islam, dapat disangkal. Pertama, tidak ada rujukan langsung atau tidak
langsung dalam al-Qur’an yang menerangkan sanksi atau ampunan bagi sirkumsisi perempuan.
218
Kedua, hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengannya, dinilai sebagai hadis-hadis yang tidak shahih, tidak dapat diprcaya dan dhaif.
219
Ketiga, dari aspek maqashid syariat tidak mendukung praktek sirkumsisi perempuan tersebut. Keempat, tidak sesuai dengan etika kesehatan. Kelima,
menghilangkan hak-hak seksual perempuan. Keenam, mempertahankan budaya yang bias jender dan diskriminasi atas perempuan.
Hal ini membuat alasan jelas bahwa praktek sirkumsisi perempuan tersebut tidak memiliki dasar ajaran Islam sama sekali. Hal ini bukan apa-apa,
selain budaya kuno yang dimasukkan secara salah ke dalam tradisi Islam. Dan, seiring dengan berjalannya waktu, kemudian ditampilkan dan diterima di
beberapa negara muslim sebagai ajaran Islam. Bahkan, argumen adanya sebuah hubungan tidak langsung antara Islam dengan pengabadian budaya sirkumsisi
perempuan, yang berdasarkan atas persoalan-persoalan pemingitan, keperawanan, kesucian, kesopanan yang mencetuskan atau memperkuat praktek sirkumsisi
perempuan,
220
tidak dapat diterima karena satu alasan –mengapa prinsip-prinsip tersebut tidak bisa mendorong dan mengabadikan praktek sirkumsisi perempuan
tadi di negara-negara Muslim lain yang memang tidak mengenal budaya itu?
217
Sami Aldeeb Abû-Sahlieh, To Mutilatate in the Name of Jehovah or Allah, 10, lihat Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, 190.
218
Dikutip dari Sami Aldeeb Abu-Saahlieh, To Mutilatate in the Name of Jehovah or Allah, Legitimisationof Male and Female circumcision, 11. Lihat.Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-
hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, 190.
219
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 26.
220
E.K. Hick, Infibulation: Female Genital Mutilation in Islamic Nort Eastern Africa, New Brunswick, New Jersey, USA: Transaction Publishers, 1993, 24-25, lihat Haifa A. Jawad,
Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, 202.
70 Seperti negara Saudi Arabia, Iran, Uraq, Yordania, Syiria, Lebanon, Maroko,
Aljazair dan Tunisia.
221
Berangkat dari asumsi tersebut, jelas bahwa yang dijadikan pertimbangan dalam kemaslahatan ini. sirkumsisi bagi laki-laki memang telah terbukti secara
medis dapat mendatangkan kemaslahaan dan manfaat yang besar terhadap kesehatan dan seksualnya. Jika dikaitkan dengan kaidah al-daruriyah al-khamsah
di atas, kelihatan kalau sirkumsisi laki-laki bertujuan untuk pemeliharaan jiwa suami dan isteri
222
–terhindar dari kanker leher rahim – dan kelak bisa memelihara keturunannya. Dari sudut pertimbangan ini, Islam mewajibkan sirkumsisi kepada
laki-laki, demi mendatangkan kemaslahatan maslahah dan menghindari kerusakan mafsadah.
Jika demikian, apakah ada kemaslahatan yang didapat dari sirkumsisi perempuan?
Sirkumsisi perempuan sebagai tradisi yang sudah lama mengakar di tengah-tengah masyarakat, muslim maupun non muslim, lebih banyak
dimaksudkan sebagai upaya pengontrolan seksualitas perempuan. Sebab, dipersepsikan perempuan itu pada dasarnya memiliki gairah seksual yang
berlebihan hypersexual, makhluk kelas dua yang tidak berhak mendapatkan kepuasan seksual. Sebaliknya, dia hanya sebagai pelayan dan pelengkap kepuasan
seksual laki-laki.
223
Sirkumsisi perempuan dianggap akan menstabilkan nafsu seksual perempuan. Dengan demikian, praktek sirkumsisi perempuan dengan
berbagai modelnya clitoridectomy, eksisi, sampai infibulasi dibenarkan oleh masyarakat.
221
Olayinka Koso-Tomas, The Circumcicion of Women: A Strategy for Education, 17, lihat Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender,
183.
222
Tim Penyusun Buklet Kesehatan Reproduksi PATH Indonesia, Kesehatan Reproduksi, 21.
223
Jeanne Becher, Perempuan, Agama, dan Seksualitas Studi Tentang Pengaruh Berbagai Ajaran Agama Terhadap Perempuan, Jakarta: P.T. BPK Gunung Mulia, 2004, cet. Ke-
2, 214, dan lihat Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996, cet. Ke-II, 296- 297.
71 Dari sejumlah penelitian yang dilakukan oleh kedokteran, telah
membuktikan bahwa sirkumsisi perempuan itu membahayakan dan merusak kesehatan kaum perempuan.
224
Praktek sirkumsisi dengan pemotongan yang berlebihan pada organ seksual akan menyebabkan perempuan kesulitan menikmati dan mengalami
orgasme. Bahkan, terkumpul sejumlah data yang menyatakan, banyak isteri yang tidak pernah mengalami orgasme sama sekali akibat sirkumsisi.
225
Padahal, menurut ajaran Islam, hak utuk memperoleh kepuasan seksual sama antara laki-
laki dan perempuan. Artinya, kepuasan dan kenikmatan seksual secara paralel adalah hak sekaligus kewajiban bagi suami istri. Hal ini, sejalan dengan
pernyataan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 187:
....
....
2 :
187
Artinya: “...Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka....”
Ayat tersebut menempatkan suami isteri pada posisi yang sama. al-Gazali berpendapat, seperti dikatakan Fetimah Mernisi dalam bukunya Beyond the Evil:
“Kepuasan seksual adalah hak dan kewajiban suami isteri. Seorang suami berhak memperoleh kepuasan seksual dari isterinya begitu juga
sebaliknya. Suami istri berkewajiban memuaskan pasangannya masing- masing. Oleh sebab itu, jika suami sudah mencapai orgasme dan isteri belum,
maka warming up atau rangsangan lain menjadi wajib dilakukan suami demi mengantar istrinya meraih orgasme.”
226
Dari penjelasan ini, apabila dilihat dari teori maqashid syariat, praktek sirkumsisi perempuan akan menimbulkan kemudharatan, yaitu berefek negatif
pada penghilangan hak kesehatan dan reproduksi perempuan serta membelenggu hak-hak seksualitasnya. Oleh karena itu, Islam tidak memerintahkan sirkumsisi
perempuan, karena tidak Islami. Praktek ini sangat asing bagi cita-cita Islam.
224
Efua Dorkenoo, Cutting The Rose, Female Genitale Mutilation: The Practice and its Prevention, h. 37, dan lihat Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam dan
Kesetaraan Jender, 203-204.
225
Lebih lanjut baca Nani Zulminarni, Menguak Tabu: Pengalaman Lapangan PPSW Menyoal Hak dan Kesehatan Reproduksi Perempuan, 57, lihat artikel “Pro Kontra Khitan
Perempuan”, Pikiran Rakyat, Bandung, 23 Mei 2003.
226
Fatimah Mernisi, Beyond the Evil Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita Dalam Masyarkat Muslim Modern, Surabaya: Al-Fikr, 1997, 92–107.
72 Karena, hakekat Islam dalam maqashid syariat-nya memberikan spirit keadilan,
kesejahteraan, dan kesetaraan hak-hak manusia kepada laki-laki dan terutama kepada kaum perempuan.
E. Refleksi Akhir Filosofis