Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sepanjang sejarah wanita telah menjelma menjadi sebuah misteri besar dalam kehidupan, tidak terkecuali masalah seksualitas mereka yang selalu menjadi kontroversi dan begitu mudah ditindas dengan berbagai macam cara diseluruh belahan dunia. Seolah sejarah selalu terus berulang dan tidak berpihak pada kaum perempuan, disetiap orde, budaya, dan kondisi sosial. Dalam era modern ini, dinamika-konstruktif yang dicapai oleh perempuan dalam berbagai aspek sudah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Sadar atau tidak, optimalisasi perempuan dalam mengekspresikan dirinya sekaligus berusaha untuk selalu mendapatkan kesempatan yang sama di tanah publik seperti kaum lelaki sudah mendapatkan legitimasi sembari rasionalisasi yang bisa diterima oleh hampir semua kalangan. Selanjutnya, seiring dengan perjalanan tradisi penafsiran Islam yang cenderung mendiskriminasikan hak-hak perempuan, sekarang ini di era tafsir modern, tafsir Islam sudah didekonstruksi menjadi tafsir epistemologis-reformis yang berujung pada tingkat praksis. Demikian juga kondisi sosial yang lebih bercorak patriarki perlahan-lahan konstruksi sosiologis mapan tersebut dikritisi menuju keseimbangan kesetaraan sosial. Kondisi ini nantinya diharapkan, akan menumbuhkan imaji-kreatif nan sekaligus menyuburkan spirit keseimbangan yang dinamis antara dimensi patriarki dan matriarki. Sembari menempatkan perempuan, yang sedari dulu menjadi objek utama dari setiap perubahan, justru menjelma sebagai pusat proses perubahan serta penciptaan opini pengetahuan baru dalam dinamika kehidupan. 1 Salah satu doktrin yang sampai saat ini masih diperdebatkan dan dipertanyakan oleh berbagai kalangan khususnya ahli kesehatan karena dipraktekkan di dunia Islam bahkan di Indonesia, adalah praktek sirkumsisi perempuan atau sunat khitan bagi perempuan, selanjutnya penulis sebut dengan 1 Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002, cet. Ke1, 194-197. 2 sirkumsisi perempuan. Antara satu negara dengan negara lainnya saling berbeda dalam menamakan istilah sirkumsisi perempuan, bagi masyarakat Sudan misalnya, sirkumsisi dengan tipe infibulasi 2 dikenal dengan “sirkumsisi pharaonic” sirkumsisi Fir’aun disamakan juga dengan sirkumsisi tipe infibulasi, di Mesir tipe seperti itu disebut ‘sirkumsisi orang-orang Sudan’. Di Indonesia, istilah “sirkumsisi” lebih dikenal oleh kalangan medis, namun masyarakat umum menyebutnya dengan khitan atau sunat perempuan. Dalam dunia Internasional dikenal dengan istilah female Circumcision atau FGM Female genitale Mutilation atau perusakan organ kelamin perempuan. 3 Istilah ini merupakan kesepakatan dari Konfrensi Perempuan sedunia ke-4 di Beijing tahun 1995, yang dihadiri lebih dari 180 anggota delegasi dunia. Definisi sirkumsisi perempuan menurut Elga Sarapung dkk, dalam bukunya Agama Dan kesehatan Reproduksi, 4 adalah sebagai “Tindakan medis berupa pembuangan sebagian atau seluruh bagian dari preputium kulup atau kulit yang melingkupi glans penis atau kepala penis, bagi perempuan adalah dengan memotong atau membuang sebagian atau seluruh klitoris, bahkan ada yang membuang labia minora bibir vagina”. WHO World Healt Organizaion mendefinisikan sebagai “Semua tindakan atau prosedur yang meliputi pengangkatan sebagian atau total dari organ genitalia eksternal perempuan atau bentuk perlukaan lain terhadap organ genitalia perempuan dengan alasan budaya, 2 Pembahasan yang paling awal tentang Infibulasi itu ditemukan dalam tulisan-tulisan sejarawan Pietro Bimbo yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1551 atau 1552 M. disitu dijelaskan, “Sekarang meninggalkan Negara-negara lain, berlayar ke Laut Merah dan mengunjungi beberapa negara yang dihuni oleh orang-orang kulit hitam, unggul dan berani dalam perang. Dikalangan orang-orang ini, organ pribadi perempuan vagina dijahit menjadi satu, segera setelah mereka lahir, tetapi dilakukan dengan tidak menghalangi lobang keluarnya kencing. Ketika gadis- gadis menjadi dewasa, mereka menikah dengan keadaan vagina tetap terjahit dan tindakan suaminya yang pertama setelah kawin adalah membuka organ pribadi perawan yang dijahit secara kuat itu dengan pisau. Di kalangan orang-orang Barbar, keperawanan dalam pernikahan dihargai secara tinggi.” Lihat Anne Cloudsley, Women of Omdurmen, Life, Love and the Cult of Virginity, London: Ethnographica 1983, 111. Lihat jua Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002, cet. Ke1, 194- 197. 3 Alwi Shīh ab, Islam Inklusif, Bandung: Mizan, 2001, cet. Ke-9, 274. 4 Elga Sarapung dkk., Agama Dan kesehatan Reproduksi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999, 118. 3 atau alasan non-medis lainnya”. 5 Budaya sirkumsisi perempuan sudah lama dikenal umat manusia, bahkan jauh sebelum Islam datang. 6 Dari bukti yang ada, praktek sirkumsisi perempuan ini diduga telah dimulai sejak 4000 tahun silam, sebelum kemunculan agama yang terorganisasi. 7 Praktek tersebut ditemukan pada Mummi Mesir yang berstatus kaya raya dan berkuasa. Ahli Antropologi menduga, dipraktekkannya sirkumsisi pada jaman Mesir Kuno adalah sebagai bentuk pencegahan masuknya roh-roh jahat melalui Vagina. Tradisi sirkumsisi perempuan sudah menjadi ritual dalam proses perkawinan. Praktek sirkumsisi pharaonic sebagai ritual sebelum pernikahan ditemukan sejak tahun 1350 SM. 8 Pada abad ke-19 di Eropa dan Amerika Serikat, ditemukan bukti telah dilakukannya praktek clitoridektomy, 9 sebagai bentuk pengobatan terhadap kebiasaan masturbasi yang dilakukan oleh kaum perempuan. 10 Pada jaman Romawi, budak-budak perempuan diwajibkan sirkumsisi, pada masa itu budak perempuan yang disirkumsisi harganya jauh lebih tinggi dari budak perempuan yang tidak disirkumsisi. Karena, budak yang disirkumsisi dinilai sebagai perempuan yang masih suci atau perawan, dipercaya belum di sentuh oleh laki- laki lain maupun oleh majikannya. Pada masa sekarang ini, praktek sirkumsisi perempuan telah dilakukan beberapa negara, khususnya di negara bagian Afrika, 11 beberapa Negara Timur Tengah, serta sebagian kecil di Asia, Pasifik, Amerika Latin, Amerika Utara, dan Eropa. Setidaknya, diperkirakan 150 seratus lima puluh juta wanita di dunia 5 N. El-Sadawi, The Hidden Face of Eve: Women in Arab World, London: Zed Books, 1980, 7-8. lihat juga artikel “Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan”, artikel diakses 3 Mei 2008 dari http:pusdiknakes.or.idpdpersihtml 6 Hasan Hathout, Revolusi Seksual Perempuan, Obstetri dan Ginekologi Dalam Tinjauan Islam Bandung: Mizan, 1996, cet. Ke-2, 89. 7 Otto Meinardus, Christian Egypt: Faith and Life, Kairo: The American University Press, 1970, 333. 8 “Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan”, Jurnal Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2002, 25. 9 Clitoridectomy adalah pemotongan organ genital perempuan bagian luar, yaitu pemotongan atau pengirisan sebagian klitoris atau seluruhnya dan sebagian labia minora bibir kecil vagina. Lihat Nahid Toubia, Female Genitale Mutilation: a Call for Global Action, USA: United Nation Plaza, 1993, 55. 10 Asriati Jamil, “Sunat Perempuan Dalam Islam: Sebuah Analisis Jender,” dalam Refleks: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Jakarta, Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, 2001 vol. 3. no. 2. 53. 11 Sumber dari Majalah The Times, Amerika, edisi Maret 1994. 4 telah mengalami tindakan ini, dan sepertiganya adalah anak-anak usia di bawah sepuluh tahun. 12 Kepercayaan yang berkembang di Benua Afrika danTimur Tengah mengindikasikan bahwa perempuan yang tidak menjalani ritual ini akan dianggap sebagai perempuan liar, dan tidak dihormati kedudukannya oleh masyarakat sekitar. 13 Selanjutnya sudah menjadi rahasia umum, perempuan yang tidak disirkumsisi merupakan aib besar bagi keluarganya. Kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat kemudian menjadikan tradisi sirkumsisi ini menjelma jadi suatu ritual keniscayaan bagi setiap masyarakat didunia muslim, termasuk Indonesia. Menurut kepercayaan beberapa daerah di Indonesia seperti Gorontalo dan Madura, 14 nafsu seksual perempuan itu terlalu besar, maka untuk mengontrol libido seks tersebut, organ kelaminnya klitoris mesti di potong. Dalam tradisi Gorontalo, anak perempuan usia satu sampai dua tahun akan menjalani masa adat yang disebut dengan upacara Mopolihu Lo Limu mandi air ramuan limau purut dan Mongubingo, sirkumsisi atau mencubit daging yang menempel pada klitoris. Secara turun-temurun dipercaya masyarakat, jika hal itu tidak dilakukan, maka anak yang dilahirkan tetap membawa sesuatu yang haram dan najis dalam hidupnya. Jika dilihat dari segi agama, tradisi sirkumsisi dalam Islam, berawal sejak Nabi Muhammad SAW diperintahkan Allah untuk mengikuti tradisi millah Nabi Ibrâhîm. Hingga sekarang ajaran Nabi Ibrâhîm masih menjadi bagian dari Islam, seperti Haji yang masuk rukun Islām kelima dan ibadah Qurbān. 15 Perintah Allah kepada Nabi SAW untuk mengikuti Nabi Ibrāhīm di antaranya tertera dalam Surat an-Nisā’ ayat 125 yaitu:                  12 Olatinko Koso-Thomas, The Circumcision of Women: A Strategy for Education, London: Zed Books, 1987 : 17. 13 Majalah The Times, Amerika, edisi Maret 1994. 14 Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University, “Hasil Penelitian oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Population Council dan Universitas Gajah Mada,” dari tahun 2001-2003, Yogyakarta: Population Council dan Gadjah Mada Press, 2003 : 10. 15 Syamsu Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, Jakarta: Penebar Salam, 1999, cet. Ke-5, 402. 5   .  Artinya: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrāhīm yang lurus dan Allah mengambil Ibrāhīm menjadi kesayanganNya”. Surat Ali ‘Imrān ayat 95:             . Artinya: “Katakanlah: Benarlah apa yang difirmankan Allah. Maka ikutilah agama Ibrahîm yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik”. Sedangkan dalil Nabi Ibrāhīm menjalankan sirkumsisi bersumber dari salah satu hadîs, yang Artinya “Menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, Mughīrah bin ‘Abdirrahmān al-Quraisiyy memberitahukan dari Abi Zannād dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasūlullāh SAW bersabda: “Ibrāhīm melaksanakan sirkumsisi pada usia 80 tahun dengan kampak”. H. R. Bukhari 16 Apabila diteliti lebih seksama, sepanjang sejarah hukum Islam yang bersinggungan dengan dalil sirkumsisi, tidak ditemukan dalil yang sahih atau akurat, baik di al-Qur’an maupun tertera dalam lembaran-lembaran hadis. Akan tetapi, praktek tersebut oleh kebanyakan umat Muslim di berbagai negara tetap dijadikan sebagai bagian dari ajaran agama, terutama karena pengaruh doktrin- doktrin dari tokoh agama setempat. 17 Sampai kini, faham tersebut masih banyak bergentayangan dalam praktek masyarakat Muslim di dunia termasuk di Indonesia. Tradisi tersebut tetap hidup turun temurun dari satu generasi kegenarasi berikutnya, meskipun ritual tradisi sirkumsisi tersebut sudah nyata-nyata menggambarkan bentuk penindasan hak reproduksi dan hak seksualitas 16 Abî ‘Abdillāh bin Isma’îl al-Bukhari, Sahih Bukhārī, Beirut: Maktabah al-Asiriyah, 1997 : juz II, 139, hadis No. 7932, 9040 dan 2249 17 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama Dan Gender, Yogyakarta: LKiS, 2001, cet. Ke-1. 39. 6 perempuan bahkan tergolong sebagai salah satu tindak kekerasan terhadap perempuan. Terjadinya ragam pendapat dikalangan ulama dan tokoh-tokoh Islam klasik maupun kontemporer, kian menjadikan tradisi ini tetap hidup dan meluas. 18 Diantara pendapat tersebut adalah pendapat Imam Mazhab yang 4 empat, seperti Imam Maliki yang menyatakan bahwa sirkumsisi perempuan hanya sebagai tindakan kemuliaan, asalkan tidak berlebihan dalam hal menyayat atau memotong organ kelaminnya. Imam Hambali menyatakan sirkumsisi bagi perempuan adalah satu kemuliaan bagi perempuan, Imam Hanafi mengkategorikannya sebagai kemuliaan saja, sedangkan Imam Syafi’i, yang dianut mayoritas Muslim di Indonesia, mewajibkan sirkumsisi bagi perempuan. 19 Beberapa ulama kontemporer menganggap hadis yang berkembang – yang dijadikan dalil tentang pewajiban sirkumsisi- merupakan hadis yang dha’if lemah. Seperti hadis dari Ummū ‘Athiyyāh yang di riwayatkan oleh Abū Dā’ūd: “Dari Ummụ ‘Athiyyāh r.a, beliau berkata bahwa ada seorang juru sirkumsisi para wanita di Madinah, Rasul SAW bersabda kepadanya: “Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian kenikmatan perempuan dan kecintaan suamiAbū Dā’ūd. 20 Dalam redaksi hadis lain disebutkan: Artinya: “Sirkumsisi itu sunnah bagi laki-laki dan perbuatan mulia bagi perempuan”. 21 Hadis ini dikategorikan lemah oleh Abû Dâûd sendiri dan diklasifikasikan sebagai hadis mursal, selain itu, hadis ini tidak ditemukan dalam kompilasi hadis 18 M. Ali Hasan, Masa’il Fiqhiyyah al-Hadisah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta: P.T. Rajawali Press, 1996, cet. Ke-1, 179. 19 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wā Adillatuhū, Damaskus: Daar al-Fikr al- Islamî, t.t, juz III, 642. baca juga artikel dari majalah Tempo, Jakarta, 22 Oktober 2006. 20 Abû Dāūd, Sunān, hadis No. 4587 21 Nasaruddin Umar, “Bias Gender Dalam Pemahaman Agama,” dalam Jurnal Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1997, edisi 03. 7 lain, hadis ini hanya terdapat dalam Sunan Abū Dāwud saja. 22 Oleh banyak kalangan Muslîm, hadis ini dikategorikan rendah kredibilitasnya. Sayyīd Sabiq, penulis buku Fiqh al-Sunnah, menyatakan semua hadis berkaitan dengan sirkumsisi perempuan tidak ada yang otentik. 23 Pendapat ulama dan tokoh Islam lainnya adalah Muhammad Sayyid Tantawi, Syaikh Besar Al-Azhar di Mesir, mengatakan praktik sirkumsisi perempuan tidak Islami. Menurut mantan syeikh al-Azhar Kairo, Mahmud Syaltut, 24 hadis yang dijadikan hujjah dalam tradisi sirkumsisi perempuan itu tidak jelas atau tidak sahih. Pendapat ini diamini juga oleh Syekh Abbās, Rektor Institut Muslim, Paris. Senada dengan pendapat ini, Dr Yusuf Qardhawi, Syaikh al-Hanooti dan Mufti Ontario, Kanada, Syaikh Mahmud Kuttŷ, sepakat bahwa sirkumsisi perempuan itu tidak thabīt atau sahih dari nash sebagaimana thabīt-nya hukum sirkumsisi bagi lelaki. 25 Jika ada nash-nash mengenai sirkumsisi perempuan, semuanya tidak shahih dan tidak boleh dijadikan hukum, karena dalil tersebut tidak lebih dari sekedar akomodasi produk ijtihad yang tertuang dalam disiplin fiqh. Fiqh mengakomodasinya lewat kaidah “Melukai anggota tubuh makhluk hidup atau manusia seperti sirkumsisi diperbolehkan apabila ada kemaslahatan yang diperoleh”. 26 Selain perlu diteliti lebih dalam lagi permasalahan teks-teks agama teks- teks fiqhpemahaman dalam kitab kuning, 27 teori kesehatan juga tidak mengakui sirkumsisi perempuan sesuai dengan etika kesehatan. Karena, metode sirkumsisi perempuan tidak ada dalam dunia medis, kecuali sirkumsisi laki-laki yang secara medis terbukti memiliki nilai positif, apalagi, teknik pelaksanaannya terdapat dalam kurikulum etika kesehatan. Berbeda dengan sirkumsisi laki-laki, dimana pelaksanaan juga dikuatkan oleh dalil agama, teknik pelaksanaan sirkumsisi perempuan tidak pernah diajarkan dalam pendidikan kesehatan juga tidak ditemukan manfaatnya secara medis. Tidak adanya standar dan prosedur tetap tentang sirkumsisi perempuan secara 22 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama Dan Gender, 42. 23 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz I, 36. 24 Muhammad Syaltut, al-Fatawa, jil. III, cet. Ke-3, 302. 25 Kunjungi situs www.Islam-online.com 26 Muhammad Syaltūt, al-Fatawā,... 302. 27 Masdar F. Mas’udi, “Perempuan di Antara Lembaran Kitab Kuning”, dalam Mansour Fakih et.al., Membincang Feminisme, Surabaya: Risalah Gusti, 2000. 8 medis, membuat tenaga kesehatan dalam prakteknya, biasanya berdasar pada praktek seniornya saja. Dan lebih sering bertanya atau mengamati praktek sirkumsisi yang dilakukan oleh dukuntukang sunat tradisional di daerah setempat, baik secara simbolik maupun dengan insisi pengirisan serta eksisi pemotongan klitoris. Padahal menurut psikoseksual Amerika, Masters and Jonhson, sebagian besar pusat orgasme wanita bersumber dari klitoris. Karena klitoris sebagai pusat rangsangan yang memberi dampak besar terhadap kepuasan dan kenikmatan seksual, dan orgasme. 28 Selain dari itu, bidan juga kerap melakukan praktek sirkumsisi perempuan sesuai kemauanpesanan orang tua si anak misalnya harus ditusuk atau dipotong sesuatu dari organ si anak sampai keluar darah dan lain-lain. 29 Hal yang demikian, tidak terlepas dari pahamkepercayaan realitas soial masyarakat dan kalangan medis tentang kewajiban menyirkumsisi perempuan. Praktek seperti ini salah satunya terdapat di Yayasan Assalam Bandung YAB yang mewajibkan praktek sirkumsisi perempuan, sunatan massal setiap tahun dilaksanakan pada bulan Maulid Nabi Muhammad SAW. 30 Praktek sirkumsisi perempuan sampai sekarang masih mendapat legitimasi dari sebagian budaya dan agama dibeberapa negara. Meskipun sedari dulu, 31 praktek ini sudah mendapat tantangan dan tuntutan penghapusan dari berbagai lembaga dunia, antara lain WHO, LSM lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam penuntutan kebebasan hak-hak wanita. 32 WHO secara konsisten menyampaikan bahwa sirkumsisi perempuan dalam bentuk apapun tidak boleh 28 Budiman Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis Tentang Peranan Perempuan Dalam Masyarakat, Jakarta: P.T. Gramedia, 1982, 13. baca juga Graham Masterton, Menikmati Kepuasan Sejati, terj KDT, PT. Kentindo Publisher, 2003 cet. Ke-4, 275. 29 “Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan”, artikel diakses pada 3 Mei 2008 dari http:pusdiknakes.or.idpdpersihtml 30 Tradisi sirkumsisi perempuan secara massal di YAB dimulai sejak tahun 1950, dan pada tahun 1980, YAB bekerja sama dengan Rumah Sakit Islam Sadikin, Bandung, Jawa Barat untuk mengadakan sirkumsisi perempuan secara massal hingga sekarang. Baca “Pro Kontra Khitan Perempuan,” Pikiran Rakyat, Bandung, 24 Mei 2003. Lukman Hakim, “Khitan Perempuan Dalam Sebuah Tradisi dan Syari’at Agama,” Makalah pada seminar sehari, “Khitan Perempuan” di aula SD Assalam tanggal 16 Mei 2003, 1. 31 Sri Mulyani, “Khitan Bagi Perempuan Antara Tuntunan Agama dan HAM,” Suara Karya, Jakarta, 12 Juli 2003. 32 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama.., 41. 9 dilakukan di manapun oleh tenaga kesehatan, termasuk rumah sakit. Karena, berdasar pada etika kesehatan yang menyatakan, bahwa mutilasi pada organ tubuh manusia yang tidak perlu, tidak boleh di lakukan oleh tenaga medis. Melihat fenomena praktek sirkumsisi perempuan di Indonesia yang semakin marak, bukan hanya dilakukan oleh dukun tradisional namun juga sudah menjalar ke rumah sakit yang pelakunya melibatkan dokter, bidan dan tenaga medis. Ternyata, menggugah Departemen Kesehatan Republik Indonesia depkes RI pada tahun 2006 untuk menerbitkan surat edaran yang berisi pelarangan tindakan medikalisasi sirkumsisi perempuan. Depkes menggugat tatanan budaya dan tradisi yang memberikan jalan berlangsungnya praktek sirkumsisi yang dinilai merugikan organ seksualitas kaum perempuan karena tidak sesuai dengan etika medis. Namun anjuran depkes atau tenaga kesehatan yang melarang tindakan medikalisasi sirkumsisi perempuan pada tahun 2006 lalu, tidak hanya mengejutkan masyarakat namun, juga menyulut kontroversi antara tokoh agama khususnya MUI dan kalangan kesehatan. Apakah benar ritual sirkumsisi perempuan berdasar dari nash-nash agama? atau hanya suatu budaya pra-Islam yang akhirnya dikategorikan sebagai bagian dari ajaran Islam? dan mengapa ahli kesehatan melarang tindakan medikalisasi sirkumsisi perempuan? apakah titik sentral yang menjadi polemik dan perdebatan antara tokoh agama dan kesehatan? Berangkat dari narasi dan pertanyaan di atas penulis tertarik mengangkat tema tersebut kedalam sebuah skripsi dengan judul “Sirkumsisi Perempuan Perspektif Hadis dan Ahli Kesehatan WHO”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah