Tinjauan Atas Sanksi Administrasi Dalam Rangka Impor Barang Di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Tipe – A3 Teluk Nibung

(1)

TUGAS AKHIR

TINJAUAN ATAS SANKSI ADMINISTRASI DALAM RANGKA IMPOR BARANG DI KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN TIPE – A3

TELUK NIBUNG

O L E H

Nama : RICKY WARMAN PUTRA NIM : 072600069

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Menyelesaikan Studi Pada Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan dan menyelesaikan penulisan Laporan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) dengan judul “Tinjauan Atas Sanksi Administrasi Dalam Rangka Impor Barang Di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Tipe – A3 Teluk Nibung”.

Laporan PKLM ini diajukan guna untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk dapat menyelesaikan pendidikan Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna baik dalam susunan kalimat maupun pembahasannya, Oleh karena itu penulis mengharapkannya adanya kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun laporan ini kearah yang lebih baik.

Penulis laporan ini tidak terlepas dari bantuan dan perhatian berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih setulus-tulusnya kepada:

- Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Sc selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

- Bapak Drs.H.M. Husni Thamrin Nst, Msi, selaku Ketua Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan FISIP USU.


(3)

- Bapak Drs.H.M. Husni Thamrin Nst, M.si, selaku Dosen Pembimbing, yang telah banyak membantu dan memberikan pengarahan - pengarahan dalam proses penulisan Laporan PKLM.

- Seluruh Dosen Pengajar Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan, yang telah memberi ilmu dan wawasan selama mengikuti perkuliahan.

- Seluruh Staf Pengajar jurusan Administrasi Perpajakan yang telah banyak membantu penulis.

- Bapak Rizal F Lubis selaku Kepala Dinas PU yg telah banyak memberikan nasehat dalam proses penyelesaian tugas akhir ini.

- Ayahanda dan Ibunda tercinta yang senantiasa memberikan kasih sayangnya, didikan, dorongan dan restunya kepada penulis, dan juga materil yang diberikan yang tidak dapat dinilai dengan suatu apapun.

- Special for my Lovely sisters Huzna & Ihfa terima kasih atas dorongan, semangat dan do’anya sehingga penulis tetap bersemangat menghadapi segala kesulitan dan cobaan. Khusus buat jagoan kecil Feji Bako ponakanku yang lasak dan lucu yang membuat penulis bersemangat.

- Seluruh teman-teman terbaikku Tax B’ 2007 yang telah banyak membantu dan memberikan sumbangan pikiran dalam menyelesaikan laporan ini. dan keluarga besar IMPROSAJA gak nyangka bisa kenal dengan kalian yang aneh - aneh dan gokil gak terasa 3 tahun telah kita lalui bersama, pokoknya dari A sampai Z juga, makasih buat semuanya, Insyallah persahabatan ini tidak hanya sampai disini tapi untuk selamanya.


(4)

- Buat teman – teman kos (ayep damanique, ahmad, edochan, luhut) makasih atas supportnya, dan buat appara awak (Anaschan damaique) makasih banyak atas dukungan kalian semua.

- Buat Ade Hanifah, Singgih, Manto, Bayu, Fadly, Heru, Vicha, Agung makasih bahwasanya klen slalu ngingetin penulis selama proses penulisan tugas akhir ini.

- Buat temen – temen team sibolga (Fahmi, hafiz, dede, ovi, kucing, vai, ricky) terima kasih atas dukungan kalian semua ya.,,,,,

- Seluruh teman-teman seperjuangan Tax Administration 2007

- Pihak-pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, saya mengucapkan ribuan terimakasih atas bantuan dan dukungannya sehingga laporan ini dapat selesai. Dan saya berharap kiranya Laporan PKLM ini dapat bermanfaat dalam memperkaya ilmu pendidikan.

Medan, Desember 2010 Penulis

Ricky Warman Putra


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) ... 1

B. Tujuan dan Manfaat Praktik Kerja Lapangan Mandiri ... 4

C. Ruang Lingkup Praktik Kerja Kapangan Mandiri ... 6

D. Metode Praktik Kerja Lapangan Mandiri ... 7

E. Metode Pengumpulan Data ... 8

F. Sistematika Penulisan Laporan Praktik Kerja Lapangan Mandiri .. 9

BAB II GAMBARAN UMUM KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI TIPE – A3 TELUK NIBUNG ... 11

A. Sejarah Umum Perusahaan ... 11

B. Struktur Organisasi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung ... 14


(6)

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA ATAS PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM RANGKA IMPOR

BARANG ... 17

A. Bea Masuk Dikenakan Terhadap Semua Barang Impor ... 17

B. Cara Penghitungan Bea Masuk dan Sanksi Administrasi dalam Rangka Impor Barang ... 24

C. Tata Cara Penagihan Piutang Bea Masuk, Denda Administrasi dan Pajak Dalam Rangka Impor ... 28

BAB IV ANALISA DAN EVALUASI ... 51

A. Analisa ... 51

B. Evaluasi ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

A. Kesimpulan... 55

B. Saran ... 56


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak yang luas dan kompleks. Kemajuan tersebut tentunya membutuhkan kesiapsediaan semua pihak Perguruan Tinggi sebagai sebuah wadah pendidikan tertinggi dalam suatu jenjang pendidikan formal. Berperan serta dalam meningkatkan mutu pendidikan sehingga produk-produk yang dihasilkan benar-benar berkualitas, terampil dan siap dipekerjakan ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Dan mahasiswa sebagai salah satu elemen perguruan tinggi dituntut untuk mampu berpikir kritis, tegas dan kreatif khususnya dibidang yang mereka pilih. Hal ini sangat penting karena mahasiswa sebagai generasi muda diharapkan dapat meneruskan pembangunan bangsa ini.

Guna memenuhi tuntunan kerja dibutuhkan produk-produk perguruan tinggi yang berkualitas, mahasiswa tidak hanya dituntut untuk lulus dari program pendidikannya tetapi juga harus mampu mengembangkan dan menambah ilmu pengetahuan dari ilmu yang diperolehnya, untuk itu maka mahasiswa diwajibkan mengikuti Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM).

Dalam melaksanakan PKLM ini, maka mahasiswa memerlukan sebuah wadah atau tempat untuk mengaplikasikan teori perkuiahannya tersebut. Bahasan yang diambil tentu saja yang berhubungan dengan perpajakan. Sektor pajak di Indonesia merupakan salah satu penerimaan APBN terbesar. Penerimaan tersebut selain berasal


(8)

dari pajak pusat dan daerah, juga berasal dari impor dan ekspor barang. Impor dan ekspor barang merupakan tugas dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang mana lembaga ini di bawah Departemen Keuangan.

Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai aparat kepabeanan, mempunyai tugas yang cukup berat dalam memenuhi pendapatan negara yang telah ditetapkan dalam APBN. Yang mana APBN juga berasal dari Impor dan Ekspor barang, sehingga dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus aktif dalam melaksanakan pembinaan, pengawasan, dan peninjauan terhadap pelaksanaan kepabeanan terutama melakukan peninjauan terhadap Sanksi Administrasi atas impor barang, agar masyarakat mematuhi peraturan yang telah dtentukan dalam undang-undang kepabeanan, dan untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik, untuk mendukung upaya peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan perdagangan global, untuk mendukung kelancaran arus barang dan meningkatkan efektivitas pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam daerah pabean Indonesia, serta untuk mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan, perlu pengaturan yang lebih jelas dalam pelaksanaan kepabeanan.

Sesuai dengan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 yang merupakan perubahan atas Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,


(9)

perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang ini.

Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap impor barang tersebut tentunya terdapat permasalahan-permasalahan yang salah satunya adalah dalam hal sanksi administrasi terhadap impor barang. Oleh karena itu, petugas bea dan cukai yang berwenang harus meningkatkan kinerjanya, sehingga dapat mengatasi permasalahan yang timbul. Apabila permasalahan tersebut dapat teratasi tentunya dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap peraturan ataupun sanksi yang diberlakukan, sehingga penerimaan negara akan meningkat.

Agar tidak salah pengertian atau penafsiran serta penyimpangan yang jauh dalam memahami tulisan ini, maka penulis berusaha memberi batasan pengertian dari judul yang sekaligus memberi arah dalam penulisan proposal ini.

Dengan dasar inilah penulis memilih Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung sebagai tempat penelitian yang hasilnya akan dituangkan dalam skripsi minor yang diberi judul : “ Tinjauan atas Sanksi Administrasi dalam Rangka Impor Barang pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.“


(10)

B. Tujuan Dan Manfaat Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) 1. Tujuan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)

a. Untuk mengetahui pelaksanaan peninjauan atas sanksi administrasi dalam rangka impor barang pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.

b. Untuk mengetahui data tentang impor barang.

c. Untuk mengetahui masalah maupun kendala yang dihadapi dalam penerapan sanksi administrasi terhadap impor barang.

d. Untuk mengetahui upaya - upaya yang ditempuh dalam penerapan sanksi administrasi terhadap impor barang.

e. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan atas sanksi administrasi dalam rangka impor barang.

2. Manfaat Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Bagi Mahasiswa

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan di bidang perpajakan khususnya dalam kepabeanan.

b. Agar dapat menerapkan teori-teori yang didapat selama perkuliahan

c. Agar dapat meningkatkan keterampilan mahasiswa. Dalam melaksanakan kegiatan PKLM mahasiswa dapat menuangkan keterampilan dan mengaplikasikan dengan baik dalam melaksanakan tugas-tugas yang berhubungan dengan pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi masalah yang timbul.


(11)

d. Mengaplikasikan disiplin ilmu yang telah dipelajari ke dalam permasalahan yang timbul selama PKLM.

e. Dengan melaksanakan PKLM ini dapat menjadi wadah bagi mahasiswa untuk mempersiapkan dirinya untuk menjadi mahasiswa yang siap memasuki dunia kerja yang semakin sulit, karena telah dibekali keterampilan, pengalaman-pengalaman dunia kerja dalam melaksanakan PKLM tersebut.

Bagi kantor/instansi

a. Sebagai sarana untuk meningkatkan hubungan antara Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung dengan Universitas Sumatera Utara khususnya Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan sehingga instansi tersebut dapat mengetahui sejauh mana tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dilembaga pendidikan Program Diploma III Administrasi Perpajakan FISIP USU

b. Untuk membantu dalam mensosialisasikan sanksi administrasi dalam rangka impor barang.

c. Hasil dari proposal ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran kepada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.

d. Untuk menambah Ide dan gagasan untuk perbaikan sistim kerja yang ada di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung . e. Memberi uji nyata atas disiplin ilmu yang telah didapatkan.


(12)

Bagi Universitas

a. Untuk meningkatkan kerja sama antara Universitas dengan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.

b. Agar memperkenalkan sumber daya Universitas Sumatera Utara Khususnya Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan FISIP USU.

c. Membuka interaksi antara Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan FISIP USU dengan instansi yang bersangkutan khususnya Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.

C. Ruang Lingkup Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)

1. Pelaksanaan peninjauan atas sanksi administrasi dalam rangka impor barang pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.

2. Data tentang impor barang.

3. Kendala dalam penerapan sanksi administrasi terhadap impor barang pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.


(13)

D. Metode Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)

Untuk mendapatkan dan mengumpulkan data serta perolehan informasi sesuai dengan metode yang digunakan, maka tahapannya adalah sebagai berikut :

1. Tahap Persiapan

Dalam tahap ini, penulis melakukan berbagai persiapan yang menyangkut PKLM ini, mulai dari penentuan judul tempat praktik kerja lapangan mandiri, mencari bahan untuk membuat proposal, serta konsultasi dengan dosen. 2. Studi Literatur

Yaitu mengumpulkan buku- buku yang diperlukan, Undang – Undang di bidang Perpajakan dan Kepabeanan, dan bahan – bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan laporan ini.

3. Observasi Lapangan

Dalam tahap ini penulis melakukan peninjauan/pengamatan secara langsung pada objek praktik kerja lapangan dan meninjau secara langsung kondisi tempat pelaksanaan kegiatan untuk mengetahui sistem kerja yang berlaku pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.

4. Pengumpulan Data

Pada tahap ini penulis mengumpulkan data melalui dua cara yaitu data primer dan sekunder yang bertujuan untuk pengumpulan data yang berhubungan dengan penyusunan laporan PKLM.


(14)

5. Analisis Data dan Evaluasi

Setelah penulis memperoleh data yang diperlukan, penulis akan menganalisa dan mengevaluasi data atau keterangan mengenai tinjauan atas sanksi administrasi dalam rangka impor barang.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Wawancara

Dalam hal ini penulis mengajukan pertanyaan langsung kepada para pegawai yang berhubungan dengan masalah yang dibahas atau bertanya langsung kepada pegawai yang dianggap mampu memberikan data primer dan data yang diperlukan mengenai impor barang.

2. Observasi

Dalam metode ini penulis langsung turun kelapangan peninjauan, mendengar serta mencatat mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas, meneliti, dan meninjau sanksi administrasi dalam rangka impor barang.

3. Dokumentasi

Studi dokumentasi dengan mempelajari buku dan/atau literatur, hasil-hasil penelitian, meminta dokumen atau data-data pendukung yang berhubungan dengan PKLM.


(15)

F. Sistematika Penulisan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)

Dalam pembahasan penulisan laporan ini penulis menyajikan pembahasan laporan ini kedalam 5 bab. Adapun yang menjadi sistematika dalam penyusunan laporan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menjelaskan secara singkat latar belakang yang menjadi pemikiran dalam pemilihan judul. Bab ini berisikan latar belakang PKLM, tujuan, manfaat PKLM, ruang lingkup PKLM, metode pengumpulan data dan sistematika penulisan.

BAB II : GAMBARAN UMUM OBJEK LOKASI PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI

Dalam bab ini penulis menguraikan secara singkat mengenai lokasi PKLM, sruktur organisasi, uraian tugas pokok dan fungsi, serta gambaran mengenai pegawai Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.

BAB III : GAMBARAN DATA DALAM RANGKA IMPOR BARANG Dalam bab ini penulis menjelaskan data yang berkaitan dengan peninjauan atas sanksi administrasi dalam rangka impor barang pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.


(16)

BAB IV : ANALISIS DAN EVALUASI

Pada bab ini penulis akan membandingkan penerapan teori yang ada dengan data yang diperoleh di lapangan, yaitu peninjauan sanksi administrasi dalam rangka impor barang pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.

BAB V : PENUTUP

Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran. Dimana dalam bab ini disimpulkan uraian-uraian dari bab-bab sebelumnya dan saran yang mungkin dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang ada.

Bab ini merupakan penutup dari bab-bab sebelumnya yang berisi kesimpulan dan saran yang kiranya dapat mengingkat pelayanan dan pengawasan pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.


(17)

BAB II

GAMBARAN UMUM KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI

TIPE – A3 TELUK NIBUNG

A. Sejarah Umum Perusahaan

Dimasa pemerintahan Belanda (VOC), sebenarnya praktik Kepabeanan telah ada, namun belum ada peraturan yang baku dan hanya berupa pengumuman/ plakat yang dibuat oleh VOC yang hanya diberlakukan terhadap pedagang rempah-rempah. Akibat perdagangan yang semakin maju dan ramai serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah Belanda berusaha membuat peraturan yang baku agar setiap orang mengetahui dan mematuhinya.

Pada tahun 1854, Belanda pertama kalinya mengumumkan berlakunya “Regeling Reglement” dan dalam pasal 129 dinyatakan “Tarif Bea Masuk, Bea Keluar, dan Bea Pengangkutan” terus ditetapkan dengan undang-undang Tarif 1865 yang mulanya dimaksudkan hanya berlaku sampai dengan tahun 1872. Namun pada tahun 1871, Van Boose sebagai Menteri Urusan Jajahan mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) baru pengganti Undang-undang Tarif tahun 1865, dengan alasan Bea Masuk dan Bea Keluar sangat diperlukan untuk pemasukan kas Belanda, disamping masyarakat pedagang tidak ada yang keberatan.

Pada tanggal 18 November 1873, pemerintah colonial Belanda mengesahkan RUU 1872 menjadi Undang-undang Tarif (UUT) dengan Stabil Nomor 35 dan


(18)

diberlakukan secara efektif mulai tanggal 01 Januari 1874 di seluruh daerah jajahannya di Indonesia. Undang-undang Tarif (UUT) 1873 berorientasi pada pemasukan uang sebanyak-banyaknya ke kas Belanda yang lazim dikenal dengan “System Fiscal”. Undang-undang ini hanya memuat 10 pasal dan pemungutan bea berdasarkan atas:

1. Tarif Advalorum yaitu pemungutan bea berdasarkan harga barang 2. Tarif Spesifik yaitu pemungutan bea berdasarkan jumlah/berat barang

Untuk menentukan besarnya tariff Bea Masuk terhadap suatu jenis barang, ditetapkan tarif yang dilampirkan pada Undang-undang Tarif (UUT) tersebut yang dikenal dengan “Lampiran A”, yang pada saat itu baru memuat 95 pos tariff harga, dan pada saat ini dimuat dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI)/Harmonize System

Undang-undang Tarif ini mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan terakhir dengan Ketetapan Raja Belanda pada tahun 1879, yang dimuat dalam stbl 1910, dimana dinyatakan bahwa Undang-undang Tarif 1872 yang telah ditambah dan diubah dan diundangkan kembali dan diberi nama “Indische Tarif Wet”

Sejak saat itu sampai Proklamasi RI, Undang-undang Tarif inilah yang berlaku dengan segala perubahannya, demikian pula halnya setelah Proklamasi RI, sesuai dengan bunyi pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yaitu “Segala peraturan yang ada masih berlaku selama belum diberlakukan yang baru”.

Ordonansi Bea (OB) mulai berlaku sejak tanggal 01 Oktober 1882 dan diumumkan dalam stbl 471 yang berlaku mulai tanggal 01 Juni 1932. Ordonansi Bea


(19)

ini merupakan penjabaran dari Undang-undang tariff yang terdiri dari 30 pasal. Untuk melaksanakan ketentuan dalam Ordonansi Bea dibuat aturan pelaksanaannya yang dikenal dengan “Reflement A” yang terdiri dari 58 pasal.

Tahun 1872 RUU Tarif kepabeanan

Tahun 1873 Penetapan UU Tarif Kepabeanan dalam 10 pasal

Tahun 1874 Menteri menetapkan Ordonansi Bea (OB) sebagai pelaksanaan UU Tarif dalam 30 pasal

Dirjen menetapkan Reflement A (RA) sebagai pelaksanaannya OB dalam 30 pasal

Sampai dengan April 1985, Indonesia masih menggunakan UUT 1872 sebagai dasar dan pedoman bagi Aparat Bea/Cukai, dan mulai tanggal 01 April 1985 pemerintah membekukan sementara pelaksanaan UUT 1872 karena sudah tidak memadai dan tidak sesuai untuk menampung tuntutan pembangunan serta pandangan internasional yang semakin berkembang. Pemerintah mengeluarkan undang-undang baru yaitu Inpres Nomor 4 Tahun 1985. Hal yang menonjol dalam Inpres tersebut adalah pembatasan kewenangan. Aparat Bea/Cukai dalam menangani barang impor yaitu hanya impor yang bernilai FOB US$ 5.000 atau kurang. Nilai FOB diatas US$ 5.000 wajib diperiksa oleh surveyor di Negara pemasok.

Surveyor yang ditunjuk pemerintah adalah perusahaan swasta yang bergerak dibidang Surveyor khusus barang impor dari Swiss yaitu “Society de Generele Surveyor (SGS)” yang dikontrak sebesar Rp. 100 Milyar. Pemeriksaan di Negara pemasok oleh SGS dikenal dengan “Pre Shipment Inspection” atau pemeriksaan


(20)

sebelum pengapalan dan hasil pemeriksaannya dituangkan dalam Laporan Kebenaran Pemeriksaan (LKP).

Barang yang sudah dilindungi LKP tidak diperiksa oleh Aparat Bea dan Cukai. Namun peraturan ini tidak bertahan lama karena pada tahun 1992 pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 3 tahun 1992 yang menyatakan bahwa pemeriksaan pra pengapalan yang bernilai FOB di atas US$ 5.000 dilaksanakan oleh perusahaan Surveyor yang ditunjuk oleh Pemerintah yaitu PT Surveyor Indonesia. Hasil pemeriksaan PT Surveyor Indonesia dituangkan dalam Laporan Pemeriksaan Surveyor (LPS). Namun, PT Surveyor Indonesia ditutup karena Surveyor Luar Negeri hanya percaya pada pedagang tanpa melalui pemeriksaan fisik barang sebelumnya. Yang menyebabkan terjadinya ketidakcocokan fisik barang dengan LPS.

B. Struktur Organisasi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 74/ PMK.01/2009 tanggal 08 April 2009 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Susunan Organisasi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung termaktub pada Bagian Keenam Pasal 222 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK. 05/2009 tersebut diatas terdiri dari:

a. Subbagian Umum

b. Seksi Penindakan dan Penyidikan c. Seksi Perbendaharaan


(21)

d. Seksi Kepabeanan dan Cukai

e. Seksi Dukungan Teknis dan Distribusi Dokumen f. Kelompok Jabatan Fungsional

C. Job Description Masing – masing Bidang Kerja

Adapun bidang – bidang kerja berdasarkan Struktur Organisasi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea/Cukai Tipe A3 Teluk Nibung adalah sebagai berikut:

1. Subbagian Umum mempunyai tugas melakukan urusan ketatausahaan, kepegawaian, keungan, dan rumah tangga Kantor Pengawasan dan Pelayanan Kantor, pengawasan pelaksanaan tugas dan evaluasi kinerja, penyuluhan dan publikasi peraturan perundang-undangan kepabeanan dan cukai, pelaporan dan pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan aparat pengawasan fungsional dan pengawasan masyarakat, serta penyusunan rencana kerja dan laporan akuntabilitas.

2. Seksi Penindakan dan Penyidikan mempunyai tugas melakukan intelijen, patron dan operasi pencegahan dan penindakan pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai serta pengelolaan dan pengadministrasian sarana operasi, sarana komunikasi dan senjata api.

3. Seksi Perbendaharaan mempunyai tugas melakukan pemungutan dan pengadministrasian bea masuk, bea keluar, cukai dan pungutan Negara lainnya yang dipungut oleh Direktorat Jenderal, pelayanan kepabeanan atas sarana pengangkut dan pemberitahuan pengangkutan barang


(22)

4. Seksi Kepabeanan dan Cukai mempunyai tugas melakukan pelayanan teknis dan fasilitas di bidang kepabeanan dan cukai

5. Seksi Dukungan Teknis dan Distribusi Dokumen mempunyai tugas melakukan pengoperasian komputer dan sarana penunjangnya, pengelolaan dan penyimpanan data dan file, pelayanan dukungan teknis komunikasi data, pertukaran data elektronik, pengolahan data kepabeanan dan cukai, penerimaan, penelitian kelengkapan dan pendistrubusian dokumen kepabeanan dan cukai, serta penyajian data kepabeanan dan cukai

6. Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai dengan jabatan fungsional masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea/Cukai

Tipe A3 Teluk Nibung

Subbagian Umum

Kelompok Jabatan Fungsional

Seksi Dukungan Teknis dan Distribusi Dokumen Seksi Kepabeanan

dan Cukai Seksi

Perbendaharaaan Seksi Penindakan


(23)

BAB III

PENYAJIAN DAN ANALISA DATA ATAS PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM RANGKA IMPOR BARANG

A. Bea Masuk Dikenakan Terhadap Semua Barang Impor

Setiap barang yang dimasukkan kedalam Daerah Pabean diperlukan atau dianggap sebagai barang impor yang padanya telah terutang Bea Masuk. Maksudnya setiap pemasukan barang dari luar negeri (Impor), secara yuridis yaitu pada saat barang memasuki Daerah Pabean dan merupakan barang tersebut wajib Bea Masuk serta merupakan dasar yuridis bagi Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pengawasan.

Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai Pemberitahuan Pabean yang diajukan, terhadap Barang impor dilakukan Pemeriksaan Pabean dalam bentuk penelitian terhadap dokumen dan pemeriksaan atas fisik barang. Dalam rangka memperlancar arus barang, pemeriksaan atas fisik barang dilakukan secara selektif, dalam arti pemeriksaan barang hanya dilakukan terhadap importasi yang beresiko tinggi, (Pasal 3 UU No 17 Tahun 2006) Tentang kepabeanan antara lain:

a) Barang yang Bea Masuknya tinggi b) Barang berbahaya bagi masyarakat

c) Impor yang dilakukan oleh importir yang mempunyai reputasi serta catatan (track record) yang kurang baik.


(24)

Pengeluaran barang impor dari Kawasan Pabean dilakukan dengan tujuan : a) Diimpor untuk dipakai

b) Diimpor untuk sementara c) Diekspor kembali

Ad.a) Diimpor untuk dipakai

Terhadap barang impor yang akan dikeluarkan dari Kawasan Pabean dengan tujuan diimpor untuk dipakai, Importir/ Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK), harus menyiapkan pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan dokumen pelengkap pabean lainnya serta menghitung sendiri Bea Masuk, Cukai, dan Pajak Dalam Rangka Impor yang harus dibayar (Self Assessment).

Pembayaran dapat dilakukan pada Bank Devisa Pesrsepsi dengan cara pembayaran biasa atau pembayaran berkala. Pembayaran berkala adalah cara pembayaran Bea Masuk, Cukai dan Pajak yang dilakukan secar periodik dan hanya diberikan kepada importir yang mendapatkan fasilitas jalur prioritas.

Jalur prioritas tersebut diberikan kepada Importir yang telah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu:

a) Bidang usaha (Nature of Business) yang jelas ;

b) Tidak pernah menyalahgunakan fasilitas di Bidang Kepabeanan selama satu tahun terakhir ;

c) Tidak pernah memberitahukan jumlah dan jenis barang serta nilai pabean yang berbeda dengan yang diimpor selama satu tahun terakhir ;


(25)

e) Tidak mempunyai tunggakan utang berupa kekurangan pembayaran Bea Masuk dan Pajak kepada Direktorat Jenderal.

(Pasal 32 Kep. DJP Nomor Kep-07/BC/2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan Dibidang Impor ).

Atas pembayaran yang dilakukan importir tersebut, maka Bank Devisa Persepsi menyerahkan bukti pembayaran dengan memberikan nomor serta tanggal pembayaran pada bukti pembayaran dimaksud dan mengirimkan credit advice melalui system PDE Kepabeanan ke Kantor Pabean yang telah menerapkan system PDE Kepabeanan.

Berdasarkan criteria yang ditentukan Pejabat Bea dan Cukai menetapkan jalur pengeluaran Barang Impor yang terdiri dari :

1. Jalur merah diberikan untuk impor yang baru, Importir yang termasuk dalam kategori resiko tinggi, barang re-impor dan barang yang terkena pemeriksaan acak, serta barang impor yang termasuk dalam komoditi tinggi dan berasal dari Negara yang beresiko tinggi

2. Jalur hijau, diberikan kepada Importir dan Importasi yang tidak termasuk kepada criteria diatas. Atas Pemberitahuan Impor Barang (PIB) jalur hijau hanya dilakukan penelitian dokumen

3. Jalur Prioritas, diberikan kepada importir yang ditetapkan sebagai importir jalur priorotas. Pada jalur prioritas ini tidak dilakukan Pemeriksaan Pabean sebagaimana yang dilakukan terhadap jalur merah dan jalur hijau, kecuali


(26)

terhadap barang impor sementara, barang re-impor dan barang-barang yang ditetapkan Pemerintah.

Ad.b) Impor Sementara

Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali. Barang impor sementara sampai saat diekspor kembali berada pada pengawasan Pabean dan barang siapa yang tidak mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu yang telah ditentukan dikenai denda sebesar 100 % dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.

Tujuan pengaturan impor sementara adalah untuk memberikan kemudahan atas pemasukan barang dengan tujuan tertentu seperti barang pameran, barang perlombaan, barang penelitian yang digunakan untuk penelitian sains dan teknologi serta pendidikan, yang digunakan untuk sementara waktu dan pada saat pengimpornya telah jelas bahwa, barang tersebut akan diekspor kembali.

Ad.c) Diekspor kembali

Terhadap barang impor yang masih berada didalam Kawasan Pabean dapat diekspor kembali apabila:

• Tidak sesuai pesanan

• Tidak boleh diimpor karena adanya perubahan-perubahan • Salah kirim


(27)

• Tidak dapat memenuhi persyaratan impor dari instansi teknis

Importir mengajukan permohonan re-ekspor kepada Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai dengan menyebutkan alas an sebagaimana tersebut diatas.

Sanksi administrasi adalah sanksi berupa denda yang dikenakan terhadap setiap orang yang melakukan pekanggaran administrasi yang secara nyata telah diatur dalam Undang- Undang. Sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28/ Tahun 2008 tanggal 11 April 2008.

Adapun proses timbulnya sanksi administrasi yakni tambah bayar berupa Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk (SKPPBM) antara lain:

a. Kesalahan dalam pengklasifikasian (penggolongan) jenis barang kedalam tarif pos yang tercantum dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTMI), dikenakan sanksi administrasi berupa denda setinggi-tingginya 500 % dan serendah-rendahnya 100% dari jumlah Bea Masuk yang seharusnya dibayar. b. Kesalahan dalam hal pemberitahuan Nilai Pabean yakni, pihak importir

membuat/ menetapkan harga pembelian barang impor yang terlalu rendah dari harga yang telah ditetapkan berdasarkan Data Base Harga (DBH) yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dikenakan sanksi administrasi berupa denda setinggi-tingginya 500% dan serendah-rendahnya 100% dari jumlah Bea Masuk yang seharusnya dibayar.

c. Karena kesalahan dalam pemberitahuan jumlah dan berat (tonase) barang, dikenakan sanksi administrasi administrasi berupa denda setinggi-tingginya


(28)

500% dan serendah-rendahnya 100% dari Jumlah Bea Masuk yang seharusnya dibayar.

Jenis – jenis sanksi administrasi menurut Undang-Undang No.17 Tahun 2006, pasal 7 ayat (7) dan (8) , Pasal 8A ayat (2) dan (3), Pasal 8C ayat (3) dan ayat (4), Pasal 9A ayat (2) dan (3), Pasal 10A ayat (3), ayat (4), dan ayat (8) adalah:

a. Denda berdasarkan nilai rupiah b. Denda berdasarkan persentase

c. Denda berdasarkan tingkat minimum dan maksimum (dalam rupiah)

d. Denda berdasarkan tingkat minimum dan maksimum(dalam persentase).

Dari Laporan Kegiatan Impor Harian menunjukan: Nilai Pelunasan SPKPBM tahun 2007 :

Bea Masuk : Rp 34 .568.325

Cukai : -

Denda Administrasi : Rp 27.988.218

PPN : Rp 48.210.178

PPNBM : Rp 73.258.549

PPh Pasal 22 : Rp 13.743.149

Nilai Pelunasan SPKPBM tahun 2008 : Bea Masuk : Rp 81.574.672


(29)

Cukai : -

Denda Administrasi : Rp 138.788.606

PPN : Rp 37.018.637

PPNBM : Rp 1.604.340

PPh Pasal 22 : Rp 8.853.570 Nilai Pelunasan SPKPBM tahun 2009 : Bea Masuk : Rp 42.836.492

Cukai : -

Denda Administrasi : Rp 90.546.241

PPN : Rp 26.731.779

PPNBM : -

PPh Pasal 22 : Rp 6.682.946

Surat Penetapan Tarif Dan/Atau Nilai Pabean ( SPTNP ) Tahun 2010, Periode Januari – Oktober 2010 :

Uraian Diberitahukan Ditetapkan Kekurangan Kelebihan Bea Masuk Rp 27.046.000 Rp 43.228.000 Rp 16.182.000 - Cukai - - - - PPN Rp 106.858.000 Rp 124.855.000 Rp 17.997.000 -

PPNBM - - - -

PPh Pasal 22 Rp 27.380.000 Rp 31.216.000 Rp 3.836.000 - Denda - Rp 443.000 Rp 15.531.000 -


(30)

Sanksi administrasi berupa denda lebih banyak diakibatkan oleh kesalahan importer dalam hal :

1. Penetapan Nilai Pabean, yakni pihak importir membuat atau menetapkan harga pembelian barang impor yang terlalu rendah dari harga yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

2. Kesalahan dalam hal pengklasifikasian (penggolongan) jenis barang kedalam tarif yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

B. Cara Penghitungan Bea Masuk dan Sanksi Administrasi dalam Rangka Impor Barang.

Nilai Pabean yang dijadikan dasar penghitungan Bea Masuk, Denda Administrasi dan Pajak dalam rangka Impor dinyatakan dalam rupiah sebagai hasil perkalian NDPBM (Nilai Dasar Penghitungan Bea Masuk) dengan nilai CIF (Cost Insurance Freight) dalam valuta asing. Penetapan nilai pabean didasarkan pada ketentuan yang berlaku pada saat PIB mendapat nomor pendaftaran. Nilai Pabean tersebut dibulatkan dalam rupiah penuh dengan cara menghilangkan bagian dari satuan rupiah.

Jika dalam satu PIB terdapat kelebihan bayar dalam satu pos dan kekurangan bayar pada pos yang lain, maka kelebihan bayar dapat dikompensasikan untuk melunasi kekurangan bayar sepanjang masih dalam mata anggaran uang sama.


(31)

Biaya transportasi atau freight barang impor ke pelabuhan atau tempat impor di Daerah Pabean adalah biaya trasnportasi yang sebenarnya atau seharusnya dibayar yang umumnya tercantum dalam B/L atau AWB dari barang impor yang bersangkutan.

Apabila biaya transportasi yang tercantum dalam B/L (Bill of Lading) ATAU AWB (Air Wiil Bill) bukan biaya transportasi yang sebenarnya atau seharusnya dibayar, biaya transportasi adalah biaya transportasi yang sebenarnya atau yang seharusnya dibayar sepanjang importer dapat menunjukakan bukti nyata atas biaya transportasi tersebut.

Apabila importir tidak dapat menunjukkan bukti nyata dimaksud, maka biaya transportasi ditetapkan sebagai berikut:

A. Untuk Transportasi Laut

 15% dari harga FOB untuk barang yang berasal dari Eropa, Amerika, dan Afrika dan Jepang

 10% dari harga FOB untuk barang yang berasal dari Asia-non-ASEAN dan Australia

 5% dari harga FOB untuk barang berasal dari Negara ASEAN

B. Untuk transportasi udara besarnya biaya transportasi ditetapkan berdasarkan tarif IATA (International Air Transport Association)

Dalam hal terdapat lebih dari satu jenis barang yang tergolong dalam klasifikasi tarif yang berbeda dalam satu Pemberitahuan Impor Barang (PIB),


(32)

perbandingan harga tiap jenis barang dengan harga keseluruhan barang dikalikan jumlah keseluruhan biaya trasnportasi.

II. Biaya Asuransi

Biaya Asuransi yang berkaitan dengan pengangkutan barang adalah sebagaimana tercantum dalam polis asuransi apabila asuransi ditutup didalam negeri, maka nilai rupiah dari premi asuransi dalam menetapkan nilai pabean dianggap nihil, dengan syarat importir wajib menyerahkan polis asuransi.

Apabila importir tidak dapat menujukkan polis asuransi, besarnya biaya asuransi ditetapkan setengah perseratus (0,5%) dari harga C&F (Cost and Freight).

1. Dalam hal terdapat lebih dari satu jenis barang yang tergolong dalam klasifikasi tarif yang berbeda dalam satu Pemberitahuan Impor Barang (PIB), besarnya biaya asuransi untuk tiap-tioap jenis barang dihitung berdasarkan perbandingan harga keseluruhan barang dikalikan jumlah keseluruhan biaya asuransi.

CIF (Nilai Pabean dalam Rupiah) : Rp.100.000

BM (sesuai HS) 5% x Rp.100.000 Rp. 5.000 PPN 10% x Rp.105.000 (BM + CIF) Rp. 10.500 PPh (dgn API) 2,5% x Rp.105.000

Jumlah BM dan PDRI yang seharusnya dibayar Rp.18.125 Rp. 2.625

2. Untuk pembayaran BM dan PDRI impor sementara selama 1 (satu) tahun adalah:


(33)

PPN 12 x 2%/Bulan x Rp.10.500 Rp. 2520 (dengan SSPCP) PPh 12 x 2%/Bulan x Rp. 2.625

Yang dibayar Rp. 4350

Rp. 630 (dengan SSPCP)

Yang dijaminkan Rp. 18.125-Rp.4.350 Rp.13.775

3. Apabila diperpanjang 1 (satu) tahun, Metode yang dipergunakan untuk pembayaran BM sama dengan Angka 1

Yang dibayar Rp. 4.350

Yang dijaminkan Rp. 18.125- (2 x Rp. 4.350) Rp. 9.425

4. Apabila dibayar atau diekspor kembali, perhitungan BM dan PDRI adalah sebagai berikut:

BM dan PPN dihitung sesuai kurs dan tarif pada saat pemasukkannya PPh dihitung sesuai kurs pada saat pelunasannya.

Contoh:

CIF (Nilai Pabean dalam Rupiah) : Rp.100.000

BM (sesuai HS) 5% x Rp.100.000 Rp. 5.000 PPN 10% x Rp.105.000 (BM + CIF) Rp. 10.500 PPh (dgn API) 2,5% x (CIF valuta asing x

Kurs pada saat pelunasan + BM, sehingga menjadi)

...dimisalkan... Rp 3.000

Jumlah BM dan PDRI yang terutang Rp 18.500

BM dan PDRI yang telah dibayarkan selama 2 (tahun)


(34)

Jumlah BM dan PDRI yang masih harus dibayar adalah Rp. 9.800 Sanksi administrasi berupa denda 100% x BM Rp. 5.000 *) yang terdiri dari:

BM Rp. 5.000 – (2 x Rp.1.200) Rp. 2.600 (dgn SSPCP) PPN Rp.10.500 – (2 x Rp.2.250) Rp. 5.460 (dgn SSPCP) PPh Rp. 3.000 – (2 x Rp. 630)

Jumlah Rp. 9.800

Rp. 1.740 (dgn SSPCP)

C. Tata Cara Penagihan Piutang Bea Masuk, Denda Administrasi dan Pajak Dalam Rangka Impor

Peran serta masyarakat khusunya pengguna jasa kepabeanan dalam memenuhi kewajibannya membayar bea masuk dan pajak sangat diharapkan sesuai dengan kerangka self assessment yakni menetapkan dan menghitung pajak sendiri maksudnya suatu system pemungutan dimana pembayaran pajak diserahkan sepenuhnya kepada pembayar pajak untuk dilakukan atas inisiatif dan kesadaran masing-masing (Jacob Taihutu). Beberapa catatan perihal self assessment system dalam pajak penghasilan). Akan tetapi, dalam kenyataannya masih terdapat cukup banyak market forces (dalam hal ini Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk) yang telah diterbitkan. Dengan tidak dibayarnya utang tersebut maka akan menjadi tunggakan, dan untuk itu dilakukanlah tindakan penagihan terhadap bea masuk dan pajak.


(35)

Tindakan penagihan terhadap utang Bea Masuk dan Pajak dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Undang-undang ini mempunyai kekuatan hukum yang bersifat memaksa agar Penanggung Bea/Cukai (Wajib Pajak) mau melunasi utangnya.

1. Surat Teguran

Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa yang menjadi dasar penagihan Bea Masuk, Denda Administrasi, Bunga dan Pajak dalam rangka impor adalah Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk (SPKPBM) yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai dengan masa tenggang waktu 30 hari sejak tanggal diterbitkan. Setelah jangka waktu 1 bulan sejak SPKPBM tersebut diterbitkan, Penanggung Bea/Cukai belum melunasi utangnya, dan setelah ditambah 7 hari barulah dilakukan suatu tindakan penagihan aktif dengan nama Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis yang dimaksudkan untuk menegur atau memperingatkan kepada Penanggung Bea/Cukai untuk melunasi utangnya. Sejak 1 Januari 2010 SPKPBM telah mengalami perubahan nama menjadi Surat Penetapan Tarif dan atau Nilai Pabean (SPTNP).

Penerbitan surat teguran ini merupakan tindakan awal dari tindakan penagihan dan pelaksanaannya harus dilakukan sebelum dilanjutkan dengan menerbitkan Surat Paksa (SP). Apabila terhadap Penanggung Bea/Cukai tidak pernah diberikan Surat


(36)

Teguran namun langsung diterbitkan dan diberikan Surat Paksa maka secara yuridis Surat Paksa tersebut dianggap tidak ada karena tidak didahului oleh Surat Teguran.

Jangka waktu dari surat Teguran tersebut hanya 21 hari sejak tanggal diterbitkan dan terhadapnya telah dikenakan bunga sebesar 2% setiap bulannya atas keterlambatan pembayarann utangnya dan bunga tersebut hanya digunakan untuk utang/tagihan bea cukai saja. Apabila dalam tenggang waktu 21 hari, Penanggung Bea/Cukai masih juga tidak melunasi utangnya, maka Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai segera menerbitkan Surat Paksa.

1. Surat Paksa

Dalam melaksanakan tindakan penagihan, ternyata tidak selalu didahului dengan pelaksanaan Surat Paksa, akan tetapi dapat juga langsung dengan melakukan tindakan berupa penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus tanpa perlu menunggu jatuh tempo pembayaran. Ada dua kata yang penting untuk dipahami yaitu kata” seketika”, dan ”sekaligus”. Yang dimaksud dengan penagihan seketika dan sekaligus adalah penagihan yang dilakukan segera tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran, sedangkan penagihan sekaligus adalah penagihan yeng meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis Pajak dan tahun pajak.

2.1 Penagihan Seketika dan Sekaligus

Surat Paksa adalah surat perintah untuk membayar utang Bea masuk, Denda Administrasi dan Bunga serta Biaya Penagihan. Dalam hal terjadi suatuperistiwa atau keadaan yang mendesak dan untuk menjaga kemungkinan terjadinya sesuatu yang akan mengakibatkan utang Bea/Cukai dan utang pajak tidak dapat ditagih, maka


(37)

Pejabat diberi wewenang untuk menerbitkan Surat Penagihan Seketika dan Sekaligus. Sedangkan, salah satu tugas dari Juru Sita Bea dan Cukai adalah melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus sampai tuntas. Secara preventif tindakan ini dimaksudkan agar penerimaan Negara di sektor Bea Masuk dan Pajak dapat diamankan dalam waktu yang singkat.

Adanya tindakan penagihan seketika dan sekaligus ini tidak lain dimaksudkan agar Penanggung Bea/Cukai dan Penanggung Pajak tetap harus mendahului kepentingan Negara untuk melunasi utangnya sebelum kepentingan-kepentingan lain diselesaikan.

Dalam pasal 20 Undang-undang nomor 28 Tahun 2007, menegaskan bahwa tindakan penagihan seketika dan sekaligus dapat dilakukan apabila hal-hal berikut ini diketahui, yaitu:

a. Penanggung Bea/Cukai akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu ;

b. Penanggung Bea/Cukai menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia ataupun memindahtangankan barang yang dimilikinya atau dikuasainya ;

c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Bea/Cukai akan membubarkan badan usahanya atau berniat untuk itu ;

d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara ;

e. Terjadi penyitaan atas barang Penangggung Bea/Cukai oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.


(38)

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa apabila Penanggung Bea/Cukai akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau mempunyai niat untuk itu, maka ia harus melunasi utangnya terlebih dahulu. Untuk itu, sesuai Undang-undang No.9 tahun 1992 tentang Keimigrasian, upaya hukum yang dapat dilakukan untuk itu adalah dengan cara mencegah Penanggung Bea/Cukai yang bersangkutan berangkat ke luar negeri antara lain dengan cara pencekalan. Usulan pencegahan dan pencekalan demikian hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Kehakiman dan HAM sepanjang menyangkut urusan piutang Negara.

Surat Perintah Penagihan dan Sekaligus sekurang-kurangnya harus memuat: a. Nama dan alamat Penanggung Bea/Cukai

b. Besarnya utang Bea Masuk dan Utang Pajak c. Perintah untuk membayar

d. Saat pelunasan Bea Masuk dan Utang Pajak 2.2 Isi dan Karakteristik dari surat Paksa

Surat Paksa atau disebut parate eksekusi (eksekusi langsung), yang berarti bahwa Penagihan Bea/Cukai dan Pajak secara paksa dapat dilakukan tanpa melalui proses pengadilan Negeri. Hal ini bisa dimengerti karena Surat Paksa itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap (pasti), dimana fiskus dalam melaksanakan kewajibannya mempunyai hak ”Parate Eksekusi”. Dilihat dari segi isinya Surat Paksa memuat hal-hal sebagai berikut:


(39)

a. Berkepala kata-kata ”Atas nama Keadilan” yang dengan undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 4 disesuaikan bunyinya menjadi ” DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” ; b. Nama Penanggung Bea/Cukai, keterangan yang cukup tentang alasan yang

menjadi dasar penagihan serta perintah membayar ;

c. Dikeluarkan atau ditandatangani oleh Pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan .

Sedangkan dari segi karakteristiknya adalah sebagai berikut:

a. Mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan Hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada Hakim atasan ; b. Mempunyai kekuatan hukum yang tetap ;

c. Mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak dan menagih bukan pajak (biaya-biaya penagihan) ;

d. Dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan atau penyanderaan/pencegahan Mengingat Surat Paksa mempunyai kedudukan hukum yang tetap, maka pemberitahuan/penyerahan Surat Paksa kepada Penanggung dan kepada kedua belah pihak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Surat Paksa sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.

Juru sita Bea/Cukai melaksanakan penagihan Piutang Bea/Cukai dengan Surat Paksa adalah dengan cara sebagai berikut:

a. Jurusita menandatangani tempat tinggal atau tempat kedudukan Penanggung Bea/Cukai dengan memperlihatkan tanda pengenal diri, dan Jurusita


(40)

mengemukakan maksud kedatangannya yaitu memberitahukan Surat Paksa dengan pernyataan dan menyerahkan salinan Surat Paksa tersebut.

b. Jika Jurusita bertemu langsung dengan Penanggung Bea/Cukai (PBC) maka diminta agar PBC memperlihatkan surat-surat keterangan Pabean yang ada untuk diteliti:

• Apabila tunggakan Bea/Cukai menurut SPKPBM sesuai dengan jumlah

tunggakan yang tercantum dalam Surat Paksa

• Apakah terhadap utang dalam Surat Paksa telah diajukan keberatan yang

memenuhi syarat.

c. Apabila Jurusita tidak menjumpai Penanggung Bea/Cukai, maka salinan Surat Paksa tersebut dapat diserahkan kepada:

• Keluarga Penanggung Bea/Cukai atau orang bertempat tinggal bersama

Penanggung Bea Cukai yang telah akhil baliq (dewasa dan sehat mental) • Anggota pengurus komisaris atau para Pesero dari Badan Usaha yang

bersangkutan

• Pejabat Pemerintah setempat (Bupati/Walikota/Camat/Lurah) dalam hal

mereka tersebut dalam butir c.1 dan c.2 di atas tidak dijumpai. Pejabat-pejabat tersebut harus memberi tanda tangan pada Surat Paksa dan Salinannya, sebagai tanda diketahuinya menyampaikan salinannya kepada Penanggung Bea/Cukai yang bersangkutan


(41)

• Jurusita yang telah melaksanakan penagihan Bea Masuk dan pajak dengan

Surat Paksa harus membuat laporan pelaksanaan Surat Paksa.

d. Jika Penanggung Bea/Cukai tidak diketemukan dikantor atau tempat usaha/ tempat tinggal, maka Jurusita dapat menyerahkan salinan Surat Paksa kepada:  Seseorang yang ada di kantornya (salah seorang pegawai)

 Seseorang yang ada ditempat tinggalnya (misalnya istri, anak atau pembantu), dengan catatan anak tersebut telah berumur 14 tahun keatas. Surat paksa yang akan disampaikan kepada Penanggung Bea/Cukai dilakukan paling lambat setelah lewat 21 hari setelah surat teguran atau surat peringatan lain yang sejenis diterbitkan, dan bila diterbitkan kurang dari 21 hari sejak tanggal surat teguran, maka Surat Paksa menjadi batal demi hukum.

3. Penyitaan

Penyitaan adalah ”suatu tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Bea/Cukai untuk menguasai barang Penanggung Bea/Cukai guna dijadikan jaminan untuk melunasi uangnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pengertian penyitaan menurut Pasal 1 KUHP adalah: ” Serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih atau menyimpan dibawajh penguasanya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dan dalam penuntutan dan peradilan”.

Penyitaan dalam hukum pidana ini bertujuan menjadikan barang yang disita sebagai bukti kejahatan/pelanggaran didepan pengadilan.


(42)

Dalam perundang-undangan Pajak tidak ada istilah baku tentang pengertian penyitaan, oleh karena itu Mouljo Hadi, S.H mencoba memberikan pengertian penyitaan yakni sebagai berikut:

Serangkaian tindakan Jurusita Pajak (Jurusita Bea/Cukai) dengan dibantu oleh 2 orang saksi untuk menguasai barang dari Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utangnya sesuai peraturan perundang-undangan Pajak yang berlaku.”

Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebih lanjut setelah Surat Paksa yang hanya dapat dilakukan setelah batas waktu 2 x 24 jam sebagaimana dimaksud dalam Surat Paksa dilewati. Artinya, apabila Penanggung Bea/Cukai tetap tidak melunasi utangnya barulah tindakan penyitaan dapat dilakukan.

Penyitaan baru dapat dilakukan apabila Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai telah mengeluarkan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP). Dalam melaksanakan penyitaan Jurusita harus memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Penyitaan dilakukan harus didampingi oleh dua (2) orang saksi yang telah memenuhi syarat antara lain:

a. Warga Negara Indonesia b. Sudah mencapai usia 21 tahun c. Dikenal Jurusita

d. Dapat dipercaya


(43)

Jika nilai barang bergerak tidak mencukupi, barukah dapat diteruskan dengan menyita barang tidak bergerak sampai jumlahnya mencukupi untuk membayar utang Bea/Cukai serta biaya pelaksanaannya.

3. Jurusita setelah melakukan penyitaan harus membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita (BAPS).

Perincian mengenai barang bergerak yang dapat disita adalah sebagai berikut:

a. Semua barang bergerak yang ada dirumah Penanggung Bea/Cukai, seperti: • Perkakas rumah tangga (lemari, meja, kursi dan sebagainya)

• Barang – barang mewah (lemari es, tape recorder, kompor gas, dsb) • Barang-barang perhiasan (kalung, gelang, cincin dari emas)

• Uang tunai

• Kendaraan (mobil, sepeda motor, dsb) • Lain-lainnya (lukisan, jam dinding, dsb)

b. Semua barang bergerak yang ada di toko Penanggung Bea/Cukai, seperti: • Barang dagangan (baik yang berbeda di toko tersebut maupun yang

ada digudang)

• Semua barang bergerak milik Penanggung Bea/Cukai ada enam jenis

barang yang dikecualikan dari penyitaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15Undang-undang Tahun 2000, yaitu:


(44)

 Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Bea/Cukai dan keluarga yang menjadi tanggungannya

 Penanggung makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang ada dirumah

 Perlengkapan Penanggung Bea/Cukai yang bersifat dinas

 Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Bea/Cukai dan alat-alat yang digunakan untuk keperluan pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan

 Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp. 10.000.000

 Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Bea/Cukai dan keluarga yang menjadi tanggungannya.

prinsipnya penyitaan dalam hukum pajak tidak mengubah status kepemilikan atas suatu barang, bahkan barang yang telah disita dapat dititipkan kepada Penanggung Bea/Cukai atau dapat disimpan ditempat lain. Pemilik barang pada dasarnya masih tetap dapat mempergunakan barang yang telah disita sepanjang atas barang, atau menghilangkan barang yang merupakan tindakan pidana sesuai Pasal 231 KUHP.


(45)

Apabila Penanggung Bea/Cukai sudah melunasi utangnya sebelum permintaan penetapan tanggal pelelangan diajukan, maka Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai harus mengeluarkan Surat Pencabutan Sita

4. Hak Mendahulu

Hak mendahulu adalah suatu hak yang oleh Undang-undang diberikan kepada seseorang berpiutang sehingga tingkatannya menjadi lebih tinggi dari pada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.

Dalam Undang-undang Pajak, hak mendahulu pajak diatur dalam Pasal 21 Undang-undang No.16 Tahun 2000 yang berbunyi sebagai berikut:

Ayat 1) : Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak

Ayat 2) : Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pokok pajak, bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihan

Ayat 3) : Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

a. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang barang bergerak maupun barang tidak bergerak

b. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang


(46)

c. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan

Ayat 4) : Hak mendahulu baru hilang setelah lampau waktu 2 tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Pemberitahuan Kekurangan Bea Masuk, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Bandingyang menyebabkan jumlah pajak

yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam waktu dua tahun tersebut Surat Paksa untuk membayar itu diberikan penundaan pembayaran.

Ayat 5) : Dalam hak Surat Paksa untuk membayar diberitahukan

secara resmi, jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat

Paksa atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran jangka waktu dua tahun ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran

5. Gugatan

Dalam rangka menegakkan keadilan, Undang-undang No. 19 Tahun 2000 tetap memberikan perlindungan hukum, baik kepada Penanggung Bea/cukai maupun kepada pihak ketiga berupa hak untuk mengajukan gugatan, karena pelaksanaan sanggahan pada hakikatnya tidak berbeda dengan pelaksanaan penagihan Bea Masuk dan Pajak berupa pelaksanaan Surat Paksa dan Penyitaan diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Sementara itu gugatan pihak ketiga terhadap


(47)

kepemilikan barang yang disita ditujukan ke Pengadilan Negeri (PN). Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwa sanggahan atau gugatan Penanggung Bea/Cukai terhadap pelaksanaan Surat Paksa dan Penyitaan hanya dapat diajukan kepada Badan Peradilan Pajak yang selanjutnya disebut Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Perlindungan hukum terhadap hak dimaksud diberikan porsi tersendiri yang dituangkan berupa ketentuan dalam pasal di dalam Undang-Undang tersebut.

Badan Penyelesaian Sengketa Pajak adalah Badan Peradilan Pajak yang mempunyai tugas memeriksa dan memutus sengketa Pajak berupa:

a. Banding terhadap keputusan pejabat yang berwenang

b. Gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan Perpajakan di bidang penagihan

Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak seperti halnya Surat Paksa juga mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dengan kepala keputusan diberi kata-kata ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi Penanggung Pajak dan Putusannya tidak dapat digugat ke Pengadilan Pajak.

Pengertian gugatan menurut pasal 1 sub 7 Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak menyatakan bahwa:


(48)

Gugatan adalah upaya hukum terakhir terhadap pelaksanaan penagihan pajak sebagaimana diatur dalam perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan”.

Menurut Pasal 38 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan surat Paksa menyebutkan bahwa:

”gugatan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Negeri yang menerima surat gugatan dari pihak ketiga memberitahukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang (Pejabat Bea/Cukai dan Pajak), selanjutnya pejabat setelah menerima pemberitahuan secara tertulis tersebut melakukan penangguhan pelaksanaan penagihan hanya terhadap barang yang disanggah kepemilikannya saja”.

Menurut Pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 19 tahun 2000, Jurusita Bea dan Cukai bertugas:

a. Melaksanakan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus b. Memberitahukan/menyerahkan Surat Paksa

c. Melaksanakan Penyitaan atas Barang Penanggung Bea/Cukai berdasarkan Surat Perintah Melakukan Penyitaan

d. Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan

Jurusita Bea/Cukai harus dilengkapi dengan Kartu Tanda Pengenal dan Surat Tugas yang harus diperlihatkan kepada Penanggung Bea/Cukai. Dalam melaksanakan tugasnya Penanggung Bea/Cukai berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita ditempat usaha dan melakukan penyitaan ditempat kedudukan atau ditempat


(49)

tinggal Penanggung Bea/Cukai atau tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita. Dalam melaksankan tugasnya tersebut, Jurusita Bea/Cukai dapat meminta bantuan Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Kehakiman dan HAM, Pemerintah Daerah Setemnpat, Badan Pertanahan Setempat, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank, atau pihak Lain dalam rangka melaksanakan penagihan Bea Masuk dan Pajak.

Peraturan Pemerintah RI N0.28 Tahun 2008 Tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan

Pasal 1

1. Undang-undang adalah Undang-Undang Nomor.10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan.

2. Menteri adalah Menteri Keuangan RI

3. Pejabat bea dan cukai adalah pegawai DJBC yang ditunjuk dalam jabatan tertentu berdasarkan Undang-Undang.

Pasal 2

1. Sanksi administrasi berupa denda dikenakan hanya terhadap pelanggaran yang diatur dalam Undang-undang

2. Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) besarnya dinyatakan dalam :


(50)

b. Nilai rupiah minimum sampai dengan maksimum

c. Persentase tertentu dari bea masuk yang seharusnya dibayar

d. Persentase tertentu minimum ampai dengan maksimum dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar,atau

e. Persentase tertentu minimum sampai dengan maksimum dari bea masuk yang seharusnya dibayar

Pasal 3

1.Besarnya denda yang dinyatakan dalam nilai rupiah tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (2) huruf a dilaksanakan sesuai dengan Undang- undang

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Pasal 10A ayat (8) , pasal 11A ayat (6), pasal 45 ayat (3), pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), pasal 81 ayat (3), pasal 82 ayat (3) huruf b, pasal 86 ayat (2) pasal 89 ayat (4), pasal 90 ayat (4), dan pasal 91 ayat (4) Undang-undang.

Pasal 4

1. Besarnya denda yang dinyatakan dalam nilai rupiah minimum sampai dengan maksimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf (b) ditentukan secara berjenjang dengan ketentuan apabila dalam 6 (enam) bulan terakhir terjadi:

a. 1 (satu) kali pelanggaran, dikenai denda sebesar 1 (satu) kali denda minimum


(51)

b. 2 (dua) kali pelanggaran, dikenai denda sebesar 2 (dua) kali denda minimum

c. 3 (tiga) sampai dengan 4 (empat) kali pelanggaran, dikenai denda sebesar 5 (lima) kali denda minimum

d. 5 (lima) sampai 6 (enam) kali pelanggaran dikenai dendasebesar 7 (tujuh) kali denda minimum

e. Lebih dari 6 (enam) kali pelanggaran dikenai denda sebesar 1 (satu) kali denda maksimum

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk pasal 7A ayat (7), Pasal 7A ayat (8), Pasal 8A ayat (2), dan ayat (3), Pasal 8C ayat (3) dan ayat (4), pasal 9A ayat (3), dan pasal 10A ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang

Pasal 6

1. Besarnya denda yang dinyatakan dalam persentase tertentu minimum sampai dengan maksimum dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf d ditetapkan secara berjenjang berdasarkan perbandingan antara kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar dengan bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar dengan ketentuan apabila kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar: a. Sampai dengan 25% dari bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar,

dikenai denda sebesar 100% dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar


(52)

b. Diatas 25% sampai dengan 50% dari bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar, dikenai denda sebesar 200% dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar

c. Diatas 50% sampai dengan 75% dari bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar, dikenai denda sebesar 400% dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar

d. Diatas 75% sampai dengan 100% dari bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar, dikenai denda sebesar 700% dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar atau

e. Diatas 100% dari bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar, dikenai denda sebesar 1000% dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk pasal 16 ayat (4), pasal 17 ayat (4), pasal 82 ayat (5), dan ayat (6), dan pasal 86A Undang-undang

Pasal 7

2. Besarnya denda yang dinyatakan dalam persentase minimum sampai dengan maksimum dari bea masuk yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e ditetapkan secara berjenjang berdasarkan perbandingan antara bea masuk atas fasilitas yang disalahgunakan dengan total bea masuk yang mendapat fasilitas dengan ketentuan apabila kekurangan pembayaran ba masuk:


(53)

a. Sampai dengan 20% dikenai denda sebesar 100% dari bea masuk yang seharusnya dibayar

b. Diatas 20% sampai dengan 40% dikenai denda sebesar 200% dari bea masuk yang seharusnya dibayar

c. Diatas 40% sampai dengan 60%, dikenai denda sebesar 300% dari bea masuk yang seharusnya dibayar

d. Diatas 60% sampai dengan 80% dikenai denda sebesar 400% dari bea masuk yang seharusnya dibayar

e. Diatas 80% sampai dengan 100% dikenai denda sebesar 500% dari bea masuk yang seharusnya dibayar

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk pasal 25 ayat (4) dan pasal 26 ayat (4) undang-undang

Pasal 8

Terhadap pelanggaran yang dikenai sanksi administrasi berupa denda yang dihitung berdasarkan persentase dari bea masuk, dalam hal tarif atau tarif akhir bea masuk atas barang yang berkaitan dengan pelanggaran tersebut besarnya 0% dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000


(54)

CONTOH PERHITUNGAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA

Penghitungan besarnya sanksi administrasi berupa denda atas pelanggaran Pasal 16 ayat (4) dan Pasal 82 ayat (6) dilakukan dengan cara terlebih dahulu menghitung besarnya persentase denda, dan setelah itu dilakukuan penghitungan besarnya denda yang harus dikenakan atas pelamnggaran yang dilakukan.

Contoh kasus tambah bayar yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam menghitung besarnya sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diuraikan dibawah ini:

1. Kesalahan yang menyebabkan terjadinya kekurangan pembayaran Bea Masuk dari suatu Pemberitahuan Impor Barang, yaitu kesalahan yang mengakibatkan denda Penghitungan denda dilakukan dari kelmpok kesalahan yang mengakibatkan denda yaitu dengan cara:

• Jumlah kekurangan pembayaran Bea Masuk dijumlahkan • Prosentase denda dihitung dari jumlah kekurangan pembayaran • Bea Masuk dibagi dengan Jumlah Bea Masuk yang telah dibayar • Jumlah denda yang harus dibayar adalah hasil perkalian antara

prosentase denda dengan jumlah kekurangan Bea Masuk yang mengakibatkan denda

2. Penghitungan sanksi administrasi berupa denda yang dikenakan terhadap satu jenis barang yang mempunyai dua kesalahan, yaitu kesalahan yang mengakibatkan denda dan kesalahan yang tidak mengakibatkan denda,


(55)

dilakukan dengan cara menghitung terlebih dahulu kekurangan bayar yang tidak dikenakan denda setelah itu baru dihitung kekurangan bayar yang mengakibatkan denda

Perhitungan:

a. Kekurangan Bayar tanpa denda:

1. Bea Masuk yang telah dibayar dengan kesalahan pembebanan adalah Rp. 50 jt x 5% = Rp. 2,5 jt

2. Bea Masuk yang seharusnya dibayar tanpa kesalahan pembebanan adalah Rp. 50 jt x 10% = Rp. 5 jt

3. Terdapat kekurangan pembayaran Bea Masuk sebesar Rp. 2,5 jt b. Kekurangan bayar dengan denda:

1. Apabila tidak ada kesalahan pembebanan maka importir membayar Rp 50 jt x 10% = Rp.5 jt

2. Bea Masuk yang seharusnya dibayar dengan Nilai Pabean yang sebenarnya adalah Rp 200 jt x 10% = Rp. 20 jt

3. Prosentase denda dihitung dari kekurangan pembayaran Bea Masuk yang seharusnya dibayar, dengan yang dibayar apabila tidak terdapat kesalahan pembebanan, yaitu: kekurangan bayar/ seharusnya dibayar = 15/5 x 100% = 300%. Berarti 5 kali dari Bea Masuk kurang bayar

4. Denda administrasi yang dikenakan adalah sebesar 5 x Rp. 15 jt = Rp. 75 jt


(56)

5. Bea Masuk yang kurang dibayar = Rp 17,5 jt Denda administrasi = Rp. 75 jt

3. Kekurangan bayar yang mengakibatkan denda terhadap barang yang pembebanannya 0% hanya dikenakan satu kali untuk satu PIB, apabila pada PIB tersebut tidak ada barang impor lain yang harus dikenai denda 4. Dalam hal pemeriksaan fisik dan/ atau dokumen, ternyata dalam satu PIB

terdapat barang yang tidak diberitahukan dan ada barang yang tidak ditemukan, maka jumlah penerimaan yang telah dibayarkan untuk barang yang tidak ditemukan tersebut diperhitungkan sebagai pungutan yang sudah dibayar untuk barang yang tidak diberitahukan

Perhitungan:

i. Barang A sesuai,

ii. Pungutan yang dibayar untuk barang B dianggap pungutan yang sudah dibayar untuk barang C

iii. Kurang Bayar (200-100) = 100 jt

iv. % denda (100/100 x 100% = 100%), 4 kali Bea Masuk kurang bayar

v. Jumlah denda = 4 x 100 jt = 400 juta

5. Dalam hal setelah pemeriksaan fisik dan/ atau dokumen, ternyata dalam satu PIB terdapat barang yang tidak diberitahukan maka terhadap barang tersebut diperhitungkan sebagai barang baru dan dikenakan pungutan serta denda.


(57)

BAB IV

ANALISA DAN EVALUASI

A. Analisa

a. Saat Terjadinya Hutang Bea Masuk

Barang yang dimasukkan ke dalam Daerah Pabean dianggap sebagai barang Impor dan terutang Bea Masuk. Besarnya hutang Bea Masuk dihitung berdasarkan Nilai Pabean.

b. Proses Timbulnya Sanksi Administrasi

Proses timbulnya sanksi administrasi dapat berupa yaitu:

 Kesalahan dalam pengklasifikasian (penggolongan) jenis barang ke dalam taif pos yang ada pada Buku Tarif Bea Masuk Indonesia.

Misalnya barangnya adalah bantuan besi kereta api untuk rel kereta api yang seharusnya diklasifikasikan ke dalam Tarif Pos 760.200.000 dengan pembebanan BM 5% (n 10%, dan PPh 25%). Jadi, dalam hal ini dikenakan ”tambah bayar” karena kesalahan dalam pemberitahuan jenis barang yakni atas selisih dari BM dan PPN serta Denda

Administrasi

 Kesalahan dalam hal pemberitahuan Nilai Pabean, yakn pihak importir membuat atau menetapkan harga pembelian barang impor lebih rendah dari harga yang telah ditetapkan


(58)

 Kesalahan dalam pemberitahuan jumlah dan berat barang dari yang sebenarnya, misalnya jumlah dan berat barang dalam dokumen PIB diberitahukan seberat 50 ton, tetapi dari hasil pemeriksaan fisik barang dilapangan kedapatan 55 ton, sehingga dikenakan tambah bayar atas kelebihan jumlah dan berat barang tersebut.

c. Tata Cara Penagihan Piutang Sanksi Administrasi 1. Surat Teguran

Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa yang menjadi dasar penagihan Bea Masuk, Denda Administrasi, Bunga dan Pajak dalam rangka impor adalah SPKPBM (Surat Pemberitahuan Kekurangan Pajak Bea Masuk) yang telah diterbitkan oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai dengan masa tenggang 30 hari sejak tanggal diterbitkan.

2. Surat Paksa

Surat Perintah untuk membayar utang Bea Masuk, Denda Administrasi dan Bunga serta biaya penagihan

3. Penyitaan

Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Bea/Cukai untuk menguasai barang Penanggung Bea/Cukai guna dijadikan jaminan untuk melunasi hutangnya menurut peaturan perundang-undangan yang berlaku. Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebih lanjut setelah Surat Paksa yang hanya dapat dilakukan setelah batas waktu 2 x 24 jam sebagaimana dimaksud dalam Surat Paksa dilewati.


(59)

B. Evaluasi

1. Hasil Penerimaan Bea Masuk pada Laporan Kegiatan Impor Harian KPPBC Tipe A3 Teluk Nibung pada tanggal 1 Januari 2010 sampai dengan 30 Oktober 2010 Diberitahukan Rp 27.046.000 sedangkan yang ditetapkan Rp 43.228.000 sehingga terjadi kekurangan sebesar Rp. 16.182.000. Bea Masuk Tersebut merupakan hasil pungutan Negara terhadap Importir yang memasukkan barangnya ke dalam Daerah Pabean dengan tujuan untuk dipakai dan/atau dijual untuk konsumsi oleh masyarakat umum. Pada saat barang masuk ke dalam Daerah Pabean pada saat itulah utang Bea Masuk sudah di bebankan kepada Importir, dengan terlebih dahulu dilakukan pengawasan dibagian Pabeanan oleh Pejabat Bea dan Cukai dan penelitian serta pemeriksaan dokumen pemberitahuan Pabean dan fisik barang. Agar ditetapkan berapa Nilai Pabean dan tarif yg harus dihitung dalam Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk.

2. Importir mendapatkan sanksi dengan penerbitan SPKPBM oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai. Dan sanksi yang dikenakan terhadap kesalahan yang dilakukan Importir, menandakan adanya kekurangan ketelitian/atau kelalaian/atau kesengajaan yang dilakukan Importir dalam kegiatan dibidang Kepabeanan Hal ini dapat dilihat dari Laporan Kegiatan Impor Harian tanggal 1 Januari 2010 sampai dengan 30 Oktober 2010, Penerimaan Bea Masuk diberitahukan Rp 27.046.000 sedangkan yang ditetapkan Rp 43.228.000 sehingga terjadi kekurangan sebesar Rp. 16.182.000, PPN yang diberitahukan Rp 106.858.000 sedangkan yang ditetapkan Rp 124.855.000 sehingga terjadi kekurangan Rp 17.997.000, PPh pasal 22 yang diberitahukan sebesar Rp 27.380.000 sedangkan yang di tetapkan Rp 31.216.000 sehingga terjadi kekurangan sebesar Rp 3.836.000. Denda yang dibebankan pada Importir yang telah mendapatkan SPKPBM periode tersebut tidak ada yang diberitahukan padahal sudah ditetapkan sebesar Rp 443.000.


(60)

3. Penagihan piutang sanksi administrasi dilakukan sebagai perwujudan nyata dari Undang – Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan yang harus diperhatikan dan dilaksanakan untuk menciptakan keamanan dan melindungi pendapatan Negara, dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan.


(61)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari penyajian yang telah dikemukakan oleh penulis dari hasil data yang diperoleh pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Tipe A3 Teluk Nibung sebagai akhir dari tulisan ini, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Saat terjadinya hutang Bea Masuk adalah “pada saat barang impor dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.” , maksudnya adalah :

Setiap barang yang dimasukkan ke dalam Daerah pabean diperlakukan/dianggap sebagai barang impor dan padanya telah terutang Bea Masuk. Yaitu setiap pemasukan barang dari luar negri (impor), secara yuridis yaitu pada saat barang memasuki Daerah Pabean dan menetapkan barang tersebut wajib Bea Masuk serta merupakan dasar yuridis bagi Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pengawasan.

2. Proses timbulnya sanksi administrasi antara lain adalah :

a. Kesalahan dalam pengklasifikasian ( penggolongan ) jenis barang kedalam Tarif Pos yang tercantum dalam Buku Taris Bea Masuk Indonesia;

b. Kesalahan dalam hal pemberitahuan Nilai Pabean, yakni pihak importir membuat/menetapkan harga pembelian barang impor yang terlalu rendah dari


(62)

harga yang telah di tetapkan berdasarkan Data Base Harga (DBH) yang di tetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

c. Karena kesalahan dalam pemberitahuan jumlah dan berat barang.

3. Tata cara penagihan Bea Masuk dan sanksi administrasi dalam rangka impor adalah : a. Menerbitkan Surat Teguran atas Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran

Bea Masuk (SPKPBM) yang tidak dilunasi setelah lewat tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari;

b. Melakukan penagihan Seketika dan Sekaligus dalam hal terjadi suatu peristiwa atau keadaan yang mendesak;

c. Menyerahkan Surat Paksa langsung kepada Penanggung Bea dan Cuka; d. Melakukan penyitaan.

B. Saran

1. Untuk lebih mengamankan penerimaan Negara dari sektor Bea Masuk, hendaknya lebih ditingkatkan lagi pengawasan terhadap pengeluaran barang impor di pelabuhan laut sehubungan dengan maraknya upaya penyeludupan serta mencegah masuknya barang barang terlarang.

2. Diperlukan ketelitian dan kecermatan dari pegawai Bea dan Cukai dalam melakukan penelitian terhadap pengisian dokumen serta kebenarannya, hal ini berkaitan dengan sanksi administrasi yang dikenakan apabila ternyata terdapat/ditemukan kesalahan-kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja yang dilakukan oleh Importir. 3. Pelaksanaan penagihan yang dilakukan Jurusita harus didukung oleh sarana dan


(63)

DAFTAR PUSTAKA

Sani , Abdul , 2008, Buku Pintar Kepabeanan, PT. Gramedia Pustaka Utama , Jakarta

Republik Indonesia, Departemen Keuangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2010, Buku Tarif Bea Masuk Indonesia 2010, Jakarta

Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1995, tentang Perubahan Atas Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009, tentang Pengawasan dan Pengangkutan Barang Tertentu Dalam Daerah Pabean.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008, tentang Pengenaan Sanksi Administrasi berupa Denda di Bidang Kepabeanan.

H. Moeljo Hadi, SH.Dasar-dasar Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Oleh Jurusita Pajak, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001.

R. Felix Hadi Mulyanto dan Endar Sugiarto, MM., Pabean, Imigrasi dan Karantina, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : KEP-07/BC/2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengajuan Penerusan dan Penyelesaian Keberatan Kepabeanan dan Cukai.


(1)

 Kesalahan dalam pemberitahuan jumlah dan berat barang dari yang sebenarnya, misalnya jumlah dan berat barang dalam dokumen PIB

diberitahukan seberat 50 ton, tetapi dari hasil pemeriksaan fisik barang

dilapangan kedapatan 55 ton, sehingga dikenakan tambah bayar atas

kelebihan jumlah dan berat barang tersebut.

c. Tata Cara Penagihan Piutang Sanksi Administrasi

1. Surat Teguran

Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa yang

menjadi dasar penagihan Bea Masuk, Denda Administrasi, Bunga dan

Pajak dalam rangka impor adalah SPKPBM (Surat Pemberitahuan

Kekurangan Pajak Bea Masuk) yang telah diterbitkan oleh Kepala

Kantor Bea dan Cukai dengan masa tenggang 30 hari sejak tanggal

diterbitkan.

2. Surat Paksa

Surat Perintah untuk membayar utang Bea Masuk, Denda Administrasi

dan Bunga serta biaya penagihan

3. Penyitaan

Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Bea/Cukai untuk menguasai barang Penanggung Bea/Cukai guna dijadikan jaminan untuk melunasi hutangnya menurut peaturan perundang-undangan yang berlaku. Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebih lanjut setelah Surat Paksa yang hanya dapat dilakukan setelah batas waktu 2 x 24 jam sebagaimana dimaksud dalam Surat Paksa dilewati.


(2)

B. Evaluasi

1. Hasil Penerimaan Bea Masuk pada Laporan Kegiatan Impor Harian KPPBC Tipe A3 Teluk Nibung pada tanggal 1 Januari 2010 sampai dengan 30 Oktober 2010 Diberitahukan Rp 27.046.000 sedangkan yang ditetapkan Rp 43.228.000 sehingga terjadi kekurangan sebesar Rp. 16.182.000. Bea Masuk Tersebut merupakan hasil pungutan Negara terhadap Importir yang memasukkan barangnya ke dalam Daerah Pabean dengan tujuan untuk dipakai dan/atau dijual untuk konsumsi oleh masyarakat umum. Pada saat barang masuk ke dalam Daerah Pabean pada saat itulah utang Bea Masuk sudah di bebankan kepada Importir, dengan terlebih dahulu dilakukan pengawasan dibagian Pabeanan oleh Pejabat Bea dan Cukai dan penelitian serta pemeriksaan dokumen pemberitahuan Pabean dan fisik barang. Agar ditetapkan berapa Nilai Pabean dan tarif yg harus dihitung dalam Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk.

2. Importir mendapatkan sanksi dengan penerbitan SPKPBM oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai. Dan sanksi yang dikenakan terhadap kesalahan yang dilakukan Importir, menandakan adanya kekurangan ketelitian/atau kelalaian/atau kesengajaan yang dilakukan Importir dalam kegiatan dibidang Kepabeanan Hal ini dapat dilihat dari Laporan Kegiatan Impor Harian tanggal 1 Januari 2010 sampai dengan 30 Oktober 2010, Penerimaan Bea Masuk diberitahukan Rp 27.046.000 sedangkan yang ditetapkan Rp 43.228.000 sehingga terjadi kekurangan sebesar Rp. 16.182.000, PPN yang diberitahukan Rp 106.858.000 sedangkan yang ditetapkan Rp 124.855.000 sehingga terjadi kekurangan Rp 17.997.000, PPh pasal 22 yang diberitahukan sebesar Rp 27.380.000 sedangkan yang di tetapkan Rp 31.216.000 sehingga terjadi kekurangan sebesar Rp 3.836.000. Denda yang dibebankan pada Importir yang telah mendapatkan SPKPBM periode tersebut tidak ada yang diberitahukan


(3)

3. Penagihan piutang sanksi administrasi dilakukan sebagai perwujudan nyata dari Undang – Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan yang harus diperhatikan dan dilaksanakan untuk menciptakan keamanan dan melindungi pendapatan Negara, dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari penyajian yang telah dikemukakan oleh penulis dari hasil data yang

diperoleh pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Tipe A3 Teluk Nibung sebagai

akhir dari tulisan ini, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai

berikut :

1. Saat terjadinya hutang Bea Masuk adalah “pada saat barang impor dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.” , maksudnya adalah :

Setiap barang yang dimasukkan ke dalam Daerah pabean diperlakukan/dianggap sebagai barang impor dan padanya telah terutang Bea Masuk. Yaitu setiap pemasukan barang dari luar negri (impor), secara yuridis yaitu pada saat barang memasuki Daerah Pabean dan menetapkan barang tersebut wajib Bea Masuk serta merupakan dasar yuridis bagi Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pengawasan.

2. Proses timbulnya sanksi administrasi antara lain adalah :

a. Kesalahan dalam pengklasifikasian ( penggolongan ) jenis barang kedalam Tarif Pos yang tercantum dalam Buku Taris Bea Masuk Indonesia;

b. Kesalahan dalam hal pemberitahuan Nilai Pabean, yakni pihak importir


(5)

harga yang telah di tetapkan berdasarkan Data Base Harga (DBH) yang di tetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

c. Karena kesalahan dalam pemberitahuan jumlah dan berat barang.

3. Tata cara penagihan Bea Masuk dan sanksi administrasi dalam rangka impor adalah : a. Menerbitkan Surat Teguran atas Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran

Bea Masuk (SPKPBM) yang tidak dilunasi setelah lewat tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari;

b. Melakukan penagihan Seketika dan Sekaligus dalam hal terjadi suatu peristiwa atau keadaan yang mendesak;

c. Menyerahkan Surat Paksa langsung kepada Penanggung Bea dan Cuka; d. Melakukan penyitaan.

B. Saran

1. Untuk lebih mengamankan penerimaan Negara dari sektor Bea Masuk, hendaknya lebih ditingkatkan lagi pengawasan terhadap pengeluaran barang impor di pelabuhan laut sehubungan dengan maraknya upaya penyeludupan serta mencegah masuknya barang barang terlarang.

2. Diperlukan ketelitian dan kecermatan dari pegawai Bea dan Cukai dalam melakukan penelitian terhadap pengisian dokumen serta kebenarannya, hal ini berkaitan dengan sanksi administrasi yang dikenakan apabila ternyata terdapat/ditemukan kesalahan-kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja yang dilakukan oleh Importir. 3. Pelaksanaan penagihan yang dilakukan Jurusita harus didukung oleh sarana dan


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Sani , Abdul , 2008, Buku Pintar Kepabeanan, PT. Gramedia Pustaka Utama , Jakarta

Republik Indonesia, Departemen Keuangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2010, Buku Tarif Bea Masuk Indonesia 2010, Jakarta

Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1995, tentang Perubahan Atas Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009, tentang Pengawasan dan Pengangkutan Barang Tertentu Dalam Daerah Pabean.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008, tentang Pengenaan Sanksi Administrasi berupa Denda di Bidang Kepabeanan.

H. Moeljo Hadi, SH.Dasar-dasar Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Oleh Jurusita Pajak, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001.

R. Felix Hadi Mulyanto dan Endar Sugiarto, MM., Pabean, Imigrasi dan Karantina, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : KEP-07/BC/2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengajuan Penerusan dan Penyelesaian Keberatan Kepabeanan dan Cukai.


Dokumen yang terkait

MEKANISME PENANGANAN BARANG HASIL PENEGAHAN HINGGA PROSES PELELANGAN ATAU PEMUSNAHAN PADA KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI TIPE A3 SURAKARTA

0 4 64

TATALAKSANA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA DALAM RANGKA IMPOR PADA KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI TIPE A3 SURAKARTA

2 56 98

EFEKTIFITAS PROSES PENYELESAIAN BARANG IMPOR MELALUI DOKUMEN PEMBERITAHUAN IMPOR BARANG (PIB) SECARA MANUAL DENGAN JARINGAN PERTUKARAN DATA ELEKTRONIK PADA KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN TIPE MAD

2 21 116

Implementasi Manajemen Risiko di Bidang Impor (Studi Kasus Pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Teluk Nibung Kota Tanjungbalai)

8 60 140

EVALUASI PENERIMAAN NEGARA DARI PEMUNGUTAN PPN ATAS IMPOR BARANG KENA PAJAK DI KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI TIPE MADYA PABEAN SURAKARTA

1 7 97

Implementasi Manajemen Risiko di Bidang Impor (Studi Kasus Pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Teluk Nibung Kota Tanjungbalai)

0 1 11

Implementasi Manajemen Risiko di Bidang Impor (Studi Kasus Pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Teluk Nibung Kota Tanjungbalai)

0 0 1

Implementasi Manajemen Risiko di Bidang Impor (Studi Kasus Pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Teluk Nibung Kota Tanjungbalai)

0 0 50

Implementasi Manajemen Risiko di Bidang Impor (Studi Kasus Pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Teluk Nibung Kota Tanjungbalai)

0 0 5

Implementasi Manajemen Risiko di Bidang Impor (Studi Kasus Pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Teluk Nibung Kota Tanjungbalai)

0 0 2