Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan hukum sebagai suatu hal yang mutlak yang harus dikaji dan diperhatikan sekaligus diawasi oleh seluruh Negara. Demi kelangsungan ketertiban dan system penataan seluruh aspek kehidupan dengan berpedoman pada peraturan yang berlaku. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya hukum bersifat memaksa dan mengatur seluruh aspek kehidupan di dalam wilayah yang dicakupnya, guna menciptakan ketertiban dan keteraturan hidup tanpa menimbulkan banyak kekacauan serta mampu menjamin rasa aman bagi setiap manusia. Selain itu, dapat juga sebagai upaya untuk melindungi kepentingan- kepentingan bagi subyek hukum yang merasa hak-haknya dirugikan. Kemajuan zaman merupakan barometer utama guna mendorong proses dan cara menerapkan hukum-hukum baru yang dipandang lebih sesuai dengan permasalahan sekarang. Dilain pihak munculnya ide, gagasan membangun peradaban yang maju dan sejahtera demi kepentingan rakyat lebih merupakan keharusan yang benar-benar harus diwujudkan. Begitu pula di Indonesia, pada perkembangannya telah memperlihatkan kemajuan yamg cukup signifikan di bidang hukum. Kendatipun masih kurang komprehensif dan terasa lambat, namun telah mengalami modifikasi serta revisi dibeberapa peraturan hukum yang mendasar. Dari apa yang diamanatkan oleh para founding father tentang pelaksanaan seluruh peradilan sebagai estafet dari masa kemerdrekaan sampai sekarang menunjukan bahwa aturan dasar serta pedoman hukumnya mewajibkan untuk ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia. Namun,dalam perkembangannya banyak terjadi ketidaksesuaian antara dasar hukum yang dipakai dengan permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, mendorong para pembuat peraturan untuk berpikir lebih keras, mendalam serta mampu mengkaji problema yang dihadapi bangsa Indonesia. Guna menyesuaikan antara permasalahan dengan penanggulangannya agar lebih efektif dan efisien. Masyarakat atau justiciabel sangat berkepentingan akan penyelesaian sengketa yang sederhana dan efesien, baik dari segi waktu maupun biaya. Pemantapan dan pengetahuan akan pentingnya proses hukum menganjurkan bagi para pencari keadilan untuk dapat bertindak demi memperoleh kebenaran sejati tanpa mengalami kerugian baik materiil maupun non materiil. Kesadaran hukum masyarakat dalam konteks ini dapat dilihat dari makin meningkatnya perkara khususnya perkara perdata perceraian yang diterima oleh pengadilan tingkat pertama Pengadilan Agama dari tahun ketahun. Dengan semakin banyaknya perkara perdata yang diajukan para pihak untuk diperiksa dan diadili oleh pengadilan. Akibat dari perkara yang menumpuk di Pengadilan, maka perkara yang diajukan oleh para pihak harus memakan waktu yang lama untuk dapat diperiksa dan diadili oleh hakim. Hal inilah yang mendorong pelaksanaan hukum acara perdata formeel recht agar sesuai dengan asa sederhana, cepat dan biaya ringan. Pranata perdamaian oleh hakim bukan sesuatu yang baru, tetapi diharapkan tidak sekedar formalitas yang semata-mata diserahkan kepada pihak- pihak. Hakim harus lebih aktif dalam mengusahakan perdamaian sebelum memasuki pokok perkara. Hal ini sesuai dengan trend umum yang berlaku dalam beracara. Di samping itu, aktualisasi pranata perdamaian ini akan lebih merangsang berkembangnya cara-cara menyelesaikan sengketa diluar pengadilan. Perkembangan pranata-pranata ini secra tidak langsung akan mengurangi jumlah perkara ke Pengadilan. Hakim dapat melaksanakan tugas secara wajar tanpa buru-buru yang akan lebih meningkatkan mutu putusan dan menghindari pula berbagai bentuk kolusi untuk mempercepat atau memenangkan perkara. 1 Hal ini diatur dalam pasal 230 HIR154RBg. Di dalam pasal 130 1 HIR Herziene Indonesich Reglement disebutkan bahwa: “Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak dating, Maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.” 2 Angka perceraian dari waktu ke waktu semakin meningkat perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama merasakan ketidak cocokan dalam menjalani rumah tangga. Undang-Undang 1 Bagir Manan, Memulihkan Peradilan Yang Berwibawa Dan Dihormati-Pokok-Pokok Pikiran Bagir Manan Dalam Rakernas, Jakarta Pusat: Ikatan Hakim Indonesia, 2008, hal.5. 2 Rapoun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 245. Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan selanjutnya disebut Undang-Undang perkawinan tidak memberika definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 2 Undang-Undang perkawinan serta penjelasan secara jelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasa-alasan yang telah ditentukan. Secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membagi sebab-sebab putusnya perkawinan ke dalam 3 tiga golongan, yaitu sepert yang tercantum dalam Pasal 38 yakni sebagai berikut : a. karena kematian salah satu pihak; b. perceraian; dan c. atas putusan pengadilan. Meskipun Islam tidak melarang perceraian, tetapi bukan berarti agama Islam menyukai terjadinya perceraian dalam suatu perkawinan. Dan perceraian- pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat sebagaimana dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan, tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas hukum Islam. Hal tersebut bisa dilihat dalam hadist Nabi yang artinya sebagai berikut: Rasulullah SAW, bersabda : yang artinya “Yang halal yang paling dibenci Allah adalah Perceraian”. HR. Abu Daud dan dinyatakan Shohih oleh Al-Hakim Bagi orang yang melakukan perceraian tanpa alasan, Rasulullah SAW bersabda: yang artinya : “Apakah yang menyebabkan salah seorang kamu mempermainkan hukum Allah, ia mengatakan : Aku sesungguhnya telah mentalak istriku dan sungguh aku telah merujuknya” HR. An-Nasai dan Ibnu Majah. Menurut Hukum Islam, suatu perceraian dapat terjadi bilamana ikatan perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, hal ini berdasarkan kepada sabda Nabi SAW: Yang artinya “Dari Ibnu Umar. Ia berkata bahwa rasulullah SAW. Telah bersabda, “Sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak.” Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. 3 Sedangkan hukum perkawinan di Indonesia sesuai dengan Undang- Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39, dan KHI pasal 115. Dijelaskan bahwa perceraian itu harus didasarkan atas alas an yang dibenarkan hukum. 4 Adapun pemberatan dalam perceraian ini juga diatur dalam Undang- Undang No.7. tahun1989 tentang Peradilan Agama yang sudah diamandemen oleh Undang-undang RI No.3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1987 tentang Peradilan Agama, pada pasal 65 ayat 1 yang disebutkan bahwa: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” 3 Al-Hafidz Abu Daud, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar al-fikr, 1994, Jilid 2, h. 500. 4 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, cet. Ke-3, h. 369. Dalam hukum islam, hak cerai terletak pada suami. Oleh karena itu di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri ada istilah cerai talaq. Sedangkan putusan Pengadilan sendiri ada yang disebut cerai gugat. Disinilah letak perbedaannya bahkan ada perkawinan yang putus karena li’an, khuluk, pasakh dan sebagainya. Putusan pengadilan ini akan ada berbagai produknya. Salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah syiqaq terjadinya perselisihanpersengketaan yang berlarut-larut antara suami isteri. Namun jauh sebelumnya dalam Al-Qur’an surah an-Nisaa ayat 35, Allah swt., telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya suami isteri, maka kirimlah seorang hakam mediator dari keluarga laki-laki dan seorang hakam mediator dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihanpersengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku “mediator” dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut. Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa “non litigasi”, yaitu penyelesaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan. Namun tidak selamanya proses penyelesaian sengketa secara mediasi, murni ditempuh di luar jalur pengadilan. Salah satu contohnya, yaitu pada sengketa perceraian dengan alasan, atau atas dasar syiqaq, dimana cara mediasi dalam masalah ini tidak lagi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi ia juga merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan. Dengan dikeluarkannya PERMA RI Nomor 1 tahun 2008 yang menyatakan bahwa semua perkara perdata yang diajukan kepengadilan tingkat pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator, maka pada hari siding pertama kasus perdata yang di hadiri oleh kedua belah pihak, hakim mewajibkan menempuh mediasi. Dalam buku laporan mahkamah agung RI di sebutkan mediasi pada tingkat pengadilan tingkat pertama tersbut dalam rangka mengembangkan akses masyarakat pada keadilan, yang pada akhirnya juga dapat membantu mengurangi perkara kasasi yang masuk ke mahkamah agung. 5 Dengan jajaran pengadilanempat lingkukngan peradilan seluruh Indonesia sarana dan prasarana yang baik, memadai dan moderen di perlukan untuk memberikan dukungan palaksanaan tugas. Kepada 4 empat lingkungan peradilan yang di bawah MA, yaitu peradilan umum, peradilan tata usaha Negara, peradilan agama dan peradilan militer. Keempat lingkungan peradilan tersebut mempunyai sifat dan cirri kekhususan masing-masing sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 ayat 3 Undang-undang No 4 tahun 2004 yang berbunyi “ Ketentuan mengenai organisasi administrasi dan financial badan peradilan sebagaimana di maksud pada ayat 1 untuk masing-masing lingkungan peradilan di atur dalam Undang.-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan.” 6 5 Laporan Tahunan 2007 MA RI Jakarta: MA-RI, 2008, h. 66. 6 Soejatno, Rapat Kerja Nasioanal MA RI Jakarta: MA RI, 2004, h. 4 Berdasarkan ketentuan Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1987 tentang Peradilan Agama khususnya pasal 1, 2, 49, dan penjelasan umum angka 2 serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, antara lain Undang-undang No.1 tahun 1974, PP No.2 tahun 1977, permeneg No.2 tahun 1987 tentang wali hakim, maka pengadilan agama bertugas dan berwenang untuk memberikan pelayan hukum dan keadilan dalam bidang hukum keluarga dan harta perkawinan bagi mereka yang beragama islam. Seperti halnya masalah perkawinan, perceraian, waris, hibah, pemeliharaan, harta benda dalam perkawinan termasuk masalah perbankkan syariah. 7 Memperhatikan keadaan tersebut, mahkamah agung terpanggil untuk lebih memberdayakan para hakim penyelesaikan perkara dengan perdamain yang di gariskan pasal 130 HIR, melalui mekanisme dalam peradilan. 8 Namun disamping dampak positif dari perturan baru ini, tentu masih ada hambatan yang dihadapi oleh hakim dalam menerapkan ini. Seperti, lamanya putusan yang ditetapkan dalam suatu perkara karena harus menempuh proses mediasi terlebih dahulu. Oleh karena itu, berdasarkan uraian diatas penulis terdorong ingin mengetahui bagaimanakah pengaruh dari penerapan PERMA No.1 tahun 2008 tentang mediasi yang sebagai penengah atau juru damai dalam pelaksaan kasus perdata 7 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995, h.2 8 M. Yahya harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 241 khususnya perkara perceraian di Pengadilan Agama khususnya di Pengadilan Agama untuk wilayah Jakarta Timur. Dengan mengangkat suatu tema yang akan ditulis sebagai bahan skripsi, yaitu membahas tentang “Efektivitas Mediasi Dalam Perceraian Perspektif Perma No.1 Tahun 2008 Di Pengadilan Agama Jakarta Timur Analisis Pasca Pemberlakuan Perma No.1 Tahun 2008”. B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya membatasi masalah yang berkisar pada mediasi dan pengaruhnya Di Pengadilan Agama Jakarta Timur terhadap perceraian.

2. Rumusan Masalah

Dalam buku laporan tahunan Mahkamah Agung disebutkan bahwa dengan adanya PERMA No.1 tahu 2008 tentang prosedur mediasi diharapkan dapat menjadi salah satu instrument efektif untuk menekan angka perceraian di pengadilan. Akan tetapi pada kenyataan di lapangan dengan adanya PERMA No.1 tahun 2008 tentang mediasi tersebut angka perceraian tidak menurun sebagaimana yang diharapkan. Rumusan tersebut diatas penulis rinci dengan bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh mediasi terhadap angka perceraian Di Pengadilan Agama Jakarta Timur setelah PERMA No. 1 tahun 2008 tentang mediasi diberlakukan? 2. Bagaimana prosedur dan pelaksaan mediasi? 3. Apa tantangan dan hambatan yang dihadapi hakim dalam pelaksanaan mediasi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian