Penentuan prioritas Pilihan Alternatif Pemanfaatan Terbaik

Tabel 23 dan Gambar 22 menunjukkan bahwa nilai Net Present Value NPV positif dan Benefit Cost Ratio BCR lebih dari 1 satu. Artinya bahwa alternatif ketiga ini merupakan alternatif pemanfaatan ekosistem mangrove yang strategis, karena memberikan nilai keuntungan yang cukup tinggi. Nilai tertinggi terdapat pada tingkat suku bunga 8, masing-masing sebesar Rp434.012.488.089 pada nilai NPV dan 1,86 pada nilai BCR. Sementara nilai NPV terendah sebesar Rp287.891.674.674 terjadi pada tingkat suku bunga 15. Dilihat dari nilai NPV dan BCR, maka alternatif pemanfaatan ketiga ini lebih baik dibandingkan dengan alternatif pemanfaatan I dan II. Hasil analisis ekonomi alternatif pengelolaan sumberdaya mangrove terlihat bahwa dengan tingkat suku bunga yang makin tinggi, nilai NPV dan BCR akan semakin rendah. Hal ini merupakan implikasi dari teori yang dikemukakan oleh Harold Hotelling Hotelling rule yang menyebutkan bahwa pilihan untuk mengeksploitasi mengkonsumsi sumberdaya alam sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Semakin tinggi tingkat suku bunga, orang akan makin terpicu untuk mengeksploitasi lebih banyak dan lebih cepat, karena mengharapkan keuntungan dari hasil eksploitasi sumberdaya alam yang disimpan di bank. Rasional yang mementingkan keuntungan jangka pendek seperti inilah yang membuat alokasi sumberdaya alam menjadi tidak lestari karena ditunjukkan dengan nilai NPV dan BCR yang paling rendah dengan tingkat suku bunga yang paling tinggi.

6.8. Penentuan prioritas Pilihan Alternatif Pemanfaatan Terbaik

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis biaya manfaat pada beberapa alternatif pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Muara Badak diperoleh nilai bersih sekarang NPV dan ratio manfaat biaya BCR. Hasil analisis menunjukkan bahwa alternatif pemanfaatan empat merupakan alternatif yang mempunyai nilai ekonomi paling tinggi atau lebih menguntungkan. Sementara alternatif pemanfaatan I mempunyai nilai NPV dan BCR yang paling rendah. Perbandingan nilai NPV dan BCR pada beberapa tingkat suku bunga, terlihat pada Tabel 20 sampai dengan Tabel 23. Nilai NPV mau pun nilai BCR pada setiap alternatif, dengan menggunakan suku bunga 15, menunjukkan nilai yang paling rendah. sementara nilai NPV dan BCR pada tingkat suku bunga 8 pada setiap alternatif pemanfaatan, menggambarkan nilai yang paling tinggi. Pada alternatif pemanfaatan pertama, bentuk pengelolaan yang dilakukan diasumsikan bahwa 60 11.740,8 ha dari total luas ekosistem mangrove dijadikan lahan tambak. Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada alternatif pertama memberikan nilai kerugian yang cukup besar diantara alternatif lainnya dan tidak layak untuk dikembangkan. Berdasarkan analisis tersebut, alternatif pemanfaatan ketiga merupakan alternatif pemanfaatan yang paling strategis, karena selain efesien alternatif ini juga memberikan keuntungan yang lebih besar dari pada alternatif pemanfaatan yang lainnya. Hasil perhitungan ekonomi potensional baik manfaat langsung mau pun tidak langsung dari ekosistem mangrove di atas, memberikan nilai yang cukup besar per hektarnya, sehingga dengan mengembalikan luasan ekosistem mangrove, maka nilai manfaat yang diperoleh juga akan besar. Dengan demikian maka setiap kegiatan baik pada tingkat proyek mau pun kebijakan harus selalu memperhitungkan dampak dan manfaat serta tetap mempertimbangkan fungsi ekonomi dan ekologi sumberdaya tersebut, agar usaha pemanfaatan yang dilakukan dapat berkelanjutan. Mengingat potensi sumberdaya ekosistem mangrove di Kecamatan Muara Badak sangat besar manfaat dan nilainya, maka kawasan ekosistem mangrove di Kecamatan Muara Badak yang saat ini sudah sebagian besar dieksploitasi perlu dipertahankan kelestariannya, sehingga eksploitasi yang dilakukan, perlu memperhatikan kualitas produksi secara terbatas agar cadangan sumberdaya tersebut tidak terkuras habis, sehingga produksi sumberdaya tetap berkelanjutan demi kelangsungan hidup ekosistem mangrove dan masyarakat penggunanya . 6.9. Kebijakan Publik dan Solusi Privat dalam Mengatasi Eksternalitas 6.9.1. Kebijakan Publik