VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Kondisi Ekosistem Mangrove
Kawasan ekosistem mangrove di Kecamatan Muara Badak terdapat pada kawasan pantaipesisir. Dimana kawasan ini termasuk dalam tipe hutan mangrove
yang tumbuh di sepanjang pantai atau sungai yang dipengaruhi pasang surut perpaduan air sungai dan air laut yang mengandung garam.
Sampai saat ini, kondisi ekosistem mangrove di lokasi penelitian telah mengalami tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang kurang
memperhatikan aspek kelestarian. Tuntutan dan pembangunan yang lebih mengutamakan tujuan ekonomi seperti konversi ekosistem mangrove untuk
perluasan tambak, pengembangan kota pantai, dan penebangan yang tidak terkendali, menunjukkan bahwa penggunaan lahan tersebut tidak sesuai dengan
peruntukkannya dan melampaui daya dukung, sehingga terjadi kerusakan ekosistem mangrove dan degradasi lingkungan pantai. Kondisi ini diperberat lagi
dengan terjadinya pencemaran air sungaiair laut dan eksploitasi sumberdaya laut yang tidak ramah lingkungan. Beberapa dampak negatif dari kerusakan ekosistem
mangrove yang saat ini sudah kelihatan adalah semakin jauhnya intrusi air laut ke daratan, abrasi pantai, berkurangnya produksi dari sumber daya di daerah pesisir
dan terganggunya habitat satwa pantai. Degradasi ekosistem mangrove wilayah Delta Mahakam, termasuk kawasan perairan Muara Badak dapat dilihat pada
Gambar 6.
Google Earth, 2007, Wil Muara Badak
Gambar 6. Degradasi Ekosistem Mangrove Wilayah Delta Mahakam Berdasarkan Liputan Tahun 1994 2007 Bappeda Kukar, 2007
Dinas Kehutanan 2006, menyebutkan bahwa berdasarkan peta penafsiran Citra Lansad 7 ETM+ Tahun 2005, diketahui luas kawasan mangrove di
Kecamatan Muara Badak adalah seluas 20.557 ha atau sekitar 11,5 dari luas ekosistem mangrove Kabupaten Kutai Kartanegara yang terbagi dalam tiga tipe
penggunaan lahan, yaitu 1 hutan mangrove murni seluas 8.778 ha, 2 mangrove campuran atau mangrove bercampur dengan penggunaan lahan non vegetasi
semak belukar seluas 989 ha, dan 3 areal tidak bervegetasi tambak seluas 10.790 ha.
Berdasarkan hasil survei dilapangan, jenis mangrove yang ditemukan di sepanjang pesisir Kecamatan Muara Badak terdiri atas jenis Api-api Avicennia
sp., Bakau Rhizophora sp., Tancang Bruguiera sp. dan Nipah Nypa fruticans
. Dinas Kehutanan 2006 menyebutkan bahwa penyebaran mangrove yang dikategorikan sebagai hutan mangrove di Kecamatan Muara Badak
umumnya mempunyai kerapatan jarang sampai sedang. Kategori kerapatan jarang sangat dominan yaitu sebesar 11.779 ha atau sekitar 57,3 sedangkan kerapatan
sedang adalah seluas 8.778 ha atau sekitar 42,7. Tingkat kualitas lahan ekosistem mangrove Kecamatan Muara Badak
dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu 1 rusak, 2 rusak berat, 3 tidak rusak. Faktor penentu kualitas lahan ini didasarkan pada tiga faktor penentu yaitu
penggunaan lahan, kerapatan tajuk dan kepekaan tanah. Persentase tingkat kerusakan lahan tersaji pada Gambar 7.
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00
Rusak Berat Rusak
Tidak rusak
Pe rs
e n
ta s
e
Gambar 7. Tingkat Kualitas Lahan
Gambar 7 menggambarkan bahwa kualitas ekosistem mangrove di Kecamatan Muara Badak dominan pada kategori rusak berat yaitu seluas 11.311
ha 55,02, rusak seluas 903 ha 4,39 dan tidak rusak adalah seluas 8.343 40,58. Faktor kerusakan ekosistem mangrove ini lebih dominan disebabkan
oleh konversi lahan mangrove menjadi tambak dengan puncak konversi terjadi pada Tahun 1997 pada saat harga udang mengalami kenaikan di pasaran
internasional dan konversi lahan ini akan terus berlangsung apabila tidak ada kebijakan dan peraturan yang tegas dalam pengelolaannya, sebagaimana tersaji
dalam Gambar 8.
10 20
30 40
50 60
70 80
Tetap Konversi Ragu-ragu
Tidak Akan Konversi Lagi
Ju ml
ah R
esp o
n d
en
Gambar 8. Tingkat Eksploitasi Masyarakat Terhadap Ekosistem Mangrove Gambar 8, diketahui bahwa sebagian besar responden 75 menyebutkan
”akan tetap” membuka lahan tambak pada saat ini apabila masih terdapat lahan mangrove untuk dikonversi termasuk wilayah jalur hijau green belt apabila tidak
ada UU No 41 Tahun 1999 yang berisi tentang larangan, denda dan hukuman penjara untuk menebang mangrove pada wilayah jalur hijau ini. 16 responden
17,4 menyatakan keraguannya, apakah akan membuka atau menjaga ekosistem mangrove apabila masih terdapat lahan mangrove termasuk green belt
apabila tidak ada UU tersebut dan hanya 7 responden 7,6 yang menyatakan tidak akan menebang hutan mangrove dan akan menjaga kelestariannya, bahkan
melakukan penanaman bibit mangrove pada areal tambak, karena responden menyadari manfaat dari ekosistem mangrove yang hilang akibat konversi lahan.
Hal tersebut membuktikan bahwa tingkat eksploitasi masyarakat secara umum sangat tinggi dan tidak memikirkan dampak yang terjadi apabila eksploitasi
atau konversi dengan tidak terkendali. Pada kondisi di lapangan lebar green belt jauh di bawah standar minimum yang ditetapkan pemerintah dalam Kepres No. 32
Tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, bahwa lebar minimum green belt
adalah 130 kali perbedaan pasang pasang surut tertinggi dan terendah yang diukur dari garis pantai terendah. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan hasil
identifikasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kaltim 2006, diketahui bahwa jalur hijau atau green belt yang ada di kawasan ini mempunyai lebar 10 m – 50 m.
Kerusakan jalur hijau mangrove dan ekosistem mangrove yang terjadi disebabkan karena tingkat abrasi pantai yang cukup tinggi serta adanya konversi
lahan menjadi areal tambak. Kondisi ini berdampak pada terganggunya ekosistem wilayah perairan dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat pesisir, yaitu
menurunnya produksi tangkap nelayan yang mencari pendapatan dari hasil menangkap ikan, kepiting serta bibit udang benur.
6.2. Presepsi Masyarakat Lokal terhadap Ekosistem Mangrove