Perikanan Tambak Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Muara Badak

besar responden atau sekitar 63,04 menyatakan ”akibat pembukaan lahan tambak”, 29 responden atau sekitar 31,52 menyatakan ” akibat pembangunan jalur pipa oleh perusahaan minyak, dan hanya sekitar 5,43 atau 5 responden menyatakan ”akibat lahan pemukiman”, sebagaimana tersaji pada Gambar 11. 10 20 30 40 50 60 70 Pembukaan Tambak Pembangunan Jalur Pip a Lahan Pemukiman Pe r se n ta se Gambar 11. Presepsi Masyarakat Lokal terhadap Penyebab Perubahan Kondisi Ekosistem Mangrove di Kecamatan Muara Badak Hasil survei di ketahui bahwa kerusakan ekosistem mangrove secara besar-besaran di kawasan ini terjadi pada saat krisis ekonomi Tahun 1997. Hal ini dipicu oleh meningkatnya harga udang di pasaran dunia. Fluktuasi dolar yang sangat tajam pada masa krisis moneter makin mendorong pembukaan tambak udang lebih luas, dengan harapan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar.

6.3. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Muara Badak

6.3.1. Perikanan Tambak

Peranan ekosistem mangrove bagi perikanan tambak sangatlah nyata, ekosistem mangrove menjadi tempat asuhan, tempat naungan dan tempat mencari makan bagi berbagai jenis ikan dan udang, akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa di beberapa daerah di Indonesia, ekosistem mangrove akhir-akhir ini mengalami degradasi akibat pemanfaatan yang kurang tepat atau berubah menjadi areal pertambakan. Perubahan ini selain memberikan manfaat ekonomi juga menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem dan lingkungan di daerah pantai. Saat terjadinya krisis moneter, pengembangan usaha budidaya tambak udang windu Penaeus monodon sangat intensif dan menjadi tumpuan harapan dari subsektor non-migas yang dapat menyumbang devisa negara lewat ekspor. Perkembangan ini merangsang terjadinya konversi hutan mangrove secara besar- besaran untuk pertambakan udang melalui ekstensifikasi. Keberhasilan usaha ini ternyata tidak berlangsung lama sebab pada dekade 1990 ke atas sering dilaporkan terjadi kegagalan panen di wilayah pesisir seluruh Indonesia oleh karena lingkungan yang memburuk dan berjangkitnya penyakit pada tingkat epidemik. Sejak saat itu banyak sekali perusahaan tambak mengalami kerugian dan akhirnya banyak tambak yang tidak produktif lagi. Secara umum masyarakat menyadari kegiatan ini dalam jangka panjang dapat menghancurkan hutan mangrove dan menurunkan kualitas lingkungan sekitarnya, namun konversi hutan mangrove untuk pertambakan udang ekstensif termasuk Kalimantan Timur terus berlangsung. Saat ini terdapat kecenderungan dari beberapa petambak dengan dukungan para pemodal kuat melakukan ”sistem pertambakan berpindah”. Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan terus dan perlu dicarikan jalan keluarnya. Sistem pertambakan udang rakyat sekarang ini lebih banyak menimbulkan masalah dilematik, oleh karena kegagalan bertambak di suatu lahan tertentu akan dikompensasi oleh petambak dengan membuka lahan baru di lokasi lain yang berarti melakukan konversi hutan mangrove. Budidaya ekstensif seperti ini akan merusak hutan mangrove dalam areal yang luas dengan pengembalian produktivitas per satuan luas sangat rendah, sedangkan budidaya intensif walaupun menawarkan produktivitas tinggi, tetapi kerusakan lingkungan yang diakibatkannya bersifat lebih parah. Usaha pertambakkan di Kecamatan Muara Badak tersebar dalam lima Desa, yaitu Desa Tanjung Limau, Muara Badak Ilir, Muara Badak Ulu, Saliki dan Salo Palai. Berdasarkan Citra Lansat Tahun 2005, menyebutkan bahwa luas tambak di Kecamatan Muara Badak adalah 10.790 hektar atau sekitar 14.08 terluas kedua setelah Kecamatan Anggana. Kegiatan budidaya di Kecamatan Muara Badak hampir semua dipakai untuk membesarkan udang windu dan sangat jarang digunakan untuk memlihara ikan bandeng, walau pun masih ada yang melakukannya termasuk pemeliharaan campuran, antara udang dan ikan. Budidaya bandeng, salah satu ikan konsumsi yang populer bagi konsumen indonesia, ternyata kurang menarik bagi petambak di kawasan ini. Alasannya, harganya jauh di bawah harga udang, ikan bandeng tidak memiliki prospek pemasaran yang baik karena konsumen lebih menyukai udang dan bila dibandingkan dengan ikan lain, harga udang jauh lebih mahal. Sebagian besar tambak di kawasan ini menggunakan sistem budidaya tambak tradisional. Salah satu sistem budidaya yang menarik adalah budidaya alami. Dalam sistem ini, petani tambak hanya memasukkan air saat pasang setelah itu pintu ditutup. Sistem alami tersebut memanfaatkan udang liar atau yang lebih dikenal sebagai udang bintik Metapenaus Brevicornis yang masuk saat air dimasukkan dan dalam waktu 1 – 2 bulan, tanpa perlakukan apapun petani tambak membuka pintu untuk memanen udang bintik tersebut. Proses Perkembangan Usaha Pertambakan Upaya pembukaan lahan hutan mangrove termasuk nipah menjadi tambak pada mulanya dilakukan oleh penduduk pendatang dari Sulawesi yang menempati pinggiran pantai yang tidak berpenghuni. Pada awal pembukaan lahan tambak di kawasan ini menggunakan tenaga manusia, namun sejak Tahun 1990-an pembukaan lahan tambak di kawasan ini sudah menggunakan alat berat yaitu excavator dengan intensitas yang cukup tinggi. Penggunaan excavator juga lebih mempercepat pembukaan tambak-tambak baru dan banyak penduduk baik penduduk setempat mau pun penduduk pendatang yang tidak memiliki modal usaha namun memiliki modal lahan yang dapat dijadikan tambak mengubah pemanfaatan lahannya menjadi tambak. Adanya perubahan ini mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk yang menjadi petani tambak. Sebelummya mata pencaharian penduduk adalah nelayan dan sebagian kecil memiliki kebun. Pertambahan jumlah petani tambak meningkat cukup pesat pada Tahun 1990-an yang disebabkan karena adanya kenaikan harga udang di pasar dunia akibat depresiasi rupiah terhadap dolar sehingga banyak penduduk, baik lokal mau pun pendatang membuka usaha tambak di kawasan ini. Kegiatan pertambakan ini mengandung arti telah berpindah dan beralih fungsinya lahan, yang semula lahan rawa dengan hutan nipah dan bakau milik negara, kini lahan tersebut telah berpindah status kepemilikannya, menjadi hak guna usahamilik peroranganpengusaha dan hal ini sudah berlangsung sangat lama tanpa ada perhatian serius baik dari pemerintah pusat mau pun daerah. Hasil survey berkaitan dengan tetap berlangsungnya kegiatan konversi lahan tambak ini, adalah adanya ketidakjelasan aturan dalam hal perijinan pembukaan tambak. Para pendatang yang berasal dari luar mau pun dalam wilayah Kecamatan Muara Badak, dengan mudahnya dapat membuka lahan-lahan tambak baru hanya dengan memegang surat hak garap dari pemerintah setempat. Menurut Rahmawati 2003, ijin menggarap lahan yang diberikan oleh pemerintah hanya seluas 2 hektar untuk setiap rumah tangga. Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat membuka lahan tambak lebih dari 2 hektar, bahkan tidak sedikit dari masyarakat menggarap lahan lebih dari 10 hektar. Perbedaan antara luas lahan yang diijinkan dan yang digarap pada realitanya, membuat pemerintah setempat mengalami kesulitan dalam mendata berapa luas tambak sebenarnya yang ada di kawasan ini. Hasil survei juga diketahui bahwa tidak semua pemilik tambak mendaftarkan letak dan luasan tambaknya kepada aparat pemerintah setempat baik desa mau pun kecamatan, kecuali bila masyarakat mengalami masalah yang berkaitan dengan pembuktian kepemilikan. Ganti rugi lahan tambak oleh perusahaan migas yang sangat besar mecapai nilai Rp 150.000.000,00 per ha, membuat masyarakat di kawasan ini terus merambah kawasan untuk usaha pertambakan. Dengan mejadikan lahan mangrove menjadi lahan tambak, menjadikan nilai ganti rugi semakin bertambah besar dibandingkan dengan lahan sebagai hutan lindung. Belum adanya peraturan dan hukum yang relavan dan tegas dalam pengelolaan ekosistem mangrove, serta ditunjang dengan minimnya pengawasan dari pihak berwenang, membuat masyarakat semakin leluasa dalam membuka lahan tambak. Akibat dari keadaan ini pihak aparat pemerintah setempat tidak mempunyai data yang akurat mengenai luasan mau pun kepemilikan tambak- tambak yang berada dalam wilayah administrasinya, apalagi kemampuan otoritas untuk mengatur tata guna lahan peruntukan tambak. Selain tersebut ada beberapa kemungkinan faktor-faktor yang menyebabkan masih terjadinya konversi mangrove menjadi lahan tambak, antara lain sebagai berikut : a. Belum maksimalnya upaya pengendalian pencegahan dan penanggulangan konversi hutan mangrove dan nipah oleh pemerintah dan para pihak. b. Lemahnya pemahaman peraturan perundangan tentang kawasan lindung, termasuk jalur hijau hutan mangrove. c. Rendahnya pemahaman manfaat dan fungsi, serta status ekosistem hutan mangrove di kawasan ini. Hampir semua pihak hanya melihat dari sisi kepentingan ekonomi dan produksi, dan kurang melihat manfaat keberadaan dan keberlanjutan fungsi penyangga kehidupan bagi kepentingan kehidupan antar generasi.

6.3.2. Perikanan Tangkap