Lebih lanjut dinyatakan patogen harus cocok dengan inangnya dan menghasilkan kombinasi enzim yang baik untuk dapat berpenetrasi ke dalam
kutikula inang. Hal ini memberi kesan bahwa berhasilnya infeksi tergantung kepada beberapa faktor patogenisitas. Keberhasilan beberapa strain M. anisopliae
mungkin lebih tergantung pada kandungan destruxin dibandingkan dengan faktor patogenisitas lainnya, dan ini memungkinkan strain M. anisopliae sering
dilaporkan sebagai pembunuh inangnya sebelum terjadi kolonisasi intensif. Metode injeksi dan kontak langsung dengan pencelupan pada var. V 245
menghasilkan sporulasi yang tinggi pada Galleria mellonella.
Tabel 5.3 Lethal Time LT cendawan entomopatogen M. brunneum dengan
metode kontak dan pengumpanan
Lethal Time hari Metode
95 50
25 Kontak Contact
4,37 3,58 – 6,15 2,01 1,52 – 2,40
1,46 0,95 – 1,84 Pengumpanan Baiting
15,05 12,81 – 18,64 4,83 4,56 – 5,13
3,03 2,77 – 3,26
Dari hasil penelitian lapangan menggunakan empat isolat cendawan M. anisopliae
dengan perlakuan semprotan suspensi dan inokulum kering yang ditebar, Moslem et al. 1999 mendapatkan perlakuan dengan menggunakan
suspensi secara ekonomi lebih menguntungkan dalam mengendalikan hama kelapa sawit Oryctes rhinoceros Coleoptera: Scarabaeidae.
Delate et al. 1995 di dalam Yoshimura dan Takahashi 1998 mengevaluasi potensi penggunaan cendawan entomopatogen B. bassiana dan
M. anisopliae dengan menggunakan metode pengumpanan. Semua rayap uji mati
dalam waktu 4 hari untuk yang diperlakukan dengan M. anisopliae, yang diperlakukan dengan B. bassiana memperlihatkan toksisitas yang lebih lambat
dibandingkan dengan M. anisopliae. Keberhasilan aplikasi cendawan entomopatogen dengan metode kontak,
diperkirakan selain dapat dengan cepat menembus bahagian antar ruas dan kutikula serta masuk ke dalam bagian internal serangga inang, cendawan juga
dapat masuk melalui celah alami yang ada pada tubuh serangga inang. Menurut Yoshimura dan Takahashi 1998, M. anisopliae secara umum masuk ke tubuh
serangga lewat spirakel dan pori-pori pada seluruh organ. Di dalam tubuh
serangga, cendawan menghasilkan perpanjangan hifa secara lateral, yang ahirnya berkembang biak dan mengkonsumsi kandungan internal serangga. Pertumbuhan
hifa berlanjut sampai serangga terisi dengan miselia. Bila kandungan internal serangga telah dikonsumsi, cendawan akan keluar melewati kutikula dan
bersporulasi sehingga membuat serangga seperti berbulu halus. Sebagai tambahan, M. anisopliae dapat memperoleh nutrisi dari lemak pada kutikula.
Pada keadaan yang memungkinkan, kadang kala serangga juga dapat mencegah serangan cendawan entomopatogen walaupun konidia telah sempat
menempel pada permukaan tubuh. Beberapa serangga mempunyai mekanisme physiologi yang telah berkembang untuk mengurangi terjadinya infeksi oleh
cendawan seperti M. anisopliae. Sebagai contoh, belalang gurun pasir memproduksi toksin anti cendawan yang dapat menghalangi perkecambahan
konidia. Selain hal tersebut serangga dapat menghindari infeksi dengan berganti kulit dengan cepat atau mengembangkan integumen baru sebelum cendawan
berpenetrasi ke kutikula Boucias Pendland 1998.
Kesimpulan
Cendawan entomopatogen M. brunneum merupakan spesies cendawan paling efektif sebagai agens pengendalian rayap tanah C. gestroi karena tingkat
patogenisitasnya paling tinggi dengan nilai LC
50
paling rendah 1,80 X 10
5
konidiaml kemudian diikuti oleh spesies M. anisopliae 3,20 X 10
5
, B. bassiana
3,9 X10
5
, F. oxysporum 6,78 X10
5
. Berdasarkan pengujian tingkat keefektifan keempat spesies ini dapat di uji pada penelitian selanjutnya. A. flavus
memperlihatkan tingkat keefektifan paling rendah dengan nilai LC
50
paling tinggi 1,97 X10
6
. Pada uji metode aplikasi, metode kontak lebih efektif dan dapat menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih cepat dengan LT
50
2,01 1,52 – 2,40 hari dibandingkan metode pengumpanan dengan LT
50
4,83 4,56 – 5,13 hari.
BAB VI APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN
TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RAYAP TANAH
COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM
Abstrak
Uji penularan cendawan entomopatogen di dalam koloni rayap tanah Coptotermes gestroi
Wasmann dan Coptotermes curvignathus Holmgren telah dilaksanakan di laboratorium. Pada uji laboratorium terhadap rayap C. gestroi
digunakan LC
95
dari spesies cendawan Metarhizium anisopliae Metsch. Sorok., Metarhizium
brunneum Petch., Beauveria bassiana Bals. Vuill.dan Fusarium oxysporum
Link., dengan proporsi vektor: 0, 10, 20, 30, 40 dan 50, sedangkan terhadap C. curvignathus menggunakan LC
95
dari spesies cendawan M. brunneum
dengan proporsi vektor 0 dan 10. Setiap perlakuan diulang 4 kali. Data mortalitas yang diperoleh pada penularan di dalam koloni rayap C. gestroi
dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap RAL faktorial dua arah dengan uji ragam yang kemudian dilanjutkan dengan uji Duncans Multiple Range Test
DNMRT. Untuk mengetahui korelasi antara mortalitas pada berbagai proporsi vektor yang diinokulasi dengan masing-masing spesies cendawan digunakan
analisis regresi. Sedangkan data mortalitas yang diperoleh pada penularan di dalam koloni rayap C. curvignathus dianalisis berdasarkan RAL satu arah dengan
uji ragam yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan uji DNMRT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mortalitas rayap C. gestroi meningkat seiring dengan meningkatnya proporsi vektor dan lamanya waktu aplikasi
hari. Pada proporsi 10 pengamatan selama 5 hari menunjukkan bahwa spesies cendawan M. brunneum menyebabkan mortalitas tertinggi 55 namun sampai
pada pengamatan 15 hari, M. brunneum, B. bassiana dan M. anisopliae menyebabkan mortalitas rayap tidak berbeda nyata 91,25-100. Uji penularan
di dalam koloni rayap C. curvignathus menggunakan 10 vektor yang diinokulasi dengan LC
95
cendawan M. brunneum hanya mampu menghasilkan 60 mortalitas kontrol 13,25 dan penurunan berat contoh uji 11, 27 kontrol 47,82
setelah 15 hari inokulasi. Kata kunci: bio-kontrol, cendawan entomopatogen, penularan, vektor,
Coptotermes gestroi, Coptotermes curvignathus.
Pendahuluan
Rayap tanah Coptotermes spp. merupakan serangga hama yang banyak menyebabkan kerugian pada konstruksi hunian berbahan baku kayu. Pengendalian
hama ini memerlukan teknik khusus sehubungan dengan kebiasaan hidupnya yang tersembunyi di bawah permukaan tanah dan dengan jumlah individu di dalam
koloni yang cukup besar. Serangga sosial ini memiliki perilaku dan tingkatan kasta serta pembahagian fungsi yang berbeda untuk menjalankan aktifitas
kehidupannya di dalam suatu koloni. Perilaku demikian dapat dimanfaatkan untuk mencapai kesuksesan di dalam pengendalian menggunakan cendawan
entomopatogen. Menurut Pearce 1997 tidak seperti kebanyakan serangga lainnya, rayap
hidup di kegelapan sehingga komunikasi lewat sensory sentuhan dan rasa dan secara kimia adalah sangat penting. Komunikasi secara kimia di antaranya dengan
menggunakan pheromon yaitu bahan kimia bersifat volatil yang dapat berfungsi sebagai bahan untuk merespon perilaku antar individu di dalam suatu koloni.
Komunikasi ini memungkinkan rayap didalam koloni melakukan interaksi sosial lewat perilaku seperti grooming, trophallaxis dan cannibalistic. Perilaku ini
diharapkan secara efektif dapat menularkan patogen antar individu di dalam suatu koloni rayap.
Untuk mengaplikasikan patogen terhadap koloni rayap juga dibutuhkan vektor sebagai agens penularan inokulum antar individu di dalam suatu koloni.
Berdasarkan perilaku rayap seperti yang telah diuraikan di atas, diharapkan dengan hanya menginokulasikan cendawan entomopatogen terhadap sebagian
anggota koloni rayap, cendawan patogen akan dapat tersebar dari vektor ke individu lainnya di dalam koloni. Dengan demikian semua individu di dalam
koloni akan dapat tereliminasi. Menurut Jones et al. 1996 berdasarkan aksi patogen serangga dengan jumlah yang sedikit memungkinkan dapat menyebar
keseluruh koloni sebelum terdeteksi. Interaksi sosial terutama grooming dan berbagi makanan, diharapkan dapat menyebarkan inokulum.
Kemampuan patogen untuk menyebabkan kematian terhadap berbagai jenis serangga berbeda, hal ini sehubungan dengan setiap jenis serangga mempunyai
kemampuan daya tahan atau tingkat kerentanan yang tidak sama. Berdasarkan hal ini, telah dilakukan penelitian penggunaan berbagai proporsi vektor yang
diinokulasi dengan LC
95
masing-masing spesies cendawan entomopatogen yang telah diketahui keefektifannya terhadap rayap tanah. Tujuan penelitian ini adalah
mempelajari penularan cendawan entomopatogen dari vektor sebagai pembawa
patogen terhadap individu lainnya di dalam suatu koloni untuk mengendalikan rayap tanah C. gestroi dan C. curvignathus di laboratorium.
Bahan dan Metode
Penelitian ini telah dilakukan di laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Jenis Rayap yang Digunakan
Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan prajurit rayap tanah spesies C. gestroi Benson 2005 yang dipelihara di UPT Bio-material LIPI
Cibinong, dan spesies C. curvignathus yang dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB.
Persiapan Spesies Cendawan
Spesies cendawan entomopatogen yang digunakan adalah Metarhizium anisopliae
Metsch. Sorok., Metarhizium brunneum Petch, Beauveria bassiana Bals. Vuill.dan Fusarium oxysporum Link. Semua isolat murni disimpan pada
suhu 4 C sampai masa penggunaan. Data selengkapnya mengenai asal cendawan
dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Tabe1 6.1. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum di alam
. Isolat
Inang atau sumber cendawan
Stadia Jenis cendawan
Asal geografi Tahun
1. Ma-Rl Penghisap polong
Riptortus. linearis Hemiptera: Alydidae
Imago Metarhizium anisopliae
Metsch. Sorokin. Probolinggo
2003 2. Mb-Ps
Pasir Metarhizium
brunneum Petch.
Bogor 2004 3. Bb-Lo
Walang sangit Leptocorisa oratorius
Hemiptera : Coreidae
Imago Beauveria bassiana
Bals Vuillemin Probolinggo
2003 4. Fu-Sl
Ulat grayak Sepodoptera. litura
Lepidoptera: Noctuidae
Larva Fusarium
oxysporum Link
Cibodas 2004