gestroi hari yang diperlakukan dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen dengan

Metarhizium brunneum 20 40 60 80 100 2 4 6 8 10 12 14 Waktu hari M o rt al it as 10 20 30 40 50 Beauveria bassiana 20 40 60 80 100 2 4 6 8 10 12 14 Waktu hari M o rt a li tas 10 20 30 40 50 Fusarium oxysporum 20 40 60 80 100 2 4 6 8 10 12 14 Waktu hari M o rt a lit a s 10 20 30 40 50 Gambar 6.1. Laju mortalitas rayap tanah

C. gestroi hari yang diperlakukan dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen dengan

variasi tingkatan proporsi vektor 10, 20, 30, 40 dan 50 setelah 15 hari inokulasi mortalitas kontrol 5 Bagian torax individu rayap yang mati terlebih dahulu, dimakan oleh individu yang masih sehat Gambar 6.2c sedangkan bagian abdomennya dikubur menggunakan sisa-sisa makanan dan material lainnya yang ada pada wadah unit percobaan Gambar 6.2e. Hal ini mengindikasikan bahwa kontaminasi konidia Metarhizium anisopliae 20 40 60 80 100 2 4 6 8 10 12 14 Waktu hari M o rt a li tas 10 20 30 40 50 Keterangan: a.Grooming antara vektor dengan individu sehat, b. individu sehat yang tertular cendawan entomopatogen, c. Kanibalisme, d. Abdomen rayap yang tersisa akibat Kanibalisme dan e. Sisa abdomen rayap yang telah dikubur oleh individu sehat di dalam unit percobaan. dari rayap terinfeksi vektor ke rayap sehat mencukupi dan trans-contamination disempurnakan oleh adanya prilaku grooming dan trophallaxis Gambar 6.2. Hal ini hanya terjadi sebelum semua vektor mati. Kontaminasi selanjutnya memungkinkan terjadi jika cendawan dapat berseporulasi pada permukaan tubuh rayap yang telah mati oleh terinfeksi langsung maupun tertular dari vektor. Menurut Yoshimura et al. 1992, diperkirakan pembentukan konidia baru membutuhkan waktu sekitar 5 hari setelah kematian serangga. a b c d e Gambar 6.2 Penularan cendawan entomopatogen dari rayap yang terkonta- minasi vektor terhadap individu rayap sehat di dalam unit percobaan Mortalitas individu rayap C. gestroi yang tertular meningkat sejalan dengan meningkatnya persentase proporsi vektor di dalam koloni. Kasus ini diduga disebabkan oleh lebih tingginya kesempatan kontak antara vektor dengan individu rayap sehat sehingga penularan patogen di dalam koloni lebih tinggi dan dapat menyebabkan kematian lebih cepat. Penelitian lain yang dilakukan oleh Yoshimura et al. 1992 pada uji penularan, satu ekor rayap pekerja terinfeksi cendawan Conidiobolus coronatus dapat mengakibatkan total kematian 20 ekor sampai dengan 50 ekor rayap kasta pekerja yang sehat jika dipaksakan dekat secara individu di dalam ruangan yang sempit, sedangkan kontrol tidak ada yang mati selama penelitian berlangsung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 50 ekor rayap dapat dibunuh oleh satu ekor individu rayap terinfeksi oleh C. coronatus. Hasil ini dapat sebagai pedoman untuk suatu wabah penyakit pada suatu koloni rayap bahkan pada sekala yang besar. Jumlah persentase mortalitas juga nyata terlihat dipengaruhi oleh spesies cendawan yang digunakan sebagai agens hayati, hal ini ditunjukkan oleh penampilan grafik yang tidak sama antar spesies cendawan terutama pada tingkat genus yang berbeda. Dalam hal ini ada interaksi antara spesies cendawan dengan proporsi vektor yang digunakan, setiap spesies cendawan membutuhkan persentase vektor tertentu untuk dapat menyebarkan propagul ke seluruh individu di dalam koloni. Laju mortalitas rayap C. gestroi pada tingkatan proporsi vektor, yang diperlakukan dengan spesies cendawan entomopatogen M. anisopliae dan M. brunneum melihatkan pola grafik sigmoid yang cenderung sama Gambar 6.1. Diperkirakan hal ini disebabkan karena kedua spesies ini mempunyai kekerabatan yang dekat, sehingga cenderung mempunyai karakteristik dan pola yang sama di dalam menyebabkan mortalitas inang. Tulloch 1976 dalam Tanada dan Kaya 1993 di dalam penyelidikannya mengklasifikasikan genus Metarhizium ke dalam 2 spesies yaitu M. anisopliae dan M. flavoviride, dan memasukan 2 spesies cendawan entomopatogen M. album dan M. brunneum sebagai sinonnim dari M. anisopliae. Selanjutnya dinyatakan bahwa karakter dari M. anisopliae: bewarna putih diwaktu muda, setelah konidia matang warna berubah menjadi hijau gelap. Konidiofora bercabang, dan konidia awal dihasilkan oleh untaian sederhana di ujung konidiofora, untaian konidia dibentuk pada masing-masing konidiofora dengan konidia paling muda berdekatan dengan konidiofora. Strain lain dari Metarhizium membentuk warna koloni yang berbeda: strain album bewarna putih dan strain brunneum menghasilkan warna koloni kuning sampai coklat. Barron dan George 1968 menyatakan bahwa Metarrhizium tercatat jarang berasal dari tanah, tetapi penelitiannya pada flora tanah Ontario mengindikasikan bahwa M. anisopliae sangat umum pada tanah hutan. Tercatat tiga tipe fenotip yang nyata, yang lebih umum menghasilkan alur dan agregat spora hijau terang yang diskripsinya diakui sebagai M. anisopliae. Spesies yang jarang ditemui dengan warna massa spora pudar sampai coklat dan deskripsinya disetujui sebagai Metarhizium brunneum Petch. Tipe yang ke tiga tercatat hanya pada satu kali peristiwa, dengan kolum spora keungu-unguan dan muncul dari lempeng kuning muda. Latch 1965 dalam Barron dan George 1968 mencatat bahwa secara mikroskopik M. anisopliae dan M. brunneum sangat mirip dan menyarankan kedua spesies ini sebagai spesies yang sama. Selanjutnya menurut Tulloch 1979 dalam Moslem et al. 1999, M. anisopliae terdiri dari 2 varietas yaitu M. anisopliae var. anisopliae mempunyai spora pendek 3.5 – 9.0 µm, dan M. anisopliae var. major mempunyai spora panjang 9 – 18 µm. Varietas major relatif homogen sedangkan varietas anisopliae sangat heterogen, virulensinya bervariasi tergantung pada serangga inang. Korelasi antara mortalitas dengan beberapa tingkatan proporsi vektor yang diinokulasi dengan LC 95 masing-masing spesies cendawan entomopatogen B. bassiana , M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum diringkas pada Gambar 6.3 dan 6.4. Pada Gambar 6.3 yaitu pengamatan sampai dengan hari ke 5 ditunjukkan mortalitas dengan berbagai proporsi vektor yang diinokulasi dengan masing- masing spesies cendawan berkorelasi positif. Semakin tinggi proporsi vektor yang digunakan menyebabkan terjadinya mortalitas rayap C. gestroi yang juga tinggi. Hal ini terjadi terhadap semua spesies cendawan yang diujikan. Spesies cendawan F. oxysporum paling nyata memperlihatkan respon akibat penurunan proporsi vektor seperti yang ditunjukkan oleh nilai R 2 = 0,9341, selanjutnya diikuti oleh M. anisopliae R 2 = 0,9015, M. brunneum R 2 = 0,7262, dan B. bassiana R 2 = 0,4538. Spesies cendawan yang menunjukan respon yang tinggi pada perlakuan penurunan proporsi vektor mengindikasikan bahwa cendawan hanya efektif jika digunakan pada jumlah proporsi vektor yang tinggi saja. Penurunan jumlah vektor mengakibatkan menurunnya tingkat keefektifan cendawan terhadap pengendalian rayap C. gestroi. Gambar 6.3 Korelasi antara mortalitas rayap

C. gestroi dengan tingkatan proporsi vektor yang diinokulasi dengan beberapa