Penyelesaian gugatan harta bersama pasca perceraian di pengadilan agama Jakarta Timur

(1)

PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR

Oleh :

JAM’AN NURKHOTIB MANSUR NIM : 204044103495

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

204044103495

Dibawah Bimbingan :

Drs. Jawahir Hedjazie, SH, MA NIP. 130789745

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul PENYELESAIAN SENGKETA PERCERAIAN KOMULASI DENGAN GUGATAN HARTA BERSAMA TENTANG (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Tangerang), telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 4 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Pidana Islam.

Jakarta, 10 Maret 2008 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422

Panitia Sidang Munaqosah

Ketua Asmawi, M.Ag : ( ... ) NIP. 150 282 934

Sekretaris Sri Hidayati, M.Ag : ( ... ) NIP. 150 282 403

Pembimbing I Jaenal Aripin, M.Ag : ( ... ) NIP. 150 247 330

Penguji I Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA : ( ... ) NIP. 150 220 554

Penguji II Sri Hidayati, M.Ag : ( ... ) NIP. 150 282 403


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR” telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Desember 2008 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal al Syakhsiyah

Jakarta, 10 Maret 2009

Mengesahkan, Dekan

Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150 210 422 Panitia Ujian Munaqasah Ketua

Drs.H.Djawahir Hejazie, SH, MA (…………...………)

NIP. 130789745

Sekretaris

Drs.H.Ahmad Yani, MA (..……….………)

NIP. 150 269678 Pembimbing I

Dr.H.Muhamma Taufiki, M.A. (…………...………)


(5)

Pembimbing II

Kamarusdiana, S.Ag, MH (………...………)

NIP. 150 285 972 Penguji I

Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, MA

(………...…………) NIP. 150275509

Penguji II

Drs.H.A. Djawahir Hejazie, SH, MA (…………...………)


(6)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D. Metode Penelitian... 12

E. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ... 16

Sebab-sebab Perceraian ... 17

Akibat Perceraian ... 33

Solusi dan Pencegahan Terjadinya Perceraian ... 36


(7)

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA

Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama... 45

Ruang Lingkup Harta Bersama ... 47

Terbentuknya Harta Bersama ... 51

Kedudukan Harta Bersama Apabila Teradi Perceraian... 54

Ketentuan Tentang Pembagian Harta Bersama ... 55

BAB IV PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA

TIMUR TENTANG GUGATAN PERCERAIAN

KUMULASI DENGAN HARTA BERSAMA

A. Gambaran Umum tentang Pengadilan Agama

Jakarta

Timur...

62

B. Kronologis Perkara ... 65 Pertimbangan dan Putusan Majelis Hakim ... 67


(8)

Analisis Penulis... 69

BAB V PENUTUP

Kesimpulan... 73

Saran... 74


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah Satu hubungan hukum yang biasa dilakukan oleh manusia sejak zaman Nabi Adam a.s. sehingga, apabila dilihat dari sisi historis, hukum yang paling awal (pertama) dikenal manusia adalah hukum keluarga, khususnya hukum perkawinan yang ditandai dengan perkawinan Nabi Adam a.s dengan isterinya Siti Hawa. Manusia menyakini benar bahwa Nabi Adam a.s adalah manusia pertama dan isteri serta anak-anaknya yang hidup sezaman dengan Nabi Adam a.s dipandang sebagai generasi manusia pertama, maka hukum telah ada sejak generasi Nabi Adam a.s dan keluarganya.1

Allaw SWT telah memilih dengan cara perkawinan manusia dapat keturunan dan dapat melestarikan kehidupannya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif. Sebagaimana Firman Allah SWT, dalam Surat an-Nisa / 4 : 1 yang berbunyi :

! "# $%& "# ' & () ( * + "# , - . -/ 0 1 2 - & $%& . 3

ﺱ & 5 6

7

Artinya :

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

1

M.Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. Ke I, h. 3-4


(10)

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

-/ 8 9 "# :; &/ # <& ) "# ) ! "#& -) 2 (= ! 0 & > (? @&A BC

- # <( 3 & ﺱ 0 5 D6 7 Artinya :

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.

Hukum perkawinan juga diatur dalam hadist Nabi Muhammad, diantaranya sebagai berikut :

E + 2 , . FG 9 ; ! . *, !,

5 E ﺱ & E +

! H *I& I; ( 0 J .

K<ﺱ

L< C *& "# M 2& 2 C 0 N& 2 ;C OK< ( "& ! P & !N N* & QR 2 C P

3 2 , <

7 2

Artinya :

Dari Abdullah bin Mas'ud r.a. ia berkata : telah berkata kepada kami Rasulullah SAW : "Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah ia kawin. Karena sesungguhnya kawin menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara farji. Dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa karena puasa itu adalah perisai baginya ()H.R. Bukhori Muslim).

Allah SWT tidak ingin menjadikan manusia itu seperti makhluk yang lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan anatara laki-laki dan perempuan secara anarki dan tidak ada aturan yang mengaturnya, demi menjaga martabat kemulyaan manusia, Allah SWT menurunkan hukum perkawinan yang sesuai dengan martabat manusia itu.

2

Al-Imam Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani Ash Shan'ani, Subul al-Salam, juz 3, (Kairo, Dar Ihya al-Turas al-Araby, 1379 H/1960 M), h. 109


(11)

Hukum perkawinan mengatur hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, dimulali dari akad pernikahan hingga pernikahan itu berakhir dengan karena kematian, perceraian dan lain sebagainya.

Bangsa Indonesia yang berdasarkan pancasila telah memiliki undang undang perkawinan nasional yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang telah dimuat dalam lembarann negara No. 1 Tahun 1974, yang sifatnya dikatakan menampung sendi-sendi dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat yang berbeda.3

Di dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 memberikan definisi Perkawinan adalah : "Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" (pasal 1). Untuk itu, penjelasan umum poin 4 huruf a menyatakan : "suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan melengkapi kesejahteraan spiritual dan material".4 "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya" (pasal 2 ayat 1).

Selain itu juga, Bangsa Indonesia telah memiliki Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Untuk mereka yang beragama Islam, KHI ini berdasarkan Instruksi Presiden

3

Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung, Mandar Maju, 1990), h. 2

4

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000), ed. Ke-1, cet. Ke-4, h. 268


(12)

Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 1991.

Dalam KHI dinyatakan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqan Ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah

(pasal 2).

Akan tetapi, kenyataan membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan sebuah perkawinan tidaklah mudah, berbagai godaan dan rintangan siap menghadang bahtera perkawinan, sehingga sewaktu-waktu perkawinan dapat putus di tengah jalan. Putusnya perkawinan dapat terjadi karena berbagai hal, baik karena meninggal dunia atau faktor lain seperti : faktor biologis, psikologis, ekonomis serta perbedaan pandangan hidup dan sebagainya, seringakali merupakan pemicu timbulnya konflik dalam perkawinan.

Jika faktor-faktor tersebut dapat diselesaikan dengan baik, maka akan dapat mempertahankan mahligai perkawinannya. Namun sebaliknya, jika faktor-faktor tersebut tidak dapat diselesaikan, maka akan timbul perceraian sebagai jalan keluar terakhir yang akan ditempuhnya.

Perceraian menurut hukum Islam pada prinsipnya dilarang, hal ini dapat dilihat pada isyarat sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal namun dibenci oleh Allah.


(13)

ﺱ 2 , . B ﺹ B* & !, , ! !, E + 0

5 T UVK& . E UW& QX 3

9 V Y

" W& 2 !

7 5

Artinya :

Dari Ibn Umar Ra berkata : bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda

: "Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak (perceraian)".(Riwayat Abu Daud, Ibnu Majjah dan al-Hakim dari Ibnu Umar).

Oleh karea itu, isyarat tersebut menunjukkan bahwa talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai "pintu darurat" yang boleh ditempuh, manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya.6

Setelah terjadi perceraian bukan berarti persoalan-persoalan rumah tangga langsung berakhir, justeru dengan adanya perceraian banyak persoalan yang harus diselesaikan oleh suami isteri, salah satunya adalah mengenai persoalan harta bersama dan pengaturannya.

Salah satu isi Kompilasi Hukum Islam khususnya dalam buku I tentang Perkawinan, membahas perihal harta kekayaan dalam perkawinan. Permasalahan ini dianggap penting untuk dicantumkan dalam KHI, mengingat dunia perkawinan selain berbicara mengenai ketenangan hidup juga tidak terlepas dari segala kemungkinan yang pahit dalam kehiupan yang rumah tangga. Perceraian, salah satu sengketa rumah tangga yang terburuk yang mungkin terjadi bagi siapa saja, perlu mendapat antisipasi dan pembelajaran sebelumnya agar para pasangan suami-isteri merasa siap dalam menghadapi

5

Al-Imam Hafidz Abi Daud Sulaeman, Sunan Abi Daud, (Kairo, Dar al-Harin, 1988 M/1408 H), juz 2, h. 261

6


(14)

konflik-konflik yang mungkin terjadi di kemudian hari, termasuk masalah pembagian harta bersama ketika terjadi perceraian.

Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang harta perkawinan, pada bab VII dalam judul harta bersama dalam perkawinan. Menurut pasal 36 Undang-undang Tahun 1974 tersebut dijelaskan yang dimaksud dengan harta bersama adalah :

1. Harta Benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta Bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah

dinawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menetukan lain.

Jadi pengertian harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan, maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau usaha sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.

Kemudian dalam pasal 37 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa : "apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing". Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan yang dimaksud dengan hukum masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Dengan demikian hukum agama dan hukum adat termasuk bagian dari sistem hukum yang ada di Indonesia.

Hukum agama dalam hal ini (Syari'at Islam) tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami isteri karena perkawinan artinya


(15)

harta isteri menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya. Begitupun harta suami, tetap menjadi milik suami dan dikuasai penuh olehnya. Akan tetapi karena menurut agama Islam dengan perkawinan menjadilah sang isteri

Syarikat al-rajuli fi al-hayati (kongsi sekutu seorang suami dalam melayani bahtera hidup). Maka antara suami isteri terjadilah Syirkah al-mufawwadlah

atau perkongsian tak terbatas. Jika selama perkawinan memperoleh harta, maka harta tersebut adalah harta syirkah yaitu harta bersama yang menjadi milik bersama dari suami isteri. Oleh karena masalah pencarian bersama suami isteri adalah termasuk perkongsian atau syirkah, maka untuk mengetahui hukumnya perlu dibahas lebih dahulu tentang macam-macam perkongsian sebagaimana telah dibicarakan oleh para ulama dalam kitab fikih.7

Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan bahwa Hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta milik suami dengan harta milik isteri, masing-masing pihak bebas mengatur harta milik masing-masing dan tidak diperkenankan adanya campur tangan salah satu pihak dalam pengaturannya. Ikut campurnya salah satu pihak hanya bersifat nasihat saja, bukan penentu dalam pengelolaan harta milik pribadi suami atau isteri tersebut. Ketentuan hukum Islam tersebut sangat realistis, karena kenyataannya percampuran hak milik suami isteri menjadi harta bersama banyak menimbulkan masalah dan kesulitan sehingga memerlukan aturan khusus untuk menyelesaikannya. Meskipun hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta pribadi

7

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Kencana Prenada Media Group, 2006), cet. Ke-I, h. 111


(16)

masing-masing ke dalam harta bersama suami isteri tetapi dianjurkan adanya saling pengertian antara suami isteri dalam mengelola harta pribadi tersebut, jangan sampai di dalam mengelola kekayaan pribadi ini dapat merusak hubungan suami isteri yang menjurus kepada perceraian. Apabila dikhawatirkan akan timbul hal-hal yang tidak diharapkan, maka hukum Islam memperbolehkan diadakan perjanjian perkawinan sebelum pernikahan dilaksanakan. Perjanjian ini dapat berupa penggabungan harta milik pribadi masing-masing menjadi harta bersama, dapat pula ditetapkan tentang penggabungan hasil harta milik pribadi masing-masing suami isteri dan dapat pula ditetapkan tidak adanya penggabungan milik pribadi masing-masing harta bersama suami isteri. Jika dibuat perjanjian sebelum pernikahan dilaksanakan, maka perjanjian itu adalah sah dan harus dilaksanakan. 8

Pengaturan harta bersama dalam hukum Adat cukup beragam. Hal ini dikarenakan ada beberapa puluh daerah hukum Adat di Indonesia. Hukum Adat Jawa berbeda dengan hukum Adat Minangkabau, Aceh, Bugis dan sebagainya. 9

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 88 menyatakan :

"apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama".

Pada umumnya perselisihan harta bersama ini baru muncul ketika suami isteri akan memutuskan ikatan perkawinan (bercerai). Dalam hal ini apabila suami atau isteri menginginkan agar semua masalah yang berkaitan

8

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Perjanjian-perjanjian Tertentu, (Bandung, Sumur, tanpa tahun), hlm. 170

9


(17)

dengan perceraian (salah satunya pembagian harta bersama) sekaligus tuntas. Maka Pengadilan Agama memperbolehkan suami atau isteri tersebut untuk menggabungkan tuntutan perceraian dengan tuntutan pembagian harta bersama tersebut dalam satu surat gugatan.

Ditinjau dari segi berperkara, tata cara seperti ini paling efisien dan tidak banyak membuang waktu, karena pada saat penggugat mengajukan gugatan, sekaligus mencakup gugatan pokok (gugatan perceraian) dengan gugatan pembagian harta bersama.

Di Pengadilan Agama sendiri penyelesaian perkara perceraian bersamaan dengan gugatan harta bersama, sudah diterapkan yaitu dengan cara mendudukkan gugat pembagian harta bersama sebagai gugat assesor terhadap guagatan perceraian. Cara assesor-nya dapat ditetapkan dalam suatu acuan jika gugat perceraian ditolak otomatis gugat pembagian harta bersamapun dinyatakan tidak dapat diterima. Begitupun sebaliknya jika gugat perceraian dikabulkan bari terbuka kemungkinan untuk mengabulkan pembagian harta bersama sepanjang barang-barang yang ada dapat dibuktikan sebagai harta bersama. 10

Adapun kebolehan menggabung gugat perceraian dengan pembagian harta bersama ini, berdasar pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yaitu : "gugatan soal penguasaan anak, nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat mengajukan bersama-sama dengan gugatan

10

M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), ed. 2, h. 267


(18)

perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap".

Menurut penjelasan pasal 82 ayat (1) menyatakan : "hal tersebut adalah demi tercapainya prinsip atau asas bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, yang tercantum dalam pasal 4 ayat (2) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.

Jika merujuk pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Pasal ini memberi pilihan bagi penggugat, apakah dia ingin menggabung gugat perceraian dengan pembagian harta bersama, atau akan menggugatnya tersendiri setelah perkara perceraian memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam kebebasan memilih tata cara dimaksud, sudah barang tentu lebih bermanfaat menggabung gugat perceraian dengan pembagian harta bersama, karena sekaligus dapat diselesaikan kedua permasalahan tersebut dengan tidak menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Sehingga suami isteri dapat lebih cepat menikmati harta bersama tersebut.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari pemaparan di atas dapat dirumuskan masalah sebagai titik berat penulisan skripsi ini, yaitu :

c. Pembatasan Masalah

1. yang dimaksud dengan cerai ini adalah cerai gugat yang dilakukan oleh isteri.


(19)

2. yang dimaksud dengan Pengadilan Agama adalah Pengadilan Agama Jakarta Timur

d. Perumusan Masalah

Pesfektif Hukum Islam dan Hukum Positif tentang harta bersama dalam kaitannya dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur No

1. Bagaimana putusan hakim Pengadilan Agama yang memeriksa perkara cerai dikumulasikan dengan gugatan harta bersama ?

2. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap putusan hakim di Pengadilan Agama tersebut ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun Tujuan penulisan ini adalah;

1. Mengetahui putusan hakim Pengadilan Agama yang memeriksa perkara cerai dikumulasikan dengan gugatan harta bersama.

2. Mengetahui perspektif hukum Islam terhadap putusan hakim di Pengadilan Agama tersebut.

Dan manfaat penulisan ini adalah untuk menambah khazanah keilmuan dalam bidang hukum keluarga di Indonesia khususnya berkaitan dengan masalah perceraian dan harta bersama, sedangkan manfaat praktisnya diiharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan rujukan bagi masyarakat, praktisi hukum yang ingin mengetahui masalah cerai gugat dan kaitannya dengan harta bersama.


(20)

D. Metode Penelitian

Untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat data

Adapun jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah jenis kualitatif yakni berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti, oleh karena itu berupaya mengupas dan mencermati suatu secara ilmiah dan kualitatif mengenai "Penyelesaian Sengketa Perceraian Komulasi dengan Gugatan Harta Bersama (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur)", Sedangkan sifat data dalam penelitian ini untuk menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam.

Metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif. Metode deskriptif bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu secara faktual dan cermat. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu, antara suatu gejala dan gejala lain di dalam masyarakat. Atau data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti.11

11

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 3


(21)

Cara ini bertujuan untuk mendeskripsikan "Penyelesaian Sengketa Perceraian Komulasi dengan Gugatan Harta Bersama (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur)", Sedangkan sifat dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersifat deskriptif analitis yakni penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis secara mendalam tentang "Penyelesaian Sengketa Cerai Komulasi dengan Gugatan Harta Bersama (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur)"

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: a.Sumber data primer yang dilakukan dengan mengambil sample putusan

hakim pengadilan agama Jakarta Timur tentang kasus gugat cerai dihubungkan dengan harta bersama..

b.Sumber Data sekunder yaitu memperoleh dari al-Qur’an, Sunnah, Perundang-undangan Republik Indonesia, buku-buku umum, buku-buku Islam dan data-data tertulis lain yang relevansinya berkaitan dengan judul skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

A.Penggunaan Bahan Dokumen berupa putusan hakim di Pengadilan Agama yang berkaitan dengan putusan cerai dan harta bersama.


(22)

Dengan menggunakan pendekatan terhadap kasus yang berhubungan dengan, "Penyelesaian Sengketa Perceraian Komulasi dengan Gugatan Harta Bersama Khususnya di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

4. Teknik Analisis Data

Adapun teknik analisis data yang penulis guanakan adalah teknik analisis semantic analysis (analisa domain). Teknik analisa domain adalah mencoba menggambarkan objek penelitian pada tingkat permukaan. Jadi di dalam penelitian ini penulis hanya bersifat eksploratif. Artinya, analisis hasil penelitian ini hanya ditargetkan untuk memperoleh deskriptif objek. Penelitian secara general, tanpa harus merinci ke dalam detailnya (unsur-unsur).

Alasan penulis menggunakan metode analisis ini adalah karena metode ini sangat relevan dengan objek yang akan diteliti, yaitu penulis mencoba menggambarkan secara khusus mengenai "Penyelesaian Sengketa Perceraian Komulasi dengan Gugatan Harta Bersama Khususnya di Pengadilan Agama Jakarta Timur

.

E. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN terdiri dari ;Latar Belakang Masalah; Perumusan dan Pembatasan Masalah; Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan sistematika penulisan.


(23)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN menguraikan tentang Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian, Sebab-sebab Perceraian, Akibat Perceraian, Solusi dan Pencegahan Terjadinya Perceraian

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA terdiri dari; Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama, Ruang Lingkup Harta Bersama, Terbentuknya Harta Bersama, Kedudukan Harta Bersama Apabila Terjadi Perceraian, Ketentuan tentang Pembagian Harta Bersama

BAB IV PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR TENTANG GUGATAN PERCERAIAN KUMULASI DENGAN HARTA BERSAMA; membahas tentang Proses Pemeriksaan Gugatan Perceraian, Kronologis Perkara, Pertimbangan dan Putusan Hakim serta Analisis Penulis


(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A.Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian

Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.12 Menurut H.A.Fuad Said dalam bukunya "Perceraian Menurut Hukum Islam" Perceraian adalah putus hubungan perkawinan antara suami isteri.13 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perceraian adalah perpisahan atau perihal bercerai antara suami isteri. 14

Talak secara etimologis berasal dari kata thalaqa yang artinya lepas. 15 Di dalam al-Qur'an terdapat kata Faraqa yang disebutkan sebagai kata yang semakna dengan Talaqa, yaitu dalam Q.S.Ath-Thalaq ayat 2 yaitu :

# ZC !

) !X A[C

+) "# E , $ A

ﺵ) ] ; !^ + C ) ] ; !^

_ 2& :;`( . <( !

? 0 & . ! a( - ! 2 b, ( "#&A . 9 I&

Artinya : Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.

Ayat ini mengandung perintah yang bersifat alternatif bagi suami untuk memilih salah satu pilihan yaitu antara pilihan mengikat tali perkawinan kembali

12

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : intermasa, 1995), cet. Ke-27, h.42

13

Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1994), cet. Ke-1, h.1

14

Anton M. Moeliono dkk, (ed), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), Cet. Ke-4, h. 164

15

Ahmad Warson Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia, (Yogyakarta : Unit Pengadaan Buku-Buku Keagamaan, 1984), h. 923


(25)

atau pilihan lain yaitu tetap melepas dan membiarkan isterinya dalam keadaan ditalak.

Menurut istilah syara talak adalah melepaskan ikatan pernikahan dengan kata-kata atau lafal yang menunjukkan talak atau perceraian. 16 Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri. 17

Talak atau Furqah dalam istilah fiqh mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus, arti secara umum adalah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang telah ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang jatuh dengan sendirinya seperti perceraian yang disebabkan meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri, sementara dalam arti khusus perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja. 18

B. Sebab-sebab Perceraian

Kehidupan beristri tidak hanya diwarnai oleh hal-hal yang menyenangkan. Aneka hikmah bisa digali, sehingga kebahagiaan hidup beristri pun siap menanti. Tetapi aneka penyebab konflik pun ikut mewarnai rona kehidupan beristri, sehingga apabila tidak diwaspadai akan menjadi biang ketegangan atau bahkan bisa memutuskan ikatan persuami istrian.

16

Ibnu Mas'ud dan Zainal Abidin S, Fiqih Madzhab Syafi'I (Edisi Lengkap), (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1, h. 354

17

Al-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjemah, (Bandung : PT Al-Ma'arif, 1996), Cet. Ke-2, Jilid 9, h. 9

18

H.A.Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), Cet. Ke-2, h. 156


(26)

Sehubungan dengan itu, maka suami sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam kehidupan berkeluarga, hendaknya mewaspadai aneka penyebab konflik itu sedini mungkin. Sehingga jalinan persuami istrian dapat lestari dan kebahagiaan pun tidak mudah ternoda. Adapun aneka penyebab konflik persuami istrian di maksud tentu saja amat beragam, antara lain19 :

1. Kurang Teliti Memilih Pasangan

Di dalam novel-novel atau telenovela, sering digambarkan betapa agungnya sebuah percintaan, betapa romantisnya hubungan antar kekasih, keluarga dan keindahan-keindahan lain, yang disuguhkan dengan sangat mengesankan hati penikmatnya. Karena itu, pemirsa atau pembaca novel lalu membayangkan idealnya sebuah pernikahan, "andai suamiku itu…" "andai kekasihku seromantis itu…" dan sekian kata "andai" terjun pada pasangan kita.

Namun, apa yang terjadi bila kenyataannya tidak demikian? Suami suka main selingkuh dan mulai tidak transparan terhadap istri. Bahkan, jelas-jelas sudah membohongi istri karena istri menemukan banyak bukti tentang kebohongan itu. Ternyata, kekasihnya memang telah menjalin hubungan mesra dengan wanita lain. Maka, tak pelak lagi, peperangan pun terjadi. Entah perang fisik, mulut atau bahkan perang dingin.

2. Minim Persamaan

19M.Nipan Abdul Hakim, Membahahagiakan Istri Sejak Malam Pertama, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2005), cet. Ke-VII, h. 128


(27)

Ada pendapat mengatakan bahwa pernikahan yang ideal adalah yang berlandaskan persamaan. Namun, sayangnya banyak yang salah dalam menginterpretasikan pendapat tersebut. Menurut mereka, yang dimaksud dengan "persamaan" adalah mempunyai hobi yang sama, baik itu menonton film, renang, penggemar barang antic, travelling, atau hobi apa pun yang sama. Padahal, yang dimaksudkan adalah sama dalam hal-hal yang prinsipil dan berkaitan dengan sikap mental.

Akan lebih bagus lagi bila pasangan itu saling melengkapi. Misalnya, yang egois pasti sukar berdampingan dengan altruis, yang rasional pasti sulit berdampingan dengan yang mengandalkan instingtif, yang gemar bertindak cepat pasti sangat susah melangkah dengan yang penunda, yang komunikatif akan repot bila harus bersanding dengan yang suka memendam perasaan, dan lain sebagainya.

Masalahnya, hubungan asmara itu terlalu fluktuatif karena menyangkut masalah hati dan hati sering berbolak-balik (tidak pernah konstan). Kadang, persamaan dan perbedaan tertutup sejumlah faktor dan baru terlihat saat pernikahan sudah terjadi, lalu diperburuk dengan keengganan mengkomunikasikan kekecewaan dan harapan. Banyak yang memilih untuk diam digerogoti kenyataan yang mengecewakan, bertengkar dengan perasaan sendiri, lantas bercerai untuk meredakan marah yang dianggap sudah tidak dapat terelakkan dan dikompromikan lagi.


(28)

3. Ketidakmampuan Pasangan Untuk Saling Mendukung Saat Melewati Masa-masa Sulit

Di dalam sebuah pernikahan, pasti ada masa-masa sulitnya. Masa-masa sulit tersebut tidak saja dialami oleh pasangan muda, tetapi juga pasangan yang sudah bertahun-tahun membina sebuah keluarga. Masa-masa sulit yang dimaksud adalah masa di mana pasangan suami istri sedang menghadapi persoalan dalam keluarganya. Permasalahan bisa terjadi karena faktor kesehatan, emosi, ekonomi, anak, pekerjaan, pembagian tugas, dan peran, serta sangat mungkin faktor pengaruh orang luar.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada empat hal yang dapat menimbulkan permasalahan dalam keluarga, yaitu : (1) Faktor Fisiologis, (2) Psikologis, (3) Sosial Ekonomi, dan (4) Religius.

Dalam menghadapi masa-masa sulit, bila pasangan tidak dapat menemukan jalan keluar dengan bekerja sama dan saling mendukung, toleransi, pengertian, saling dapat menerima, memberikan cinta kasih, dan mempercayai maka permasalahan itu justru akan semakin berat dan dapat menimbulkan permasalahan baru.

Hinnga pada akhirnya, mereka menyadari bahwa sudah tidak ada kecocokan dan kesingkronan lagi. Hal itu dapat dilihat dari ketidakmampuan dalam mengatasi problem keluarga dengan baik sehingga bagaimana mungkin dapat melanjutkan kehidupan berumah tangga?

Bagi pasangan yang sudah tidak tahan lagi menanggung beban penderitaannya dan dirasa sudah tidak ada jalan keluar bagi kemaslahatan


(29)

bersama maka mereka akan mengambil jalan pintas, yaitu bercerai. Mereka tidak menyadari bahwa dengan jalan tersebut justru menjerumuskan mereka dalam masalah baru yang lebih berat dan rumit. Wallahu a'lam bishawab.

4. Lihat Masalah Dari Segi Pelakunya

Siapakah yang tidak ingin sukses dalam berumah tangga? Tentu, semua orang mendambakan kesuksesan dalam berumah tangga, bahkan sejak pertama menjalin hubungan asmara. Keinginan luhur seperti itulah yang menyemangati diri memasuki jenjang pernikahan. Obsesi kian menyala untuk membangun rumah tangga agar lestari dan membahagiakan.

Namun, untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia, tentu tidak semudah mengangankannya. Bahkan kerikil tajam yang berpotensi menentang keintiman hubungan dan mengganjal laju bahtera keluarga sehingga terjadi perceraian. Hal itu bisa melanda di mana saja. Di kota, di desa, bahkan yang terpencil sekalipun. Bisa juga melanda rakyat golongan bawah, menengah, maupun golongan atas, baik konglomerat ataupun pejabat. Melihat fenomena tersebut, kita lihat penyebab dari pelakunya, misalnya :

a. Suami atau istri menyepelekan pasangannya. b. Suami atau istri melakukan Perselingkuhan. c. Masing-masing mempunyai kesibukan sehari-hari.

d. Suami atau istri tidak dapat memenuhi kewajiban atau perannya dengan baik.

e. Pasangan mempunyai penghasilan yang berlebihan dan tidak dapat menggunakan dengan baik (terutama suami yang berkantong tebal).


(30)

f. Suami dan istri hidup berjauhan.

g. Tidak ada lagi perasaan saling memberi dan menerima, cinta kasih, toleransi dan saling mempercayai sehingga sulit untuk terjadi komunikasi yang baik.

h. Provokasi dari pihak luar agar rumah tangga menjadi hancur. Perceraian juga bisa terjadi karena ada pihak lain yang tidak senang dengan kebahagiaan dan keberhasilan kita. Ketidaksenangan itu bisa dengan cara menciptakan suasana panas sehingga sering terjadi pertengkaran dan salah paham yang berkepanjangan antara suami dan istri, sampai akhirnya terjadi perceraian. 20

Kekerasan dalam sebuah perkawinan dapat terjadi karena :

a. Pertengkaran soal uang : suami mengetatkan uang belanja, diberi paspasan hanya untuk kebutuhan masak, sementara isteri punya kebutuhan yang lainnya.

b. Cemburu : biasanya kalau isteri bekerja dan mempunyai kedudukan atau penghasilan yang lebih tinggi dari suami maka suami merasa rendah diri dan ini merupakan benih kecemburuan; atau isteri seorang yang pandai bergaul sehingga banyak kawannya baik laki-laki maupun perempuan, suami mudah menjadi cemburu.

c. Problema seksual : impotensi, frigidity, hiperseks, dapat menjadi pangkal pertengkaran. Mungkin gejala sudah muncul ketika masih bulan madu,

20

Afifah Pujihastuti, Karena Istri Ingin Dimengerti, (Sukoharjo : Samudera, 2006), cet. I, h. 83-86


(31)

suami menunjukkan sikap / cara yang brutal / kasar dalam hubungan seks sehingga isteri menarik diri secara fisik dan psikis.

d. Alkohol atau minuman keras : dalam keadaan dibawah pengaruh minuman keras yang berlebihan biasanya suami kurang dapat kontrol diri. e. Pertengkaran tentang anak : ketidakserasian dalam pandangan sikap

ataupun cara menghukum anak merupakan benih subur untuk terjadinya pertengkaran yang sering kali diikuti dengan kekerasan.

f. Suami di PHK atau menganggur : kesalahan suami karena kesulitan ekonomi sebagai akibat menganggur ata di PHK seringkali disalurkan dengan cara yang keliru yaitu marah-marah kepada isteri dan tidak tertutup kemungkinan dalam bentuk kekerasan.

g. Isteri ingin sekolah lagi atau bekerja : bayangan tentang terganggunya roda kehidupan rumah tangga dan isteri yang senang-senang dengan teman-temannya (terutama laki-laki) seringkali jadi pemicu pertengkaran. Apabila isteri bekerja maka isteri tidak lagi bergantung secara ekonomi kepada suami, hal ini dapat menurunkan harga diri / ego kepada suami, disinilah biasanya cekcok akan terjadi.

h. Kehamilan : belum adanya kehamilan atau kehamilan yang tidak direncanakan dapat merupakan gannguan dalam hubungan suami-isteri dan menjadi pangkal pertikaian.

i. Isteri / suami menggunakan obat-obatan (drug abused) atau minum alcohol : ketidaksenangan suami atas kelakuan isteri disambut dengan sikap yang


(32)

kurang control dari isteri (pengaruh obat dan alcohol) seringkali menimbulkan kekerasan.

Adapun aneka penyebab konflik persuami-isterian di maksud tentu saja amat beragam, antara lain :

a) Kesibukan

Kehidupan bersuami-isteri takkan luput dari beragam kesibukan. Apalagi di era sekarang yang tidak hanya kaum suami saja yang memiliki kesibukan di luar rumah, tetapi kaum isteri pun tidak sedikit yang memiliki profesi di luar rumah.

Kesibukan harian biasanya cukup menyita waktu, sehingga waktu untuk berbagi rasa dengan keluarga pun bisa-bisa tersita habis. Suami harus pulang larut malam dan pergi pagi-pagi sebelum sempat berbagi rasa dengan isteri dan anak-anak. Bahkan isteri pun misalnya harus melakukan hal yang sama, sehingga rumah yang susah-payah dibangunnya hanya berfungsi sebagai tempat transit. Anak-anak harus rela menjalani hari-harinya tanpa ksih sayang dan pendidikan langsung dari kedua orang tua kandungnya. Akhirnya, kecurigaan dari masing-masing pihak pun bisa bermunculan dan bisa jadi hubungan di antara sesama anggota keluarga semakin menegang, bahkan bisa jadi membuahkan konflik berkepanjangan yang memporak-porandakan ikatan persuami-isterian.

Jangankan kesibukan yang sampai menyita waktu dari masing-masing pihak. Kesibukan dari satu pihak pun terkadang dapat menjadi penyebab panasnya hubungan persuami-isterian. Hal ini bisa terjadi


(33)

manakala di antara masing-masing pihak itu tidak ada rasa saling pengertian dan tidak ada rasa saling pengertian dan tidak ada pengaturan waktu secara tepat. Suami merasa asyik dengan pekerjaannya sendiri dan isteri pun merasa disibukkan oleh pekerjaan rumah tangga yag tak kunjung selesai. Masing-masing tidak mau menghargai kesibukan pasangannya. Suami merasa capai dengan kesibukan pekerjaannya dan isteri pun merasa kecapaian menyelesaikan kesibukannya sendiri. Sehingga hubungan sehari-hari bisa menegang dan konflik pun bisa terjadi setiap saat.

Di balik kesibukan, pengangguran pun sangat mudah menyulut konflik. Apalagi jika salah satu terlalu sibuk dan pihak yang lain terlalu banyak waktu yang terluang. Suami terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sementara isteri terlalu berleha-leha dengan ngerumpi dan berfoya-foya. Atau bahkan sebaliknya, isteri sibuk bekerja, sementara kerja suami hanya tidur dan lontang-lantung.

Semua itu harus diwaspadai secermat mungkin oleh para suami. Suami hendaknya membuat komitmen yang tegas bersama isteri tercintanya, agar dalam diri masing-masing tertanam betul rasa saling pengertian dan memahami kesibukan pasangannya. Dan waktu yang digunakan untuk menyelesaikan kesibukannya masing-masing pun hendaklah diatur sedemikian rupa, sehingga tetap tersedia waktu yang cukup untuk saling berbagi rasa. Kesibukan dapat terselesaikan dengan baik, tetapi waktu untuk keluarga pun tetap harus mendapat porsi yang cukup.


(34)

b) Beda Pendapat

Beda pendapat tidak jarang menjadi pemicu terjadinya konflik. Terlebih lagi jika masing-masing bersikukuh mengklaim bahwa pendapatnya sendiri yang benar dan memaksakan kepada pemilik pendapat lain sebagai yang tidak benar. Maka yang terjadi adalah ibarat seekor kucing bertemu dengan seekor anjing. Satu pendapat ibarat seekor kucing dan pendapat yang lain ibarat seekor anjing. Sulit dipertemukan dan dalam banyak hal sering meruncing menjadi perang tanding.

Sebagai suami-isteri, hendaklah beda pendapat itu dipandang sebagai sesuatu yang wajar. Isteri tidak harus sama pendapatnya dengan suami. Suami hendaknya lebih dahulu mengawali kesadaran yang demikian seraya mempertanyakan kepada diri sendiri: "Jikalau aku boleh berpendapat demikian, mengapa isteriku tidak boleh berpendapat begitu?" Kemudian kesadaran yang demikian itu , hendaklah ditanamkan pula kepada isteri tercinta. Sehingga terjadilah saling pengertian antara yang satu dengan yang lain secara selaras. Beda pendapat tidak perlu diperuncing dan konflik antara keduanya pun tak perlu terjadi.

Kewajaran beda pendapat antara suami-isteri, jika dipertemukan ke arah yang positif, justeru akan membuahkan sesuatu yang terbaik dan akan melengkapi kebahagiaan berdua. Dengan beda pendapat, hasil musyawarah akan lebih matang. Dengan beda pendapat, hasil musyawarah akan lebih matang. Sebuah rencana besar akan terprogram lebih tepat


(35)

melalui perumusan dari berbagai pendapat. Sebuah diskusi akan menghasilkan titik temu yang paling bijak melalui adu pendapat.

Sebagai pemimpin keluarga, seorang suami hendaklah lebih arif dalam menghadapi perbedaan pendapat dengan isteri tercintanya. Anggaplah beda pendapat itu sebagai penyedap yang dapat menambah kemesraan bersuami-isteri. Bisa jadi pendapat isteri yang berbeda dengan pendapat dirinya itu justeru lebih baik ketimbang pendapat dirinya. Maka lebih arif apabila setiap beda pendapat yang terjadi di antara keduanya itu dipertemukan melalui musyawarah terbuka. Sehingga yang ditemukan adalah rahmat bukan konflik dan bukan bencana.

c) Kehadiran Pihak Ketiga

Kehidupan berkeluarga takkan luput dari kehadiran pihak ketiga, baik dari keluarga besarnya sendiri maupun dari luar keluarga besarnya. Bagi suami, pihak ketiga dari keluarga besarnya sendiri meliputi : orang tua sendiri, mertua, saudara kandung, saudara sepupu, para ipar, saudara sepupu isteri, paman, bibi dan segenap keluarga besar lainnya. Sedangkan dari luar keluarga meliputi : teman-teman dekat suami, teman sekerja suami, teman dekat isteri atau teman sekerja, para tetangga, masyarakat sekitar dan kenalan-kenalan lainnya.

Semua itu dapat membuka dua kemungkinan yang berbeda. Kemungkinan pertama adalah menguntungkan dan mempererat hubungan suami-isteri serta membahagiakannya. Kemungkinan kedua adalah merugikan atau merenggangkan hubungan suami-isteri yang bisa


(36)

membuka konflik atau bahkan kehancuran keluarga. Terutama jika kehadiran mereka itu mulai mencoba menyentuh urusan intern suami-isteri.

Kehadiran orang tua suami, bukan tidak mungkin akan menimbulkan ketegangan antara suami dengan isteri. Orang tua yang biasanya memang memiliki rasa sayang sepanjang masa kepada anak-anaknya, kadang-kadang tidak bisa memisahkan dalam mengungkapkan kasih sayangnya. Sehingga pengungkapan kasing sayang kepada anak yang telah beristeri pun kadang-kadang disamakan dengan ketika ia belum beristeri. Mereka mungkin kurang menyadari, bahwa perlakuannya yang demikian itu bisa menimbulkan kecemburuan dan ketidaksenangan menantunya.

Selain pihak orang tua sendiri hendaknya menyadari akan hal itu, pihak suami pun hendaknya bertindak bijaksana. Ia harus bisa bertindak tegas dalam membatasi antara urusan keluarganya sendiri dengan keluarga lain, sekalipun itu adalah orang tuanya sendiri. Ia harus ikut menyadarkan orang tuanya jika bertindak yang tidak semestinya terhadap dirinya. Dan juga bisa menjernihkan suasana itu terhadap isterinya. Sehingga suasana persuami-isterian tetap damai dan terhindar dari konflik yang tidak diinginkan.

Demikian halnya dengan kehadiran mertua yang mungkin masih belum bisa memisahkan antara pengungkapan kasih-sayang terhadap putrinya tatkala belum bersuami dengan sesudahnya. Maka selain mertua


(37)

sendiri hendaknya menyadari bahwa putrinya telah berkeluarga sendiri, pihak suami pun hendaknya bisa bersikap arif. Jika perlu, ia ikut menyadarkan mertua yang memperlakukan putrinya tidak sebagaimana mestinya dan tidak mudah terpancing emosinya tatkala menghadapi kenyataan itu.

Sedangkan kehadiran pihak ketiga lainnya, baik dari dalam keluarga besarnya sendiri maupun dari luar keluarga besarnya, hendaknya tetap diwaspadai kemungkinannya. Kemungkinan pertama, mereka dapat mengisukan sesuatu yang dapat menegangkan hubungan suami-isteri. Dan kemungkinan kedua, mereka adalah manusai biasa yang tidak luput dari perasaan cinta dan cemburu, sekalipun itu adalah saudara kandung atau iparnya sendiri. Mereka yang laki-laki, tidak mustahil kemudian timbul benih-benih cinta terhadap isteri kita. Dan kita para suami pun tidak tertutup kemungkinan tumbuh perasaan cinta terhadap salah satu dari meraka yang wanita, sekalipun ia adalah ipar sendiri. Apalagi wanita lain, seperti teman sekerja atau kenalan baru misalnya.

Sehubungan dengan itu, maka sebagai langkah kewaspadaan yang harus ditempuh suami adalah menanamkan kedewasaan diri, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada isterinya. Yakni tidak mudah terkecoh oleh berita yang tidak benar atau kasak-kusuk tentang keluarganya yang belum tentu benar, dan menjauhi kedekatan hubungan atau terlalu seringnya berhubungan dengan lawan jenis, sekalipun dia adalah ipar sendiri. Sehingga tidak mudah termakan isu dan tidak mudah cemburu atau


(38)

dicemburui. Hubungan suami-isteri tetap padu dan terhindar dari konflik yang tidak diinginkan.

d) Kesalahpahaman

Kesalahpahaman juga sering mewarnai kehidupan bersuami-isteri dan bisa berbuntut konflik. Bahkan tidak mustahil pula akan menyebabkan keretakan dan kehancuran persuami-isterian. Terutama jika kesalahanpahaman itu berkepanjangan dan tidak diruntut akar permasalahannya.

Maka sebagai suami yang bijak hendaknya senantiasa berpijak pada kearifan sikap dalam menghadapi setiap masalah. Tidak mudah terpancing oleh segala sesuatu yang belum jelas akar permasalahannya atau belum tahu persis masalah yang sesungguhnya. Dan juga tidak memiliki hobi membuat masalah atau gemar melakukan sesuatu yang mengandung masalah.

Setiap permasalahan yang muncul di tengah-tengah persuami-isterian, alangkah bijaksananya apabila terlebih dahulu ditelusuri akar permasalahannya. Kemudian dicarikan jalan keluar melalui musyawarah. Sehingga masalah bisa diselesaikan secara tuntas, tidak meninggalkan bekas-bekas yang mencurigakan bagi masing-masing pihak dan kesalahpahaman pun tak perlu terjadi.

Aktifitas yang dilakukan oleh suami maupun isteri, hendaknya dilakukan secara terbuka, terutama hal-hal yang dilakukan di luar rumah dan tidak terlihat secara langsung oleh masing-masing pihak. Ke mana


(39)

suami pergi dan apa tujuannya, hendaknya diungkapkan apa adanya kepada isteri di rumah. Begitu pun sebaliknya. Suami hendaknya menanamkan komitmen ini secara adil, diberlakukan bagi isteri dan diteladankan oleh dirinya sendiri.

Selain itu, di dalam pergaulan suami-isteri sehari-hari hendaknya juga ditanamkan kebiasaan berlaku jujur. Tidak mencoba-coba menipu salah satunya. Karena sekali dua kali mencoba untuk menipu, lama-lama akan terbiasa. Padahal kemungkinan besar suatu saat tipuan itu akan terketahui oleh pihak yang merasa ditipu. Dan sekali perbuatan itu diketahui, maka selamanya pihak yang ditipu itu akan kehilangan kepercayaan atas ucapan dan perbuatannya. Kecurigaan demi kecurigaan akan selalu muncul dan kesalahpahaman pun sulit dihindarkan. Bahkan konflik demi konflik pun tiidak mustahil bakal terjadi dan kebahagiaan keluarga sulit diharapkan. Ucapan dan perbuatan yang dapat menimbulkan kecurigaan, hendaknya sedini mungkin dihindarkan. Sehingga tidak mengundang kesalahpahaman dan tidak memancing masalah.21

e) Arogan

Sifat arogan tidak jarang meracuni dan memecah belah umat manusia. Ia muncul dari perasaannya yang berlebihan, merasa paling besar, merasa paling kaya, merasa paling wajib dihormati, merasa paling cantik, merasa paling tampan, merasa paling pandai, merasa paling berpengalaman, merasa paling benar dan seterusnya.


(40)

Maka bagaimana jadinya dengan pasangan suami-isteri yang salah satunya bersifat egois ? dan bagaimana pula jika keduanya sama-sama egois ?

Seorang suami hendaknya memenuhi dari dirinya menghindari sifat egois dan kemudian menanamkan pula kepada isteri tercintanya agar menghindarinya jauh-jauh. Kesadaran itu hendaknya tidak hanya diberlakukan dalam kehidupan bersuami-isteri belaka, melainkan dalam kehidupannya secara menyeluruh.

Dengan menghindari sifat arogan, niscaya konflik antar suami-isteri tidak perlu terjadi, perang tanding dapat dihindarkan dan kedamaian pun dapat diharapkan.

f) Kemandulan

Satu hal yang bisa menyebabkan konflik antara suami dengan isteri adalah kemandulan. Jika hal ini sampai terjadi, maka tak urung suami-isteri tersebut dirundung kegelisahan, penuh penyesalan yang berkepanjangan dan dunia pun serasa mencekam. Dan apabila masing-masing lepas kendali, maka kejadian-kejadian kecil pun dengan gampangnya membangkitkan konflik.

Oleh karena itu, maka jauh sebelum duduk di kursi pelaminan, para calon suami hendaklah berhati-hati dalam menentukan pilihan. Pilihan wanita yang subur dan penyayang, agar nantinya tidak terjadi penyesalan yang berkepanjangan. Anak yang ditunggu-tunggu segera lahir, proses regenerasi lancar, dan masalah yang dapat menyebabkan konflik pun teratasi.


(41)

Namun apabila upaya itu telah dilaksanakan secara optimal, tetapi kehendak Tuhan tidak mengijinkan, sehingga kemandulan pun tetap terjadi; maka langkah yang paling bijak adalah berserah diri kepada-Nya dan mencarikan jalan keluar yang terbaik melalui musyawarah yang benar.

Demikian beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya konflik yang harus diwaspadai, utamanya oleh para suami. Sebenarnya masih banyak masalah yang dapat menimbulkan konflik antara suami-isteri. Namun dengan beberapa yang telah diisebutkan di atas, kiranya cukup memberikan gambaran yang memadai.

Rona kehidupan beristeri tidak selamanya manis dan tidak selamanya getir. Maka yang manis harus terus diupayakan dan yang getir sedini mungkin diwaspadai agar tidak sampai terjadi. Kalaupun telah terlanjur terjadi, maka mesti diupayakan agar tidak berlarut-larut dan dapat segera di atasi, hingga keberadaannya menjadi bumbu penyedap yang cukup berarti.22

C.Akibat Perceraian

Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan akibat putusnya perkawinan, dari segi timbulnya masa iddah :

1. Karena talak adalah timbulnya masa iddah dan selama masa iddah, isteri boleh dirujuk.


(42)

2. KHI pasal 153 (1) : Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku masa iddah, kecuali qobla al-dukhul dan perkawinannya putus buka karena kematian suami.

3. KHI pasal 155 : Waktu iddah bagi wanita yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li'an berlaku iddah talak.23

Dari segi nafkah, KHI pasal 149 menyebutkan :

1. Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al-dukhul.

2. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan hamil.

3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al-dukhul.

4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. 24

Jika perceraian tersebut karena khuluk maka, seperti yang tertera dalam KHI pasal 161, akan mengurangi jumlah talak dan tidak dapat rujuk. Dan apabila karena li'an maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang di kandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah (KHI pasal 162).

Dari Segi Pemeliharaan anak, KHI pasal 156 menyebutkan :

23

A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, 1, h. 225

24


(43)

1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :

a. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu b. Ayah

c. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah di cukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anal, Pengadilan Agama memberikan putusnya berdasarkan huruf (a), (b), (c), (d).

6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.


(44)

D.Solusi dan Pencegahan Terjadinya Perceraian

Upaya yang baik dalam pemecahan persoalan-persoalan sebelum membesar dan membeku adalah mengikuti sebagian cara yang bisa menghasilkan buah-buah positif dalam meredam bara perselisihan dan mengembalikan dua insan pada bingkai kehidupan perkawinan. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut :

Melakukan cara-cara non-reaktif atau pasif dalam menghadapi badai persoalan, seperti tetap tenang (tidak bicara), menampakkan simpati atau raut muka bersabda;

Di antara cara non-reaktif adalah ke luar dari kamar tempat pasangannya dan menjauh dari medan masalah. Hal penting ditekankan di sini, si isteri tidak boleh pergi dari rumah. Jangan sampai ia pergi dari rumah, betapapun besarnya persoalan. Karena pergi dari rumah akan membuka pintu Syiqaq, bahkan akan sulit menutupnya, dan kadang sampai pada perceraian. Terlebih lagi, dengan begitu berarti ia telah membantu menyebarkan rahasia keluarga ke luar rumah.

1. Berusaha membatasi masalah atau perselisihan anatara suami-isteri saja, dan menjaga agar tidak keluar dan meluas ke orang-orang di luar mereka, betapapaun dekatnya, terutama anak-anak. Karena menyimpan masalah-masalah seperti ini dari anak-anak adalah sesuatu yang sangat penting, demi untuk mengantisipasi mereka dari kegoncangan dan problem-problem psikologis yang ditimbulkan oleh teladan buruk yang mereka lihat dalam sebuah keluarga yang broken dan tercabik-cabik ini. Demikian


(45)

pula penting menyimpan masalah dari anggota keluarga yang lain dengan tujuan agar kesulitan tersebut sempit, sehingga mudah mencairkannya. 2. Jangan sampai membiarkan perselisihan berlarut-larut dalam rumah tangga

meski hanya satu malam, agar tidak sampai berlarut-larut, sehingga hati tidak membeku dan perasaan tidak berpikir macam-macam sesudah sebelumnya terjalin erat.

Pada saat yang demikian, baik bagi sang suami jika ia berinisiatif lebih dahulu melakukan perdamaian dengan isteri setelah perasaan dan jiwanya tenang, beristighfarlah dan memohon pertolongan kepada Allah. Bsgi isteri, ia mesti melakuakan cara apa saja yang bisa dipakai untuk bernaikan dengan suami, seperti mencoba berbicara dengan sang suami setelah pertengkaran mereda. Atau, tidak memperdulikan atau menutup mata atas kesalahan suaminya dan menyerahkan msalah itu kepada Allah, lalu ia berbesar hati dan menunjukkan budi pekertinya yang baik dengan kesabaran sesuai dengan petunjuk-petunjuk Rasulullah Saw, yang luhur dalam menanggapi masalah-masalah seperti ini.

Suami sebaliknya harus mengerti atas apa yang diharapkan isterinya, lalu dia menyebutnya dengan kehangatan dan kelembutan, sehingga redalah ketegangan dan lenyaplah pertikaian. Diantara cara yang dapat digunakan salah seorang dan pasangan untuk kepentingan ini adalah menulis surat permintaan maaf. Atau menelepon suaminya di tempat kerja, bagi isteri, atau menelepon isterinya di rumah, bagi suami.


(46)

Hal itu juga bisa dilakukan dengan berhias dan mempercantik diri, serta menyuguhkan makanan yang disukai suaminya atau memberi

surprise pada suami. Atau si suami membawakan hadiah untuk isterinya ketika dia pulang dari tempat kerja. Dalam keadaan seperti ini, wajib bagi masing-masing untuk tidak terlibat lagi dalam perselisihan sebelumnya, seolah-olah hal itu belum pernah terjadi. Jika tidak, segala usaha akan menemukan kegagalan.

Yang paling penting dalam semua peristiwa adalah penyeselan dari masing-masing pihak atas apa yang telah terjadi. Menyadari dengan penuh sepenuh hati. Memikirkan semua kesalahan satu persatu. Memastikan tekad untuk menghilangkan ketegangan sebelum terlambat. Melakukan itu harus tanpa keraguan, karena nafsu selalu menyuruh kepada keburukan yang kadang mengalihkan niat baiknya sebelum ia melakukannya, yaitu dengan mengkaji persoalan dari segala seginya dan membahayakan apa yang akan terjadi kalau masing-masing tetap mempertahankan egoisnya, serta dampak-dampak buruk lain yang disebabkan yang kadang menemukan titik nadirnya pada perceraian, runtuhnya rumah tangga, dan terlantarnya anak-anak.

3. Menunjuk seseorang yang bijak

Pada saat suami isteri tidak berhasil mencapai kata sepakat atau berbaikan dengan menghindari setiap pengaruh dari luar demi menjaga kesucian kehidupan keluarga mereka berdua dan menjauhkan sesuatu yang tidak diperbolehkan diketahui bahkan oleh orang terdekat mereka, yaitu kehormatan dan rahasia


(47)

keluarga, maka tidak boleh tidak mereka mesti berdamai dengan memakai perantara secara terang-terangan, yang keputusannya dapat mengeluarkan mereka dari masalah yang mereka berdua hadapi. Agar kata putusan itu diserahkan kepada seorang hakim agama, atau yang ahli dalam negosiasi. Shulh atau berdamai ini dilakukan atasa dasar, bahwa persolan-persoalan telah demikian sulit, dan tangga-tangga untuk mendamaikan perselisihan yang menimpa mereka berdua tidak bisa dicapai secara mudah.

Biasanya, suami-isteri lalu mengangkat persoalan keluarga mereka kepada perantara. Yaitu, ketika keduanya gagal untuk mencapai kesepakatan yang diinginkan, dan keberpalingan (nusyuz) keduanya, atau salah satu keduanya membahayakan, sampai pada batas keharusan adanya pihak ketiga untuk menanganinya, sebagaimana yang telah kami sebutkan tadi. Lebih baik masalah ini segera di bawa ke pengadilan, sebelum isu pertikaian merebak keluar dari bingkai keluarga, karena hal ini akan membantu meredam fitnah, dan akan membuat sedikit lebih sulit memecahkannya bagi perantara.

Ayat yang agung di atas menjelaskan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang perantara tersebut agar ia bisa melaksanakan tugas ini dengan tanggung jawab. Sifat-sifat itu adalah sebagai berikut :

a. Sifat Adil

Sifat ini mesti dimilki oleh setiap perantara yang dimintai pendapat dan keputusan dalam sebuah perselisihan, yang keputusannya nanti akan menjadi putusan dan persoalan yang sedang dipertentangkan. Sifat adil adalah sifat yang jauh lebih dari keberpihakan pada dua pihakk yang


(48)

berselisih. Perantara tidak boleh mengambil keuntungan pribadi dari perselisihan ini. Kami akan menyimpulkan pernyataan ini dengan mengungkapkan hendaknya keputusannya itu objektif, sesuai dengan kerelaan Allah dan kedua belah pihak yang berselisih.

b. Memilki Pengetahuan

Yang dimaksud dengan memiliki pengetahuan dalam konteks ini, bukanlah seorang perantara harus berada pada level yang tinggi dalam bidang fiqih dan agama, karena keputusan itu tidak digantungkan pada ketinggian derajat pengetahuan secara akademis. Hanya saja yang dimaksudkan, agar ia berada pada tingkat mengetahui syara' dan hukum-hukum agama, khusunya yang berkenaan dengan masalah perselisihan yang akan diputuskannya.

Keahlian ini membuatnya credible dan capable : kata-katanya didengar dan berwibawa, serta diterima oleh masing-masing pihak suami-isteri yang bertikai.

c. Mempunyai Hubungan Kerabat (Famili)

Kerabat memilki pengertian yang luas; ia bisa berarti masih termasuk dalam batas yang paling sempit kemudian sanak saudara, lalu suku atau atau marga. Namun, hal ini juga bisa meluas, dalam konteks wajar, misalnya hingga menyangkut satu dusun atau satu daerah.

Adapun pengertiannya menurut yang disebutkan dalam ayat di atas, yang dimaksud adalah, wallahu a'lam: hendaknya perantara atau


(49)

penengah tersebut adalah termasuk anggota keluarga yang paling dekat, jika itu mingkin.

Hikmah di balik persyarakat adanya hubungan famili sangat dalam, terlalu banyak untuk disebutkan semua dalam pemabahasan ini. Karena:

Pertama, famili dekat akan menjaga kehormatan keluarga dekatnya, dan tidak akan melakukan sesuatu yang dapat membuka aib atau rahasia-rahasinya. Pun juga ia adalah orang yang paling mengerti karakter, latar belakang dan ikhwal-ikhwal mereka berdua, serta memahami konsep yang benar untuk menciptakan iklim keluarga yang sehat bagi keduanya.

Kedua, dia mesti memilih kata-kata yang baik yang dapat dicerna dan dipahami oleh keduanya. Artinya, ia menguasai cara untuk memberikan pemahaman kepada keduanya, dan dia mengerti dari mana dia akan memulai dan bagaimana dia melaksanakannya.

Ketiga, jangan lupa, bahwa dengan kekerabatan kedua pasangan akan lebih berani mengutarakan pelik-pelik masalah mereka di hadapannya dan semua rahasia tentang perselisihan mereka; sesuatu yang tidak akan mereka lakukan di hadapan seorang hakim yang asing.

Yang segera terbersit dalam benak kita ketika merenungkan ayat ini adalah perdebatan-perdebatan yang telah terjadi pada para ahli tafsir dan fiqih berdasarkan pada perkataan-perkataan ulama salaf, yaitu apakah fungsi dua penengah terbatas pada fungsi pendamai saja ? ataukah sebagai pendamai sekaligus penemu kelangsungan atau pemutusan tali perkawinan, baik talak atau khulu', apabila keadaan menuntutnya ? dan apakah keduanya tetap berada dalam


(50)

koridor wakil atas pihak suami dan pihak isteri untuk mendamaikan, sehingga mereka tidak berhak menceraikan kecuali atas izin dari keduanya ? ataukah keduanya memiliki hak untuk menentukan kebijakan sesuai dengan fungsi keduanya sebagai penengah perdamaian secara mutlak ?

Para ahli tafsir dan ahli fiqih berbeda pendapat dalam masalah-masalah tersebut. Mereka memiliki pendapat-pendapat yang mirip dan pendapat-pendapat tersebut akan disimpulkan sesuai dengan pendapat empat mazhab sebagai berikut :

• Mazhab Maliki, keputusan yang diambil dua orang penengah terhadap masalah suami-isteri, sesuai dengan kebijakan keduanya, yaitu talak atau khulu', adalah sah dan terlaksana tanpa izin dari mereka berdua atau persetujuan hakim, setelah keduanya menemukan jalan buntu. Apabila keduanya telah memutuskan perceraian (thalak), maka yang terjadi adalah talak ba'in.

• Mazhab Syafi'i dan Hambali, mereka berpendapat : dua penengah atau mediator adalah wakil dari pihak suami dan isteri untuk berdamai.keduanya tidak memiliki otoritas untuk menceraikan, kecuali dengan izin dari kedua belah pihak.oleh karena itu, si suami harus terlebih dahulu memberi izin pada wakilnya untuk bercerai atau berdamai dan si isteri memberi izin wakilnya untuk khulu' atau berdamai sesuai atas permintaan masing-masing.

• Mazhab Hanafi berpendapat : dua orang penengah boleh mengangkat keputusan mereka berdua kepada qadhi (hakim), dan hakimlah yang


(51)

berhak menceraikan suami-isteri itu menurut pertimbangannya. Talak itu adalah talak ba'in, dengan didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. Oleh sebab itu, sang penengah tidak boleh menceraikan tanpa lenih dahulu menawarkan tidak boleh menceraikan tanpa lebih dahulu menawarkan persoalan itu kepada kedua pasangan.

Betapapun pendapat mereka berbeda dalam masalah ini, sesungguhnya hal itu menunjukkan keinginan yang kuat dan para imam kaum muslimin untuk mengambil dasar dan kitab Allah yang agung dan petunjuk-petunjuk nabi-Nya yang luhur. Bagi pihak suami dan isteri, mereka harus menerima keputusan dua mediator itu, demi kebaikan keduanya dan anak-anak mereka.

Akan tetapi, wajib bagi dua orang penengah, sebelum melontarkan gagasan untuk mendamaikan, mempelajari dan mendalami lebih dahulu seluruh penyebab perselisihan yang terjadi antara suami-isteri, dan meneliti sedetail-detailnya agar hasil dan putusannya itu benar.

Begitulah yang seharusnya dilakukan. Setelah mengetahui semua pelik-pelik masalahnya secara baik, barulah keduanya menyampaikan gagasan perdamaian untuk pasangan suami istri dengan segala keikhlasan dan kejujuran, agar tidak timbul penyesalan dan hasil keputusannya itu, seraya mempertimbangkan dengan cermat bahwa kelak tidak akan timbul penyesalan dan hasil keputusannya itu. Selain itu juga mempertimbangkan dengan cermat bahwa berlarut-larutnya masalah dalam menyelesaiakan pertikaian keduanya akan menambah persoalan semakin rumit. Kedua penengah tersebut juga mesti mengingatkan masing-masing akan ikatan kuat yang menjalin mereka berdua


(52)

yang tidak dapat dipisahkan oleh menderanya persoalan, egoisme, aturan yang kaku dan sikap yang salah dari masing-masing pihak.

Oleh karena itu, tetaplah shulh sebagai shulh dalam Islam dan sisi mana pun adanya. Tetaplah ia dengan kata bersabda (perdamaian : shulh), karena dengannya kehormatan rumah tangga dan kelangsungan kehidupan keluarga yang tenang dan bahagia tetap terjaga.25

25

Kamil al-Hayali, Solusi Islam Dalam Konflik Rumah Tangga, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), cet. I, h. 64-75


(53)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA E.Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama

Sebelum membahas tentang harta bersama, ada baiknya kita mengenal tentang definisi harta perkawinan, karena harta bersama merupakan dampak atau bagian dari perkawinan itu sendiri.

Harta perkawinan yaitu kesatuan harta yang dikuasai dan dimiliki oleh suatu keluarga selama perkawinannya.

Selanjutnya dikenal pula istilah harta kekayaan suami istri atau harta suami istri. Yang dimaksud harta suami istri adalah harta kepunyaan suami istri yang diperoleh masing-masing sebelum perkawinan (harta bawaan), maupun harta yang diperoleh mereka selama dalam perkawinan. 26

Pengertian harta bersama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "kesatuan harta yang dikuasai dan dimiliki oleh suatu keluarga selama perkawinan". 27

Menurut Thalib, 28 harta perkawinan suami isteri apabila dilihat dari sudut asal usulnya dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu :

1. Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum mereka kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri atau disebut harta bawaan.

26

Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata (Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1981), h. 15

27

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia" (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), Cet. Ke-IV, h. 299

28

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986), Cet. V, h. 83


(54)

2. Harta masing-masing suami istri yang dimiliki sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan, tetapi diperolehnya bukan dari usaha mereka baik seorang-seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan untuk masing-masing.

3. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau salah seorang, inilah yang disebut harta bersama.

Di dalam al-Qur'an dan Hadits tidak diatur tentang harta bersama dalam perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai penuh olehnya demikian pula sebaliknya, harta suami menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya. Dalam kitab-kitab hukum fiqh pun tidak ada yang membicarakan. Seolah-olah masalah harta bersama kosong atau vakum dalam hukum Islam.

Sedangkan dalam kesadaran kehidupan sehari-hari masyarakat Islam di Indonesia sejak dari dulu hukum adat mengenalnya dan diterapkan terus-menerus sebagai hukum yang hidup. Apakah kenyataan ini dibuang dari kehidupan masyarakat? tentu tidak mungkin, dari pengamatan lembaga harta bersama lebih besar maslahatnya dari mudharatnya. Atas dasar metodologi maslahah mursalah. 29 "Urf" dan kaidah "al-'Adatu al-Muhakamat". Para ulama melakukan pendekatan kompromistis kepada hukum adapt. Selain pendekatan kompromistis, Prof Ismuha dalam disertasinya.30 Telah mengembangkan pendapat pencaharian bersama suami istri mestinya masuk dalam Ru'bu Muamalah tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan, mungkin hal ini disebabkan karena pada umumnya pengarang

29

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah, 1990), h. 84

30

Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri, Ditinjau Dari Sudut Undang-undang Perkawinan 1974 dan Hukum Adat ( Jakarta : Bulan Bintang, 1986), h. 282


(55)

dari kitab-kitab tersebut adalah orang Arab, sedangkan adat Arab tidak mengenal adanya adat harta bersama, tetapi di sana ada dibicarakan mengenai masalah perkongsian yang dalam bahasa Arab disebut syirkah atau syarikhah.

Oleh karena itu masalah pencaharian bersama suami istri ini adalah termasuk pengkongsian atau syarikah maka untuk mengetahui hukumnya, perlu kita bahas dahulu pengertian perkongsian atau syirkah dan macam-macam perkongsian serta hukumnya menurut empat mazhab.

Syirkah menurut bahasa adalah percampuran harta dengan harta lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dari yang lain.31 Menurut istilah Hukum Islam adalah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu.32

B. Ruang Lingkup Harta Bersama

Dalam realita kehidupan masyarakat selama ini, banyak yang menganggap bahwa seluruh harta kekayaan yang ada dalam perkawinan secara otomatis menjadi harta bersama. Karena akad nikah yang telah diucapkan dianggap dapat mempersatukan segala sesuatu yang dimiliki oleh suami isteri, termasuk masalah harta kekayaan. Padahal, harta kekayaan dalam perkawinan meliputi harta bawaan, harta pribadi dan harta bersama yang satu sama lain memiliki status yang berbeda untuk dimiliki dan dikuasai.

Mengenai harta bersama sendiri, masih perlu pengkategorian yang jelas mana yang termasuk objek harta bersama dan mana yang bukan. Oleh karena itu,

31

Abdul Rahman al-Jaziri, Kitab Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah (Beirut : Dar al-Fikr, 1991), Jilid 4, h. 61

32

Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri, Ditinjau Dari Sudut Undang-undang Perkawinan 1974 dan Hukum Adat., h. 283


(56)

untuk mengetahui bagaimana cara menentukan objek harta bersama suami isteri dalam perkawinan, diperlukan gambaran mengenai ruang lingkup harta bersama.

Menurut hukum Islam, ruang lingkup harta bersama (syirkah) sebatas penghasilan yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Demikian juga dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta bersama. KHI juga menegaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Jadi, secara garis besar ruang lingkup harta bersama terbatas pada penghasilan suami isteri selama masa perkawinan berlangsung. Ini yang difahami oleh kebanyakan orang. Tetapi menurut Yahya Harahap, untuk menentukan objek harta bersama tidak sesederhana itu. Menurutnya, ruang lingkup harta bersama sebagai berikut :

1. Harta yang dibeli selama perkawinan

Setiap barang yang dibeli selama perkawinan maka secara otomatis menurut hukum, harta tersebut menjadi objek harta bersama suami isteri, tanpa mempersoalkan siapa yang membeli, terdaftar atas nama siapa dan harta tersebut terletak dimana. Hal ini berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Mei 1971 No. 803 K/Sip/1970. Dalam putusan ini dijelaskan bahwa harta yang dibeli atau isteri ditempat yang jauh dari tempat mereka adalah


(57)

termasuk harta bersama suami isteri jika pembelian dilakukan selama perkawinan. 33

Lain halnya jika uang pembeli barang berasal dari harta pribadi suami atau isteri, maka barang tersebut tidak menjadi objek harta bersama melainkan menjadi milik pribadi. Hal ini dapat dilihat pada kaidah yang tertuang dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1975 No. 151 K/Sip/1974. 34 terdapat pula dalam KHI pasal 86 ayat 2 yang menyatakan bahwa harta isteri tetap menjadi hak milik isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

2. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama

Untuk menentukan sesuatu barang termasuk objek harta bersama dapat ditentukan oleh asal-usul uang biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang tersebut dibeli atau dibangun sesudah terjadi perceraian. Praktek ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Mei 1970 No. 803 K/Sip/1970 yakni apa saja yang dibeli, jika uang pembelinya berasal dari harta bersama maka dalam barang tersebut melekat harta bersama meskipun telah berubah wujudnya.

3. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan

Apabila dalam sengketa harta bersama terdapat perbedaan pendapat tentang suatu harta, apakah termasuk objek harta bersama atau bukan. Maka

33

M. Yahya Harahap, (Mengambil sumber dari Yurisprudensi Jawa Barat 1969-1972, h. 31), Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Peradilan Agama (Undang-undang No 7 Tahun 1989).,(Jakarta : Pustaka Kartini, 1997), Cet ke-3.,h.303

34


(58)

ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung dan uang pembelinya tidak berasal dari uang pribadi. Dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Juli 1974 No. 808 K/Sip/1974 ditentukan bahwa masalah atas nama siapa harta terdaftar bukan faktor yang menggugurkan keabsahan suatu harta menjadi objek harta bersama, asal dapat dibuktikan tersebut diperoleh selama perkawinan berlangsung dan pembiayaannya berasal dari harta bersama.

4. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan

Penghasilan yang tumbuh dan berasal dari harta bersama sudah pasti menjadi harta bersama. Akan tetapi bukan hanya penghasilan yang tumbuh dalam harta bersama, penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi juga menjadi objek harta bersama. Dengan demikian, fungsi harta pribadi dalam perkawinan ikut menopang dan meningkatkan kesahteraan keluarga. Barang pokoknya memang tidak boleh diganggu gugat, tetapi hasil yang tumbuh dari padanya jatuh menjadi objek harta bersama. Tentu saja apabila tidak ditemukan lain dalam perjanjian.

5. Segala penghasilan pribadi suami isteri

Segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama suami isteri. Penegasan ini berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Maret 1971 No. 454 K/Sip/1970. Penggabungan penghasilan pribadi dengan sendirinya terjadi


(1)

serta mobil Kijang tahun 2000 dan mobil isuzu Kijang tahun 1996 warna biru Bo Pol B 9346 BR, kesemuanya menjadi harta bersama.

Majelis hakim menghukum penggugat dan tergugat untuk melakukan pembagian harta bersama tersebut dan menyerahkan bagian masing-masing dan apabila tidak dapat dibagi secara fisik maka dapat dilelang dimuka umum dan hasilnya di bagi untuk penggugat dan tergugat.

C. Analisis Penulis

Seputar harta gono gini dalam Islam dan Hukum di Indonesia

Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya penulis ingin menganalisa masalah gugat cerai dihubungankan dengan harta bersama dalam perspektif hukum Islam. Dalam perspektif hukum Islam masalah cerai sudah diatur dalam al-Qur’an dalam surat at-Thalaq ayat 2 yang membuat pilihan bagi suami untuk menjalin rumah tangga kembali dengan isterinya atau melepaskan ikatan suami isteri tersebut.

Dalam sistem hukum di Indonesia dikenal 2 (dua) istilah cerai yaitu cerai talak yang datang dari suami dan diistilahkan dengan permohonan berdasarkan ketentuan pasal 66 UU No. 7 tahun 1989 Jo UU No. 3 tahun 2006. serta cerai yang datang dari isteri yang dikenal dengan istilah cerai gugat sesuai dengan ketentuan pasal 73 UU No. 7 tahun 1989 Jo UU No. 3 tahun 2006.

Perkara nomor 991/Pdt.G/2005/PAJT di Pengadilan agama Jakarta Timur adalah perkara yang terkait dengan akibat perceraian yaitu masalah harta bersama. Dalam perkara ini penggugat yang bernama Jusnita mengajukan


(2)

gugatan harta bersama karena pada saat gugat cerai diajukan harta bersama belum menjadi tuntutan. Dan pihak pengadilan agama menerima gugatan tersebut. Penulis membenarkan prihal penerimaa perkara tersebut, karena ketentuan pasal 66 ayat (5) UU No. 7 tahun 1989 Jo UU No 3 tahun 2006 yang membenarkan komulasi gugatan cerai dengan harta bersama dan dapat diajukan bersama-sama atau setelah terjadinya perceraian.

Namun demikian, untuk menentukan apakah gugatan harta bersama isteri tersebut dapat diterima atau tidak tergantung dari proses yang dilalui sudah sesuai prosedur beracara di pengadilan atau belum termasuk dalam hal ini adalah proses pembuktian yang merupan keharusan dalam sistem hukum acara yang dianut di Indonesia yaitu pasal 163 HIR yang mengharuskan setiap orang yang merasa memiliki hak dapat mengajukan bukti bahwa dia terbukti memiliki hak tersebut.

Prihal pembuktian ketentuan hukum di Indonesia mendasarkan pada pasal 164 HIR yang mencantumkan alat bukti berupa surat, saksi, persangkaan, sumpah. Dalam kasus di atas antara Jusnita dengan Lukman Hariyanto hakim mendasarkan proses pembuktian kepada Surat-surat terlebih dahulu baru kemudian saksi-saksi.

Ada beberapa objek yang diminta oleh penggugat seperti tanah, motor dan mobil yang memang terbukti harta tersebut hasil dari harta bersama, maka majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat Jusnita binti Yusmanto. Akan tetapi majelis hakim juga menolak gugatan balik dari tergugat agar hutang yang dimilikinya juga menjadi hutang bersama.


(3)

Penulis memandang bahwa putusan hakim tersebut dari segi hukum formal sudah sesuai dengan ketentuan, karena mendasarkan proses pembuktian dari surat dan saksi-saksi. Memang dalam konsep hukum formil saksi itu haruslah menganut azas testimonium de auditu atau saksi harus mengetahu secara langsung pristiswa tersebut secara langsung maupun tidak langsung.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Amin Suma, M., Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. Ke I, h. 3-4

Al-Imam Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani Ash Shan'ani, Subul al-Salam, juz 3, (Kairo, Dar Ihya al-Turas al-Araby, 1379 H/1960 M), h. 109

Al-Imam Hafidz Abi Daud Sulaeman, Sunan Abi Daud, (Kairo, Dar al-Harin, 1988 M/1408 H), juz 2,

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Maktabah Dakwah al-Islamiyah, 1990)

Abdul Rahman al-Jaziri, Kitab Fiqh 'ala Madzahib Arba'ah (Beirut : Dar al-Fikr, 1991), Jilid 4

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Kencana Prenada Media Group, 2006), cet. Ke-I

Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Isteri dalam Perjanjian Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung

Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung, Mandar Maju, 1990), h. 2

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000), ed. Ke-1, cet. Ke-4

Anton M. Moeliono dkk, (ed), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), Cet. Ke-4, h. 164

Ahmad Warson Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia, (Yogyakarta : Unit Pengadaan Buku-Buku Keagamaan, 1984

A.Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), Cet. Ke-2

Afifah Pujihastuti, Karena Istri Ingin Dimengerti, (Sukoharjo : Samudera, 2006), cet. I,

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjemah, (Bandung : PT Al-Ma'arif, 1996), Cet. Ke-2, Jilid


(5)

Ibnu Mas'ud dan Zainal Abidin S, Fiqih Madzhab Syafi'I (Edisi Lengkap), (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1

Kamil al-Hayali, Solusi Islam Dalam Konflik Rumah Tangga, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005)

KompasOnline/Jakarta/Buat Perjanjian Dulu Sebelum Mengucapkan "Saya Terima"/Updated:Senin, 27 Juli 2005, 10:44 WIB diambil Jum'at 15 Februari 2008 pk 20.30 WIB

Pengadilan Tinggi Agama Bandung, Pengadilan Tinggi Agama Bandung, Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dilengkapi dengan UU No. 7 Tahun 1989, UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, Bandung, PTA, 1996/199., h. 46-47


(6)