Status hukum ahli waris pengganti menurut perspektif KHI dan Fikih :studi kasus penetapan pengadilan agama sumber Cirebon.

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada diri manusia sebagai makhluk hidup terdapat dua naluri yang juga terdapat dalam makhluk hidup lainnya, yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk memenuhi dua naluri tersebut Allah menciptakan dalam diri setiap manusia dua nafsu, yaitu : nafsu makan dan nafsu syahwat. Nafsu makan berpotensi untuk memenuhi naluri mempertahankan hidup dan karena itu setiap manusia memerlukan sesuatu yang dapat dimakannya. Dari sini muncul kecenderungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta. Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melanjutkan kehidupan dan untuk itu manusia membutuhkan lawan jenisnya untuk menyalurkan nafsu syahwatnya itu. Sebagai mahluk berakal, manusia membutuhkan sesuatu untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan daya akalnya itu. Sebagai mahluk beragama manusia memerlukan sesuatu untuk dapat mempertahankan dan

menyempurnakan agamanya itu.1

Segi kehidupan manusia yang diatur Allah tersebut dapat dikelompokkan

kepada dua kelompok : pertama, hal-hal Penciptaannya. Aturan tentang hal ini

disebut “hukum ibadat”. Tujuannya untuk menjaga hubungan atau tali antara

1


(2)

Allah dengan hamba-Nya yang disebut juga hablun min Allah. Kedua, berkaitan dengan hubungan antar manusia dengan alam sekitarnya. Aturan tentang hal ini disebut “hukum muamalat”. Tujuannya menjaga hubungan antara manusia dan

alamnya atau disebut juga “hablun min al naas”. Kedua hubungan ini harus tetap

terpelihara agar manusia terlepas dari kehinaan, kemiskinan dan kemarahan Allah.2

Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya.

Harta benda yang diberikan Allah kepada umat manusia, di samping berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya dalam upaya mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Pemberi, juga antara lain untuk perekat hubungan

persaudaraan atau ukhuah Islamiyah dam insaniyah. Berkaitan dengan hal yang

disebut terakhir ini, seseorang yang kebetulan mendapat harta berlebih dianjurkan bahkan di satu kali diwajibkan untuk memberikan sebagian kepada saudaranya yang sedang membutuhkan. Di samping itu, dianjurkan pula untuk

2


(3)

hadiahi diantara anggota masyarakat meskipun masing-masing pada dasarnya

sedang tidak membutuhkannya. 3

Harta warisan bukan berarti tidak menjadi permasalahan bagi keluarga, karena sifat manusia yang memiliki naluri untuk bertahan hidup dengan cara apapun walau terkadang cara tersebut tidak dibenarkan oleh syari’at Islam.

Berbagai kemungkinan timbulnya permasalahan disebabkan harta telah diantisipasi dengan adanya aturan-aturan ketat di bidang harta, seperti dapat dilihat dalam aturan jual-beli, utang-piutang, aturan hibah, wakaf, wasiat, mawaris dan sebagainya. Silang sengketa tidak dapat dihindarkan bilamana pihak-pihak terkait tidak konsisten dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan. Namun, bilamana di satu kali silang sengketa tidak dapat dihindarkan, agar tidak berakibat putus atau retaknya hubungan persaudaraan, Islam mengajarkan supaya pihak-pihak yang bersengketa mampu mengendalikan emosi sehingga bersedia untuk berdamai. Adanya anjuran untuk berdamai adalah sengketa harta tidak berujung pada jauhnya jarak hubungan persaudaraan. Untuk mewujudkan perdamaian itu masing-masing pihak perlu menampakkan kesediannya untuk

mengalah yang pada hakikatnya adalah untuk menang melawan nafsu serakah.4

Di antara hal-hal yang sangat sering menimbulkan sengketa adalah masalah harta warisan. Kematian seseorang sering berakibat timbulnya sengketa

3Ibid, h.4

4


(4)

di kalangan ahli waris mengenai harta peninggalannya. Dalam hukum Islam, pembagian harta warisan telah diatur dalam ilmu faraidh . Dalam ilmu ini telah diatur secara sistematis siapa saja yang berhak menerima harta warisan dan kadarnya. Aturan mengenai siapa saja yang akan mendapatkan harta warisan di antara kaum kerabat dekat pada prinsipnya antara lain didasarkan atas adanya sikap di antara kerabat itu untuk hidup serugi dan selaba, senasib dan sepenanggungan. Seseorang, jika senang menerima harta warisan, maka hendaklah juga ia mau merugi, artinya, ia diberi harta warisan, karena rela membantu si mati di masa hidupnya atau mau membantu keluarga yang ditinggalkannya. Dengan demikian berarti, selain antara ahli waris dapat saling mewarisi, juga saling memperhatikan nasib temannya. Begitulah antara lain landasan filosofis hukum waris.5

Oleh karena itu, sikap mengintai kematian anggota kerabat untuk dapat mewarisi hartanya, tidak sejalan dengan ajaran Islam tersebut diatas. Namun hal seperti itu sangat mungkin terjadi dalam masyarakat yang masih rendah

pengetahuan dan kesadaran hukumnya.6 Bagi ummat Islam melaksanakan

hukum-hukum Islam, Terutama masalah kewarisan adalah suatu keharusan, selama belum adanya nash-nash yang menunjukkan ketidak wajibannya. Namun

5Ibid, h.5.

6

Satria Effendi M. Zein Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta : Kencana, 2004) h. 233


(5)

dalam masalah waris, nash-nash yang berkaitan dengan hukum membagi kewarisan tidak disebut, dan yang disebut adalah keharusan menetapkan besar kecilnya masing-masing bagian. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kewajiban disini, adalah ketika seseorang menyerahkan masalah kewarisan secara (menurut) faraidh/ilmu waris.7

Dalam prakteknya, banyak masyarakat yang masih bingung tentang masalah waris, bahkan banyak yang menjadi sengketa dalam warisan. Seperti halnya terjadi di Pengadilan Agama Cirebon, pada Putusan Pengadilan Agama Cirebon terdapat sengketa masalah waris dalam putusan no. 0028/Pdt.P/2008/PA.Sbr. Hakim menetapkan putusan dengan memberikan bagian harta waris kepada ahli waris pengganti melebihi bagian dari ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, dalam hal ini penulis menemukan kejanggalan pada putusan tersebut karena tidak sejalan dengan pasal 185 Kompilasi Hukum Islam di Indosesia ayat 2 yang berbunyi : “Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.” Hal inilah menurut penulis menjadi bagian yang menarik dan perlu ditinjau serta dikritisi, hal-hal apa saja yang melatarbelakangi putusan tersebut. Dan penulis akan menuangkannya di dalam tugas akhir dalam rangka memenuhi standar

kelulusan Strata satu (S1) dengan judul “Status Hukum Ahli Waris Pengganti

7


(6)

Menurut Perspektif Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Sumber,Cirebon)”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Dalam uraian tersebut di atas, terlihat betapa luas cakupan yang terkandung dalam perkara Kewarisan. Hak mendapatkan warisan adalah hak bagi

ahli waris yang sebenarnya hak tersebut adalah titipan dari sang Khalik yang

harus kita jaga sebaik-baiknya dan jangan sampai disalah gunakan. Begitu pula apabila seorang ahli waris yang kebetulan terlebih dahulu meninggal dunia dari pada sang pewaris, hal seperti ini tentunya akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap bagian masing-masing ahli waris.

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan terarah dan lebih spesifik, maka pembahasan pada penelitian ini dibatasi hanya pada ahli waris pengganti dan alasan hakim memberikan bagian ahli waris pengganti yang melebihi dari yang sederajat dengan yang digantikannya.

2. Rumusan Masalah

Untuk memperjelas tulisan skripsi ini, penulis merumuskan masalah ini

sebagai berikut: sesuai pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, bagian ahli waris

pengganti tidak boleh melebihi bagian yang sederajat. Kenyataan dilapangan, putusan Pengadilan Agama Sumber menetapkan bahwa bagian ahli waris


(7)

pengganti melebihi bagian yang sederajat. Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum Kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam ?

2. Bagaimana posisi ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam ?

3. Apa alasan hakim memberikan penetapan tersebut ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Dengan merujuk pada pembahasan diatas maka penelitian di tujukan untuk :

1. Untuk mengetahui hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui posisi ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum

Islam.

3. Untuk mengetahui alasan hakim memberikan penetapan tersebut.

Adapun manfaat daripenelitian ini adalah :

a. Bagi penulis menambah wawasan tentang ahli waris pengganti.

b. Bagi fakultas memberikan sumbangan kepustakaan dalam rangka

pengembangan akademis.

c. Dapat memberikan pengetahuan lebih jauh dalam pembahasan Ahli waris

pengganti dengan studi analisis putusan No. 0028/Pdt.P/ 2008/PA.Sbr.

D. Review Studi Terdahulu

Dalam buku karangan Al-Yasa Abu Bakar yang berjudul : “Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Tentang Penalaran Hazairin Dan


(8)

Penalaran Fikh Madzhab” secara keseluruhan menjelaskan tentang Kewarisan Menurut Pemikiran Hazairin yang didalamnya mencakup tentang dasar-dasar teori tentang kewarisan Islam dan nalar Fiqh terhadap kewarisan Islam oleh `Ulama Fiqh serta pembagian-pembagiann dzawil furudh dan dzawil arham.

Dari buku diatas yang berkaitan dengan penelitian penulis ada pada bab II hal. 52 tentang garis pokok penggantian yang didalamnya mencakup pemikiran Hazairin tentang Ahli waris pengganti, yang menjelaskan dasar hukum dan penafsiran Hazairin tentang ahli waris pengganti.

Posisi penelitian ini adalah adanya ketidakserasian antara teori yang dikemukakan oleh Prof. Hazairin dengan yang terjadi sebenarnya di Pengadilan Agama Sumber, Cirebon dalam Penetapan Ahli Waris Pengganti dengan No. registrasi: 0028/Pdt.P/2008/PA. Sbr.

E. Kerangka Konseptual.

Dalam sendi kehidupan manusia yang diatur oleh Allah SWT, dapat

dikelompokkan kepada dua kelompok yaitu: hablun min Allah atau yang lazim

disebut juga dengan “Hukum Keibadatan” yang tujuannya untuk menjaga

hubungan antara Allah dengan hambanya, dan yang kedua disebut dengan hablun

min al naas atau yang lebih kita kenal dengan “hukum muamalat” yang tujuannya adalah guna menjaga hubungan antara sesama manusia. Kedua hubungan ini harus tetap terjaga agar manusia terlepas dari kehinaan, kemiskinan dan kemarahan Allah SWT.


(9)

Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan oleh Allah SWT adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan kepemilikan yang timbul dari suatu kematian.

Kematian seseorang sering berakibat timbulnya sengketa dikalangan ahli waris mengenai harta peninggalannya. Dalam hukum Islam, pembagian harta warisan telah diatur secara sistematis siapa saja yang berhak menerima harta warisan dan pembagiannya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, juga telah diatur masalah hukum kewarisan, yang didalamnya juga terdapat masalah tentang ahli waris pengganti.

Adapun yang dimaksud dengan ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan sesorang untuk memperoleh bagian warisan yang pada mulanya akan diperoleh orang yang digantikannya disebabkan karena orang yang digantikan itu adalah orang yang seharusnya menerima warisan kalau dia masih hidup, tetapi dalam kasus bersangkutan dia telah meninggal lebih dahulu dari pewaris. Orang yang digantikan ini hendaklah merupakan penghubung antara dia

yang menggantikan ini dengan pewaris yang meninggalkan harta peninggalan.8

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data dalam penulisan yang dilakukan penulis adalah :

8


(10)

1. Jenis penelitian yang diambil penulis adalah kualitatif yaitu penelitian yang bersifat eksploratif dan deskriptif yaitu jenis penelitian dimana penulis melakukan pengembangan data yang lebih mendalam agar permasalahan yang diangkat lebih bisa difahami.

Teknik pengumpulan data, dalam hal ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Penelitian Kepustakaan, yaitu data-data yang diperloeh dari literatur dan

referensi yang berhubungan dan berkenaan dengan judul ini.

b. Penelitian Lapangan, penelitian untuk mendapatkan informasi dari sumber

asli mengenai permaslahan yang menjadi pokok bahasan, yang difokuskan pada Pengadilan Agama Sumber, Cirebon Jawa Barat Indonesia.

Sedangkan untuk alat pengumpul data, penulis menggunakan cara sebagai berikut :

a. Wawancara, yaitu alat pengumpul data yang dipergunakan untuk

mendapat informasi yang berkenaan dengan pokok permasalahan. Wawancara dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab dengan pihak yang terkait yaitu pegawai Pengadilan Agama Sumber,Cirebon, Jawa Barat Indonesia.

b. Dokumentasi, yaitu dengan melihat dokumen-dokumen dan arsip-arsip


(11)

Adapun untuk analisa data penulis menggunakan dengan cara setelah data-data tersebut terkumpul, lalu penulis menganalisanya dengan metode :

1) Metode Induktif, yaitu suatu cara dalam menganalisa data yang bersifat

khusus kemudian ditarik atau disimpulkan yang bersifat umum.

2) Metode Deduktif, yaitu suatu cara dalam menganalisa data yang bersifat

umum kemudian ditarik atau disimpulkan yang bersifat khusus.

G. Sistematika Penulisan

Adapun untuk sistematika penulisan ini, terdiri dari 5 (lima) bab yang terdiri dari sub-sub yang dirinci sebagai berikut :

Bab Pertama, Mengenai Pendahuluan. Membahas tentang Latar belakang masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah Tujuan dan Manfaat, Study Review, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua, Mengenai Waris dan Bagiannya dalam Hukum Islam, membahas tentang Pengertian dan Dasar Hukum Waris, Rukun dan Syarat Waris, Sebab dan Penghalang Memperoleh Harta Waris,Subjek Hukum Waris, Bagian masing-Masing Ahli Waris.

Bab Ketiga, Mengenai Kedudukan Ahli Waris Pengganti, membahas tentang Pengertian dan Dasar Hukum Ahli Waris Pengganti, Ahli Waris Pengganti dalam Fiqh, Ahli Waris Pengganti Menurut Hazairin, Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam, Mengenai Arti Mawalli dalam Al-Qur’an.


(12)

Bab Keempat, Mengenai Analisis Perkara Penetapan Hakim Tentang Ahli Waris Pengganti, membahas tentang Profil Pengadilan Agama Cirebon, Analisis Perkara Penetapan Pengadilan Agama Cirebon, Analisis Penulis.

Bab Kelima, Tentang Penutup, membahas tentang kesimpulan dan saran-saran dari penelitian ini agar pembagian waris dapat dilakukan dengan baik.


(13)

BAB II

Waris dan Bagiannya dalam Hukum Islam

A. Pengertian Ilmu Faraidh dan Dasar Hukum Waris. 1. Pengertian Ilmu Faraidh/Waris.

Dalam Hukum Islam, hukum kewarisan dikenal dengan istilah ilmu Faraid atau ilmu mirats dalam bahasa arab, kata faraid menunjukan jamak dari bentuk tunggal faridah.9 yang berarti satu ketentuan atau bagian-bagian tertentu.

Firman Allah

artinya separuh dari apa yang kamu tentukan.

Demikian juga kata mirats merupakn bentuk tunggal dari kata mawaris, yang

berarti harta yang diwariskan.

Kata “Al-Miraats” dalam bahasa arab merupakan bentuk masdar dari kata

Waratsa-Yaritsu-Irtsan-Wamiiraatsan. Pengertian “Miiraast” menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain (sesuatu ini bersifat umum), bisa bersifat harta atau ilmu keluhuran.10

Secara etimologi (bahasa) kata ”kewarisan” berasal dari waratsa

ثرو

yang memiliki beberapa pengertian, antara lain :

9

Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia. ( Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsir Al-qur`an, 1973)

10


(14)

Pertama, ”mengganti” seperti yang tertera dalam Qs..al Naml (27):16 :

...

Artinya: “Dan Sulaiman Telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai

manusia, kami Telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia yang nyata" .(Q.s..al Naml, 27:16)

Pada terjemahan Al-Qur’an terdapat catatan kaki no 593, kata “mewarisi” diberikan penjelasan yaitu : “Nabi Sulaiman As, menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Daud As. Serta mewarisi ilmu pengetahuan dan kitab Zabur yang

diturunkan kepadanya.11

Kedua, “ memberi” seperti yang tercantum dalam Qs. Al-Zumar (39).74 :

11

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Surabaya, Mekar Jaya,2004). h.532.


(15)

Artinya: “Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang Telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan Telah (memberi) kepada kami tempat Ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki; Maka syurga Itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal. (Qs. Al-Zumar,39:74).

Ketiga, “Mewarisi” seperti yang terdapat dalam Qs. Maryam (19).6 :

Artinya: ”Yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian

keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai" (Qs. Maryam 19: 6).

Dari ketiga pengertian waris secara bahasa di atas ada tiga macam arti, yaitu: menggantikan, memberi, dan mewarisi. Antara satu dengan yang lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan melainkan memiliki kesamaan maksud, mengingat ketiga arti tersebut selaras dengan pengertian waris atau kewarisan.12

Adapun menurut tinjauan terminologi, sebagaimana halnya dalam kamus al-Munjid fi al-lughah wa al-‘alam, adalah :

ﻪ ا

ا

لﺎ

ﻪ ﺎ و

ن

.

13

12

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia ( Jakarta, PT. Raja Grafindo persada, 2000) h.356

13Luwis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah wa Al-‘Alam. (Beirut: Dar al Masyrik, 1984) cet ke


(16)

Artinya: “ Harta seseorang berpindah kepadanya setelah ia meninggal dunia

Secara definitif, banyak dari tokoh dan Ulama yang memberikan pengertian tentang kewarisan itu sendiri, menurut M. Ali As-Shabuni, arti warisan adalah pindahnya hak milik orang lain yang meninggal, baik yang

ditinggalkannya itu berupa benda bergerak ataupun tidak bergerak.14

Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dapat disimpulkan pula bahwa hak kewarisan adalah hak yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta

peninggalan atau Tirkah, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli

waris dan berapa harganya masing-masing. Hal ini sesuai dengan ketentuan KHI pasal 171 (a).

2. Dasar Hukum Kewarisan Islam.

Ruang lingkup kewarisan Islam sangat jelas dasar hukumnya, maka penulis merasa sangat perlu untuk mengupasnya. Dasar hukum kewarisan dalam Islam adalah :

1. Al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama, dia menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum kewarisan secara jelas dan terperinci. Adapun ayat-ayat yang dijadikan sebagai dasar dari Hukum Kewarisan dalam Islam, seperti Qs. An-Nisa’ (4):11.


(17)

Artinya: ”Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka

untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; (Qs. An-Nisa’, 4:11.).

Kemudian dijelaskan pula dalam ayat lain Qs. An-Nisa’ (4):12..

Artinya: ”Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang

ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. ( Qs. An-Nisa’, 4:12.).

2. Sunnah atau Hadits.

Imam al-Bukhari menghimpun hadits tentang kewarisan tidak kurang dari 46 hadits, dan Imam Muslim menyebut hadits-hadits kewarisan kurang lebih 20 hadits. Namun pada bahasan kali ini perincian hadits tersebut tidak akan dikutip semua, hanya yang pokok saja yang

akan diungkapkan.15

ﷲا

ر

سﺎ

ا

ﺎ ﻬ

ﷲا

لﻮ ر

ﱠ و

ﷲا

لﺎ

:

اﻮ ا

ﺟر

ﻰ وﻸ

ﺋاﺮ ا

آﺮ

،ﺎﻬ هﺎ

ﺋاﺮ ا

ﺮآذ

)

(

16

15M. bin Ali bin Muhammad Asy syaukani, Nayl al Author, (Azhar, Maktabul Iman, t.th)


(18)

Artinya: Dari Ibnu Abbas RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: ”Berikanlah ketentuan warisan yang pasti itu kepada yang berhak. Adapun sisanya, maka bagi laki-laki yang paling dekat nasabnya.(H.R.Muslim)

Kemudian dalam hadits lain pula dijelaskan:

.

:

لﺎ

ﱠ و

ﷲا

ﱠ ﱠ ا

ﱠنا

ﺎ ﻬ

ﷲا

ر

ز

ﺎ ا

.

ا

ﺮ ﺎﻜ ا

ثﺮ و

ﺮ ﺎﻜ ا

ا

ثﺮ

.

17

Artinya: ”Dari Usamah bin Zaid ra. Bahawa Nabi saw bersabda:

”orang Islam tidak dapat mewariskan hartanya kepada orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mewariskan hartanya kepada orang muslim”.(Muslim: 5/59).

Dari pengertian Hadits pertama dan kedua di atas, dapat dipahami bahwa pembagian waris diserahkan terlebih dahulu kepada orang yang berhak yaitu

yang tergolong dalam Ashabu al Furudl(Orang-orang yang berhak menerima

bagian), sisanya kemudian untuk Ashabah (sisa). Diketahui pula bahwa

perbuatan waris mewarisi hanya diperbolehkan bagi yang satu agama (Islam), dan terakhir juga menjelaskan tentang ahli waris yang tidak mendapatkan harta

pusaka karena membunuh.18

3. Ijma’

16Imam Muslim, Shahih Muslim, (Riyadh, Darussalam,1998) h.705.

17Ibid, h.705.


(19)

Yaitu kesepakatan para ulama atau para sahabat sepeninggal Rasulullah saw tentang ketentuan warisan yang dalam Al-Qur’an karena telah disepakati oleh para sahabat dan ulama, maka Ijma’ dijadikan sebagai sumber dan referensi Hukum.19

B. Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Waris. 1. Rukun-Rukun Waris.

Untuk dapat menerima pusaka, harus memenuhi beberapa rukun, beberapa

sebab, beberapa syarat dan beberapa penghalang (Man’i).

Adapun rukun-rukun pusaka ada tiga, yaitu :20

a. Muwarrits, orang yang maninggalkan hartanya.

b. Waris, orang yang ada hubungan dengan orang yang telah meninggal, seperti kekerabatan (hubungan darah) dan perkawinan.

c. Mauruts, harta yang menjadi pusaka. Harta ini dalam istilah Fiqh dinamakan: Mauruts, Mirats, Irts, Turats, dan Tirkah.

Sedangkan untuk terjadinya pewarisan ada tiga rukun, yaitu:

a. Ahli waris, yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan, baik karena hubungan sedarah, hubungan sebab perkawinan (semenda), atau akibat memerdekakan hamba sahaya.

19

Tengku Hashbi As-Shidieqy, Fiqh Mawaris. h.303.

20


(20)

ثاﺮ ﺎ ﺎ ا

ﱢ ا

ا

يﺬ اﻮهو

ثراﻮ ا

21

Artinya ”Ahli waris yaitu orang yang dihubungkan kepada si mati

dengan salah satu sebab-sebab pewarisan”.

b. Pewaris, yaitu si orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang diwarisi harta peninggalannya adalah orang yang mewariskan hartanya.

ا

ثرﻮ ا

ا

ﻪ ﻮ

يﺬ ا

دﻮ ا

ﺎ ﻜ و

.

22

Artinya: ”Pewaris yaitu si mati, baik mati hakiki maupun mati hukum,

seperti orang yang telah hilang, yang oleh hakim dinyatakan meninggal dunia”

c. Warisan, yaitu harta peninggalan si mayyit (mati) yang berpindah kepada ahli waris.

2. Syarat-Syarat Pembagian Waris.

Sebagaimana rukun pewarisan, syarat pewarisan pun ada tiga hal yang harus terpenuhi, yaitu :23

a. Pada saat meninggalnya pewaris, ahli waris benar-benar dalam

keadaan hidup. Termasuk bayi yang masih ada dalam kandungan (hamil), meskipun masih berupa janin apabila dapat dipastikan hidup,

21Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah (Semarang: Toha Putera, 1972) h.426. 22Ibid h.426.


(21)

melalui gerakan (kontraksi) atau cara yang lainnya, maka si bagi janin tersebut baerhak mendapatkan warisan.

b. Pewaris benar-benar telah meninggal dunia, apakah meninggal secara

hakiki atau meninggal secara yuridis (hukum).

ﺎ ا

نﺎآ

ﺎ ﻜ

ﻪ ﻮ

وا

ثﱢرﻮ ا

تﻮ

دﻮ ﺎ ﻮ

.

24

Dengan adanya syarat ini maka segala harta dan seseorang tidak boleh dibagikan, kecuali orang tersebut benar-benar meninggal dunia atau hakim memutuskan kematiannya. Seperti orang yang hilang, apabila hakim telah memutuskan kematian orang tersebut dengan bukti-bukti yang kuat, maka saat itu barulah harta peninggalannya dapat dibagikan diantara ahli warisnya.25

c. Untuk mendapatkan harta warisan disyaratkan tidak adanya

penghalang warisan.

ﺪﺟ

ﻮ ا

ثر ا

اﻮ

.

26

Artinya: ”tidak adanya salah satu penghalang dari

penghalang-penghalang pewarisan”.

24 Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, h.425.

25Tengku Hasbi As-Shidieqy, Fiqh Mawaris, h.5. 26Ibid, h.426.


(22)

C. Sebab Adanya Dan Penghalang Waris. 1. Sebab-Sebab Adanya Waris

Pewarisan baru terjadi manakala atau apabila ada sebab-sebab yang mengikat pewaris dengan ahli warisnya, adapun sebab-sebab seseorang dapat

menerima warisan, yaitu:27

a. Perkawinan.

Dari hubungan pernikahan, seseorang dapat atau bisa memberikan atau menerima warisan, Perkawinan yang menjadi sebab pewarisan tersebut disyaratkan harus menjadi akad yang sah menurut syari’at

walaupun dalam perkawinan tersebut belum terjadi khalwat (tinggal

berduaan) dan ikatan perkawinan tersebut masih utuh atau dianggap masih utuh, jadi perkawinan yang fasid atau yang batal tidaklah menjadi sebab pewarisan.28

b. Kekerabatan.

Selain dari jalan perkawinan, seseorang dapat menerima atau memberi warisan dapat melalui jalan kekerabatan, adapun dalil yang memperbolehkan hal ini adalah :

27Ibid, h.4. 28 Ibid.h.5.


(23)

ا

ا

هو

ثرﻮ ا

لﻮ

او

عوﺮ ا

اﺮ ا

و

ﻮ او

29

Artinya: ”Yaitu hubungan nasahabiyah antara pewaris dengan ahli

waris. Kekerabatan ini terdiri atas al-Furu’ (keturunan kebawah) al ushul (keturunan keatas), dan al-Hawasyi (keturunan menyanping)”. c. Wala’

ا

ﺎ ا

ا

ﺎه

عر

و

ا

ا

ا

و

ت

و

ا

ة اﻮ ا

وا

.

30

Artinya: ”Kekerabatan secara hukum yang ditetapkan oleh syar’i

antara orang yang memerdekakan budak dengan budaknya disebabkan adanya pembebasan budak, atau seseorang dengan seseorang lainnya disebabkan adanya akad muwalah (perjanjian) dan muhalafah (sumpah)”.

Wala’ merupakan hal yang menjadikan seseorang menurut hukum

mempunyai ikatan kekerabatan dengan orang lain, mengenai Wala’ ini

jumhur ulama menyatakan Wala’ al muwalah tidak termasuk sebab pewarisan.31

29 H. Muhammad Makluf, Al Mawarits fi Al-Syari’at al Islamiyah, h.34. 30Ibid, h. 35.


(24)

و

ا

ء

ﻮا

ة

ثر ا

ا

و

ﺎ ارﻮﻬ ﺟ

ء

.

32

Artinya: ”Wala’ al Muwwamalah termasuk menjadi sebab pewarisan

menurut Abu Hanifah, tetapi tidak termasuk sebagai sebab pewarisan menurut jumhur ulama”.

2. Penghalang Hak Waris.

Hal-hal yang dapat menggugurkan (menjadi) hak ahli waris tersebut yaitu:33

a. Pembunuhan.

Jumhur ulama telah sepakat dalam menetapkan pembunuhan sebagai penghalang untuk menerima warisan. Yaitu pembunuhan yang disengaja, hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, yaitu:

ا

ن

ا

ﺎ ﻄ

ا

ثر

ﺎآ

ءا

ن

ا

ا

م

ا

م

و

ﺎآ

ء

ا

ن

ﺎ ا

ما

ﺎﻐ ﺎ

.

34

Artinya: ”Bahwasanya pembunuhan itu mutlak menjadi penghalang

pewarisan, baik pembunuhan yang disengaja maupun karena sikap, baik dilakukan secara langsung (mubasyarah) maupun tidak langsung (tasabbuh), baik dilakukan karena menjalankan hak (kewajiban) maupun

32Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, h. 426.

33H. Muhammad Makluf, Al Mawarits fi Al-Syari’at al Islamiyah, h.27. 34Ibid , h.27.


(25)

bukan : baik pembunuhnya orang aqil baligh maupun orang yang tidak atau belum aqil baligh”.

b. Perbudakan.

Para ulama telah menyepakati perbudakan merupakan sebagai penghalang

pewarisan berdasarkan adanya nash shahih. 35 yakni firman Allah SWT:

Artinya: ”Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba

sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rezki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji Hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui

c. Berlainan Agama.

Yang dimaksud dengan berlainan agama adalah berlainannya agama orang yang menjadi pewaris dengan orang yang menjadi ahli waris, mengenai

35

M. Yusuf Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam (Mesir: Daar al Kitab al Araby, 1959), h.161.


(26)

kedudukan berlainan agama sebagai penghalang pewarisan telah menjadi ijma’

seluruh ummat Islam.36 Hal ini dikarenakan Hadits Rasulullah saw:

و

ﷲا

نا

ا

ﷲا

و

.

ل

:

ا

ثرا

ه

.

37

Artinya: ”Dari Abdullah ibnu Ummar bahwa Nabi saw bersabda:

tidaklah saling mewarisi orang kafir dan orang kafir pun tidak mewarisi orang Islam” (H.R. Ahmad).

Hadits yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid diatas menunjukkan bahwa perbedaan agama adalah mutlak menjadi penghalang pewarisan. Jadi, seorang muslim tidaklah mewarisi ahli warisnya yang non muslim begitu juga

sebaliknya. Yang berpendapat demikian adalah ulama-ulama termasyhur.38

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan, bahwa yang menjadi penghalang bagi seseorang untuk menerima warisan adalah sesuai dengan pasal 173 yang berbunyi:

”Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena:

36H. Muhammad Makluf, Al Mawarits fi Al-Syari’at al Islamiyah, h.29. 37Imam Ahmad bin Hanbal, h.594.


(27)

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris;

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah menlakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.”39

D. Subjek dan Bagian Waris. 1. Subjek Hukum Waris.

Mengenai subjek hukum waris, hal yang penting untuk dibahas adalah pewaris (al-muwarris) dan ahli waris (al-waris). Pewaris (al-muwarris) adalah setiap orang yang meninggal dengan meninggalkan harta kekayaan. Sedangkan ahli waris ialah orang yang bernisbah (memiliki akses hubungan) kepada si mayyit karena ada salah satu sebab dari beberapa sebab yang menimbulkan kewarisan. 40

Tentang ahli waris, siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing diatur dalam ayat-ayat al-Qur’an dan beberapa hadits Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan

39Kompilasi Hukum Islam

40Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo


(28)

hadits yang ada, para ulama biasa mengelompokkan ahli waris ke dalam dua kelompok besar, yaitu:41

1) Kelompok ashabul furudh.

Ashabul furudh ialah waris yang secara pasti mendapatkan bagian tertentu dari harta waris yang ditinggalkan si mayyit. Mereka adalah 4 orang dari kalangan laki-laki, dan 8 orang dari kalangan perempuan. Empat orang dari kalangan laki-laki adalah ayah, kakek dan terus keatas, saudara seibu, suami. Sedangkan 8 orang dari kalangan perempuan adalah ibu, nenek terus keatas, anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan), saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, seisteri.

2) Kelompok ashabah. 42

Yang dimaksud ashabah adalah kelompok ahli waris yang berhubungan langsung dengan si mayyit, yaitu setiap laki-laki yang antara dia dengan si mayyit dalam silsilah nashabnya tidak pernah terselang ahli waris perempuan. Misalnya anak laki si mayyit dan ayahnya, anak laki dari anak laki-laki si mayyit dan saudara kandung laki-laki-laki-laki dan saudara laki-laki-laki-laki seayah.

Dari segi hubungan jauh dekatnya kekerabatan, ahli waris dapat dibedakan menjadi:43

41Ibid, h.114. 42Ibid, h.114.


(29)

1) Ahli waris hajib yaitu ahli waris yang dekat hubungan kekeluargaan menghalangi hak ahli waris yang jauh hubungannya. Contohnya, anak laki-laki menjadi penghalang bagi saudara perempuan.

2) Ahli waris mahjub yaitu ahli waris yang jauh hubungan kekerabatannya, dan

terhalang untuk mewarisi.

Apabila ahli waris yang dicantumkan pada pasal 174 Kompilasi Hukum Islam tersebut dirinci, ahli waris lai-laki 13 orang, ahli waris perempuan 8 orang, jadi seluruhnya ada 21 orang. 44

1. Ahli waris nashabiyah laki-laki:

1) Ayah.

2) Kakek (dari garis ayah).

3) Anak laki-laki.

4) Cucu laki-laki garis laki-laki.

5) Saudara laki-laki sekandung.

6) Saudara laki-laki seayah.

7) Saudara laki-laki seibu.

8) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.

9) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.

10)Paman, saudara lki-laki ayah sekandung.

43Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),h.356. 44Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),h.356.


(30)

11)Paman, saudara laki-laki ayah seayah.

12)Anak laki-laki paman sekandung.

13)Anak laki-laki paman seayah.

Urutan tersebut disusun berdasarkan kedekatan kekerabatan ahli waris tersebut dengan si pewaris. Kalau semua ahli waris tersebut itu ada, maka yang

mendapat warisan adalah anak laki-laki dan ayah.45

2. Ahli waris nashabiyah perempuan.

1) Ibu.

2) Nenek dari garis ibu.

3) Nenek dari garis ayah.

4) Anak perempuan.

5) Cucu perempuan garis laki-laki.

6) Saudara perempuan sekandung.

7) Saudara perempuan seayah.

8) Saudara perempuan seibu.

2. Bagian masing-Masing Ahli Waris.

Mengenai bagian masing-masing ahli waris, dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu:

a.Ahli Waris Karena Sebab Keturunan.46


(31)

Ashabu al-furudh Nashabiyah, yaitu ahli waris yang mendapatkan harta warisan disebabkan karena nashab atau keturunan.47

Berikut ini akan dijelaskan tentang pembagiannya menurut urutan pasal dalam Kompilasi Hukum Islam:

1) Anak Perempuan.

Dinyatakan dalam pasal 176 Kompilasi Hukum Islam:

”Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang ataua lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan” 48

2) Ayah, menerima bagian:

Dinyatakan dalam Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam:

”Ayah mendapatkan sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian”49

3) Ibu, menerima bagian:

46Ahli waris karena sebab keturunan dikenal juga dengan ahli waris nashabiyah. 47 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h.357.

48 Kompilasi Hukum Islam di Indeonesia, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam

Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama,2001.

49Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 2 Tahun 1994, maksud pasal tersebut

ialah: ayat mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.


(32)

Dinyatakan dalam pasal 178 Kompilasi Hukum Islam:50

(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.

(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bersama-sama dengan ayah.

4) Saudara Perempuan Seibu, menerima bagian:

Dinyatakan dalam pasal 181 Kompilasi Hukum Islam:51

”Bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-mesing mendapat seperenam baian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mandapat sepertiga bagian.”

5) Saudara perempuan sekandung menerima:

- ½ satu orang, tidak ada anak dan ayah.

- 2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama anak dan ayah.

- Sisa, bersama saudara laki-laki sekandung.

- Sisa, karena ada anak atau cucu perempuan garis laki-laki.

6) Saudara perempuan seayah, menerima bagian:

Dinyatakan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 182:52

50Kompilasi Hukum Islam di Indeonesia, h.25. 51Ibid ,h.25.


(33)

7) Kakek, menerima bagian:

- 1/6 bila bersama anak atau cucu.

- Sisa, tidak ada anak atau cucu.

- 1/6 + sisa, hanya bersama anak atau cucu perempuan.

- 1/3 dalam keadaan bersama saudara-saudara sekandung/seayah dan

ahli waris lain.

8) Nenek, menerima bagian:

- 1/6 baik seorang atau lebih.

9) Cucu perempuan garis laki-laki, menerima bagian:

- ½ satu orang tidak ada mu’assib (penyebab menerima sisa).

- 2/3 dua orang atau lebih.

- 1/6 bersama satu anak perempuan.

- Sisa bersama cucu laki-laki garis laki-laki.

b.Ahli Waris Karena Sebab Ikatan Pernikahan.53

Ashabu al-Furudh sababiyah, yaitu ahli waris yang berhak menerima harta

warisan yang disebabkan karena hubungan pernikahan.54

(1) Suami, menerima:

52Lihat Kompilasi Hukum Islam ,h.25.

53Ahli waris karena sebab ikatan pernikahan ini dikenal juga dengan ashabu al-furudh

sababiyah


(34)

- ½ bila tidak ada anak atau cucu.

- ¼ bila ada anak atau cucu. (2) Isteri, menerima bagian:

- ¼ bila tidak ada anak atau cucu.

- 1/8 bila ada anak atau cucu

Bagian suami atau isteri (duda atau janda) dijelaskan dalam pasal 179 dan

180 Kompilasi Hukum Islam:55

Pasal 179:

”Duda mendapat separuh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.”

Pasal 180:

”Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak mennggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian.”


(35)

BAB III

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI

A. Pengertian Ahli Waris Pengganti dan Dasar Hukum Ahli Waris Pengganti. 1. Pengertian Ahli Waris Pengganti.

Adapun yang dimaksud dengan ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang pada mulanya akan diperoleh dari orang yang digantikannya daisebabkan karena orang yang digantikannya itu adalah orang yang seharusnya menerima warisan kalau dia masih hidup, tetapi dalam kasus bersangkutan dia telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Orang yang digantikannya ini hendaklah merupakan penghubung antara dia yang menggantikan ini dengan pewaris yang meninggalkan harta peninggalan.56

Ahli waris kelompok terakhir ini, kedudukan dan bagiannya memang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an. Kedudukan mereka sebagai ahli waris dan bagiannya dapat dipahami melalaui perluasan pengertian waris yang disebutkan langsung dalam Al-Qur’an, pengertian anak diperluas ke cucu, pengertian saudara diperluas kepada anak saudara dan seterusnya. Dari dasar hukum dan cara mereka menjadi


(36)

ahli waris, mereka dapat disebut sebagai ahli waris pengganti, ahli waris karena penggantian itu mengambil alih saham yang seharusnya menjadi hak dari orang

yang digantikannya.57

Jadi ahli waris pengganti tidak mewarisi karena dirinya sendiri, dia selalu mengambil alih hak yang seharusnya menjadi saham dari ahli waris yang menghubungkan dia dengan pewaris. Tentang sejauh mana kedudukan mereka sebagai ahli waris dalam hubungannya dengan ahli waris langsung yang digantikannya, dari segi bagian yang mereka terima, tidak ada petunjuknya secara pasti dalam Al-Qur’an atau hadits Nabi. Dalam hal ini Allah SWT menyerahkan

penyelesaiannya kepada akal menusia.58 Maka dari itu penyelesaian ahli waris

peganti di serahkan kepada ijtihad manusia, dalam hal ini tentu saja diperuntukan bagi para fuqaha atau ulama kontemporer.

2. Dasar Hukum Ahli Waris Pengganti.

Mengenai Ahli waris pengganti ini, Hazairin memberikan penafsiran tentang adanya penggantian ahli waris dalam hukum Islam dengan mengambil dalil dari Ayat 33 surat An-Nisaa’ berikut:

57Ibid, h.80.


(37)

Artinya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang

ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu Telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.

Secara bebas Hazairin menerangkan bahwa teks ayat 33 surat An-Nisaa’ ayat 33 mengandung makna bahwa Allah mengadakan mawalli untuk si fulan dari

harta peninggalan orang tua dan keluarga dekat (serta

ﻜ ﺎ ا

تﺪ

ﺬ او

)

dan

bahwa untuk itu berikanlah kepada mawalli itu (hak yang menjadi) bagiannya.59

Fulan dianggap sebagai ahli waris, karena diiringkan dengan kata

ناﺪ اﻮ ا

dan

نﻮ ﺮ ا

yang menjadi pewaris. Apabila yang menjadi ahli waris adalah orang tua (ayah atau ibu), ahli waris adalah anak dan atau mawalli anak, demikian menurut Hazairin.60

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa Hazairin telah melakukan suatu pembaharuan terhadap hukum kewarisan Islam dengan memberikan

59Ibid, h.272. 60Ibid, h.272.


(38)

penafsiran tentang adanya penggantian ahli waris seperti yang telah diuraikan diatas, dan penafsiran ini agaknya telah menjadi suatu sumber Hukum Kewarisan di Indonesia yang tertuang dalam pasal 185 Kompilasi Hukum Islam.

B. Mengenai Arti Mawalli Dalam Al-Qur’an.

Dalam hukum kewarisan Islam dalam Al-Qur’an ada ayat yang mengatur mengenai istilah wallidan dan aqrabun juga istilah mawali, yaitu dalam QS. An-Nissa ayat 33.

Mawali itu adalah ahli waris, sedangkan yang dimaksud si pewaris disini

ialah ayah atau ibu atau seseorang dari aqrabun. Jika ayah atau ibu yang mati

maka istilah-istilah itu mempunyai timbalan berupa anak, anak yang mati atau pun anak yang menjadi ahli waris karena masih hidup. Jika tidak anak-anak, baik anak-anak yang mati terlebih dahulu maupun anak-anak yang masih hidup pada saat matinya si pewaris, maka si pewaris itu bukan ayah tetapi seorang daripada

aqrabun.61 Kepada anak-anak yang masih hidup telah mesti diberikan nasibnya

sebagai ahli waris, tetapi disamping nasib bagi anak-anak ini mesti pula diberikan nasib kepada nawali yang diadakan Allah bagi si fulan, dengan kata lain mawali si fulan ikut serta sebagai ahli waris bagi ayah dan bukan si fulan sendiri.62

61

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an Dan Hadits,(Jakarta: Tintamas, 1982), hal. 28.


(39)

Fulan dianggap sebagai ahli waris, karena diiringi dengan kata walidan dan aqrabun yang menjadi pewaris. Hanya fulan tersebut mempunyai mawali yang juga berhak mewarisi. Dalam keadaan yang menjadi pewaris adalah orang tua (ayah atau ibu) maka menurut Hazairin, ahli waris adalah anak dan atau mawali anak. Jika anak-anak itu masih hidup, maka tentu merekalah yang secara serta merta mengambil warisan berdasarkan surat An-Nissa ayat 11, sedangkan dalam ayat 33 ini, ada pula mawali dari anak yang berhak menjadi ahli waris. Mawali disini hanya mungkin dipikirkan sebagai keturunan dari anak yang telah meninggal terlebih dahulu. Demikian dikatakan, karena dengan disebutnya nama ayah atau ibu maka otomatis ahli warisnya adalah anak. Tidak ada kemungkinan lain selain daripada mengartikan mawali dengan keturunan dari anak yang telah meninggal dunia, karena hanya dalam keadaan inilah posisi ayah sebagai pewaris tidak akan bertukar. Ini lebih dikuatkan lagi karena Allah dalam ayat ini menggunakan kata ja’ala yang semakna dengan khalaqa untuk menetapkan

mawali, yaitu dengan menciptakan dari tidak ada menjadi ada.63 Dalam

kewarisan, penciptaan tersebut hanya bisa dibayangkan melalui kelahiran, sehingga ada hubungan antara pihak yang diangkat menjadi mawali dengan ahli waris tersebut.

63

Al Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fikih Mazhab, (Jakarta: INIS, 1998), hal. 55-56.


(40)

Keadaan ini beliau terapkan kepada ahli waris lainnya. Jika pewaris adalah saudara (aqrabun), maka ahli warisnya adalah saudara dan mawali saudara, yaitu saudara keturunan itu sendiri. Adapun ayah dan ibu, maka mawali-nya naik ke atas, yaitu orang tua dari ayah dan orang tua dari ibu (leluhur derajat satu) serta

keturunan-keturunan mereka yang merupakan kerabat garis sisi kedua.64

Mahmud Yunus tidak sepakat dengan Hazairin dalam mengartikan mawalli

(Q.S. An-Nisa : 33) sebagai ahli waris pengganti. Sebab meskipun arti mawalli

(jama’ mawla) itu banyak, seperti: yang mempunyai, tuan, budak, yang

memerdekakan dan lain-lain, namun dalam ayat tersebut arti mawalli,

sebagaimana sudah disepakati para mufassir, ialah: anak, ahli waris, ashabah atau

yang mempunyai hak dalam peninggalan.65

Argumen pokok yang dipergunakan Hazairin dalam penafsiran terhadap

ayat mawalli dalam surat an-Nisa:33 adalah bahwa ilmu bahasa Arab baru

dimulai oleh ‘Ali Ibnu Abi Thalib dengan berpedoman pada bahasa Al-Qur’an

kitab dari Yang Maha Agung. Hazairin menolak arti mawalli yang mujmal yang

diartikan sebagai “tuan yang memerdekakan budak”, “budak yang dimerdekakan” dan “ashabah” , sama halnya menolak artinya yang lain, yaitu “bekas anak angkat” yang berlaku dalam adat Arab sebagaimana dimaksud dalam surat al-Ahzab: 5

64

Ibid., hal. 56.


(41)

Artinya: “Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,

maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara seagama dan maula-maulamu” yang kemudian dicabut dengan surat al-Azhab:4 “Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)”.

Jelasnya lembaga pengangkatan anak yang berlaku dalam hukum adat Arab yang berkaitan bahwa anak angkat yang selalu laki-laki itumenjadi ahli waris si

pengangkat, dihapus oleh Al-Qur’an. Alasan penolakan itu ialah:66

1. Lembaga perbudakan sudah dihapus oleh kesepakatan internasional semenjak

pertengahan abad XIX (1860) dan harus tidak selaras lagi dengan Al-Qur’an.

2. Lafadz ‘ashabah dalam hadits Abu Hurairah pengertiannya telah terhapus

dengan turunnya ayat-ayat waris dalam surat an-Nisa, sebab hadits tersebut mengandung pengertian klan yang tidak selaras dengan reformasi hukum dalam al-Qur’an.

Hazairin menyatakan bahwa fatwa Ahl al-Sunnah dalam masyarakat Arab

yang bersendikan sistem kekeluargaan patrineal, dalam suatu masa sejarah,

ketika ilmu pengetahuan tentang bentuk-bentuk kemasyarakatan belum


(42)

berkembang sehingga mujtahid-mujtahid (Ahl al-Sunnah) tersebut belum mungkin memperoleh bahan perbandingan mengenai berbagai sistem kewarisan yang dapat dijumpai dalam berbagai bentuk masyarakat, karena wajar kiranya

terjadi konflik antara sistem kewarisan yangdihasilkan Ahl al-Sunnah tersebut

dengan sistem kewarisan adat dalam berbagai lingkungan masyarakat di Indonesia. Konflik-konflik tersebut sebetulnya bukanlah suatu yang disengaja

oleh al-Qur’an, tetapi timbul karena pemahaman manusia belaka.67

Untuk mengatasi keadaan itu, Hazairin berusaha mencari kebenaran hakiki (yang sesuai dengan kemauan Allah), dari ayat-ayat kewarisan itu, berdasar keyakinan bahwa kemauan Allah (yang juga bersifat Tauhid), tentunya menginginkan satu macam kebenaran saja terhadap kemauan-Nya, suatu

kebenaran yang tidak akan diperselisihkan karena merupakan kebenaran final.68

Menurut Hazairin, kebenaran hakiki di bidang ini dapat didekati dengan cara menghimpun semua ayat dan Hadits yang berhubungan dengan kewarisan, lalu menafsirkannya sebagai satu kesatuan yang saling menerangkan. Dalam kegiatan ini, hasil temuan ilmu Antropologi dimanfaatkan sebagai kerangka acu (Frame of Reference) dapat membantu menjelaskan pengertian dan konsep-konsepnya. Caranya, sistem kekeluargaan yang ada dalam masyarakat manusia

67

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Tintamas, 1982), h.2.


(43)

dikaji dan diperbandingkan satu sama lain, lalu dibawakan kepada Al-Qur’an untuk menentukan bentuk mana yang kiranya bersesuaian dan dingini oleh Qur’an. Secara lebih khusus, Hazairin memperhatikan sistem kemasyarakatan yang ada di Indonesia, lalu diperbandingkan dengan sistem yang ada dalam masyarakat Arab. Dalam rangkaian ini, beliau juga mengkaji penafsiran para sahabat dan ulama mujtahid (madzhab) terhadap ayat-ayat kewarisan, lantas berkesimpulan bahwa pemahaman tersebut dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan masyarakat Arab. Bahkan sistem kewarisan Fiqh yang dikembangkan empat madzhab, masih dalam kerangka masyarakat Arab, walaupun telah mengalami beberapa perubahan penting.69

Hazairin menjelaskan bahwa di Indonesia dikenal 3 macam sistem kewarisan, yaitu: Sistem kewarisan Individual, yang cirinya harta warisan dapat dibagi-bagikan pemiliknya diantara ahli waris; Sistem kewarisan kolektif, yang cirinya harta kewarisan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris (secara bersama-sama) yang merupakan semacam badan hukum, yang tidak boleh dibagi-bagikan pemiliknya diantara ahli waris, dan hanya boleh dibagikan pemanfaatannya kepada manusia: dan sistem kewarisan Mayorat, yang cirinya hanya anak tertua saat meninggalnya pewaris yang berhak mewarisi harta warisan atau sejumlah harta pokok dari satu keluarga.70

69


(44)

Hazairin mengartikan mawalli (Qs. An-Nisa’: 33) denagn ahli waris pengganti dari mendiang anak, mendiang saudara, mendiang datuk atau nenek yang mayit lebih dahulu sebelum pewaris. Hal itu bertalian dengan cara membaca, kata taraka ber fa’il al- walidani wal aqrabun, jadi pewaris itu ialah orang tua dan karib-karib terdekat seperti cucu atau saudara. Tetapi dalam

pelbagai kitab tafsir mawalli diartikan semata-mata ahli waris langsung. Karena

mengartikan surat An-Nisa’ ayat 33 hanya “jika ada mayat maka ada ahli waris langsungnya”. Tidak terpikir oleh para mufassir itu bahwa ada kalanya ahli waris langsung itu sudah tidak ada. Akan tetapi Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 33 mengadakan ahli waris lain dalam ahli waris langsung sudah tidak ada, yaitu ahli waris pengganti.71

Hazairin menunjuk penafsiran beberapa kitab tassir seperti Ruhul

Ma’ani, Al Kasysyaf dan Ibnu Katsir, bahwa pewarisnya dalam ketiga kitab tafsir ini ialah ibu bapak dan karib-karib terdekat, mawalli nya adlah anak dan

karib-karib terdekat pula. Dalam kitab Fathul Qadir si pewaris adalah anak,

sedang Mawalli nya adalah ibu bapak dan karib-karib terdekat. Dan al-Manar

si pewaris adalah anak, dan mawalli nya ( ahli waris langsung ) adalah ibu

bapak, karib-karib terdekat dan suami atau isteri. Tafsir al-Manar inilah yang diikuti Mahmud Yunus, kata Hazairin. Para mufassir lama itu menoleh

70

Ibid, h.15.

71

Majelis Ilmiah Islamiyah Jakarta, Perdebatan dalam seminar Hukum Nasional tentang Faraid, (Jakarta. Tintamas, 1964), 93.


(45)

penafsiran surat An-Nisa’: 33 secara bilateral, tetapi mereka mengikuti tafsiran mereka yang steril itu dan menempuh jalan yang disediakan oleh Zaid ibnu Thabit dan Abu bakar dan kawan-kawan RA. Karena ajaran mereka itu berdasarkan hukum adat Arab yang patrilineal diskriminatif atau menambah jumlah dzaul faraidh.72

C. Ahli Waris Pengganti dalam Fiqh

Dalam kitab-kitab fiqih klasik, cucu tidak mendapatkan bagian hak waris apabila orang tuanya telah maninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris (kakek atau nenek).

Dari perincian ahli waris dan bagian masing-masing, baik menurut Ahlu Sunnah atau golongan Syi’ah terlihat bahwa ada ahli waris tertentu dan bagian yang sudah ditentukan dalam Al-Qur’an yaitu anak, ayah, ibu, saudara, suami atau isteri. Kedudukan mereka sebagai ahli waris adalah murni karena hubungannya dengan pewaris, bukan menempati kedudukan ahli waris yang lain.

Kelompok ahli waris dalam bentuk ini dapat disebut ahli waris langsung.73

Berikut merupakan taswir mengenai ahli waris pengganti di Indonesia menurit Ulama Fikih, melalui ilustrasi sebagai berikut:

72

Ibid, h. 93-94.

73 Al Yasa Abu Bajar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap


(46)

A adalah mayyit (pewaris) meninggal pada tahun 2008, mempunyai 3 orang anak, dua orang anak laki-laki (B dan C) dan 1 perempuan (D). Besarnya harta peninggalan sebesar Rp.24.000.000,- pada tahun 2006 anak laki-lakinya (B) meninggal dunia meninggalkan 2 orang anak (Ba dan Bb) sedangkan C mempunyai seorang anak (Ca) dan D mempunyai 2 orang anak (Da dan Db). Berikut pembagiannya:

M

D

Db Da

Ca C

B

Bb Ba

Keterangan: = Mayit (pewaris)

= laki-laki yang telah meninggal = laki-laki yang masih hidup = perempuan yang masih hidup

Yang menjadi ahli waris menurut Ulama Fiqh adalah hanya C dan D saja. Maka pembagiannya adalah:


(47)

- C = 2/3 x Rp. 24.000.000 = Rp.16.000.000,-

- D = 1/3 x Rp 24.000.000 = Rp. 8.000.000,- + Rp. 24.000.000,-

Ba dan Bb terhijab oleh C, oleh karena itu tidak menjadi ahli waris. Sedangkan Ca, Da, dan Db tidak menjadi ahli waris karena masih ada ahli waris lagnsung yaitu C dan D.74

D. Ahli Waris Pengganti Menurut Hazairin. 1. Riwayat Singkat Hazairin.

Hazairin dilahirkan di Kota Bukit Tinggi pada tanggal 22 Nopember 1906. pada tahun itu, Indonesia masih dibawah kekuasaan penjajah kolonoal Belanda. Dalam usahanya berjuang melawan penjajahan kolonial Belanda khususnya dalam bidang hukum, beliau banyak menentang paham-paham hukum yang dijadikan kolonial Belanda kepada masyarakat Indonesia. Dan beliaulah yang

secara tegas berani berkata “Teori Receptie” (Hukum Islam baru bisa dianggap

sebagai hukum dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat apabila tidak bertentangan dengan hukum adat). Adalah “Teori Iblis” yang sungguh-sungguh bertentangan dengan iman orang Islam. Betapa tidak! Bukankah mustahil dan tidak masuk diakal, hukum ciptaan Tuhan itu diuji terlebih dahulu dengan hukum


(48)

adat yang lahir dan diakui sebagai hukum hanya karena kesepakatan nilai manusia.75

Dan beliau jugalah yang secara tegas menentang apa yang disebut “Islam Abangan” dan “Islam Putihan”. Adanya dua golongan Islam ini seperti juga teori receptie tidak terlepas dari politik pemerintahan Belanda yang disebut Devide et Impera (Pecah belah dan kuasai). Karena itulah istilah penggolongan Islam Abangan dan Islam Putihan ditentang secara keras dan tajam oleh beliau dalam seminar hukum Nasional tahun 1965. berselang 12 tahun setelah Seminar Nasional tersebut, tepatnya tanggal 12 Desember 1975 beliau menghembuskan nafas yang terahir dalam usia 69 tahun.76

2. Konsep Pemikiran Hazairin Terhadap Ahli Waris Pengganti.

Beberapa hal baru yang ditafsirkan dari al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum waris yang disampaikan Hazairin yaitu: sistem kekeluargaan bilateral,

bilateral individual, kebersamaan anak-anak dan orang tua, kasus kalalah, dan

faraidh.77

75

Bismar Siregar, Bunga Rampai, Karangan Tersebar I , (Jakarta, Rajawali Press, 1989), h.15.

76

Ibid. H. 58

77

Moh Dja’far, Polemik Nukum Waris, Perdebatan antara Prf.Dr. Hazairin dan Ahlus Sunnah (Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2007), h.13.


(49)

Studi yang dilakukan sekitar seperempat abad terhadap Hukum Adat,

Hazairin dengan komitmen keimanannya mendapatkan kesan secara ‘ainul yakin,

bahwa masyarakat adat dengan berbagai jenis sistem kekeluargaannya yang dalam perkembangannya mengarah dari masyarakat yang bukan bilateral kepada masyarakat yang bilateral merupakan faktor-faktor pembantu untuk mencapai tujuan Al-Qur’an mewujudkan masyarakat yang bilateral kepada seluruh

ummat.78

Fiqh Ahlus Sunnah, terbentuk dalam masyarakat Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan yang patrilineal. Pada masa itu belum berkembang ilmu tentang bentuk-bentuk masyarakat di dunia, sehingga para mujtahid Ahlus Sunnah belum sempat memperoleh bahan-bahan perbandingan mengenai sistem hukum waris yang dijumpai dalam pelbagai bentuk masyarakat disekitar mereka.79

Dalam ajaran kewarisan bilateralnya, menurut Hazairin ahli waris yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris dapat digantikan oleh anaknya. Hal tersebut yang dikenal dengan ahli waris pengganti atau mewalli. Hazairin memandang maksud dari kata mawalli dalam surat al- Nisaa ayat 33 adalah ahli waris. Sehingga jika dibandingkan artinya adalah sebagai berikut:

78

Yang dimaksud dengan berbagai jenis sistem kekeluargaan ialah seperti patrilineal, matrilineal, bilateral dan lain-lain. Baca Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Tintamas, 1982) cet. Ke-3, h.1.

79


(50)

Artinya: ”Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu Telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (Qs. Al-Nisaa’:33).

Sedangkan Hazairin menterjemahkannya dengan:

” Dan untuk setiap orang itu, Aku Allah telah mengadakan mawallinya bagi harta peninggalan ayah dan ibu dan bagi harta peninggalan keluarga dekat, demikian juga harta peninggalan bagi tolan seperjanjian, karena itu berikanlah bagian-bagian kewarisannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”80

80Al Yasa Abu Bakar, Ahli waris Sepeertalian Darah,:Kajian Perbandingan Terhadap


(51)

Untuk sampai pada terjemahan diatas, Hazairin memberikan uraian sebagai baerikut:

Nashibahum, saya terjemahkan sebagai bagian kewarisan . yaitu sesuatu bagian dari harta peninggalan, bealaskan pemakaian kata nashib itu dalam ayat kewarisan lainnya. Yaitu dalam Al-Qur’an IV: 7, selain hubungannya sendiri

dalam ayat 33 itu dengan mimma taraka dan sebagainya. Didalam ayat 33 itu,

jelas bahwa nashib itu disuruh diberikan kepada mawalli itu dan bukan kepada

orang yang tersimpul dalam likullin, sehingga mawalli itu adalah ahli waris.

Untuk menangkap maksud ayat 33 itu. Coba kita isi likullin itu dengan li fulanin, dan ja’alna diganti dengan ja’alahu, sedangkan urusan perjanjian itu gampangnya

ditinggalkan saja. Maka bunyi ayat itu manjadi ”wa li fulanin ja’allahu mawaliya

mimma taraka ’l walidani wa ’l aqrabuuna fa’aatuuhum nashibahum.” 81

Berikut merupakan taswir mengenai ahli waris pengganti di Indonesia menurut Hazairin, melalui ilustrasi sebagai berikut:

A adalah mayyit (pewaris) meninggal pada tahun 2008, mempunyai 3 orang anak, dua orang anak laki-laki (B dan C) dan 1 perempuan (D). Besarnya harta peninggalan sebesar Rp.24.000.000,- pada tahun 2006 anak laki-lakinya (B) meninggal dunia meninggalkan 2 orang anak (Ba dan Bb) sedangkan C mempunyai seorang anak (Ca) dan D mempunyai 2 orang anak (Da dan Db). Berikut pembagiannya:


(52)

M

D

Db Da

Ca C

B

Bb Ba

Keterangan: = Mayit (pewaris)

= laki-laki yang telah meninggal = laki-laki yang masih hidup

= perempuan yang masih hidup82

Yang menjadi ahli waris menurut Hazairin adalah C, D, Ba, Bb. Ba dan Bb menggantikan B yang telah maninggal dunia lebih dahulu, berikut pembagiannya:

- C = 2/5 x Rp. 24.000.000,- = Rp. 9.600.000,-

- D = 1/5 x Rp. 24.000.000,- = Rp. 4.800.000,-

82Pembagian ahli waris pengganti menurut ajaran bilateral Hazairin, baca Hazairin, Hukum


(53)

- Ba dan Bb = 2/5 x Rp. 24.000.000,- = Rp. 9.600.000,- Ba = ½ x Rp. 9.600.000,- = Rp. 4.800.000,-

Bb = ½ x Rp. 9.600.000,- = Rp. 4.800.000,- + Rp. 9.600.000,-

+

Rp. 24.000.000,-

E. Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. 1. Sejarah Singkat Kompilasi Hukum Islam

Ide Kompilasi Hukum Islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Selama itu terasa adanya beberapa kelemahan, antara lain soal hukum Islam yang diterapkan di Lingkungan Peradilan Agama yang cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan adanya suatu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan Peradilan Agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga

terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum. 83

83Departemen Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta


(54)

Apa yang dilakukan oleh Departemen Agama pada tahun 1958 dengan membatasi hanya 13 buah kitab kuning merupakan uapaya kearah kesatuan dan kepastian hukum. Karena itulah kemudian timbul gagasan untuk membuat

Kompilasi Hukum Islam sebagai buku hukum bagi Pengadilan Agama.84

Proses pembentukan Kompilasi Hukum Islam dilaksanakan oleh sebuah tim pelaksana proyek yang ditunjuk dengan SKB Ketua Mahkamah Agung RI No. 07/KMA/1985 dan Menteri Agama No.25 Tahun 1985 pada tanggal 25 Maret 1985. Jangka waktu pelaksanaan proyek yang ditetapkan oleh SKB tersebut adalah dua tahun, terhitung sejak saat ditetapkannya SKB. 85

Adapun tugas pokok proyek tersebut adalah untuk melaksanakan usaha pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dengan jalan Kompilasi Hukum. Sasarannya mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia

menuju hukum nasional.86

Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut, maka proyek Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi dilakukan dengan cara:

1. Pengumpulan Data.

84Ibid, h.247. 85Ibid, h.249. 86Ibid, h.249.


(55)

Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengadakan penelaahan/pengkajian kitab-kitab dengan melibatkan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang ada di Indonesia. Ada tujuh IAIN yang dilibatkan dalam penelaahan/pengkajian kitab-kitab.87

2. Wawancara.

Wawancara dilakukan dengan para Ulama.

3. Lokakarya.

Hasil penelaahan dan pengkajian kitab-kitab serta wawancara perlu diseminarkan lebih lanjut melalui lokakarya.

4. Studi Perbandingan.

Untuk memperoleh sistem/ kaidah-kaidah hukum / seminar-seminar satu sama lain dengan jalan memperbandingkan dari negara-negara Islam lainnya.

Setelah melakukan pengolahan dari hasil-hasil penelitian melalui empat cara kerja proyek tersebut, akhirnya dirumuskan naskah rancangan Kompilasi Hukum Islam. Rancangan Kompilasi Hukum Islam ini selesai disusun dalam kurun waktu 2 tahun 9 bulan yang telah siap dilokakaryakan. Pada tanggal 29 Desember 1987 secara resmi rancangan Kompilasi Hukum Islam tersebut oleh Pimpinan Proyek Pembinaan Hukum Islam melalui Yurisprudensi diserahkan

kepada ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama.88

87Ibid, h.267. 88Ibid, h.260.


(56)

Proses selanjutnya setelah naskah akhir Kompilasi Hukum Islam mengalami penghalusan redaksi yang intensif disampaikanlah kepada Presiden oleh Mneteri Agama untuk memperoleh benruk yuridis penggunaan Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam praktek di lingkungan Peradilan Agama. Kemudian lahirlah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 sebagai pengesahan Kompilasi Hukum Islam untuk dipergunakan sebagai pedoman bagi para hakim pada

lingkungan Peradilan Agama.89

2. Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam.

Ketentuan ahli waris pengganti kepada ahli waris yang orang tuanya telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, pada hakekatnya, diatur dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Hal ini sebagaimana termaktub dalam pasal di bawah ini :

Pasal 185:

1) Ahli Waris yang meninggal labih dahulu daripada si pewaris maka

kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang terebut dalam pasal 173.

2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris

yang sederajat dengan yang diganti.


(57)

Namun demikian, pemberian wasiat wajibah kepada anak atau orang tua angkat, justru lebih mendapat penekanan/perhatian. Hal ini sebagaimana tertuang dalam pasal di bawah ini :

Pasal 209 :

1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai

dengan pasal 193 diatas, sedangakan terhadap orang tua angkat yang tidak

menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3

(sepertiga) dari harta warisan anak angkatnya.

2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasia diberi wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertga) bagian dari harta warisan orang tua angkatnya.

Pasal 185 diatas menunjukkan bahwa ahli waris yang orang tuanya telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, ia menggantikan kedudukan orang tuanya (penerima warisan, seandainya ia masih hidup) dalam menerima harta peninggalan pewaris. Dalam keadaan demikian, kedudukannya menjadi ahli waris

pengganti. Sebagaimana dalam BW dikenal dengan istilah Plaatsvervulling.

Pemberian bagian kepada ahli waris pengganti (terutama bagi para cucu),

walaupun tidak seperti Plaatsvervulling dalam BW, hal ini sejalan dengan

doctrine mawalli Hazairin dan cara succesior pertrepsi dan prinsip representasi yang dapat dipakai olaeh golongan Syi’ah. Namun demikian, dalam pasal 185


(58)

ayat (2) tersebut bagian ahli waris pengganti dibatasi, tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sesderajat dengan ahli waris yang diganti.90

Prinsip pengganti tempat (ahli waris pengganti) tersebut tidak dikenal dan tidak dipergunakan oleh Jumhur Ulama, termasuk Imam 4 madzhab. Namun demikian, khusus terhadap nasib para cucu yang orang tuanya meninggal dunia terlebih dahulu, oleh beberapa ulama tetap diperhatikan melalaui ketentuan wasiat wajibah, sebagaimana telah dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946.

1. Mengenai Pengertian “Walad”

Dalam menafsirkan kata-kata walad pada ayat 176 surat al-Nisa’, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, mengambil pendapat Ibnu Abbas yang berpendapat, pengertiannya mencakup baik anak laki-laki maupun anak perempuan, maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, kecuali orang tua, suami atau isteri, menjadi terhijab. Hal ini tersirat dari ketentuan pasal dibawah ini :

Pasal 182 :

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama


(59)

dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebit bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan

saudara perempuan.91

Jadi, selama masih ada anak (walaupun perempuan) seluruh saudara pewaris, baik sekandung maupun sebapak, laki-laki maupun perempuan, tidak berhak mendapatkan warisan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, hukum kewarisan diatur dalam buku II yaitu dari pasal 171 s/d pasal 214. Dalam buku II Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan tentang Hukum Kewarisan dibagi menjadi enam bab, bab I Ketentuan Umum,bab II ahli waris, bab II besarnya bahagian, bab IV aul dan Rad, bab V wasiat, dan bab VI hibah. Mengenai ahli waris pengganti, hal tersebut

diatur dalam pasal 185 KHI yang berbunyi:92

1) Ahli waris yang meninggal lebih dahuludari pada si pewaris maka

kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.

91Ibid, h.201.


(60)

2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Dari pasal tersebut cucu dari anak yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari si pewaris masih mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan meskipun dibatasi dengan ayat (2).93

Berikut merupakan taswir mengenai ahli waris pengganti di Indonesia menurut Kompilasi Hukum Islam, melalui ilustrasi sebagai berikut:

A adalah mayyit (pewaris) meninggal pada tahun 2008, mempunyai 3 orang anak, dua orang anak laki-laki (B dan C) dan 1 perempuan (D). Besarnya harta peninggalan sebesar Rp.24.000.000,- pada tahun 2006 anak laki-lakinya (B) meninggal dunia meninggalkan 2 orang anak (Ba dan Bb) sedangkan C mempunyai seorang anak (Ca) dan D mempunyai 2 orang anak (Da dan Db).

Berikut pembagiannya:94

93Suparman Usman, Yusuf Sowaminata, Fiqh mawarris Islam h.199.

94Pembagian ahli waris pengganti menurut Kompilasi Hukum Islam, baca Hazairin, Hukum


(61)

M

D

Db Da

Ca C

B

Bb Ba

Keterangan: = Mayit (pewaris)

= laki-laki yang telah meninggal = laki-laki yang masih hidup = perempuan yang masih hidup

Yang menjadi ahli waris menurut Kompilasi Hukum Islam adalah C, D, Ba, Bb. Ba dan Bb menjadi ahli waris menggantikan posisi B yang telah meninggal dunia lebih dulu dari pada pewaris. Jadi pembagiannya adalah:

- Ba dan Bb = ¼ x Rp. 24.000.000,- = Rp. 6.000.000,-

Ba = ½ x Rp. 6.000.000,- = Rp. 3.000.000,-

Bb = ½ x Rp. 6.000.000,- = Rp. 3.000.000,-

- C = 2/4 x Rp. 24.000.000,- = Rp. 12.000.000,-

- D = ¼ x Rp. 24.000.000,- = Rp. 6.000.000,- + Rp. 24.000.000,-


(62)

Berbeda dengan yang diterapkan oleh Hazairin, kompilasi pada pasal 185 (2) menerapkan bahwa besarnya harta warisan ahli wais pengganti tidak boleh lebih besar bagiannya daripada ahli waris sederajat dengan yang digantikannya. Oleh karena itu bagian dari Ba dan Bb sama seperti D. Disinilah perbedaan antara

Hazairin dengan KHI.95


(63)

BAB IV

ANALISA TERHADAP PUTUSAN AHLI WARIS PENGGANTI DI PENGADILAN AGAMA SUMBER

A. Profil Pengadilan Agama Sumber

1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Sumber96

Pengadilan Agama Sumber dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 207 tahun 1986, tanggal 22 Juli 1986 dengan nama Pengadilan Agama.

2. Sejarah Singkat Pembentukan Pengadilan Agama Sumber97

Sejak tahun 1882 berdasarkan ketetapan raja nomor 24 nomor 1882 (Stbl. 152 tahun 1882, yang diubah dan disempurnakan dengan Stbl. No. 116 dan 610 tahun 1937 ditetapkan bahwa Kota Cirebon dibagi menjadi dua wilayah yaitu Kabupaten Cirebon dan Kodya Cirebon. Sejak tanggal 22 Juli 1986 berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 207 tahun 1986, pembentukan Pengadilan Agama Sumber yang wilayah hukumnya Kabupaten Cirebon dan mulai kegiatannya sejak tanggal 28 Februari 1987. Kabupaten Cirebon luas wilayah ±

990,36 KM2, serta delapan wilayah pembantu Bupati (Karesidenan) 23 wilayah

kecamatan, 6 wilayah kecamatan perwakilan serta 412 desa 11 kelurahan.

96 Diambil dari Penyusunan data Yuridiksi pengadilan Agama Sumber pada tanggal 9

September 2009, h.1.


(64)

Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 tahun 2000 tentang pedoman pembentukan kecamatan dan Perda Nomor 26 tahun 2000, tentang pembentukan 6 Kecamatan yang dulunya perwakilan Kecamatan ditindak lanjuti dengan perda nomor 45 tahun 2001, menjadi 29 wilayah Kecamatan terdiri dari 400 Desa dan 12 Kelurahan. Dengan keluarnya Perda nomor 35 tentang Pembentukan dan Penataan kecamatan, lembaran daerah Nomor 59 tahun 2002 seri E.13 maka Kabupaten Cirebon terdiri dari 31 Kecamatan 401 Desa dan 12, lembaran daerah nomor 17 tahun 2006, seri d.10, maka Kabupaten Cirebon terdiri dari 40 Kecamatan 408 Desa dan 12 Kelurahan Kelurahan jumlah penduduk yang hampir 99% beragama Islam.

3. Sejarah Singkat Pembentukan Daerah Tk. II.98

Sebelum agama Islam masuk ke wilayah Kabupaten Cirebon, pada abad XI terdapat 5 kerajaan dengan pola dan lingkup pmerintahannya yang masih sederhana, kerajaan-kerajaan tersebut adalah Kerajaan indraprahasta yang berlokasi di Desa Sarwodadi Kecamatan Sumber, keraton Cirebon Girang yang berlokasi di Kecamatan Cirebon Selatan, Keraton Singapura yang berlokasi di Wilayah Kecamatan Cirebon Selatan, Keraton Japura yang berlokasi di Kecamatan Astanajapura, dan Kadipaten, Palimanan yang berlokasi di Wilayah Kecamatan Palimanan kerajaan-kerajaan tersebut diatas berada dibawah kekuasaan kerajaan Galuh.

98 Diambil dari Penyusunan data Yuridiksi pengadilan Agama Sumber pada tanggal 9


(65)

Setelah Islam masuk dan dengan pernyataan Keraton Cirebon dari kungkungan Pakuan Pajajaran (Hindu) menandai munculnya masa Islam dan selanjutnya ditetapkan hari jadi Kabupaten Daerah Tingkat II Cirebon tepatnya

pada tanggal Dwi Dasi Sukia Paksa masa Sahastra Patang Atus Papat Ikang

sakakala yang berarti tanggal 12 Syafar 887 H. atau 02 April 1402 M. pada tahun 1979 wilayah daerah Cirebon menjadi 2 wilayah hukum yaitu Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon dan Kabupaten Cirebon dengan ibu kota Kabupatennya Sumber Kecamatan Sumber berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1979.

4. Data dan Keterangan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Sumber.99 Kabupaten Cirebon secara astronomi terletak antara :

108° 40’ -108° 48’ Bujur Timur. 6° 30’ - 7° 00’ Lintang Selatan.

Sedangkan secara geografis administratif Kabupaten Cirebon berbatasan :

- Sebelah barat dengan wilayah Kabupaten Majalengka ;

- Sebelah utara dengan wilayah Kabupaten Indramayu ;

- Sebelah timur dengan wilayah Kabupaten Kuningan ;

- Sebelah selatan dengan wilayah Kota Cirebon dan Kabupaten Brebes.

Luas Kabupaten Cirebon lebih kurang 998,36 KM2 dahulu meliputi delapan wilayah pembantu Bupati (Karesidenan) 23 wilayah Kecamatan, 6

99 Diambil dari Penyusunan data Yuridiksi pengadilan Agama Sumber pada tanggal 9


(66)

wilayah kecamatan perwakilan serta 412 desa 12 kelurahan. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 tahun 2000 tentang pedoman pembentukan kecamatan dan perda nomor 26 tahun 2000, tentang pembentukan 6 kecamatan yang dulunya perwakilan kecamatan ditindak lanjuti dengan perda nomor 45 tahun 2001, menjadi 29 wilayah kecamatan terdiri dari 400 Desa dan 12 kelurahan. Dengan keluarga Perda nomor : 35 tentang pembentukan dan penataan kecamatan, lembaran daerah nomor 17 tahun 2006, seri d.10, maka Kabupaten Cirebon terdiri dari 40 Kecamatan 408 Desa dan 12 Kelurahan.

B. Kronologis Perkara

Kronologis perkara ini sesuai yang didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Agama Sumber pada tanggal 21 Nopember 2008 dengan Nomor registrasi: 0028/Pdt.P/2008/PA.Sbr. adalah pada saat beberapa pemohon (Kumulasi Permohonan), diantaranya adalah :

1) Hj. Rr. Rodiyah binti R.H. Pratamu Anwar, (76 Th), agama Islam,

sebagai Pemohon I;

2) Hj. Rr. Ichwanah binti R.H. Pratamu Anwar, (69 Th), agama Islam,

sebagai Pemohon II;

3) Hj. Rr. Fatchijah binti R.H. Pratamu Anwar, (62 Th), agama Islam,

sebagai Pemohon III;

4) Fathul Hadi bin Samsuri, (57 Th), agama Islam, sebagai Pemohon IV;


(67)

6) Fathul Helmi bin Samsuri, (48 Th), agama Islam, sebagai pemohon VI;

7) Subur Budiyanto, (46 Th), agama Islam, sebagai Pemohon VII;

8) Ade satori bin Samsuri, 9$2 Th), agama Islam, sebagai Pemohon VII;

9) Lisa Ratriana binti R. Chairul Hadimidjojo, (42 Th), agama Islam,

sebagai Pemohon IX;

10)Patria Nurul Hadimidjojo bin R. Chairul Hadimidjojo, (42 Th). agama

Islam, sebagai Pemohon X;

11)Rina Patriana Chairiyani binti R. Chairul Hadimidjojo, agama Islam,

sebagai Pemohon XI.

Mengajukan Permohonan kepada Pengadilan Agama Sumber guna mendapatkan penetapan ahli waris dan bagiannya terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh Hj. Rr. Latifah binti R.H. Pratamu Anwar, yang telah meninggal dunia pada tanggal 28 Juni 2006 berupa :

a. Sebuah rumah bata di atas tanah seluas 203 m2 dengan sertifikat hak

milik No: 96 An. Ny. Rr. Latifah yang terletak di desa Weru Kidul Blok Karang Paris, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon.

b. Sebidang tanah seluas 105 m2 milik Hj. Rr. Latifah dengan Akte Jual

Beli No: 542/2000 yang terletak di desa Weru Kidul Blok Karang Paris, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon.

Permohonan tersebut diajukan mengingat bahwa Hj. Rr. Latifah binti R.H. Pratamu Anwar yang telah meninggal dunia pada tanggal 28 Juni 2008 sebagai


(1)

Dalam penetapannya, Pengadilan Agama Cirebon menetapkan bahwa bagian ahli waris bagi pemohon IX, X, XI yang menggantikan posisi ayahnya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 185 (1) KHI : ”Bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya.”

Kemudian memberikan 2/6 bagian bagi ahli waris yang telah meninggal dunia yang akan dibagi kepada 3 pemohon di atas, dengan menggunakan pertimbangan hukum sesuai dengan pasal 182 KHI yang berbunyi ” Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama saudara laki-laki sekandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.”

Penetapan Hakim di atas berlainan dengan yang penulis pahami tentang konsep ahli waris pengganti, seperti yang tertuang dalam pasal 185 (2) Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: ” Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikannya”,

Yang penulis pahami adalah ketentuan melebihi yaitu pembagian waris kepada ahli waris yang akan digantikan oleh ahli waris pengganti, bukan bagian yang diperoleh dari masing-masing ahli waris tersebut, melainkan bagian dari ahli waris yang digantikannya.


(2)

yang kaitannya dengan kasus tersebut diatas adalah: bagian kepada ahli waris yang digantikan oleh anaknya adalah 1/5 bagian, dan bukan 2/6 bagian seperti Penetapan Hakim karena mengacu kepada Pasal 185 (2) KHI, yang berbunyi: ”Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikannya.”

Oleh karena itu karena berubahnya bagian ahli waris yang akan digantikan, maka berubah pula bagian yang diperoleh bagi ahli waris yang menggantikan kedudukan ahli waris tersebut, pembagiannya adalah: bagi Pemohon IX mendapatakan ¼ x 1/5 bagian; Pemohon X mendapatkan 2/4 x 1/5 bagian; dan Pemohon XI mendapatkan ¼ x 1/5 bagian.

Akan tetapi walau bagaimanapun, penulis hanya ingin memberikan pandangan kepada para pembaca mengenai konsep ahli waris pengganti, dan penulis kembalikan sepenuhnya kepada para pembaca dalam memberikan penilian terhadap pandangan penulis. Maka dari itu, penulis dengan segala kerendahan hati sangat mengharapkan kritik dan saran dari para akademisi dan juga dari para pembaca.


(3)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari beberapa uraian diatas, dapat penulis simpulkan dalam bentuk poin-poin yang diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Hukum Kewarisan sebagaimana yang diatur oleh Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pada dasarnya Merupakan hukum Kewarisan yang diangkat dari pendapat Jumhur Fuqaha (termasuk Syafi’iyah didalamnya), akan tetapi dalam beberapa hal terdapat pengecualian, yang termasuk didalamnya adalah mengenai wasiat wajibah dan ahli waris pengganti.

2. Ketentuan ahli waris pengganti, pada hakekatnya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Hal ini sebagaimana tertuang dalam pasal 185.


(4)

meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, ia menggantikan kedudukan orang tuanya (penerima warisan) dalam menerima harta peninggalan pewaris. Dalam keadaan demikian, kedudukannya menjadi ahli waris pengganti. Sebagaimana dalam BW dikenal dengan istilah Plaatsvervulling. Pemberian bagian kepada ahli waris pengganti (terutama bagi para cucu), walaupun tidak seperti Plaatsvervulling dalam BW, hal inisejalan dengan doctrine mawalli Hazairin dan cara succesior perceptie dan prinsip representasi yang dapat dipakai oleh golongan Syi’ah. Namun demikian, dalam pasal 185 (2) tersebut, bagian ahli waris pengganti di batasi, yakni tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan ahli waris yang diganti. Prinsip pengganti tempat (ahli waris pengganti) tersebut tidak dikenal dan tidak dipergunakan oleh Jumhur Ulama, termasuk Imam 4 madzhab. Namun demikian, khusus terhadap nasib para cucu yang orang tuanya meninggal dunia terlebih dahulu, oleh beberapa ulama tetap diperhatikan melalui ketentuan wasiat wajibah. 3. Dalam pertimbangan Hakim, terkait dengan penetapan tersebut. Hakim tidak

menyertai ketentuan pasal 185 (2) KHI, dan dengan hanya menyertakan ketentuan pasal 185(1). Yang menjadi alasan Hakim adalah, ketentuan tersebut tidak melebihi seperti yang disebutkan dalam pasal 185(2) KHI, karena dalam pembagian waris terhadap ahli waris pengganti yang orang tuanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, dapat dikatakan melebihi


(5)

apabila bagian masing-masing ahli waris pengganti melebihi dengan ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Bukan merupakan jumlah keseluruhan dari bagian ahli waris yang digantikannya.

B. Saran-saran

Setelah penulis memaparkan beberapa hal yang berkaitan Ahli Waris Pengganti, selanjutnya penulis akan memberikan saran-saran sebagaimana berikut:

1. Begitu pentingnya permasalahan Ahli Waris Pengganti ini untuk diketahui sehingga perlu adanya kitab-kitab dan buku-buku lainnya, khususnya bagi pemerhati studi hukum. Akan tetapi langkanya literatur yang tersedia, maka sebaiknya kepada para pihak yang berwenang diharapkan melakukan pengadaan kitab-kitab dan buku-buku lainnya untuk mempermudah proses pemahaman bagi para mahasiswa dan masyarakat luas terhadap kitab-kitab fiqh dan ilmu lainnya.

2. Tentang ahli waris pengganti ini hendaknya disosialisasikan melalui pengajian-pengajian sera melalui khutbah-khutbah jum’at dan lain sebagainya. Supaya masyarakat tidak merasa bahwa Fiqh dilangkahi.

3. Materi ahli waris pwngganti ini hendaknya dapat dimasukkan kedalam kurikulum fiqh Madrasah Tsanawiyah ataupun Madrasah Aliyah, ataupun melalui mata pelajaran Agama Islam pada kejuruan masing-masing..


(6)