35 Lalu pemilihan lokasi stasiun kereta dan perjalanan menuju puncak
Gunung Mahameru menggambarkan perjuangan untuk mencapai mimpi dan harapan dan impian dan keinginan. Bahwa untuk mencapai puncak impian,
puncak Gunung Mahameru, sebelum memiliki kepuasaan dan kelegaan waktu berada di atas puncaknya, ada perjalanan jauh yang sangat melelahkan, bersusah
payah, bahkan jatuh bangun untuk mencapainya. Namun saat berada di puncak sukses semua lelah itu akan terbayarkan. Pemandangan yang luar biasa serta rasa
syukur adalah bayaran yang setimpal dengan itu. “Mereka berenam berpelukan dalam rangkulan membentuk lingkaran
kecil. “Sebuah kehormatan bagi saya. Saya… Genta telah mendaki Mahameri bersama kalian tercinta. Di Tanah Air tercinta ini.
Kehormatan ini tidak akan saya lupakan seumur hidup. Genta mengucapkan kalimat tadi sambil berkaca-kaca menatap teman-
temannya. Pelukan mereka bertambah erat.” 5 cm., Hlm. 348
4.1.4 Sudut Pandang
Sudut Pandang atau point of view merupakan salah satu unsur fiksi yang dapat digolongkan sebagai sarana cerita. Meski begitu unsur ini tidak bisa dianggap
remeh. Apa yang dilihat dan rasakan ketika menyaksikan sebuah mobil menabrak sepeda motor, tentu akan berbeda dengan yang dilihat dan dirasa oleh si
pengendara mobil yang menabrak, atau si pengendara sepeda motor yang menjadi korban tabrakan. Akibat dari peristiwa itu pun akan berbeda bagi yang
mengamati, si pengendara mobil, dan si pengendara motor. Oleh itu, pemilihan sudut pandang tidak saja akan mempengaruhi penyajian cerita, tetapi juga
mempangaruhi alur cerita. Sudut pandang memiliki pengertian sebagai cara pengarang menempatkan
dirinya di dalam cerita. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan teknik atau siasat yang sengaja dipilih penulis untuk menyampaikan
Universitas Sumatera Utara
36 gagasan dan ceritanya, melalui kaca mata tokoh—atau tokoh-tokoh—dalam
ceritanya. Friedman dalam Stevick, 1967: 118 mengemukakan pertanyaan-pertanyaan
yang jawabannya bisa digunakan untuk membedakan sudut pandang. Salah satu pertanyaan itu adalah siapa yang berbicara kepada pembaca pengarang dalam
orang ketiga atau pertama? Pembedaan sudut pandang menurut Friedman ini secara garis besar dibagi atas sudut pandang orang pertama, sudut pandang orang
kedua, dan sudut pandang orang ketiga. Hanya saja kemudian dari keduanya terbentuk variasi-variasai yang memiliki konsekuensi berbeda-beda.
Sudut pandang orang pertama tunggal artinya pengarang dalam sudut pandang ini menempatkan dirinya sebagai pelaku sekaligus narator dalam
ceritanya. Menggunakan kata ganti “Aku” atau “Saya”. Namun begitu, sudut pandang ini bisa dibedakan berdasarkan kedudukan “Aku” di dalam cerita itu.
Apakah dia sebagai pelaku utama cerita atau hanya sebagai pelaku tambahan yang menuturkan kisah tokoh lainnya?
Jika tokoh utama, pengarang menempatkan dirinya sebagai tokoh di dalam cerita yang menjadi pelaku utama. Melalui tokoh “Aku” inilah pengarang
mengisahkan kesadaran dirinya sendiri self consciousness; mengisahkan peristiwa atau tindakan. Pembaca akan menerima cerita sesuai dengan yang
diketahui, didengar, dialami, dan dirasakan tokoh “Aku”. Tokoh “Aku” menjadi narator sekaligus pusat penceritaan.
Apabila peristiwa-peristiwa di dalam cerita anda terbangun akibat adanya konflik internal konflik batin akibat dari pertentangan antara dua keinginan,
keyakinan, atau harapan dari tokoh cerita, SP ini merupakan pilihan yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
37 Karena anda akan leluasa mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh
tokoh cerita. Dengan menggunakan sudut pandang jenis ini, kebanyakan penulis, seringkali terlalu asyik menceritakan tell keseluruhan cerita, tanpa berusaha
menunjukkan show atau memperagakannya. Akibatnya cerita menjadi kurang dramatis. Bahkan bukan tidak mungkin, apabila pengarang memilih sudut
pandang jenis ini, pengarang akan kesulitan memperkenalkan tokoh, apakah seorang perempuan atau lelaki.
Jika sudut pandang yang digunakan seorang pengarang adalah aku sebagai tokoh tambahan, maka pengarang menempatkan dirinya sebagai pelaku dalam
cerita, hanya saja kedudukannya bukan sebagai tokoh utama. Keberadaan “Aku” di dalam cerita hanya sebagai saksi. Dengan demikian, tokoh “Aku” bukanlah
pusat pengisahan. Dia hanya bertindak sebagai narator yang menceritakan kisah atau peristiwa yang dialami tokoh lainnya yang menjadi tokoh utama.
Selanjutnya sudut pandang orang pertama jamak. Bentuk sudut pandang ini sesungguhnya hampir sama dengan sudut pandang orang pertama tunggal. Hanya
saja menggunakan kata ganti orang pertama jamak, “Kami”. Pengarang dalam sudut pandang ini menjadi seseorang dalam cerita yang bicara mewakili beberapa
orang atau sekelompok orang. Sudut pandang orang kedua adalah jika pengarang menempatkan dirinya
sebagai narator yang sedang berbicara kepada orang lain, menggambarkan apa- apa yang dilakukan oleh orang tersebut. Sudut pandang ini menggunakan kata
ganti orang kedua, “Kau”, “Kamu” atau “Anda” yang menjadi pusat pengisahan dalam cerita. Pada sudut pandang ini pembaca seolah-olah diperlakukan sebagai
Universitas Sumatera Utara
38 pelaku utama. Sehingga membuat pembaca menjadi merasa dekat dengan cerita,
karena seolah-oleh dialah pelaku utama dalam cerita itu. Ada sudut pandang orang ketiga tunggal. Sudut pandang orang ketiga tunggal
ini adalah jika pengarang menempatkan dirinya sebagai narator yang berada di luar cerita, atau tidak terlibat dalam cerita. Dalam susut pandang ini, narator
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut namanya, atau kata gantinya; “Dia” atau “Ia”.
Sudut pandang orang ketiga dapat dibedakan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap cerita, yakni sudut pandang orang ketiga
Mahatahu, sudut pandang orang ketiga terbatas, dan sudut pandang orang ketiga objektif.
Pada satu pihak, pengarang atau narator dapat bebas mengungkapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “Dia”. Di pihak lain, pengarang atau
narator tidak dapat leluasa mengungkapkan segala hal yang berhubungan dengan tokoh “Dia”, atau dengan kata lain hanya bertindak sebagai pengamat.
Bila menggunakan sudut pandang orang ketiga Mahatahu, sudut pandang yang digunakan ini sering disebut sebagai ‘mata Tuhan’. Sebab dia berlaku seperti
‘tuhan’ terhadap tokoh-tokoh di dalam ceritanya. Pengarang atau narator mengetahui segala hal tentang tokoh-tokohnya, peristiwa, dan tindakan, termasuk
motif yang melatarbelakanginya. Dia bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Bahkan, pengarang bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta
perasaan tokoh-tokohnya. Berbeda halnya dengan sudut pandang orang ketiga terbatas. Dalam sudut
pandang ini pengarang juga bisa melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami,
Universitas Sumatera Utara
39 dipikirkan dan dirasakan oleh tokoh ceritanya. Namun hanya terbatas pada satu
tokoh, atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas Stanton, 1965: 26. Pengarang tidak leluasa berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Melainkan
terikat hanya pada satu atau dua tokoh saja. Bagaimana dengan sudut pandang orang ketiga objektif? Dalam sudut
pandang ini pengarang atau narrator bisa melukiskan semua tindakan tokoh- tokohnya, namun dia tak bisa mengungkapkan apa yang dipikirkan serta dirasakan
oleh tokoh-tokohnya. Dia hanya boleh menduga apa yang dipikirkan, atau dirasakan oleh tokoh ceritanya.
Sudut pandang lainnya yang sering digunakan penulis dalam sebuah cerita adalah sudut pandang orang ketiga jamak. Pengarang menjadi narator yang
menuturkan cerita berdasarkan persepsi atau kaca mata kolektif. Narator akan menyebut tokoh-tokohnya dengan menggunakan kata ganti orang ketiga jamak;
“Mereka”. Yang lebih kompleks lagi adalah apabila penulis menggunakan sudut pandang
campuran. Sebuah novel mungkin saja menggunakan lebih dari satu ragam sudut pandang. Bahkan, belakangan ini, sudut pandang campuran tak hanya digunakan
dalam novel saja, tetapi juga digunakan di dalam cerpen. Pengarang menempatkan dirinya bergantian dari satu tokoh ke tokoh lainnya dengan sudut pandang yang
berbeda-beda menggunakan “Aku”, “Kamu”, “Kami”, “Mereka”, atau “Dia”. Dalam penggunaan sudut pandang campuran, dimungkinkan terjadi
pergantian pusat penceritaan dari seorang tokoh ke tokoh lainnya. Dengan begitu, pembaca akan memperoleh pandangan terhadap suatu peristiwa atau masalah dari
beberapa tokoh.
Universitas Sumatera Utara
40 Novel 5 cm. ini dalam menceritakan tokoh-tokohnya menggunakan sudut
pandang orang ketiga Maha tahu. Donny selaku pengarang menjadi pencerita yang serba tahu tentang para tokoh-tokohnya. Ia seperti memiliki mata Tuhan
yang bahkan tahu tentang segala yang ada di dalam pikiran para tokohnya. Ia tahu benar tokoh-tokohnya, peristiwa, dan tindakan, termasuk motif yang
melatarbelakanginya. Dia bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Bahkan, pengarang bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan
tokoh-tokohnya. “Semuanya gara-gara mimpi...
Penulis bingung...Sumpah “Siapa gue? Kayaknya sok tau banget deh” Tapi dia cuek aja. Jadinya, ya lanjut terus karena dia sekarang lagi
nyoba bermimpi.”5 cm., Hlm. 3
Untuk setiap karakter cerita, pengarang mengetahui latar belakangnya, pikiran-pikirannya, juga bahkan terkadang berganti-ganti menjadi Riani, Genta,
Arial, Ian, dan Zafran. “CERITA BERAWAL dari sebuah tongkrongan lima orang yang
mengaku “manusia-manusia agak pinter dan sedikit tolol yang sangat sok tahu” yang sudah kehabisan pokok bahasan di saat-saat nongkrong
sehingga akhirnya cuma bisa ketawa-ketawa. 5 cm., Hlm. 4 “Sementara Zafran mengikuti lenggokan Dinda yang sensual kala naik
ke tangga, malaikat jahat datang ke Zafran dengan berbisik, “G string Fran... G string. Lo liat dari belakang... liat lekukannya... abis deh lo...
tuh, liat celana dalamnya nyeplak gitu. Lo bayangin lo bisa megang dia... megang dia di daerah yang dia inginkan,” garpu malaikat jahat
seolah-olah menusuk kuping Zafran. “... belom lagi dadanya... fran kutangnya item lagi... lo bayangin lo buka kutangnya pake gigi...”
DDR Malaikat baik datang,
“Oh, Zafranku, wanita adalah ciptaan terindah yang akan selalu hadir dalam setiap embusan nafasmu, dalam setiap butir embun di pagi hari.
Dan... wanita... ia seperti matahari, kamu akan melihat pantulan sinarnya di embun pagi yang akan menandai baik dan buruknya kamu di
awal hari. Baik-buruknya kamu di dunia ini. Seperti sebuah embun, dia akan memudar seiring datangnya siang, seiring angin dan daun hijau
Universitas Sumatera Utara
41 membawanya jatuh ke tanah. Tapi, biarpun dia hilang, kamu akan
melihat lagi embun itu esok pagi...dan seterusnya... dia akan mencintaimu seterusnya bila kamu mencintainya untuk seterusnya...
untuk seterusnya.”” 5 cm., Hlm. 23-24 “Mata Zafran terpejam, tapi ia masih mendengar degup di dadanya
memukul-mukul dengan cepat. Semua percakapan tadi dia dengar, bagaimana Riani dengan lembut menyebut namanya, ia memejamkan
matanya menarik nafas panjang, melihat wajah Arinda yang lembut tertidur di bahu Arial. Hati Zafran masih di situ, di antara senyum lembut
Arinda yang selalu mengisi hari-harinya selama ini. Zafran menggeleng- gelengkan kepalanya, menyesal telah berkelakuan terlalu terus terang,
tentang perasaannya kepada Arinda di depan Riani yang rupanya menyimpan ukiran rapi nama Zafran di hatinya.cinta memang bukan
untuk dimiliki. Arinda masih terpejam tapi tidak hatinya, tidak pendengarannya. Ia
langsung memeluk erat abangnya saat mendengar aliran lembut kata-kata Genta. Malam itu, dalam pelukan abangnya Dina mencoba terlelap, tidak
mau mendengar lebih banyak lagi. Selama ini hati Arinda tulus sudah ia serahkan untuk Genta, selalu untuk Genta... tidak ada yang lain... cuma
Genta. 5 cm., Hlm. 387-368
4.1.5 Tema