98 kakek
– nenek, tetapi juga melalui pengajaran atau menjadi mentor, produktivitas atau kreativitas, dan generasi diri atua perkembangan diri. Generativitas cenderung diasosiasikan
dengan perilaku prososial McAdams, 2006. Inti dapat memperluas pada dunia kerja, politik, keagamaan, hobi, seni musik, dan lingkup lainnya
– atau kepada, apa yang disebut Erikson
Generativitas lawan stagnasi Tujuh tahap perkembangan psikososial Erikson, saat individu paruh baya
mengembangkan perhatian dengan membangun, mengarahkan, dan memengaruhi generasi berikutnya atau stagnasi pengalaman orang lain perasaan tidak aktif atau kurang hidup.
Generativitas Istilah Erikson untuk perhatian terhadap orang dewasa yang matang untuk membangun, mengarahkan dan memengaruhi generasi berikutnya.
67
8. Usia Senja: Integritas Ego versus Rasa Putus Asa
Menurut Matthew tahap ini muncul dari sekitar usia 65 tahun hingga meninggal, dan disebut tahap dewasa akhir. Erikson mendifinisi integritas ego, solusi positif bagi krisis di
tahap ini, sebagai berikut: Hanya pada individu yang lewat berbagai cara memberikan perhatian kepada banyak
hal dan manusia, dan yang sudah mengadaptasikan dirinya pada kemenangan dan kekecawaan yang selalu menggelayuti manusia, penggagas atau pembangkit produk-produk
dan ide-ide – hanya pada individu ini secara bertahap buah-buah dari ketujuh tahap
sebelumnya terpetik – saya tidak hanya istilah lebih untuk ini selain integritas ego. 1985,
hlm. 268.
67
Diane E. Papalia, Ruth Duskin Feldman. Menyelami Perkembangan Manusia. Salemba Humanika, Jakarta; 2014, 191
99 Menurut Erikson, individu yang dapat menengok kembali semua hal di masa lalu
dengan cara yang konstruktif dan kaya, hidupnya bisa disebut bahagia dan tidak pernah takut pada kematian. Individu yang seperti ini memiliki perasaan yang disebut ‘lengkaputuh’ dan
‘penuh’. Namun, individu yang menengok masa lalu dengan rasa frustasi akan mengalai keputusasaan. Individu yang mengalami rasa putus asa ini tidak siap untuk meninggal karena
tidak mengalami rasa kepenuhan, yaitu perasaan dirinya belum meraih tujuan-tujuan utama di dalam hidupnya.
Bukan hanya delapan tahap ini saja progresif berkaitan satu sama lain, tetapi juga tahap terakhir perkembangan psikososial ini berkaitan langsung dengan tahap pertama.
Dengan kata lain, delapan tahap ini saling berkaitan secara melingkar. Contohnya, sikap orang dewasa terhadap kematian akan memengaruhi langsung rasa percaya anak kecil.
Erikson mengatakan, “Sepertinya memungkinkan untuk menegaskan hubungan antara integritas orang dewasa dan rasa percaya infantil dengan menyatakan bahwa anak yang sehat
tidak akan takut menjalani hidup jika orang dewasa mereka tidak takut menghadapi kematian” 1985, hlm. 269. Jika seseorang individu memiliki integritas ego lebih besar
daripada rasa putus asa, hidupnya akan dicirikan oleh nikmat, didefinisikan Erikson sebagai “kepedulian yang siap melepaskan hidup demi menyambut kematian” 1964, hlm. 133.
68
Menurut Erik H Erikson integritas ego vs. keputusasaanHanya pada orang yang dengan cara tertentu telah mengurus berbagai benda dan orang-orang dan telah
mengadaptasikan dirinya dengan berbagai kemenangan dan kekecewaan yang melekat pada setiap makhluk, sebagai originator orang lain atau sebagai generator berbagai produk dan ide.
68
Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2013,304-305
100 Kurang atau hilangnya integrasi ego yang tumbuh ini ditandai oleh ketakutan akan
kematian: satu-satunya siklus kehidupan tidak diterima sebagai akhir kehidupan. Keputusasaan mengekspresikan perasaan bahwa waktunya sekarang singkat, terlalu singkat
bagi upaya memulai kehidupan lain dan mengujicobakan jalur-jalur integritas lain. Kemua
kan menyembunyikan keputusasaan, sering kali hanya dalam bentuk “seribu kemuakan kecil” yang tidak disatukan menjadi sebuah penyesalan besar yang mendalam.
Untuk menjadi orang dewasa yang matang, setiap individu harus mengembangkan dengan derajat yang cukup semua kualitas ego yang telah disebutkan, sehingga seorang
Indian yang bijak, seorang pria sejati, atau seorang petani yang matang semuanya satu sama lain berbagi dan mengenali tahap akhir integritas.
Dengan demikian, integritas ego menyiratkan sebuah integrasi emosional yang memungkinkan partisipasi melalui orang yang diikuti maupun penerimaan tanggung jawab
kepemimpinan. Tampaknya masih mungkin untuk memparafrasekan lebih jauh hubungan antara
integritas dewasa dan keyakinan infantil dengan mengatakan bahwa anak-anak yang sehat tidak akan takut akan kehidupan jika orang-orang yang lebih tua memiliki cukup integritas
untuk tidak takut akan kematian.
69
Teori Erikson: Integritas Ego vs. Putus Asa menurut laure berk sebagai berikut: Konflik psikologis terakhir dalam teori Erikson 1950 integritas ego vs. putus asa
ego integrity versus despair, melibatkan berdamai dengan kehidupan diri sendiri. Orang dewasa yang memiliki rasa integritas merasa ikhlas, lengkat, dan puas dengan pencapaian
mereka. Mereka telah terbiasa dengan gabungan antara kejayaan dan kekecewaan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari hubungan cinta, pengasuhan anak, pekerjaan,
69
Erik H. Erikson, Childhood and Society, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010, 318-320
101 pertemanan, dan partisipasi komunitas. Mereka sadar jalan yang mereka tempuh, tinggalkan,
dan tidak pernah mereka pilih penting untuk membangun sebuah arah hidup penuh makna. Kemampuan untuk melihat kehidupan sendiri dalam konteks manusia yang lebih luas
– sebagai gabungan kesempatan menjadi pribadi dan bagian dari sejarah – berperan bagi ketenangan dan kepuasan yang m
engiringi integritas. “Beberapa dekade belakangan ini menjadi masa-
masa paling bahagia,” bisik Walt sambil menggenggam tangan Ruth hanya beberap aminggu sebelum serangan jantung yang mengakhiri hidup istrinya itu. Berdamai
dengan diri, istri, dan anak-anaknya, Walt menerima hidup sebagaimana adanya. Dalam sebuah penelitian yang mengikuti sebuah sampel perempuan dari beragam
SES sepanjang masa dewasa, generativitas paruh baya memprediksikan integritas ego di masa dewasa akhir. Integritas ego pada gilirannya berkaitan dengan kesejahteraan psikologis
yang lebih baik – jiwa lebih optimis, penerimaan diri lebih besar, kepuasan pernikahan lebih
tinggi, hubungan lebih dekat dengan anak dewasa, keterlibatan lebih besar dalam komunitas, dan lebih mau menerima bantuan orang lain saat butuh James Zarrett, 2007. Seperti
ditunjukkan oleh teori Erikson, kematangan psikososial di usia lanjut berdampak pada semakin tingginya tingkat kepuasan, kasih sayang, ikatan menyenangkan dengan orang lain,
dan pelayanan tiada henti pada komunitas. Ketika sedang melihat-
lihat koran, Walt merenung, “Aku terus membaca persentase ini: Satu dari lima orang akan terserang penyakit jantung, satu dari tiga orang akan mengidap
kanker. Padahal kebenarannya adalah saut per satu orang akan mati. Kita semua pasti akan mati dan harus menerima nasib ini.” Setahun sebelumnya, Walt memberikan pada cucunya,
Marcy, koleksi foto berharga miliknya yang dia kumpulkan selama lebih dari setengah abad.
102 Dengan kesadaran bahwa integritas kehidupan diri sendiri adalah bagian dari rantai panjang
eksistensi manusia, kematian akan kehilangan daya sengatnya Vaillant, 1994, 2002. Putus asa, yang merupakan hasil negatif dari tahap ini, terjadi bila lansia merasa telah
banyak membuat keputusan keliru, padahal waktu ini terlalu singkat untuk menemukan jalur alternatif menuju integritas. Tanpa memiliki banyak kesempatan, pribadi putus asa merasa
sulit menerima bahwa kematian sudah dekat dan tenggelam dengan ke pedihan, kekalahan, dan putus asa. Menurut Erikson, semua sikap ini kerap kali diungkapkan dalam bentuk
kemarahan dan penghinaan pada orang lain, yang sebenarnya merupakan pelampiasan dari perendahan terhadap diri sendiri. Perilaku suka debat dan mencari-cari kesalahan pada diri
Dick, kecenderungan untuk menyalahkan orang lain atas kegagalan diri sendiri, dan pandangan penuh sesal atas hidupnya sendiri mencerminkan perasaan putus asa yang
mendalam.
70
Integritas versus keputusan integrity versus despair adalah tahap kedelapan dari perkembangan menurut Erikson yang berlangsung di masa dewasa akhir selama berada di
tahap ini, seseorang berusaha merefleksikan kehidupannya di masa lalu. Melalui banyak rute yang berbeda, manusia lanjut usia dapat mengembangkan pandangan yang positif mengenai
sebagian besar atau semua tahap perkembangan sebelumnya. Jika demikian, rangkuman seseorang mengenai hidupnya akan memperlihatkan gambaran bahwa kehidupannya telah
dilalui dengan baik, dan orang tua akan merasa puas – integritas tercapai. Jika manusia lanjut
usia telah menyelesaikan banyak tahap sebelumnya secara negatif, padangan retrospektif
70
Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Buku ke-2 Edisi Kelima. Dari dewasa Awal sampai Menjelang Ajal Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012 p.246-247
103 cenerung akan menghasilkan rasa bersalah atau kemuraman
– yang disebut Erikson sebagai keputusasaan.
71
Masa dewasa akhir 65 hingga mati merupakan konflik dasar integritas ego versus keputusasaan, peristiwa penting refleksi atas kehidupan, hasil orang dewasa akhir perlu
melihat ke belakang dalam kehidupan mereka dan merasakan suatu rasa pemenuhan. Keberhasilan tahap ini mendorong perasaan arif, sedangkan kegagalan menghasilkan
penyesalan kepahitan, dan keputusasaan.
72
Menurut William Crain Tahap Usia Senja sebagai berikut, Menutut pendapat wiliam crain Semakin para lansia menghadapi rasa putus asa, mereka akan semakin berusaha
menemukan pengertian mengenai integritas ego. Integritas ego, kata Erikson, sangat sulit didefinisikan namun mencakup perasaan bahwa terdapat sebuah suratan bagi hidupnya dan
“penerimaan atas suratan tersebut, sebuah siklus hidup yang harus terjadi dan niscaya, dan tidak ada yang bisa menggantikannya ...” 1963, h.268. integritas, tampaknya berisi perasaan
bahwa, “Ya, aku sudah membuat kesalahan tapi siapakah aku waktu itu dan dalam kondisi apa, karena kesalahan seperti itu tidak bisa terelakan. Aku menerima kesalahan itu, bersama
hal- hal baik lain di hidupku juga.” Integritas adalah perasaan yang berkembang melampuai
diri bahkan mentransendensikan ikatan-ikatan nasional dan ideologis. Para lansia ini, di tingkatan tertentu, memiliki rasa kedekatan” dengan melihat waktu-waktu yang sudah
lampau dan pengejaran yang berbeda-beda kala itu, begitu menghargai barang-barang kecil kenangannya, dan suka menceritakan waktu-waktu dan pengejaran-pengejaran masa lalu itu
kepada siapa pun yang ditemui” 1963, h.268.
71
John W. Santrock, Life Span Development Jakarta: Erlangga, 2012 p.26-27.
72
Penney Upton. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga, 2012, p.22-23
104 Erikson dan Bergman memperlihatkan pergulatan batin yang sering kita abaikan jika
melihat para lansia. Kita hanya melihat keterbatasan fisik dan sosial mereka, menemukan fakta bahwa para lansia itu memang ‘tidak berguna’. Namun penilaian semacam itu hanya
sebagian saja yang valid, karena opini-opini demikian dibentuk hanya dengan memerhatikan perilaku eksternal mereka saja. Kita bisa melihat bahwa para lansia tidak memiliki semangat
kemudaan yang sangat dijunjung tinggi sehingga kita gagal memahami pergulatan batin mereka. Kita gagal melihat bahwa pribadi-pribadi ini sedang bergulat dengan pertanyaan
paling penting umat manusia: apakah waktu menghadapi kematian nati, hidupku sudah cukup berharga? Apakah yang membuat hidup boleh disebut bermakna?
Pergulatan batin ini cenderung membuat para lansia seperti seorang filsuf, bergulat dengan diri sendiri untuk menumbuhkan kekuatan ego yang disebut kebijaksanaan.
Kebijaksanaan bisa diungkapkan dengan banyak cara, namun selalu merefleksikan upaya yang penuh pertimbangan dan pengharapan demi menemukan nilai dan makna hidup
sewaktu menghadapi kematian Erikson, 1976, h.23; 1982, h.61-62.
73
Menurut Jeass feasit Integritas versus Rasa Putus Asa merupakan , identitas terakhir sebuah pribadi adalah integritas versus rasa putus asa. Di penghujung kehidupan, kualitas
distonik dalam bentuk rasa putus asa bisa saja menguasai seseorang namun, jika dia memiliki identitas ego yang kaut yang telah diajari keintiman, dan yang telah memerhatikan orang lain
dan segala sesuatunya, maka kualitas sistonik dalam bentuk integritaslah yang akan mendominasi. Integritas berarti perasaan kemenyeluruhan dan kohenrensi, sebuah
kemampuan untuk memegang secara bersama- sama perasaan “ke-aku-an” meskipun
kekuatan fisik dan intelektualnya mulai menurun, bahkan mungkin hampir menghilang.
73
William Crain. Teori Perkembangan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2007, 449-452
105 Integritas ego kadang-kadang sulit diperhatikan ketika manusia melihat bahwa
mereka sudah kehilangan aspek-aspek yang akrab dari eksistensi mereka, contohnya pasangan, teman-teman, kesehatan fisik, kekuatan tubuh, kewaspadaan mental, independensi
dan kedayagunaan sosial. Di bawah tekana-tekanan seperti ini, manusia sering kali mengalami rasa putus asa yang kuat, yang bisa diekspresikan sebagai kemuakan, depresi,
ketidaksukaan pada orang lain, atau sikap lain yang menyingkapkan perasaan tidak bisa menerima keterbatasan-keterbatasan hidup yang sangat gamblang di depan mata.
Rasa putus asa secara harfiah berarti tanpa harapan. Jika melihat kembali gambar 9.2, kita akan menemukan bahwa kualitas distonik terakhir dalam siklus hidup adalah sisi yang
paling bertentangan dari harapan, kekuatan dasar pertama seseorang. Dari masa bayi sampai usia senja, harapan dapat selalu hadir. Namun jika sekali saja harapan hilang, rasa putus asa
akan muncul dan hidup berhenti untuk memiliki makna. Kebijaksanaan: Kekuatan Dasar Usia Senja
Beberapa bentuk rasa putus asa sangat alamiah dan dibutuhkan bagi kematangan psikologis. Perjuangan tak terelakkan antara integritas dan rasa putus asa akan menghasilkan
kebijaksanaan – kekuatan dasar usia senja. Erikson 1982, hlm.61 mendefinisikan
kebijaksanaan sebagai “kepedulian terhadap hidup yang sudah dikuasai namun yang mencabik-
cabik dirinya sendiri ketika harus menghadapi kematian”. Manusia dengan kepedulian yang tercabik-cabik ini bukannya tidak memiliki kepedulian lagi
– lebih tepatnya, mereka menunjukkan sebuah minat yang aktif namun tanpa hasrat apa pun. Dengan
kebijaksanaan yang matang, mereka mempertahankan integritas sekalipun kemampuan mental dan fisiknya sudah merosot. Kebijaksanaan mengambil dari sekaligus memberikan
kontribusi bagi pengetahuan tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi. Di usia
106 senja, manusia akan lebih fokus kepada masalah-masalah terbesar, termasuk ketiadaan
Erikson, Erikson Kivnick, 1986. Antitesis dari kebijaksanaan sekaligus patologi inti usia senja adalah perasaan tidak
dihargai, diabaikan, atau diremehkan disdain. Erikson 1982, hlm. 61 mendefinisikannya sebagai “sebuah reaksi untuk merasakan dan melihat orang lain dalam peningkatan kondisi
yang akan berakhir, membingungkan, dan tak berdaya.” Rasa tidak dihargai, diabaikan, atau diremehkan adalah kelanjutan dari penolakan
– patologi inti masa dewasa. Ketika Erikson semakin bertambah uzur, dia sendiri menjadi tidak begitu optimis
dengan usia senja, sehingga dia dan istrinya mulai mengonstruksi sebuah tahap kesembilan –
sebuah periode yang sangat senja ketika kemerosotan fisikd dan mental sudah merampas dari diri menusia kemampuan-kemampuan generatif mereka sehingga mereduksi manusia
sedemikian rupa sampai hanya tinggal menunggu kematian. Joan, khususnya, sangat tertarik dengan tahap kesembilan ini ketika dia mengamati kesehatan suaminya yang merosot dengan
cepat selama beberapa tahun terakhir hidupnya. Sayangnya, Joan sendiri meninggal sebelum dapat menyelesaikan tahap kesembilan ini.
74
Menurut Daniae papalia Integritas Ego Versus Keputusasaan, menurut Erikson, tahap kedelapan dan akhir perkembangan psikososial, di mana orang-orang pada masa dewasa
akhir, mencapai perasaan integritas diri dengan menerima hidup yang pernah mereka jalani, dan karena itu menerima kematian, atau berujung kepada keputusasaan bahwa hidup mereka
tidak dapat diulang kembali. Bagi Erikson, prestasi puncak masa dewasa akhir adalah perasaan akan adanya
integritas ego ego integrity, atau integritas diri, pencapaian yang didasarkan pada refleksi akan kehidupan seseorang. Dalam tahap kedelapan dan terakhir dari rentang u sia, integritas
74
Jess Feist dan Gregory J. Feist. Theories of Personalitiy. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, 228-229
107 ego versus keputusasaan, para lansia harus mengevaluasi, merangkum, dan menerima
kehidupan mereka untuk menerima semakin mendekatnya kematian. Berdasarkan hasil dari tujuh tahapan sebelumnya, mereka berjuang mencapai koherensi dan keutuhan, bukan
berputus asa Erikson, Erikson, Kivnick, 1986. Orang-orang yang sukses dalam tugas akhir bersifat integratif ini akan merasakan keteraturan dan makna kehidupan mereka dalam
tatanan sos ial yang lebih besar di masa lalu, sekarang, dan masa depan. “Nilai moral” yang
mungkin berkembang sepanjang tahap ini adalah kebijaksanaan wisdom, perhatian terinformasi dan objektif akan hidup itu dalam menghadapi kematian” Erikson, 1985, hlm.
61. Menurut Erikson, kebijaksanaan artinya menerima kehidupan yang dijalani
seseorang, tanpa penyesalan yang besar, tanpa mengomelkan “apa yang seharusnya akan dilakukan” atau “apa yang telah dilakukan”. Hal tersebut mencakup menerima orang tua
sebagai orang yang telah melakukan hal terbaik yang dapat mereka lakukan dan karena itu berhak mendapatkan cinta, walaupun mereka tidak sempurna. Kebijaksanaan secara tidak
langsung menerima kematian seseorang sebagai akhir dari kehidupan yang sedang mereka jalani. Ringkasnya, kebijaksanaan berarti menerima ketidaksempurnaan dalam diri, orang
tua, dan hidup. Definisi kebijaksanaan yang merupakan sumber psikologis penting ini berbeda dari sebagian besar definisi kognitif yang dieksplorasi di Bab 17
Orang-orang yang tidak mencapai rasa menerima akan dibanjiri oleh keputusasaan, kesadaran akan pendeknya waktu untuk digunakan mencari cara integritas ego yang lain.
Walaupun tahapan ini baru dianggap sukses apabila integritas dapat mengalahkan keputusasaan, Erikson menegaskan bahwa beberapa keputusasaan merupakan hal yang tidak
dapat dihindari. Orang-orang butuh duka cita – bukan karena ketidakberuntungan mereka
108 serta kehilangan kesempatan mereka, tetapi juga karena kerapuhan dan kefanaan kondisi
manusia. Walaupun demikian, Erikson menyakini bahwa walaupun fungsi tubuh melemah,
orang harus mempertahankan “keterlibatan vital” dalam masyarakat. Berdasarkan studi sejarah kehidupan orang-orang pada usia delapanpuluhan, dia menyimpulkan bahwa
integritas ego bukan hanya bersumber dari perefleksian masa lalu, tetapi – sebagaimana yang
terjadi dengan Jimmy Carter – juga dari kontinuitas stimulasi dan tantangan – apakah hal
tersebut melalui aktivitas politik, program kebugaran, kerja kreatif, atau melalui hubungan dengan cucu Erikson et al, 1986. Riset yang diinspirasi oleh teori Erikson mendukung nilai
penting posisi pria dan wanita dalam memperjuangkan integritas ego di masa dewasa akhir Ryff, 1982; Ryff Baltes, 1976; Ryff Heinske, 1983.
75
Menurut Diane papalia Erik Erikson: Isu-Isu Normatif dan Berbagai Tugas.- faktor apa saja yang berkontribusi pada pertumbuhan personal? Menurut ahli teori tahap normatif,
pertumbuhan bergantung pada pelaksanaan tugas-tugas psikologis di setiap tahap kehidupan dengan cara yang sehat secara emosional.
Bagi Erikson, pencapaian tertinggi pada masa lansia adalah rasa integritas ego, atau integritas diri, sebuah pencapaian yang didasari oleh refleksi tentang kehidupan seseorang.
Dalam tahap kedelapan dan terakhir dan rentang kehidupan, yaitu integritas ego versus keputusasaaan, lansia perlu mengevaluasi dan menerima kehidupan mereka, begitu pula
untuk menerima kematian. Dibangun pada hasil dari tujuh tahapan sebelumnya, mereka berusaha untuk mencapai rasa koherensi dan keutuhan, daripada memberi jalan kepada
keputusasaan atas ketidamampuan mereka untuk melakukan hal berbeda pada masa lalu
75
Diane E. Papalia, Sally Wendkos Old, Ruth Duskin Feldman. Human Development Psikologi Perkembangan. Kencana Prenada Media Group, Prenada Media Group: 2011 902-903
109 Erikson, Erikson, Kivnick, 1986. Orang-orang yang berhasil dalam tugas integratif yang
terakhir ini, akan memperoleh perasaan mengenai makna hidup mereka dalam tatanan sosial yang lebih tinggi. Kekuatan yang dapat berkembang selama tahap ini adalah kebijaksanaan,
sebuah “informasi dan perhatian yang terpisah dengan kehidupan diri sendiri dalam menghadapi kematian itu sendir” Erikson, 1985, hlm. 61.
Kebijaksanaan, menurut Erikson, berarti menerima kehidupan yang telah dijalani tanpa ada rasa penyesalan besar: tanpa memikirkan tentang “apa yang seharusnya
dilakukan” atau “apa yang seharusnya bisa terjadi.” Hal itu berarti menerima ketidaksempurnaan yang ada dalam diri, orang tua, pada anak-anak dan juga dalam
kehidupan. Definisi kebijaksanaan sebagai sumber daya psikologis berbeda dari definisi kognitif yang dijelaskan pada Bab 17.
Meskipun integritas harus bisa melebihi keputusasaan jika tahap ini bisa diselesaikan dengan baik, Erikson tetap berkeyakinan bahwa ada sebagian keputusasaan yang tidak bisa
dihindari. Orang perlu berduka – tidak hanya karena ketidakberuntungan mereka sendiri dan
peluang yang hilang, tetapi untuk kerapuhan dan kefanaan kondisi manusia. Namun, Erikson percaya, bahkan ketika fungsi tubuh melemah, orang harus
mempertahankan “keterlibatan yang vital” dalam masyarakat. Berdasarkan penelitian kehiduan historis orang berusia 80-an, ia menyimpulkan bahwa integritas ego datang bukan
hanya dari merefleksikan masa lalu, tetapi dari lanjutan stimulasi dan tantangan – baik
melalui kegiatan politik, program kebugaran, kerja kreatif, atau hubungan dengan cucu Erikson dkk., 1986.
76
76
Diane E. Papalia, Ruth Duskin Feldman. Menyelami Perkembangan Manusia. Salemba Humanika, Jakarta; 2014, 261
110
2.2. Tahapan Kubler Ross