2
bahwa setiap tahap memiliki integritas miliknya sendiri. Tahap- tahap perkembangan iman tersebut antara lain:
1. Tahap 0 : Kepercayaan Elementer Awal
Primal Faith
Tahap ini merupakan tahap awal atau pratahap per-stage, yaitu masa orok, bayi, 0-2 atau 3 tahun. Kepercayaan ini disebut juga pratahap kepercayaan yang belum
terdeferinisiasi karena : a. Ciri disposisi preverbal si bayi terhadap lingkungannya belum dirasakan dan
disadari sebagai hal terpisah dan berbeda dari dirinya; b. Daya- daya seperti kepercayaan dasar, keberanian, harapan dan cita belum
dibedakan lewat proses pertumbuhan, melainkan masih saling tercampur satu sama lain dalam suatu keadaan yang samar-samar. Pola kepercayaan ini disebut
elementer karena tahap ini mendasari dan meresapi secara positif dan negatif dengan menunjang atau menodai segala hal yang timbul kemudian selama
perkembangan eksistensial. Rasa percaya elementer ini timbul sebagai kecondongan spontan yang bersifat pralinguitis sebelum munculnya kemampuan
berbahasa untuk mengandalkan seluruh hubungan timbal balik antara bayi dan lingkungan sekitar terutama orang-orang yang secara tetap, teratur, setia
mengasuh dan memelihara orang tua terutama ibunya.
3
2. Tahap Iman Intuitif – Proyektif Intuitive- Projective Faith
Anak yang berumur antara usia 4-8 tahun dimana makna dibuat dan kepercayaan dibentuk secara intuitif dan dengan cara meniru. Tahap ini memberi
tekanan besar pada orang –orang lain yang penting dalam hidup anak-anak
terutama orang tua dan anggota keluarganya. Anak-anak juga berpedoman pada orang tua sebagai sumber otoritas dalam masalah-masalah agama. Pada tahap ini,
anak – anak mengalami kesulitan dalam menentukan sebab dan akibat
melepaskan kenyataan dari khayalan dan memahami berbagai urutan peristiwa. Misalnya ketika berfantasi dan imajinasi yang bebas di mana gambaran-gambaran
dan perasaan-perasaan yang dapat tahan lama dibentuk. Sebagai contoh: Allah adalah seorang pria tua yang memiliki janggut yang dapat melakukan apa saja.
Memori dan kesadaran akan dirinya mulai timbul dan kemampuan mengambil peran orang lain mulai ada dalam bentuk yang paling dasar.
4
3. Tahap Mitis- Harafiah Mithic-Literal faith
3
James W. Fowler. Teori Perkembangan Kepercayaan, karya – karya penting James W Fowler, 27
4
Dien Sumiyatiningsih, Mengajar dengan kreatif dan menarik, 126
3
Bentuk kepercayaan ini muncul sebagai tahap kedua dan tahap ini terjadi antara usia 7
– 12 tahun. Gambaran emosional dan imajinal masih berpengaruh kuat pada tahap ini namun muncul pula operasi-operasi logis baru yang
melampaui tingkat perasaan dan imajinasi tahap sebelumnya. Operasi-operasi tersebut bersifat konkret, tetapi sudah memungkinkan suatu daya pikir logis
menggunakan kategori sebab akibat, ruang dan waktu. Hubungan sebab akibat itu dimengerti secara jelas dan dunia spasial-temporal di susun menurut skema linear
serta sifat dapat diramalkan. Gaya berpikir baru ini memungkinkan suatu bentuk tafsiran dan penyusunan yang sadar dan lebih mantap terhadap arus pengalaman
dan arti sehingga bentuk berpikir seperti episodis. Anak mulai membedakan antara perspektif sendiri dengan orang lain serta memperluas pandangannya
dengan mengambil alih pandangan orang lain sehingga sanggup memeriksa dan menguji gambaran serta pandangan religiusnya dengan tolak ukur logikanya
sendiri.
5
Pada tahap ini ceritalah yang menjadi sarana utama anak untuk mengumpulkan berbagai arti menurut sifat keterkaitannya dan membentuk
pendapatnya. Cerita mendahului dan mempersiapkan suatu sintesis refleksi yang baru kemudian akan dikembangkan. Cara menggunakan simbol dan konsep-
konsep dalam cerita sebagian besar masih konkret dan harafiah karena itu cerita dan bahasa dengan gaya kisah menjadi sarana paling cocok untuk menangkap
makna hidup.
6
Tahap ini merupakan tahap iman afiliatif di mana seseorang datang dengan lebih sadar untuk bergabung dan menjadi anggota kelompok terdekatnya atau
komuni tas iman. Maka tahap ini disebut juga iman “yang bergabung” seseorang
secara sadar bergabung dengan kelompok sosial terdekat, mengambil ceritanya, simbolnya, mitenya dan ajarannya dan memahami mereka secara harfiah. Kata-
kata dari orang tua lebih penting, berkuasa atas kata- kata dari teman sebayanya. Kemampuan empatinya bertambah tetapi hanya bagi mereka “yang seperti kami”
yaitu bagi para anggota kelompok terdekat.
4. Tahap Sintetis-Konvensional