BAB 5 PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 87,3 responden mengetahui tentang definisi Standard Precautions. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Gema pada dokter gigi di rumah sakit kota Medan menyatakan sebanyak 50 dokter gigi mengetahui definisi Standard Precautions.
9
Ini mungkin disebabkan mahasiswa kepaniteran klinik mengetahui dengan baik tentang definisi
Standard Precautions, karena mahasiswa sudah mempelajari tentang Standard Precautions sejak masa perkuliahan, sedangkan pada penelitian yang dilakukan
Gema responden adalah dokter gigi yang rata-rata berusia lebih dari 45 tahun sehingga tidak mendapatkan materi Standard Precautions di masa perkuliahan yang
baru diperkenalkan sejak tahun 2003. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 79,3 responden mengetahui cara
penggunaan masker yang benar. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mehrdad dan Ojan mengenai kontrol infeksi pada mahasiswa kedokteran gigi di
Iran menyatakan sebanyak 94,7 responden mengetahui penggunaan masker yang benar.
26
Perbedaan hasil yang didapat mungkin dikarenakan kurangnya pemahaman oleh responden penelitian mengenai penggunaan masker yang benar saat melakukan
perawatan gigi pasien. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 78 responden mengetahui fungsi
penutup kepala. Pengetahuan responden termasuk baik dalam hal fungsi penutup kepala, hal ini mungkin dikarenakan kesadaran responden yang baik untuk mencegah
jatuhnya mikroorganisme dari kepala ke alat-alat steril yang akan digunakan saat tindakan perawatan gigi pasien dan dapat melindungi kepala dari percikan darah atau
cairan tubuh pasien, sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi silang di praktek dokter gigi.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 75,6 responden mengetahui dengan benar tentang persiapan alat sebelum tindakan perawatan gigi. Masih adanya
mahasiswa klinik yaitu sebanyak 24,39 responden yang tidak mengetahui tentang persiapan alat sebelum tindakan perawatan gigi, hal ini mungkin disebabkan
responden tidak mendapatkan materi tetang persiapan alat yang benar pada masa perkuliahan sehingga masih banyak mahasiswa yang tidak mengetahuinya. Dalam
mempersiapkan alat steril yang akan digunakan sebelum tindakan perawatan gigi dapat dilakukan dengan menjaga tangan dalam keadaan asepsis atau dengan
menggunakan alat yang disebut korentang. Namun, hanya 38 responden mengetahui korentang sebagai alat untuk mengambil instrumen steril. Kurangnya
pengetahuan mahasiswa mengenai korentang mungkin karena mahasiswa kurang mencari tahu jenis alat yang digunakan di klinik, padahal korentang pernah dipakai
saat di klinik walaupun tidak diperkenalkan secara khusus pada masa perkuliahan. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 68,8 responden mengetahui cara
mengurangi kontaminasi mikroorganisme pada air dental unit. Masih banyak mahasiswa yang tidak mengetahui cara mengurangi kontaminasi mikroorganisme di
dental unit untuk menjaga kualitas air dental unit yang akan masuk ke rongga mulut pasien, hal ini mungkin dikarenakan cara mengurangi kontaminasi mikroorganisme
pada air dental unit belum diajarkan pada masa perkuliahan. Selain itu, cara untuk mengurangi mikroorganisme pada air dental unit tidak pernah diaplikasikan saat
responden di klinik. Mengurangi kontaminasi mikroorganisme pada air dental unit berguna untuk menjaga kualitas air pada dental unit dalam keadaan bersih dan
mencegah terjadinya penularan penyakit melalui air dari dental unit yang di suplai oleh pemerintah
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 67,3 responden mengetahui bahan antiseptik yang digunakan untuk pengolesan pada daerah kerja sebelum prosedur
bedah dan sebelum melakukan lokal anastesi dan pengetahuan responden masih kurang 36,59 mengenai tujuan penggunaan antiseptik sebelum tindakan perawatan
gigi. Masih banyak responden yang tidak mengetahui hal tersebut, mungkin dikarenakan materi tentang aplikasi bahan antiseptik sebelum tindakan perawatan gigi
belum diajarkan kepada mahasiswa pada masa perkuliahan. Dengan mengetahui
tujuan aplikasi bahan antiseptik sebelum perawatan gigi pasien yang dapat mencegah terjadinya bakterimia, septikemia, dan infeksi lokal lainnya pada pasien.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 65,85 responden mengetahui macam-macam metode mencuci tangan dan sebanyak 62,9 responden mengetahui
teknik mencuci tangan dengan benar, sedangkan pengetahuan responden mengenai indikasi mencuci tangan yang benar termasuk kurang yaitu 39. Hal ini sedikit
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sreejith et al di India pada mahasiswa kedokteran dan mahasiswa keperawatan tentang tingkat pengetahuan mencuci tangan
yaitu 91,3 mahasiswa kedokteran mengetahui mencuci tangan yang benar.
27
Perbedaan ini mungkin disebabkan responden terbiasa mencuci tangan yang tidak sesuai dengan cuci tangan rutincuci tangan bedah menurut WHO. Dengan
mengetahui dan memahami tentang mencuci tangan sesuai prosedur yang ditetapkan WHO dapat mencegah dan mengurangi risiko terjadinya infeksi silang di praktek
dokter gigi. Selain itu, karena masih banyak responden yang kurang memahami tentang prosedur mencuci tangan yang benar menurut WHO yang sesuai dengan yang
pernah diajarkan dan di praktikkan pada masa perkuliahan. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 66,34 responden mengetahui cara
penggunaan pakaian pelindung dan sebanyak 41,46 responden mengetahui syarat penggunaan pakaian pelindung. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Mehrdad dan Ojan mengenai kontrol infeksi pada mahasiswa kedokteran gigi di Iran menunjukkan sebanyak 77,6 dokter gigi mengetahui penggunaan pakaian
pelindung saat melakukan prosedur perawatan gigi pasien.
26
Perbedaan persentase yang didapat mungkin disebabkan belum disediakannya pakaian pelindung untuk
digunakan pada setiap prosedur perawatan gigi di klinik RSGMP. Penggunaan pakaian pelindung dapat mencegah berpindahnya mikroorganisme patogen pada
tubuh operator saat melakukan perawatan gigi pasien. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 55,6 responden mengetahui
informasi yang dibutuhkan saat evaluasi pasien, namun pengetahuan responden mengenai fungsi evaluasi pasien termasuk kurang yaitu 23,4. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Gema pada dokter gigi di rumah sakit kota Medan
menyatakan sebanyak 55,6 dokter gigi mengetahui deskripsi evaluasi pasien.
9
Kondisi ini mungkin karena keilmuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang hal-hal yang harus ditanyakan saat anamnesa masih kurang sehingga mahasiswa kepaniteraan
klinik melakukan anamnesa yang tidak lengkap kepada pasien sebelum dilakukan tindakan perawatan gigi. Evaluasi pasien sangat penting dilakukan untuk mencegah
atau mengurangi terjadinya penyebaran penyakit menular di praktek dokter gigi. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 51,7 responden mengetahui
macam-macam alat sekali pakai. Hasil tersebut sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Al-Rabeah dan Mohammed pada dokter gigi di Riyadh
menunjukkan sebanyak 56 respondennya mengetahui macam-macam alat sekali pakai.
28
Perbedaan ini mungkin disebabkan mahasiswa terbiasa menggunakaan ulang alat sekali pakai yang masih terlihat bisa digunakan kembali seperti endodontik file.
Selain itu, hal ini mungkin dikarenakan kurangnya kesadaran mahasiswa tentang penggunaan alat sekali pakai dapat mencegah terjadinya infeksi silang. Penggunaan
alat sekali pakai akan mencegah perpindahan mikroorganisme patogen dari satu pasien ke pasien lain dan mencegah kerusakan alat akibat proses sterilisasi alat
berulang saat perawatan gigi. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 38,5 mengetahui cara penggunaan
sarung tangan. Kurangnya pengetahuan responden tetang cara penggunaan sarung tangan dapat menyebabkan terjadinya infeksi silang melalui cairan tubuh pasien yang
mungkin terdapat pada tangan operator. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Gema pada dokter gigi di rumah sakit kota Medan menyatakan
sebanyak 88,9 dokter gigi mengetahui pemakaian sarung tangan yang benar.
9
Perbedaan ini mungkin karena tidak ada protokol Standard Precautions di RSGMP terutama tentang memcuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan sarung tangan
karena sebelum dan sesudah menggunakan sarung tangan harus mencuci tangan sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama, sedangkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Gema di rumah sakit kota Medan yang telah memiliki peraturan mengenai Standard Precautions.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 31,2 responden mengetahui fungsi rubber dam dengan benar. Hal ini berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh
Christopher dan Hamid mengenai penggunaan rubber dam pada dokter gigi umum dan dokter gigi spesialis di Nigeria menyatakan sebanyak 98,7 dokter gigi
mengetahui guna pemakaian rubber dam.
29
Kondisi ini mungkin karena mahasiswa belum mengetahui aplikasi penggunaan rubber dam dan belum sediakannya rubber
dam di klinik sehingga mahasiswa tidak pernah menggunakan rubber dam saat tindakan perawatan gigi pasien di klinik, sedangkan pada peneltian yang dilakukan
oleh Christopher dan Hamid responden merupakan dokter gigi yang telah ahli dalam merawat pasien dengan menggunakan rubber dam dalam perawatan gigi pasien
sehingga dapat mengetahui fungsi rubber dam dalam perawatan gigi pasien. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 5,85 responden mengetahui fungsi
kacamata pelindung. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mehrdad dan Ojan mengenai kontrol infeksi pada mahasiswa kedokteran gigi di Iran yang
menunjukkan sebanyak 97,4 dokter gigi mengetahui penggunaan kacamata pelindung saat melakukan prosedur perawatan gigi pasien.
26
Perbedaan ini mungkin dikarenakan belum disediakan kacamata pelindung di RSGMP. Kurangnya
pengetahuan responden terhadap fungsi kacamata pelindung menunjukkan kurangnya kepedulian responden terhadap proteksi diri operator terutama tentang penggunaan
kacamata pelindung saat melakukan perawatan gigi pasien yang dapat mencegah terjadinya infeksi silang melalui aerosol yang dapat masuk melalui mata dan hidung.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 8,8 responden mengetahui imunisasi wajib untuk dokter gigi. Persentase ini lebih rendah dari penelitian yang
dilakukan oleh Gema pada dokter gigi di rumah sakit kota Medan menyatakan sebanyak 38,9 dokter gigi mengetahui imunisasi yang penting bagi dokter gigi.
Rendahnya hasil persentase penelitian tersebut kemungkinan dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya imunisasi bagi petugas kesehatan khususnya
dokter gigi, mengingat bahwa risiko penularan penyakit infeksi pada petugas kesehatan tergolong tinggi. Imunisasi sebagai tindakan pencegahan awal pada pekerja
kesehatan baik pada dokter gigi, perawat ataupun mahasiswa klinik untuk
menghindari terinfeksi penyakit menular yang dapat terjadi. Dengan mengetahui apa saja imunisasi yang penting untuk dokter gigi, dapat menjadi bekal mahasiswa
kepaniteraan klinik nanti ketika sudah menjalani praktek untuk mencegah infeksi silang yang mungkin dapat terjadi di tempat praktek dokter gigi.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 69,8 responden memiliki pengetahuan kurang, sebanyak 29,3 responden berpengetahuan cukup, dan hanya
sebanyak 1 responden termasuk kategori berpengetahuan baik Tabel 5. Hasil penelitian berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Gema tentang tingkat
pengetahuan Standard Precautions pada dokter gigi di rumah sakit kota Medan menunjukkan bahwa sebanyak 25 dokter gigi memiliki pengetahuan baik, sebanyak
38 dokter gigi memiliki pengetahuan cukup, dan sebanyak 36,1 dokter gigi memiliki pengetahuan kurang. Perbedaan hasil penelitian ini mungkin disebabkan
perbedaan responden, dimana pada penelitian ini menggunakan mahasiswa kepaniteraan klinik sebagai responden, sedangkan penelitian Gema menggunakan
dokter gigi sebagai responden yang mungkin sudah terbiasa dan tersedianya sarana dan prasarana dalam mempersiapkan diri sebelum melakukan tindakan perawatan
gigi pada pasien.
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN