BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gerakan Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai
program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan
perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada.
Turner dan Killian dalam Suryadi 2007 mendefinisikan gerakan sosial secara luas sebagai suatu usaha bersama untuk meningkatkan suatu penentangan
perubahan dalam masyarakat di mana usaha tersebut memainkan peran. Kartodirdjo dalam Kamaruddin 2012 mengatakan gerakan sosial adalah gerakan
perjuangan yang dilakukan oleh golongan sosial tertentu melawan eksploitasi ekonomi, sosial, politik, agama dan kultural, oleh kelompok penekan, apakah itu
penguasa ataupun negara. Gerakan sosial lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok orang yang
tidak puas terhadap suatu kondisi atau keadaan. Kelompok itu semula tidak terorganisasi dan tidak terarah, serta tidak memiliki perencanaan yang matang.
Orang-orang saling membagi duka, dan mengeluh. Pemimpin dan organisasi dari kebanyakan gerakan, biasanya muncul tidak lama setelah situasi keresahan sosial
tercipta. Setelah mengalami tahapan penurunan kegiatan, kadang kala gerakan itu sempat menciptakan organisasi permanen, dan seringkali pula gerakan itu hilang
begitu saja tanpa bekas yang berarti, Horton dan Kartodirjo dalam Kamaruddin 2012.
Zenden dan Heberle dalam Wahyudi 2005:23 memberikan kriteria gerakan sosial sebagai berikut :
1. Bertujuan untuk membawa perubahan fundamental terhadap tatanan
sosial, khususnya dalam institusi dasar properti dan hubungan ketenagakerjaan
2. Suatu kesadaran tentang identitas dan solidaritas kelompok adalah
diperlukan bersamaan dengan kesadaran common sense dan tujuan 3.
Gerakan sosial selalu terintegrasi dengan serangkaian ide atau suatu ideologi
4. Gerakan sosial berisi anggota-anggota kelompok yang secara formal
diorganisasikan, tetapi gerakan sosialnya itu sendiri adalah bukan kelompok yang terorganisir
5. Memiliki aturan yang cukup kuat untuk meneruskan eksistensinya, meski
mereka harus merubah komposisi keanggotaannya 6.
Gerakan sosial bukan suatu produk, tetapi memiliki durasi Dalam realitasnya, gerakan sosial yang terjadi di negara-negara mengalami
perubahan, di mana perubahan gerakan sosial itu dikategorikan dengan istilah gerakan sosial lama dan gerakan sosial baru. Gerakan sosial lama dianggap
sebagai perlawanan atau perjuangan kelas buruh dalam menuntut keadilan mereka. Gerakan sosial baru dianggap sebagai perluasan makna gerakan sosial
lama ke arah perjuangan mengimbangi dominasi kekuasaan negara dan perwujudan demokratisasi, Suryadi 2007:119.
Lofland 2003:50 mengatakan dua aspek empiris gelombang yang perlu diperhatikan adalah pertama aliran tersebut cenderung berumur pendek antara
lima sampai delapan tahun. Jika telah melewati umur itu gerakan akan melemah dan meskipun masih ada akan tetapi gerakan telah mengalami proses ‘cooled
down’. Kedua, banyak organisasi gerakan atau protes yang berubah menjadi gerakan sosial atau setidaknya bagian dari gerakan-gerakan tersebut diatas.
Organisasi-organisasi ini cenderung selalu berupaya menciptakan gerakan sosial atau jika organisasinya berbeda maka mereka akan dengan sabar menunggu
pergeseran struktur makro yang akan terjadi misalnya krisis kapitalis atau pertarungan yang akan terjadi antara yang baik dan yang jahat, atau kedua hal
tersebut. Serta menunggu kegagalan fungsi lembaga sentral, kala itulah gerakan itu bisa dikenali sebagai gerakan pinggiran, gerakan awal dan embrio gerakan.
Gerakan sosial terbentuk melalui serangkaian proses. Ada beberapa tahap terbentuknya gerakan sosial ini. Tahap-tahap tersebut yaitu,
1. Tahap ketidaktentraman karena ketidakpastian dan ketidakpuasan yang
semakin meningkat. 2.
Tahap perangsangan, yaitu sebuah tahap yang terjadi ketika perasaan ketidakpuasan sudah sedemikian besar, penyebabnya sudah teridentifikasi
dan saran-saran tindak lanjut sudah diperdebatkan.
3. Tahap formalisasi, sebuah tahap ketika sosok pemimpin telah muncul,
rencana telah disusun, para pendukung telah ditempa, dan organisasi serta taktik telah dimatangkan
4. Tahap institusionalisasi atau tahap pelembagaan, tahap ketika organisasi
telah diambil alih dari pemimpin terdahulu, birokrasi telah diperkuat dan ideologi serta program elah diwujudkan, Horton dan Hunt dalam Martono
2012 : 227. Zande dan James dalam Suryadi 2007:120 menyederhanakan tipe
gerakan sosial yang berdasarkan basis ideologi: 1.
Gerakan-gerakan revolusioner, yaitu gerakan yang mengubah masyarakat dengan menentang nilai-nilai fundamental. Gerakan revolusioner
mendukung penggantian kerangka nilai yang ada. Sebagai contoh kelompok nasionalis hitam yang muncul pada akhir tahun 1960-an
2. Gerakan-gerakan reformasi yaitu, gerakan yang berusaha untuk
memodifikasi kerangka kerja dari skema nilai yang ada. Gerakan reformasi mengupayakan perubahan-perubahan yang akan
mengimplementasikan kerangka nilai yang ada secara lebih memadai. Sebagai contoh gerakan hak sipil di Amerika Serikat oleh Martin Luther
King 3.
Gerakan-gerakan perlawanan, yaitu gerakan utuk memblokir atau mengeliminasi perubahan yang sudah dilembagakan sebelumnya. Gerakan
perlawanan merupakan suatu gerakan balasan. Sebagai contoh gerakan perlawanan kaum kulit putih terhadap hak-hak sipil kaum kulit hitam di
Amerika Serikat
4. Gerakan-gerakan ekspresif, yaitu gerakan yang kurang konsen dengan
perubahan institusional. Gerakan ini berusaha merenovasi atau memperbaharui orang-orang dari dalam, seringkali dengan menjanjikan
suatu pembebasan di masa depan. Sebagai contoh adalah gerakan ratu adil. Gerakan sosial yang beragam dapat disederhanakan dan ditipologikan
dilihat dari “Besarnya perubahan sosial yang dikehendaki” skala dan “ tipe perubahan yang dikehendaki” seperti yang terlihat dalam tipologi Aberle dalam
Triwibowo 2006: xvii-xx berikut :
BESARAN TIPE
Perubahan Perorangan Perubahan Sosial
Sebagian Alternative Movements
Reformative Movements Menyeluruh
Redemptive Movements Transformative Movements
Alternative Movements berupaya untuk mengubah sebagian perilaku orang, seperti tidak merokok. Sementara Redemptive Movements mencoba
mengubah perilaku perorangan secara menyeluruh, seperti dalam bidang keagamaan. Tipe berikutnya yakni Reformative Movements mencoba mengubah
masyarakat namun dengan ruang lingkup yang terbatas, seperti gerakan persamaan hak kaum perempuan. Transfromative Movements adalah gerakan
yang mencoba mengubah masyarakat secara menyeluruh seperti gerakan komunis di Kamboja. Gerakan di jelaskan dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu;
1 Pendekatan Moral Ekonomi
Aspek pokok yang memicu gerakan pada pendekatan ini adalah : a
Reaksi terhadap perubahan yang dianggap akan mengancam kelangsungan hidup komunitasnya yang berada dalam kondisi
subsistensi b
Faktor kepemimpinan sebagai faktor kunci gerakan dan umumnya berasasl dari kalangant elit desa atau patron.
2 Pendekatan Ekonomi Politik
Gerakan pada dasarnya didasari oleh pertimbangan rasional individual terhadap perubahan yang dikalkulasikan merugikan dan mengancam
mereka. Keputusan melakukan gerakan terletak pada individu yang menganggapnya sebagai pilihan yang efektif dan efisien. Mendasarkan diri
pada konsep manusia sebagai makhluk yang mempunyai kesadaran pribadi individual dan selalu menggunakan perhitungan rasional kalkulasi untung
rugi dalam bertindak. Atas dasar asumsi ini terdapat perbedaan antara rasionalitas individu dan kelompok, Mustain 2007:335. Hasil penelitian
Popkin yang ditemukan tentang hasil studi gerakan reklaiming di Vietnam menjelaskan bahwa ada sebagian kelompok petani yang tidak mau
melakukan gerakan perlawanan walaupun mereka tengah mengalami krisis subsistensi jangka pendek yang diakibatkan oleh perubahan yang
dihasilkan oleh penetrasi kapitalis. Sebaliknya, beberapa kelompok petani
melakukan perlawanan walaupun mereka tidak mengalami krisis jangka pendek atau jangka panjang. Alasannya, selain perlawanan yang
diperhitungkan tidak akan menyelesaikan masalah, juga dipertimbangkan masih ada jalan kompromistis yang dinilai lebih diuntungkan. Faktor lain
yang menjadikan tidak melakukan perlawanan adalah karena tidak tercapainya kesepakatan antara para individu untuk melakukan gerakan
perlawanan bersama. Kelompok yang melakukan perlawanan yang didasari atas hasil kesepakatan bersama dan berdasarkan perhitungan
rasional dinilai sebagai cara yang efektif dan efisien untuk keluar dari kondisi subsisten yang membelenggu mereka, Popkin dalam Mustain
2007: 336.
3 Pendekatan Historis
Gerakan ini dipahami sebagai akibat dari terjadinya penyimpangan dan ancaman terhadap nilai, norma, tradisi, dan kepercayaan yang dimiliki.
Harapan-harapan yang sering timbul dalam gerakan itu antara lain adalah harapan akan datangnya masyarakat atau negara yang adil dan tentram dan
makmur. Biasanya negara utopis yang dijadikan itu diikuti dengan harapan akan hadirnya seorang Juru Selamat di lingkungan masyarakat, Mustain
2007:349.
Haynes dalam Alisjahbana 2005:150 mengatakan untuk melakukan gerakan perlu kelompok aksi yang terdiri atas jumlah populasi yang relatif besar,
yang berpotensi melakukan perubahan. Hal ini dapat dipahami mengingat faktor
organisasi merupakan wadah bertemunya pemimpin dengan anggota. Gerakan resistensi diasumsikan tidak dapat terjadi bila tidak ada organisasi dan pemimpin
yang menggerakkannya. Ledakan gerakan kolektif sektor informal di perkotaan terjadi karena ada organisasi yang mewadahi dan pemimpin kelompok aksi yang
berusaha menyuarakan dan mendengar apa yang menjadi tujuan mereka. Dahrendorf 2004:34-35 menyebutkan terdapat tiga kondisi yang
mendukung kemunculan sebuah struggle group, yang sering kali menjadi pendorong penyebab terjadinya konflik, yaitu:
1. Komunikasi terus menerus diantara orang-orang senasib
2. Adanya seorang pemimpin yang membantu mengartikulasikan ideologi,
mengorganisasikan kelompok, dan memformulasikan rencana untuk melakukan tindakan kelompok
3. Legitimasi kelompok di mata komunitas yang lebih luas atau setidaknya
tidak ada tekanan komunitas yang efektif terhadap kelompok Tujuan pergerakan adalah mendidik dan memenangkan mayoritas publik
yang lebih besar yang terus meningkat dan untuk menggerakkan mayoritas publik menuju kekuatan yang efektif yang membawa masalah sosial. Hanya dengan
menunjukkan kepada masyarakat bahwa pergerakan menegakkan nilai-nilai dan pemegang kekuasaan melanggarnya, dapatkah masyarakat dipengaruhi dan dan
digerakkan ke tingkat kebutuhan yang diperlukan mereka untuk bertindak. Moyer 2004:17.
Gerakan sosial atau “civil society” ini menunjukkan pentingnya aktor organisasi civil society seperti Ormas, Ornop, Organisasi Komunitas; Media dan
Universitas. 1.
Koalisi antar Organisasi Civil Society. Dalam hal ini, masih terdapat potensi yang dapat dikembangkan. Sebagai
contoh, Universitas merupakan sumber yang sangat besar dimana para mahasiswa dapat menjadi relawan dalam berbagai kegiatan sehingga
menjamin keberlanjutan sumberdaya manusia. Perlu diaktifkan media cetak dan elektronik untuk mendukung agenda gerakan sosial secara
sistematik dan terukur. Pembuatan opini publik yang rutin dan tidak sporadis akan dapat menekan berbagai pihak yang menentang atau
mendukung suatu isu.
2. Dukungan dana dari pemerintah.
Gerakan sosial dan organisasi civil society sering sekali mengalami kekurangan di pemerintahan untuk operasional baik rutin maupn program.
Uang dari pemerintah yang sebenarnya dari rakyat ini dikembalikan ke rakyat yang berada di civil society . Selama ini subsidi pada organisasi
kemasyarakatan juga telah dilakukan misalnya melalui APBD namun sifatnya lebih berupa bantuan “sogokan” agar mereka tidak kritis terhadap
pemerintah.
3. Aliansi dengan kekuatan di ranah politik partai politik dan ekonomi
perusahaan.
Hal seperti ini dapat saja dianggap aneh karena gerakan sosial sebenarnya merupakan upaya organisasi civil society dalam mengupayakan atau
menentang perubahan sosial yang seringkali tidak mendapat perhatian dari kedua ranah tersebut. Beragamnya organisasi dan kelompok yang berada
di ranah politik dan ekonomi tersebut sehingga masih membuka peluang untuk keja sama.
4. Penekanan pada ranah politik.
Masalah yang dibahas dalam gerakan sosial berkaitan dengan keputusan politik formal seperti UU. Dalam hal ini, organisasi civil society dapat
mencapai tujuan gerakan sosial dengan melakukan penekanan pada aktor dalam ranah politik, misalnya anggota legislatif DPRD. Penekanan
dapat berupa petisi atau “class actions” sehungga para aktor yang mempunyai otoritas politik tersebut dipaksa untuk menghasilkan suatu
kebijakan baru yang sesuai dengan aspirasi civil society yang pada awalnya dilakukan melalui gerakan sosial. Sujatmiko dalam Triwibowo
2006: xxiv
2.2. Perlawanan Resistensi