Bentuk-bentuk Diskriminasi dalam Kumpulan Puisi Esai Atas Nama Cinta Karya Denny JA: Tinjauan Sosiologi Sastra
BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI
DALAM KUMPULAN PUISI ESAI
ATAS NAMA CINTA
KARYA DENNY JA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
Skripsi
ERVINA SILALAHI NIM : 100701056
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
(2)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang ditulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, Juni 2014
Penulis,
(3)
ABSTRAK
Karya sastra Indonesia berisi potret kehidupan masyarakat. Ia berkaitan dengan situasi dan kondisi yang pernah atau yang sedang terjadi dalam masyarakat. Karya sastra merupakan refleksi kegelisahan hati sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran pengarang. Masalah politik, hukum, kesehatan, pendidikan, diskriminasi, dan lain-lain dapat menjadi gagasan bagi pengarang untuk menciptakan sebuah karya sastra. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran bentuk-bentuk diskriminasi yang terdapat dalam puisi esai Atas Nama Cinta karya Denny JA. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis telah menelaah puisi esai dengan menerapkan teori sosiologi sastra. Manfaat dari penelitian ini untuk memperkaya pengkajian dan pengapresiasian karya sastra Indonesia dan dapat memahami bentuk-bentuk diskriminasi yang terdapat dalam puisi esai karya Denny JA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode membaca heuristik dan hermeneutik. Adanya perbedaan kaum minoritas dengan kaum mayoritas, pada dasarnya akan menimbulkan diskriminasi. Hal inilah yang mengantar terjadinya berbagai diskriminasi dalam berbagai bentuk.
(4)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas kasih setiaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Bentuk-bentuk Diskriminasi dalam Kumpulan
Puisi Esai Atas Nama Cinta Karya Denny JA. Syukur atas pengorbanan Yesus Kristus yang
telah menebus dosa-dosaku. Sehingga, ketika aku terjatuh dalam dosa, aku selalu dibangkitkan olehNya lewat roh kudus yang diam dalam diriku. Semoga kelak semua orang dapat merasakan kasihNya.
Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana dan mudah-mudahan berguna sebagai referensi dan sedikit menjawab keingintahuan kita semua tentang puisi esai. Selain itu skripsi ini adalah sarana bagi sastra untuk merepresentatifkan kehidupan masyarakat di sekeliling kita, baik itu individu maupun berbangsa dan bernegara.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam proses akademik dan penulisan skripsi ini :
1. Orang tua tercinta. Ayahanda Johanson silalahi dan Ibunda Rosdiana Sitanggang yang tidak pernah bosan memberikan dukungan dengan limpahan kasih sayang, keringat, air mata, doa, dan segalanya kepada penulis. Kasih sayang kalian tidak ada imbangnya dan ini persembahanku atas kepercayaan kalian.
2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, yang memberikan perhatian bagi penulis.
3. Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, yang membantu penulis dalam hal akademik.
4. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia.
(5)
5. Bapak Drs. Pertampilan Sembiring, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak mendukung dan membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi dan akademik.
6. Ibu Dra. Keristiana, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberi perhatian dan arahan untuk penyelesaian sekripsi ini.
7. Para staf pengajar dan administrasi di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, bahkan Universitas Sumatera Utara.
8. Saudara penulis: abang Handi Fernando Silalahi dan Marchel Bonar Silalahi, kak Helmina Silalahi, dan “ci pudan” Maria Juniati Silalahi.
9. Sahabat: Desy Panggabean, Retta Silitonga, dan Pesta Sinaga yang selalu berbagi dalam suka dan menyemangati dalam duka.
10.Adik kelompok: “Pniel”, Ferbina, Lastri, Ayu, Masdoria, dan Putri yang telah mendoakan dan menyemangati penulis.
11.Debora, Ellen, dan Dasa terimakasih atas dukungannya.
12.“Jehova Jireh”: Osen, Melda, Finta, Bunga, Teresia, Elwyn, dan Retta yang menjadi tempat “curhat”, tempat berbagi canda-tawa, dan saling mendoakan.
13.Teristimewa untuk kak Lady dan Kak Ester, “I miss u kak..” 14.Adikku Dame Silitonga atas perhatian dan kepeduliannya.
15.Teman-teman Sastra Indonesia, khususnya stambuk 2010: Eli Fernando Nababan (makasih ya bang lie karena banyak membantu dalam mengerjakan skripsi), bg dodow, tulang Hotman, Penulis berharap bahwa semua yang kita lewati bersama akan membuat kita tertawa ketika mengenangnya dihari tua. Meraih gelar sasjana bersama kalian adalah hal yang menyenangkan. Semoga kita menjadi yang terbaik dimasa depan.
(6)
Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga kalian mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milikNya, namun penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi memperbaiki skripsi ini.
Medan, Juni 2014
Penulis,
(7)
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
PERNYATAAN... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1Latar Belakang ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 3
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3
1.3.1 Tujuan ... 3
1.3.2 Manfaat ... 3
1.3.2.1Manfaat Teoretis ... 3
1.3.2.2Manfaat Praktis ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI ... 4
2.1 Tinjauan Pustaka ... 4
2.1.1 Sapardi Djoko Damono ... 4
2.1.2 Sutardji Calzoum Bachri ... 5
2.1.3 Ignas Kleden ... 6
2.2 Konsep ... 8
2.2.1 Pengertian Puisi ... 8
2.2.2 Pengertian Diskriminasi ... 8
(8)
2.3 Landasan Teori ... 9
2.3.1 Diskriminasi ... 12
2.3.2 Jenis-jenis Diskriminasi ... 14
BAB III METODE PENELITIAN ... 17
3.1 Sumber Data ... 17
3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 17
3.3 Teknik Analisis Data ... 18
BAB IV PEMBAHASAN ... 20
4.1 Puisi Esai Atas Nama Cinta dalam kontroversi ... 20
4.1.1 Puisi Esai dalam Kontroversi ... 22
4.1.2 Denny JA... 25
4.2 Bentuk-Bentuk Diskriminasi ... 30
4.2.1 Diskriminasi karena Perbedaan Etnis ... 31
4.2.2 Diskriminasi karena Perbedaan Paham tentang Agama ... 36
4.2.3 Diskriminasi karena Perbedaan Kelas Sosial ... 45
4.2.4 Diskriminasi karena Perbedaan Orientasi Seksual ... 52
4.2.5 Diskriminasi karena Perbedaan Agama ... 57
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 63
(9)
5.2 Saran... 63
(10)
ABSTRAK
Karya sastra Indonesia berisi potret kehidupan masyarakat. Ia berkaitan dengan situasi dan kondisi yang pernah atau yang sedang terjadi dalam masyarakat. Karya sastra merupakan refleksi kegelisahan hati sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran pengarang. Masalah politik, hukum, kesehatan, pendidikan, diskriminasi, dan lain-lain dapat menjadi gagasan bagi pengarang untuk menciptakan sebuah karya sastra. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran bentuk-bentuk diskriminasi yang terdapat dalam puisi esai Atas Nama Cinta karya Denny JA. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis telah menelaah puisi esai dengan menerapkan teori sosiologi sastra. Manfaat dari penelitian ini untuk memperkaya pengkajian dan pengapresiasian karya sastra Indonesia dan dapat memahami bentuk-bentuk diskriminasi yang terdapat dalam puisi esai karya Denny JA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode membaca heuristik dan hermeneutik. Adanya perbedaan kaum minoritas dengan kaum mayoritas, pada dasarnya akan menimbulkan diskriminasi. Hal inilah yang mengantar terjadinya berbagai diskriminasi dalam berbagai bentuk.
(11)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Karya sastra yang diciptakan seorang penyair umumnya lahir dari fenomena-fenomena kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra tidak hanya cerita fiktif atau imajinatif belaka melainkan bersumber dari fakta juga. Kepenyairan yang baik akan menunjukkan unsur fakta dalam karyanya seperti yang ditulis oleh Lubis (2004: 82):
“Kepenyairan yang dimaksud disini ialah kemampuan penyair untuk menyerap pantulan alam dan lingkungan sekitar dirinya, kemudian mengolah dan mengangkatnya kembali ke permukaan melalui proses dan daya terjemahannya sehingga lahir pernyataan-pernyataan dalam bentuk syair dan puisi.”
Pernyataan-pernyataan inilah yang menunjukkan kefaktaan sebuah karya sastra, khususnya puisi.
Rangkaian proses penciptaan karya sastra tidak terlepas dari proses internalisasi atau penghayatan melalui nilai rasa yang sangat responsif dan intuitif. Penyair bukan berada disuatu ruang yang hampa, melainkan penyair itu terkait dengan segenap penjuru atau sub-sistem yang saling mengait dengan sub-sub-sistem lainnya.Salah satu sub-sub-sistem tersebut, terkait dengan diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat.
Diskriminasi pada dasarnya adalah penolakan atas HAM dan kebebasan dasar. Dalam Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1998 disebutkan bahwa pengertian diskriminasi sebagai berikut:
“Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya” (Hartono, 2000:120).
(12)
Diskriminasi seperti yang diuraikan diatas, memperlihatkan bahwa spektrum diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk pada setiap bidang kehidupan secara langsung ataupun tidak langsung. Diskriminasi dapat bersumber dari peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang mengandung unsur-unsur diskriminasi dan dapat juga berakar pada nilai-nilai budaya, penafsiran agama, serta struktur sosial dan ekonomi yang membenarkan terjadinya diskriminasi.Tidak menutup kemungkinan dalam kehidupan sosial-masyarakat, terdapat diskriminasi yang bersifat terselubung dan rahasia pada masyarakat.
Penulis tertarik untuk mengkaji diskriminasi yang terdapat dalam kumpulan puisi esai karya Denny JA. Kisah-kisah yang diangkatnya memperlihatkan salah satu sisi lain dari Indonesia yang jarang dibicarakan secara terbuka. Kebutuhan ekspresi kisah itu membuat Denny JA sebagai penulis, memakai sebuah medium yang dinamakannya “puisi esai”, puisi yang memuat fiksi dan fakta. Denny juga mengatakan puisi ini bukan puisi yang lazim karena ada catatan kaki tentang data dan fakta di sana-sini, serta panjang dan berbabak. Ia juga bukan esai yang lazim karena dituliskan dengan larik, puitik dan mengeksplor sisi batin.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk-bentuk diskriminasi dalam kumpulan puisi esai Atas Nama Cinta karya Denny JA?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan
Mendeskripsikan bentuk-bentuk diskriminasi dalam kumpulan puisi esai Atas Nama
Cintakarya Denny JA.
1.3.2 Manfaat
(13)
1. Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang bentuk diskriminasi dalam kumpulan puisi esai Atas Nama Cinta karya Denny JA.
2. Menambah pemahaman baru dalam bidang sastra, khususnya puisi. 3. Menambah penelitian tentang puisi.
4. Menjadi sumber data bagi peneliti sasra selanjutnya.
1.3.2.2Manfaat Praktis
1 Menambah pengetahuan pembaca tentang diskriminasi yang terdapat dalam kumpulan puisi esai Denny JA.
2 Memberi informasi kepadapembaca tentang adanya isu diskriminasi yang mungkin terjadi dalam kehidupan masyarakat.
(14)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka
Sepengetahuan peneliti, belum ada yang mengkaji puisi Atas Nama Cinta karya
Denny JA mengingat puisi tersebut baru diterbitkan pada tahun 2012. Namun pembicaraan tanggapan para kritisi ada, antara lain:
2.1.1 Memahami Puisi Esai Denny JA. Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa Karangan Denny ini jelas adalah puisi. Salah
satunya karena antara lain ditulis dalam bentuk visual yang berupa larik yang dikumpulkan dalam bait. Dan puisi adalah fiksi, artinya karangan yang bersumber terutama (dan kadang-kadang semata-mata) pada imajinasi dan kreativitas. Betapa dekatnya pun kisah yang ditulisDenny dengan segala sesuatu yang pernah terjadi, semuanya adalah fiksi karena bersumberpada imajinasinya. Bahwa imajinasi biasa dipicu oleh segala bentuk peristiwa, itu tentu kita pahami. Itulah yangsayabacadalam karangan Denny ini.Namun, Denny menyebut karangannya “puisi esai.” Apakah esai bukan fiksi? Orang mengatakan esai adalah fakta yang disampaikan dengan cara khas, yang mencerminkan opini penulisnya. Esai adalah tulisan yang merupakan tanggapan pribadi terhadap masalah apa pun yang terjadi di sekitarnya; dari sisi itu esai adalah karya sastra. Selanjutnya Sapardi juga mengatakan Dalam kelima sajak yang dimuat dalam buku ini, Denny mengklasifikasikan semua itu dalam masalah diskriminasi. Setidaknya, itulah yang menjadikan gagasan dan karangan yang diberinya label Puisi Esai penting untuk dicatat dalam perkembangan puisi kita.
esai.com/2012/03/26/memahami-puisi-esai-denny-ja/
2.1.2 Satu Tulisan Pendek Atas Lima Puisi Panjang, Sutardji Calzoum Bachri. http://puisi-esai.com/2012/03/26/satu-tulisan-pendek-atas-lima-puisi panjang/
(15)
Sutardji Calzoum Bachri mengatakan bahwa puisi Denny JA tidak hanya
mengandung puitika. Ia juga bisa mengandung kisah, sikap, opini, argumentasi, dan esai. Ia pertama-tama memandangnya sebagai puisi. Jika nanti di dalamnya ada ihwal-ihwal yang terasa sebagai esai, maka itu adalah nilai plus dari persajakan ini. Boleh dikata semua sajak ini mengandung tema perlawanan yang beragam dari manusia sebagai individu. Antara lain perlawanan terhadap kemiskinan, perlawanan terhadap diskriminasi, perlawanan dari cinta.
Sajak-sajak dituturkan secara naratif dengan tokoh sentral orang kedua tunggal “dia lirik” atau orang pertama “aku lirik” dengan bait demi bait yang padat dengan perhitungan (restraint) sambil memanfaatkan peralatan puitika yang tercipta dari pertemuan larik, aliran irama dan bunyi kata-kata. Sutarji juga mengatakan bahwa puisi ini adalah puisi pintar.puisi yang dengan berbagai data, fakta, argumentasi, bisa memberikan kepintaran bagi pembacanya untuk memahami dan menghayati persoalan-personal yang terkait dengan masalah atau konflik sosial.
2.1.3 Menghadapi Diskriminasi dengan Puisi. Ignas Kleden http://puisi-esai.com/2012/03/26/menghadapi-diskriminasi-dengan-puisi/
Ignas Kleden mengatakan bahwa lima puisi Denny JA, ditulis dalam lima sajak
panjang dan memaklumkannya sebagai sebuah percobaan untuk memberi bentuk kepada suatu varian lain dalam puisi Indonesia, yang menggabungkan suasana batin tokoh liris dengan kondisi sosial sebagai konteks yang melahirkan suasana itu. Apakah percobaan ini membawa suatu pembaruan dalam puisi Indonesia, masih patut dilihat lebih lanjut dalam perjalanan waktu. Namun demikian, penulisnya secara sadar telah memilih suatu bidang tematik yang menjadi garapannya, yaitu diskriminasi dengan semua prasangka yang telah melahirkannya serta menelan para korban dengan penderitaan jasmani dan konflik batin,
(16)
yang mungkin hingga saat ini belum cukup diketahui. Ada biaya manusia dan biaya sosial yang mungkin belum pernah cukup dihitung berapa besarnya.Sajak-sajak Denny JA memperlihatkan wataknya yang menyimpang dari kebiasaan. Kelima sajak itu lahir dari suatu desain yang sadar. Tema yang digarap adalah soal diskriminasi di Indonesia pada masa reformasi, panjang masing-masing sajak itu relatif hampir sama. Tiap sajak dilengkapi dengan catatan kaki yang ekstensif untuk memberi informasi tentang situasi sosial saat terjadinya peristiwa yang dilukiskan dalam sajak. Tak lupa disertakan data-data, yang dimaksud untuk membangun Sitz im Leben baik bagi tokoh liris maupun bagi peristiwa liris
yang dilukiskan. Tokoh liris adalah juga anggota masyarakat yang relatif dikenal oleh publik pembaca, karena berita tentang mereka atau jenis peristiwa yang dialaminya diberitakan luas di media cetak dan media elektronik. Itu sebabnya penulisnya tidak menyebut kelima buah penanya ini sajak, tetapi puisi esai. Ada niat untuk mencobakan suatu bentuk lain dalam berekspresi, dengan menggabungkan puisi dan esai.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa dalam kelima sajaknya, Denny JA dengan tegas memilih untuk berpihak pada para korban diskriminasi. Dia seakan menitipkan protes, simpati, dan tekadnya melawan arus ketidakadilan melalui suara para aktor liris.Dia merasa memikul tanggung jawab untuk melakukan advokasi terhadap mereka yang tidak diperlakukan sama dan setara di depan hukum.
Para aktor liris seakan ditakdirkan untuk berhadapan dengan hambatan yang tidak dapat disingkirkan dalam mencapai niatnya, menderita hukuman sosial hanya lantaran keyakinan yang dianutnya, dan mengalami persekusi oleh pihak yang memperlakukan mereka sebagai anggota out-group yang dalam praktik tidak banyak bedanya dengan nasib
para outcast yang tak diakui keanggotaannya dalam masyarakat dan menjadi paria secara
sosial.Hal ini menimbulkan sikap diskriminatifyang muncul dari prasangka perbedaan agama (dalam sajak “Bunga Kering Perpisahan”), prasangka perbedaan paham tentang agama
(17)
(dalam sajak “Romi dan Yuli dari Cikeusik”), prasangka perbedaan etnis (dalam sajak “Sapu Tangan Fang Yin”), prasangka tentang perbedaan orientasi seksual (dalam sajak “Cinta Terlarang Batman dan Robin”), dan prasangka perbedaan kelas sosial (dalam sajak “Minah Tetap Dipancung”).
2.2 Konsep
2.2.1 Pengertian Puisi
Puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan (Pradopo 1987: 3). Djoko juga melanjutkan bahwa seseorang tidak akan dapat memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna.
2.2.2 Pengertian Diskriminasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiadiskriminasiadalahpembedaan perlakuan
terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya).
2.2.3 Pengertian Puisi Esai
Agus R. Sarjonodalam e-jurnal sajak mengatakanbahwa puisi esai adalah gabungan puisi dan esai. Dengan menyebut “puisi esai” terbuka dua kemungkinan: (1) puisi yang menggunakan spirit esai; (2) esai yang ditulis dengan menggunakan kaidah puisi.Pertama-tama dalam kaitan subjek-objek, sejauh mengacu pada karya-karya Denny JA, unsur esai sangat kuat pada puisi esai (Sarjono, 2013:18-19). Selanjutnya, Sarjono membagi spirit esai antara lain:
(18)
1. Keterlibatan penyair dengan masalah krusial yang hidup dan menjadi bagian penting dari masalah masyarakat;
2. Rasa hormat atas fakta dengan tidak buru-buru menyimpulkan secara umum suatu fakta atau fenomena (apalagi menerima begitu saja pemberitaan umum) lantas memfiksikannya.
3. Rasa hormat atas riset untuk mengenali dengan baik dan relatif objektif masalah yang hendak ditulis sebagai puisi.
4. Membumikan secara partikular fenomena sosial dengan segala anggapan stigmatis yang hidup di masyarakat sebagai anggapan-anggapan umum kedalam penokohan dan latar yang spesifik; dan
5. Menyadari pada hakikatnya sebuah puisi adalah aparat komunikasi. (Sarjono, 2013: 24).
Puisi esai adalah puisi yang ditulis berdasarkan fakta peristiwa tertentu dan dituangkan dalam bahasa komunikasi yang mudah dipahami.Berbeda dengan puisi lirik yang ditulis berdasarkan imajinasi si penulis. Meskipun diangkat dari suatu fakta, puisi esai tetaplah fiksi karena fakta itu hanyalah sebagai latar belakang dari cerita yang akan dituangkan penulis dalam puisi esai. Untuk menulis puisi esai, seorang penulis harus mencari dan mendalami fakta yang akan diangkat dalam puisinya. Penulisan puisi esai harus dilengkapi dengan catatan kaki guna menegaskan cerita tersebut benar-benar nyata. Menurut Denny JA sendiri yang merasa bahwa dirinya adalah pencetus puisi esai sebagai Genre Baru Sastra Indonesia, puisi esai itu ialah puisi yang bercita rasa esai atau esai tentang isu sosial yang puitik, yang disampaikan secara puitis (Denny JA, 2012: 12).
2.3 Landasan Teori
Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani), berarti kontemplasi
(19)
terstruktur terhadap gejala-gejala alam berfungsi sebagai pengarah dalam kegiatan penelitian (Pradopo, dkk 2001: 15). Menurut Endraswara (2003: 79) sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Wolff (dalam Endraswara 2003: 77)mengatakan bahwa sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefenisi dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.
Wellek dan Waren (dalam Damono 1984: 3) membuat kalasifikasi masalah sosiologi sastra yang singkatnya sebagai berikut:
1. Sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosioal, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.
2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. 3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
Berdasarkan banyak telaah yang tercakup dalam sosiologi sastra, Sapardji menyimpulkanada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Pendekataan ini bergerak dari faktor-faktor diluar sastra untuk membicarakan sastra; sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor diluar sastra itu sendiri. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang dipergunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya. Untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra (Damono 1984:2).
(20)
Dalam konteks penelitian ini akan dianalisis teks untuk mengetahui gejala sosial yang berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan oleh peneliti. Nyoman Khuta Ratna menjelaskan bahwa teori-teori sosiologi yang dapat menopang analisis sosiologis adalah teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai sistem komunikasi khususnya dalam kaitannya dengan aspek-aspek ekstrinsik seperti: kelompok sosial, kelas sosial, stratifikasi sosial, institusi sosial, sistem sosial, interaksi sosial, konflik sosial, kesadaran sosial, mobilitas sosial dan sebagainya (Ratna 2003:18). Karya seni jelas bersumber dalam kehidupan masyarakat, dalam konfigurasi status dan peranan yang terbentuk dalam struktur sosial, dan dengan sendirinya menerima berbagai pengaruh sosial.
Aspek sosiologis yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah isu diskriminasi yang terdapat dalam teks. Selanjutnya, aspek ini dihubungkan dengan beberapa hal, yakni: (1) konsep stabilitas sosial, (2) konsep kesinambungan masyarakat yang berbeda, (3) bagaimana seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnya, (4) bagaimana proses masyarakat dapat berubah secara bertingkat, (5) bagaimana perubahan besar masyarakat , misalnya feodalisme ke kapitalisme (Endraswara, 2003: 88). Namun, berbagai aspek tersebut, masih dapat diperluas lagi menjadi berbagai refleksi sosial sastra, antara lain: (a) dunia sosial manusia dan seluk-beluknya, (b) penyesuaian diri individu pada dunia lain, (c) bagaiman cita-cita untuk mengubah dunia sosialnya, (d) hubungan sastra dan politik, (e) konflik-konflik dan ketegangan dalam masyarakat.
2.3.1 Diskriminasi
Menurut PBB, diskriminasi diartikan sebagai “diskriminasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya”.
Diskriminasi pada dasarnya adalah penolakan atas HAM dan kebebasan dasar.Dalam Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1998 tentang HAM disebutkan pengertian diskriminasi adalah
(21)
“setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya.
Padahal dalam Mukadinah Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang ditandatangani tanggal 26 Juni 1945, dapat antara lain dibaca bahwa bangsa-bangsa yang bersatu dalam PBB berketetapan hati atau bertekad supaya generasi-generasi mendatang terhindar dari bencana peperangan yang telah dua kali mendatangkan penderitaan yang tidak terperikan kepada umat manusia. Para pendiri PBB juga kembali memperkuat keyakinan atas kesetiaan mereka terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM), martabat dan nilai luhur dari manusia sebagai pribadi serta terhadap persamaan hak pria dan wanita dan persamaan hak dari negara besar dan kecil (Ihromi,2000: v). Selanjutnya dikatakan juga bahwa tujuan PBB terbaca dalam pasal 1 dari piagam tersebut yaitu mewujudkan kerja sama internasional dalam upaya pemajuan dan peningkatan penghargaan terhadap HAM serta kebebasan-kebebasan dasar untuk semua orang tanpa pembedaaan berdasarkan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama.
Disisi lain, menurut data PBB, dari 25 instrumen internasional dibidang Hak Asasi Manusia, Indonesia baru meratifikasi 5 (lima) instrumen, sehingga hal ini lah menunjukkan betapa kecil perhatian Negara dan pemerintah kita terhadap penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Peristiwa-peristiwa memalukan selama 30 tahun terakhir memang benar-benar telah menunjukkan bahwa budaya nyata (real culture) Indonesia benar-benar semakin
(22)
Banyak diskriminasi yang terjadi pada kelompok dan individu tertentu.Faktor dominasi satu kelompok terhadap kelompok lain bisa menjadi penyebabnya. Mengenai hal ini Hartono mengatakan:
“Jika dikaitkan dengan pasal 7 UU Hak Asasi Manusia yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 9 September 1999 pada butir pertama dikatakan bahwa setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusiayang dijamin oleh hokum Indonesia dan hokum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima Negara Republik Indonesia” (Hartono 2000: 30).
tetap saja ada kelompok atau individu terdiskriminasi oleh pendiskriminasi.
Selain kedudukan dan peranan sosial, adanya penggolong-penggolongan anggotamasyarakat adalah penyebab utama pemicu diskriminasi.Penggolongan ini menimbulkan lapisan atas dan bawah.Lapisan atas adalah yang dihargai oleh masyarakat dan memiliki kedudukan yang tinggi.Lapisan bawah justru sebaliknya.Menurut Soerjono Soekanto, ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat dalam suatu lapisan adalah ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu spengetahuan (Soekanto, 2009:208).Ukuran ini tidak bersifat limitatif karena masih ada ukuran-ukuran lain yang dapat digunakan.Akan tetapi, ukuran-ukuran diatas sangat menentukan sebagai dasar timbulnya sistem lapisan dalam masyarakat tertentu.
2.3.2 Jenis-jenis Diskriminasi
Diskriminasi adalah perkataan atau perlakuan buruk yang ditujukan kepada individu atau kelompok tertentu. Timbulnya perlakuan buruk disebabkan oleh banyak faktor yang pada akhirnya membentuk adanya diskriminasi dalam berbagai jenis. Siti Aminah (http://indonesiatoleran.or.id/2013/01/mengenal-diskriminasi-berdasarkan-agama/) membagi jenis diskriminasi yang sering terjadi sebagai berikut:
(23)
2. Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan gender (peran social karena jenis kelamin), contohnya anak laki-laki diutamakan untuk mendapatkan akses pendidikan dibanding perempuan; perempuan dianggap hak milik suami setelah menikah; dll. 3. Diskriminasi terhadap penyandang cacat, contohnya penyandang cacat dianggap sakit
dan tidak diterima kerja dimanapun
4. Diskriminasi pada penderita HIV/Aids, contohnya penderita HIV/Aids dikucilkan dari masyarakat dan dianggap sampah masyarakat
5. Diskriminasi karena kasta social, contohnya di India, kasta paling rendah dianggap sampah masyarakat dan dimiskinkan atau dimarjinalkan sehingga tidak punya akses apapun untuk menikmati hak asasinya.
Terdapat lima diskriminasi dalam puisi esai karya Denny JA yaitu diskriminasi etnis, paham agama, kelas sosial, orientasi seksual, dan agama. Diskriminasi terjadi dipicu oleh adanya perbedaan berdasarkan kelima hal diatas. Individu satu akan mendiskriminasikan individu lain atau kelompok satu dengan kelompok lain dalam bentuk tertentu. Secara terperinci bentuk diskriminasi dapat berupa perkataan (menghina, mengucilkan, memaksakan kehendak, dan lain-lain) atau perbuatan (memukul, menampar, memperkosa, dan lain-lain) yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, konvensi ILO (Internasional Labour Organization) no.111 tahun 1958 dalam hal pekerjaan dan kesempatan, mendiskripsikan diskriminasi langsung dan tidak langsung sebagai berikut:
1. Diskriminasi langsung
Perlakuan yang tidak adil antar pekerja akibat langsung dari UU, peraturan atau praktek yang membuat perbedaan nyata antar pekerja atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin atau alasan lain yang dilarang. Misalnya iklan kerja yang menyebutkan jenis kelamin pelamar.
(24)
2. Diskriminasi tidak langsung
Peraturan dan praktek yang tampak netral namun pada prakteknya menimbulkan kerugian terutama terhadap mereka dari jenis kelamin, ras, warna kulit tertentu atau alasan lain yang dilarang. Misalnya iklan kerja yang menetapkan persyaratan tinggi tertentu yang menguntungkan salah satu gender.
ILO menambahkan diskriminasi struktural atau diskriminasi sistematis/institusional yaitu diskriminasi yang dapat terjadi secara tidak teratur dalam situasi tertentu, namun biasanya hal ini merupakan fenomena sistematis yang tertanam dalam cara kerja organisasi, UU, dan peraturan yang diterapkan dan cara tempat kerja beroperasi. Diskriminasi struktural berarti diskriminasi kelembagaan yang tertanam dalam pola sosial, struktur organisasi, dan sarana hukum yang mencerminkan dan menghasilkan produk dan hasil yang diskriminatif. Misalnya perbedaan upah antar gender, diskriminasi terhadap pekerja pendatang dari desa di Cina.
(25)
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah:
Judul : Atas Nama Cinta
Pengarang : Denny JA.
Penerbit : Rene Book
Tebal buku : 215 halaman
Ukuran : 18,5 cm x 21 cm
Cetakan : Pertama
Tahun : 2012
Warna Sampul : Perpaduan warna merah, hitam, putih, kuning emas, dan orange.
Gambar Sampul :Terdapat gambar burung merpati yang sedang terbang dengan kalung hati berwarna merah dilehernya, serta rantai yang menggembok kakinya. Disisi kiri bawah sampul juga terdapat lebelberbentuk lingkaran yang bertuliskan Genre Baru Sastra Indonesia.
Desain sampul : AM Wawantoro & M.T. Nugroho.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka (Library Research).Library Research adalah data dan alat untuk menganalisis data semuanya
bersumber dari buku-buku, majalah dan koran yang ada dalam koleksi perpustakaan (Fitrah, 2008: 122). Selanjutnya dilakukan teknik simak dan catat, yaitu pembacaan objek kajian terlebih dahulu kemudian menyimak isi dan seterusnya dilakukan pencatatan data-data yang diperlukan. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode pembacaan hermeneutika yaitu
(26)
dengan menafsirkan atau menginterpretasikan (Ratna, 2006:45). Pada pembacaan hermeneutik, yaitu memilih bentuk-bentuk diskriminasi dalam puisi esai karya Denny JA.
3.2 Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik.Heuristik merupakan langkah untuk menemukan makna melalui pengkajian struktur bahasa dengan menginterpretasikan teks sastra secara referensial lewat tanda-tanda bahasa. Langkah ini berasumsi bahwa bahasa bersifat referensial, artinya bahasa harus dihubungkan dengan hal-hal nyata. Hermeneutik yaitu pembacaan bolak-balik untuk menangkap maknanya. Pembacaan dilakukan dari awal sampai akhir data yang dilakukan secara berulang-ulang.
Metode yang digunakan dalam menganalisis karya sastra adalah metode deskriptif. Analisis data dikerjakan secara utuh dan menyeluruh. Analisis dilakukan dengan langkah-langkah berikut: (a) Peneliti membaca data yang telah dikumpulkan untuk dipahami secara keseluruhan, (b) Peneliti mengidenfikasikan dan mengklasifikasikan seluruh data berdasarkan butir masalah yang telah dirumuskan, dan (c) Penelitian kembali menafsirkan seluruh data untuk menemukan kepaduan dan hubungan antar data, sehingga diperoleh pengetahuan secara utuh tentang makna karya sastra. Data yang telah diidentifikasi kemudian dipilah berdasar butir masalah yang telah dirumuskan. Hasil yang diperoleh berupa uraian penjelasan penelitian yang bersifat deskriptif.
(27)
BAB IV PEMBAHASAN
Karya sastra Indonesia berisi potret kehidupan masyarakat Indonesia. Ia berkaitan dengan situasi dan kondisi dalam masyarakat. Ia merupakan refleksi kegelisahan hati sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran dari pengarang. Masalah politik, hukum, kesehatan, pendidikan, diskriminasi, dan lain-lain dapat menjadi gagasan bagi pengarang untuk menciptakan sebuah karya sastra. Karya sastra dapat berupa puisi, drama, prosa, cerita pendek, teater, dan lain-lain.
Karya sastra memberi ruang bagi pengarang untuk mengaplikasikan ide dengan cara lebih rileks dan mampu menjangkau pemakaian kata dari sudut mana pun. Pengarang bebas dalam memilih kata-kata, termasuk kebebasan dalam penggunaan majas, citraan, frase, dan
(28)
gaya bahasa lainnya. Kebebasan menciptakan peluang bagi pengarang lama ataupun pengarang baru untuk berekspresi, bahkan bereksperimen dalam menciptakan sebuah karya.
4.1 Puisi Esai Atas Nama Cinta dalam Kontroversi
Kumpulan puisi esai karya Denny JA yang berjudul Atas Nama Cinta diterbitkan pada
tahun 2012. Denny merupakan penulis pertama puisi esai. Puisi esai adalah puisi yang panjang. Biasanya terdapat sebelas babak dalam satu puisi. Satu babak bisa mencapai lima belas atau enam belas bait. Cerita yang diangkat dalam puisi menyangkut tentang konflik sosial dan diceritakan secara berurutan. Demi mengeksplor sisi fakta pada puisi, pengarang membuat catatan-catatan kaki.
Cerita yang diangkat oleh Denny JA merupakan isu diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat. Ada lima isu diskriminasi yang ia angkat yaitu diskriminasi terhadap etnis Cina dalam puisi “Sapu Tangan Fang Yin”, perbedaan paham agama dalam puisi “Romi dan Yuli dari Cikeusik”, perbedaan kelas sosial dalam puisi “Minah Tetap dipancung”, perbedaan orientasi sosial dalam puisi “Cinta Terlarang Batman dan Robin” dan perbedaan agama dalam puisi “Bunga Kering Perpisahan”.
Puisi esai mampu menarik perhatian masyarakat sastra. Beberapa penulis menyambut puisi esai dengan menuliskan beberapa puisi esai lainnya. Dalam dunia berita– antarnews.com dikatakan, “sebanyak lima buku antalogi puisi esai karya 23 penyair secara resmi diluncurkan di teater kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Rabu malam”. Dalam acara tersebut, diisi pertunjukan pewayangan dengan alur cerita berasal dari cuplikan-cuplikan 23 puisi esai yang terdapat dalam lima buku antalogi puisi esai. Para penulis puisi esai itu adalah Sujiwo tewo, Agus noor, Chavchay saefullah, Akidah gauzillah , Anis sholeh ba’asyin, Dianing widya, Ahmadun yosi herfanda, Anwar putra bayu, D. kemalawati, Handry TM, Mezra E. pellondou, Salman yoga S., Mustafa ismail, Kurnia effendi, Bambang widiatmoko, Nia samsihono, Anisa afzal, Isbedi setiawan ZS, Remmy novaris, Sihar ramses
(29)
simatupang, dan Rama prabu. Kelima buku yang diluncurkan berjudul “Moro-moro Algojo Merah Saga”, “Sungai Isak Perih Menyemak”, Testamen di Bait Sejarah”, “Serat Kembang Raya”, dan “Jula Juli Asam Jakarta”.
Sejak puisi esai ditulis oleh Denny JA dan diterbitkan istilah puisi esai menjadi perdebatan, terutama dikalangan penulis puisi dan sastrawan. Salah satu penyebab perdebatan ialah Denny JA membuat label “Genre baru” pada bukunya. Ada pihak yang menolak dengan keras puisi esai dan ada yang menerima. Penolakan terhadap puisi esai karya Denny JA semakin keras semenjak di terbitkan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
(33 TSIPB) dan nama Denny JA menjadi salah satunya.
4.1.1 Puisi Esai dalam Kontroversi
Puisi pada dasarnya adalah fiksi, sekalipun cerita yang diangkat oleh pengarang adalah peristiwa huru-hara yang pernah terjadi. Puisi mengeksplor estetika bahasa lewat imajinasi pengarang. Disisi lain, esai adalah karya ilmiah yang diidentikkan dengan opini. Keduanya adalah hal yang berbeda dan tidak dapat disatukan. Pengertian antara puisi dan esai saling bertolak belakang dan seolah mustahil untuk disatukan. Namun, Denny JA mengartikan puisi esai adalah penggabungan antara fiksi dan fakta (JA, 2012:10). Keduanya adalah hal yang berbeda dan tidak dapat disatukan. Dasar pemikiran inilah yang membuat para sastrawan menolak puisi esai Denny JA. Puisi tetap adalah puisi dan esai tetap adalah esai.
Ilham Q. Moehiddin dalam esainya berjudul “Sebuah Imajinasi di kedai Acta-Ithimus, Esai di Kebun Puisi: Berharap Minyak Bercampur pada Air” yang ditulis di Jurnal Sajak
menyampaikan banyak kritikan dan penolakan terhadap Puisi Esai. Dikatakan pada esainya bahwa Denny JA mengibaratkan perpuisian Indonesia sama dengan perpuisian Amerika Serikat yang sedang mengalami kemunduran, “Denny bicara tentang Poetry, A Magazine of
(30)
Poetry in New Century, di sana Barr melontarkan kritik tajam terhadap perkembangan puisi
Amerika Serikat tahun itu” Menurut Barr, Puisi semakain sulit dipahami publik. Penulisanya mengalami stagnasi, tidak mengalami perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi, para penyair asyik-masyuk dengan imajinasinya sendiri, alih-alih merespon penyair lain. ‘Barr melihat bahwa para penyair tidak merespon persoalan yang dirasakan khalayak luas” (Moehiddin, 2014: 4).
Menyambut pemikiran Barr, Denny melakukan sebuah riset terbatas tahun 2011 yang dilakukan oleh lembaganya, LSI (Lembaga Survei Indonesia). Ia memilih secara acak lima puisi yang di muat Koran ternama Indonesia di rentang Januari-Desember 2011. Ada pembaca yang ia klasifikasikan dalam tiga kelompok: sarjana semua strata, berpendidikan menengah (SMA dan SMP), dan berpendidikan rendah (tamatan SD). Setiap jenjang itu diwakili oleh lima orang responden .Mereka diberi puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan “Khotbah” karya WS Rendra untuk ditafsirkan. Hasil dari riset tersebut mengejutkan menurut Denny. Mereka yang tamat perguruan tinggi tidak memahami apa isi puisi tahun 2011 yang dijadikan sampel. Mereka yang berpendidikan menengah dan rendah lebih sulit lagi memahami.
Berdasarkan riset yang ia lakukan, Denny menciptakan puisi esai sebagai sebuah medium yang mudah dimengerti sehingga gagasannya dapat dipahami oleh masyarakat. Keriteria medium dikategorikan Denny sebagai berikut:
“Pertama, ia mengeksplor sisi batin, psikologi dan sisi human interest
pelaku. Kedua, ia dituangkan dalam larik dan bahasa yang diikhtiarkan puistik dan mudah dipahami. Ketiga, ia tak hanya memotret pengalaman batin individu tapi juga konteks fakta sosialnya. Kehadiran catatan kaki dalam karangan menjadi sentral. Keempat, ia diupayakan tak hanya menyentuh hati pembaca/pemirsa, tapi juga dicoba menyajikan data dan fakta sosial (JA, 2012:11)”.
Ilham menampik semua keriteria puisi esai yang disampaikan Denny JA. Menurutnya, puisi sejatinya juga telah merangkum hal-hal yang dimaksudkan Denny JA dan sudah lama
(31)
terkandung dalam rahim puisi. Pada kenyataannya, catatan kaki itu tidak termasuk dalam konsep estetik puisi. Ia juga melanjutkan bahwa Denny sedang berusaha merusak puisi dan esai sekaligus:
“Denny JA dianggap gagal memahami ekspektasi orang terhadap puisi. Puisi menjadi sangat kuat apabila ia mampu menjadi medium yang multi-tafsir. Bahasa menjadi serambi bagi setiap orang untuk menafsirkan sebuah puisi dari sudut manapun. Puisi esai hanya bermuara pada satu tafsir saja. Varian baru milik Denny mengacaukan ruang estetik dalam puisi. Hal estetik pada puisi bukan hanya berkutat pada kemampuan penyair memodifikasi penyebutan, tipografi, rasa indah melalui penaklukan bahasa, tetapi juga membuka pemaknaan seluas-luasnya” (Moehiddin, 2014: 7-8).
Kebanyakan pendapat yang terus menjaga puisi tetap berdampingan dalam bahasa, sastra, keindahan, curahan hati, dan harus dibaca dengan cara menafsirkannya, pada gilirannya akan memperlihatkan bahwa puisi bukan sebuah kurikulum dan menjinakkannya untuk mengembangkan teori-teori pembacaan sastra dan bahasa.
4.1.2 Denny JA
Seorang reporter Merdeka.com1
mengatakan , “sejak awal tahun hingga kini publik sastra Indonesia masih berpolemik tentang peluncuran buku 33 TSIPB pada 3 Januari lalu. Pusaran polemik adalah
masuknya nam
Pramoedya Ananta Toer dan WS Rendra”. Dalam hal ini, seolah ada dua kubu sastrawan: ada sastrawan yang menentang kehadiran Denny JA sebagai 33 tokoh sastrawan berpengaruh dan ada juga yang mendukung.
Hingga kini, polemik 33 Sastra berpengaruh masih sulit untuk diselesaikan. Seorang
sastrawan penentang buku 33 TSIPB tidak lama lagi akan berhadapan dengan polisi karena
(32)
pelaporan sastrawan lain
karena sudah masuk ke ranah hukum. Hal ini semakin sulit lagi karena Denny mendukung pelaporan tersebut: “Denny JA mendukung pelaporan Fatin Hamama atas sastrawan Sutan Iwan Soekri Munaf ke Mapolda Metro Jaya. Bahkan, konsultan politik yang bikin heboh jagat sastra karena muncul dalam buku 33 TSIPB itu secara khusus mem-posting tulisan di
forum situs miliknya, dilengkapi foto surat pelaporan Fatin”
April 20142
Tim juri sekaligus penulis, memasukkan nam ).
Para sastrawan pendukung Denny JA terus giat merencanakan program-program untuk mengembangkan puisi esai, misalnya perlombaan menulis puisi esai dan lomba mereview puisi esai karya Denny dengan hadiah total lima puluh juta rupiah. Puisi esai banyak dituangkan bentuk lain, seperti: teater monoplay, drama musikalitas, dan film berdurasi singkat. Namun, pada akhirnya, banyak sastrawan yang mengundurkan diri bahkan mengembalikan uang yang telah diberikan oleh Denny JA. Pernyataan pengunduran diri dan rasa diperalat oleh Denny JA banyak ditulis di situs merdeka.com oleh reporter Laurencius simanjuntak.
33 TSIPB
karena dia dianggap merintis genre sastra baru: puisi-esai. Setelah buku itu terbit (awal Januari), terbit buku yang merangkum puisi esai dari 23 penyair. Empat dari 23 penyair yang terlibat dalam proyek buku puisi esai menyadari karyanya akan dijadikan alat legitimasi
pengar33 TSIPB terbit dan menjadi polemik dengan alasan: saat
menyetorkan karyanya, para penyair itu tidak tahu bahwa akan terbit buku yang menimbulkan konflik dalam publik sastra Indonesia. Kepada merdeka.com, Fatin membantah Denny telah memperalat sejumlah sastrawan, lewat perantaraannya. “Kawan-kawan itu manusia dewasa, orang terpelajar dan terdidik, tidak mungkin mereka diperalat dan
(33)
tertipu, saya tidak membeli kawan-kawan” kata Fatin. 7 Februari 2014 http://www.merdeka.com/peristiwa/empat-sastrawan-ini-mengaku-diperalat-denny-ja.html).
Mengaku melacurkan diri ke mengembalikan uang sebesar sepuluh juta rupiah kepada juta adalah bayaran yang sebelumnya diterima Ahmadun untuk menulis sebuah puisi esai berjudul 'Grafiti Sulastri'. Uang sebesar sepuluh juta rupiah itu ia transfer melalui rekening BCA atas nama Fatin Hamama, perantar Ahmadun. Lewat media sosial, Ahmadun bahkan mem-posting slip bukti transfer-nya yang
ia pindai lebih dulu, ditambah dengan isi pengakuan Ahmadun Yosi Herfanda:
“SAYA SUDAH KEMBALIKAN HONOR PUISI ESAI DENGAN PERMINTAAN MAAF
Salam sastra.
Dengan rasa hormat dan kerendahan hati, serta dengan permintaan maaf ke sebagai konsekuensi dari penyesalan saya atas keterlibatan saya pada politik puisi esai (ikut menulis puisi esai pesanan) itu hari ini, tepat pukul 14.50 wib, saya sudah mengembalikan honor puisi esai Rp 10 juta melalui rekening BCA Fatin Hamama (perantara pesanan puisi esai ini). Alhamdulillah, Allah SWT memberi jalan kemudahan bagi saya untuk mengembalikan uang itu bukti setoran pengembalian dana itu terlampir. Semoga dengan kerendahan hati pul
(34)
berkenan menerimanya kembali. Sebelum ini sebenarnya saya sudah mengontak Fatin untuk membatalkan kesertaan saya itu, tapi Fatin tentu tak dapat berbuat apa-apa karena bukunya sudah telanjur dicetak.
Dengan pengembalian honor itu berarti otomatis saya menarik kembali puisi esai berjudul "Grafiti Sulastri" yang pernah saya kirim ke dicetak bersama puisi-puisi esai karya para penyair lain, tidak apa-apa. Saya takkan mempersoalkannya. Yang penting, bagi saya pribadi, saya sudah jujur pada suara hati nurani saya sendiri, suara hati yang sempat saya abaikan saat menerima pesanan itu. Sekali lagi, maaf dan terima kasih ke telah memberikan penghargaan begitu tinggi pada saya lewat pesanan puisi esai itu. Mohon maaf, jika pengembalian honor itu membuat perasaan jadi tidak nyaman. Ide puisi esai itu sebenarnya menarik jika tidak dipolitisir untuk kepentingan tertentu. Yang memang senang menulis puisi esai tentu tidak ada salahnya juga, dan terus saja lanjutkan asal memang sesuai dengan pilihan hati masing-masing.
Perlu saya tegaskan juga bahwa sikap ini adalah sikap pribadi saya sendiri dan sama sekali tidak mewakili siapapun. Dengan pernyataan sikap ini saya tidak bermaksud mengajak, menyinggung atau melibatkan siapapun yang sudah telanjur ikut menulis puisi esai. Jika ada juga yang merasa dirugikan atas pernyataan penyelasan dan sikap saya ini, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Soal honor puisi esai yang sudah terlanjur kawan-kawan terima, silakan kembalikan saja ke suara hati nurani masing-masing. Semoga honor itu tetap berkah untuk kawan-kawan belanjakan. Hanya, uang yang saya terima memang agak beda jumlahnya dan prosesnya pun berbeda sehingga hati nurani saya meragukan kehalalannya. Karena itu, sebagai manusia yang lemah dan tak bebas dari kekhilafan, hanya pengembalian honor itu yang dapat saya lakukan sebagai wujud pertobatan atas keterlibatan saya pada politik puisi esai itu.
Sekali lagi, dengan kerendahan hati, saya minta maaf, jika di dalam pernyataan penyesalan dan sikap saya itu ada hal-hal yang konyol atau menyinggung perasaan kawan-kawan yang terlibat dalam "politik puisi esai" dan penokohan minta maaf sedalam-dalamnya ke atas semua tidaknyamanan ini. Sungguh bukan maksud saya menyinggung perasaan siapapun. Meskipun, memang, dalam mengungkap kebenaran kadang-kadang menimbulkan efek samping: menyinggung perasaan orang lain. Sekali lagi minta maaf bagi siapa saja yang terkena efek samping penyesalan saya itu. Saya berpegang pada hadis Nabi SAW, yang kurang lebih berarti, "Sampaikanlah kebenaran, walau sepahit apapun.
(35)
Dengan pernyataan penyesalan, sikap, dan pengembalian honor kepada tidak memiliki rekening Denny JA), maka saya anggap persoalan saya dengan "politik puisi esai" telah selesai. Semoga kejujuran pada hati nurani ini memberi hikmah bagi saya pribadi dan siapa saja yang menerimanya dengan hati terbuka. Semoga Allah SWT meridhoi langkah saya ini dan memberi bimbingan serta kekuatan pada langkah saya selanjutnya, langkah seorang hamba yang sedang belajar setia di jalan-Nya. Terima kasih. Salam cinta untuk semua. Wassalam wrwb”.
(
http://www.merdeka.com/peristiwa/sastrawan-ahmadun-akhirnya-kembalikan-rp-10-juta-ke-denny-ja.html
Masih banyak tulisan lain menyangkut penolakan kesastrawanan Denny JA yang dapat dilihat di situs merdeka.com, diantaranya yaitu Penulis ‘33 Sastra Berpengaruh’ Siap
Minta Maaf kepada Pelukis Hanafi, Hanafi Bicara Soal Lukisannya Dicabut untuk ’33 Sastra
Berpengaruh’, Pemenang Lomba Puisi Esai Kembalikan Uang Hadiah ke Denny JA,
Sastrawan Yogya Tuding Denny JA Rekayasa Nama agar Masuk Buku, Sastrawan Ciputat
Pertanyakan Kredibilitas Sastra Denny JA, Dosen UIN Tolak Denny JA Masuk ke dalam 33
Sastrawan Berpengaruh, dan lain sebagainya.
Leon Agusta adalah sastrawan yang tetap mendukung puisi esai karya Denny JA. Ia menyamakan derajat puisi esai dengan sederet istilah puisi lainnya: puisi lirik, puisi kontemplatif, puisi sufistik, puisi religious, puisi mantra, puisi prosa, puisi perlawanan, puisi pamphlet, puisi kontekstual, puisi sosial, puisi gumam, puisi bisu, dan puisi gelap. Ia memiliki gagasan sendiri mengenai kesamaan derajat puisi esai dengan puisi lainnya: semua istilah nama puisi memiliki perbedaan pengertian masing-masing. Namun, semuanya adalah puisi. Agusta merasa bahwa perbedaan istilah puisi berasal dari beberapa faktor yang ia gambarkan berdasarkan poin pertanyaan berikut: “bisa juga dengan mempertanyakan: faktor apa sajakah yang melahirkan atau melatarbelakangi perbedaan sedemikian? Pendidikan dan bakat? Gagasan seni dan obsesi pencarian?” (Agusta, 2012:32). Istilah baru pada puisi muncul karena adanya kreasi dan inovasi yang terus berkembang.
(36)
Agusta menyatakan kesedihannya terhadap sastrawan lain yang menolak kehadiran puisi esai Denny JA seperti yang tertulis dalam tulisanya berikut,
“seandainya puisi esai yang diperkenalkan Denny JA ini diterima dan mendapat sambutan dari para penulis sebagai suatu genre baru yang layak dikembangkan, puisi esai memiliki sumber tema yang bagaikan tak ada batasnya: kehidupakan yang hiruk-pikuk, keseharian yang mencekik, gaduh, kontroversi yang saling tidak peduli, kepura-puraan penuh muslihat dan tipu-daya, nafsu haus mangsa, dan jual beli dalil dan perkilahan, tanpa toleransi dan solidaritas atas nama nilai kebenaran, cita-cita keadilan dan keyakinan serba sepihak, dan lain-lain” (Agusta, 2012:33).
4.2 Bentuk-bentuk Diskriminasi
Diskriminasi umumnya terjadi pada kaum minoritas. Kaum yang seharusnya dibela dan dilindungi, justru seolah tidak mendapat pembelaan. Banyak alasan yang menyebabkan mereka didiskriminasikan. Alasan utama yaitu kaum minoritas dianggap berbeda dan tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat pada umumnya sehingga mereka diasingkan oleh masyarakat. Nilai-nilai yang sudah lama tertanam di benak masyarakat tidak mudah tergeser dengan hal yang baru. Oleh karena itu, kaum minoritas sulit diterima dalam masyarakat.
Dalam puisi esai karya Denny JA, terdapat lima bentuk diskriminasi yang didasari karena adanya perbedaan. Bentuk diskriminisi tersebut yaitu sebagai berikut.
4.2.1 Diskriminasi karena perbedaan Etnis
Puisi Sapu tangan Fang Yin adalah puisi pertama yang terdapat pada kumpulan puisi
esai karya Denny JA. Puisi ini berisi diskriminasi yang terjadi pada etnis Cina. Diskriminasi timbul akibat adanya prasangka buruk mengenai etnis tersebut. Dari 144 bait, terdapat sembilan bait yang menunjukan adanya diskriminasi terhadap etnis Cina dalam berbagai bentuk. Berikut ini akan dijelaskan isi yang disampaikan dari bait-bait tersebut.
(37)
“Waktu itu usianya dua puluh dua
Terpaksa kabur dari Indonesia, negeri kelahirannya Setelah diperkosa segerombolan orang
Tahun 1998, dalam sebuah huru-hara” (ATC, 19).
Tahun 1998 tepatnya di bulan Mei adalah waktu terjadinya kerusuhan yang melibatkan etnis Cina sebagai korban kerusuhan tersebut. Fang Yin, tokoh utama dalam puisi ini, merupakan salah satu korban dari kerusuhan 1998. Baris kedua dan ketiga pada 1,4 menunjukkan adanya diskriminasi pada tokoh. -Nya pada kata usianya merujuk kepada Fang Yin. Fang Yin terpaksa kabur dari Indonesia, negeri kelahirannya, akibat diperkosa oleh segerombolan orang. Bentuk diskriminasi yang terlihat dari 1,4 adalah diskriminasi langsung yang dilakukan dalam bentuk tindakan pemerkosaan. Hal ini bisa dilihat pada baris ketiga “setelah diperkosa segerombolan orang”.
2. Babak pertama bait kelima (1,5):
“Apa arti Indonesia bagiku? Bisik Fang Yin kepada dirinya sendiri. Ribuan keturunan Tionghoa1 meninggalkan Indonesia:
Setelah Mei yang legam, setelah Mei yang tanpa tatanan Setelah Mei yang tanpa kerusuhan.2” (ATC, 20).
Diskriminasi pada 1,5 diatas ditunjukkan pada baris ketiga. Seperti yang dituiskan Denny JA dalam catatan kakinya yang pertama, kata Tionghoa dan Cina merujuk pada etnis yang sama. Tionghoa diekspresikan sebagai ucapan netral, sedangkan Cina lebih merupakan “umpatan negatif” yang dilontarkan massa dalam kisah huru-hara. Pada baris ketiga dikatakan bahwa ribuan keturunan Tionghoa meninggalkan Indonesia. Tentu hal ini terpaksa dilakukan karena peristiwa Mei 1998, bagi etnis Tionghoa, adalah peristiwa yang legam, tanpa tatanan, dan bergelimang kerusuhan yang menimbulkan banyak koeban dikalangan etnis Tionghoa, seperti yang tertulis dibaris ketiga dan keempat. Bentuk diskriminasi yang terlihat pada 1,5 adalah diskriminasi secara tidak langsung terhadap etnis Tionghoa yang terlihat pada baris kedua.
(38)
“Hari ini berjalan tanpa pemerintah
Hukum ditelantarkan, huru-hara di mana-mana Yang terdengar hanya teriakan
Kejar Cina! Bunuh Cina! Massa tak terkendalikan” (ATC, 20).
Diskriminasi pada 2,1 diatas terlihat pada baris keempat. Kata kejar Cina! Bunuh Cina
menunjukkan bahwa Cina merupakan etnis yang terdiskriminasi pada hari kerusuhan tersebut. Hari itu berjalan tanpa pemerintah sehingga hukum ditelantarkan dan menimbulkan huru-hara dimana-mana. Huru-hara adalah peristiwa-peristiwa yang berbentuk pertikaian/perselisihan dan pemberontakan. Tidak adanya pemerintah pada hari itu mengakibatkan massa tidak terkendalikan dan bebas melakukan apapun seperti yang terlihat pada babak kedua bait ketiga (2,3). Bentuk diskriminasi yang terlihat pada bait 2,1 adalah diskriminasi dalam bentuk perkataan yang menyudutkan etnis Cina untuk dijadikan korban pembunuhan. Hal ini terlihat dari baris keempat “Kejar Cina! Bunuh Cina! Massa tak
terkendalikan”.
4. Babak kedua bait ketiga (2,3):
“Ada keluarga yang memilih bunuh diri
Di hadapan para penjarah yang matanya bagai api Yang siap menerkam; yang siap merampas apa saja
Yang siap memperkosa perempuan tak berdaya” (ATC, 20).
Diskriminasi pada bait diatas terlihat pada baris keempat. Perempuan tak berdaya bada baris keempat tersebut lebih merujuk kepada perempuan Cina. Kedahsyatan peristiwa Mei 1998 terlihat pada baris kedua dan ketiga diatas, bahkan pada baris pertama dikatakan ada keluarga yang memilih bunuh diri. Bentuk diskriminasi yang terdapat pada 2,3 adalah diskriminasi secara tidak langsung yang membuat etnis Cina terpaksa memilih bunuh diri.
5. Babak ketiga bait keempat (3,4):
“Ketika seorang pemuda Korea mendekatinya
Fang Yin malah menjauh, khawatir kalau-kalau tak berbeda Dengan Kho, pacarnya dulu di Jakarta,
(39)
Yang meninggalkannya setelah tahu ia diperkosa” (ATC, 21)
3,4 menggambarkan rasa trauma Fang Yin untuk menjalin hubungan dengan seseorang. 3,4 menjelaskan bahwa ia sedang didekati sesorang. Namun, Fang Yin menjauh. Ia masih trauma. Ia teringat akan tingkah laku pacarnya dulu – Kho yang pergi meninggalkannya. Kho meninggalkannya setelah tau bahwa Fang Yin telah di perkosa seperti yang terlihat pada baris keempat. Baris keempat tersebut menjadi indikator bahwa pemerkosaan menjadi bentuk diskriminasi yang terjadi pada Fang Yin. 1,4 menjelaskan bahwa ia diperkosa oleh segerombolan orang.
Menjadi luka mendalam bagi Fang Yin ketika ia diperkosa oleh segerombolan orang dan setelah itu ia ditinggalkan oleh pacarnya. Selain diskriminasi perkosaan, tentu hal ini juga merupakan bentuk diskriminasi bagi Fang Yin. Seorang perempuan yang karena statusnya sebagai korban perkosaan, seolah pantas untuk ditinggalkan.
6. Babak kelima bait keempat belas (5,14):
“Mereka memasuki rumah-rumah kaum sipit mata Menyeret para penghuninya, menghajar para pria Memperkosa para perempuannya. Dan semakin siang Semakin tak terbilang jumlahnya” (ATC, 28).
Huru-hara yang terjadi pada Mei 1998 merupakan peristiwa yang memilukan hati rakyat Indonesia, khususnya etnis Cina yang merupakan warga negara Indonesia juga. Pada peristiwa huru-hara itu, etnis Cina memang sering sekali menjadi korban amukan massa. Hal ini terlihat pada baris pertama 5,14 “mereka memasuki rumah-rumah kaum sipit mata”. Kaum sipit mata identik dengan etnis Cina. Diskriminasi yang terjadi pada etnis Cina tergambar dalam bentuk perbuatan yang mengarah pada tindak kekerasan bahkan kriminalitas. Hal ini tergambar pada kata “menyeret” dan “menghajar” pada baris kedua serta
(40)
“memperkosa” pada baris ketiga. Diskriminasi ini dilakukan oleh sekelompok orang (massa) kepada orang Cina. Dalam hal ini disebut dengan diskriminasi antar kelompok.
7. Babak keenam bait keempat (6,4):
“Rambutnya dijambak Pakaiannya dikoyak-koyak Dan dengan kasar
mereka pun memukul, menampar” (ATC, 29).
Keseluruhan 6,4 diatas menggambarkan bentuk diskriminasi yang dilakukan dalam bentuk tindakan kekerasan. Mengingat Fang Yin merupakan tokoh utama puisi “Sapu Tangan Fang Yin”, maka yang menjadi korban tindak kekerasan yang tergambar pada 6,4 diatas mengarah kepada Fang Yin. Rambut Fang Yin dijambak, pakaiannya dikoyak-moyak, dan dengan kasar, mereka (segerombolan orang atau massa) memukulnya dan menampar. Jelas ini merupakan tindak kekerasan. Seorang wanita yang seharusnya dilindungi malah menjadi korban kekerasan – korban amukan hanya karena dia seorang etnis Cina.
Tindak kekerasan yang dilakukan kepada Fang Yin dalam bentuk pemerkosaan dapat tergambar pada babak keenam bait keenam (sekaligus menjadi diskriminasi kedelapan) berikut:
“Bagai sekawanan serigala mereka: Seseorang memegang kaki kirinya Seseorang lagi memegang kaki kanannya Yang lain menindih tubuhnya” (ATC, 29).
Pada baris kedua sampai baris keempat, menunjukkan bahwa Fang Yin sedang diperkosa. Ia seorang diri dan diperkosa oleh segerombolan orang (“sekawanan” pada baris pertama). Dia diperkosa secara bergiliran seperti yang tergambar pada baris kedua bait ketujuh yang terdapat babak keenam (sekaligus menjadi diskriminasi kesembilan) berikut:
“Wahai, terenggut sudah kehormatannya! Yang lain siap menunggu giliran
(41)
Bagi seorang perawan” (ATC, 32).
4.2.2 Diskriminasi karena Perbedaan Paham tentang Agama
Puisi kedua dari kumpulan puisi esai ATC karya Denny JA berjudul “Romi dan Yuli
dari Cikeusik”. Puisi ini bercerita tentang diskriminasi terhadap sepasang kekasih yang bernama Romi dan Yuli. Terjadinya diskriminasi diakibatkan oleh perbedaan paham agama antara keluarga Yuli dengan keluarga Romi.
Kekasih lama Yuli pergi meninggalkannya dan menikah dengan gadis lain setelah tahu bahwa Yuli menderita penyakit yang sulit disembuhkan. Yuli patah hati hingga akhirnya ia bertemu dengan Romi. Romi memberikan semangat yang baru bagi Yuli. Ditemaninya Yuli ke dokter, ke pengobatan herbal, dan ke mana pun bahkan mereka berdoa bersama mengharapkan keajaiban.
Romi dan Yuli senantiasa bersama. Mereka tertawa-tawa, berbisik-bisik, tukar-menukar kata tentang ini dan itu. Membicarakan hal yang di sana dan di sini. Mereka terkenal sebagai sepasang kekasih Romeo dan Juliet, pasangan pecinta puisi. Akhirnya, mereka merencanakan pernikahan. Tanggal, bulan, dan tahun pernikahan telah ditentukan. Kedua belah pihak keluarga telah sepakat dan telah mempersiapkan undangan pernikahan.
Malang, pernikahan mendadak dibatalkan. Kisah cinta sepasang kekasih ini harus dihentikan. Semenjak peristiwa huru-hara di Cikeusik, orang tua Yuli akhirnya mengetahui bahwa Romi adalah jemaah ahmadiyah – paham yang berbeda dengan ajaran islam keras yang dianut oleh orang tua Yuli. Begitu juga sebaliknya, orang tua Romi tidak mengizinkan anaknya menikah dengan Yuli. Sepasang kekasih yang sedang dilanda cinta itu tidak terima dengan konsep pemikiran kedua orang mereka. Mereka tidak pernah meminta untuk dilahirkan dari keluarga penganut islam keras atau Ahmadiyah. Mereka hanya ingin menjalani hidup bersama dan direstui oleh kedua orang tua mereka. Cinta mereka didiskriminasikan.
(42)
Puisi esai “Romi dan Yuli dari Cikeusik” berisi tentang diskriminasi yang dilakukan terhadap Jemaah Ahmadiyah. Diskriminasi ini dibalut dalam kisah cinta sepasang kekasih. Bentuk diskriminasi dapat terlihat pada sepuluh bait yang akan dideskripsikan oleh peneliti.
1. Babak kedua bait ketujuh (2,7):
“Tak terdengar isak tangis Yuli Yang dalam, yang berkepanjangan. Dibayangkannya Romi,
Dibayangkannya dirinya sendiri
Terombang-ambing dalam bayang-bayang kenyataan
Yang kelam: harus pupus cinta karena beda paham agama” (ATC, 55).
Baris keenam pada 2,7 menggambarkan tentang cinta Romi dan Yuli yang harus pupus karena beda paham agama diantara kedua pihak. Yuli menangis dan sangat sedih dengan kenyaatan yang terjadi pada kisah cinta mereka. Ia merasa kasihan pada Romi dan pada dirinya sendiri. Pada baris kelima terdapat kata “terombang-ambing” yang mengartikan bahwa Yuli tidak tahu apa yang harus ia perbuat, apakah ia harus menuruti keinginan orang tuanya atau cintanya. Secara tidak langsung, hal ini merupakan diskriminasi terhadap Romi dan Yuli dalam bentuk tindakan.
2. Babak kelima bait kedua (5,2):
“Penyebabnya peristiwa itu!
Tanggal 6 builan Februari tahun 2011
Kampung Romi di Cikeusik dilanda huru-hara.
Ketika Jemaah Ahmadiyah sedang mengadakan pertemuan Massa menyerang –
Dan nyawa empat orang2 Melayang!” (ATC, 61)
Pada baris kelima sampai ketujuh dikatakan bahwa massa menyerang dan nyawa empat orang melayang. Penyerangan yang sampai menimbulkan korban sebanyak empat orang menunjukkan bahwa diskriminasi yang dilakukan adalah diskriminasi dalam bentuk
(43)
tindakan penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah yang sedang mengadakan pertemuan. Lebih jelasnya lagi dapat dikatakan sebagai diskriminasi dalam bentuk tindakan kriminalitas.
3. Babak kelima bait keenam (5,6):
“Orang-orang berbekal kayu dan senjata tajam Meneriakkan Allahu Akbar!
Mereka garang Mereka menyerang
Dan beberapa nyawa melayang” (ATC, 61)
Peristiwa Cikeusik pada tanggal 6 Februari 2011 memang sangat memilukan hati. Orang berbekal kayu dan senjata tajam datang untuk membunuh manusia dengan alasan perbedaan paham yang dianut oleh mereka. Pada puisi ini dijelaskan bahwa Ahmadiyah dituduh sesat, tidak sesuai dengan ajaran islam seperti yang terdapat pada babak kelima bait kesembilan dan babak keenam bait kedelapan berikut:
“Romi pun bercerita,
Ahmadiyah itu bla…bla…bla… Ra…ra…ra…
Mereka dituding sesat karena bla…bla…bla… Padahal ra…ra…ra… “ (ATC, 62).
“Juni 2008
Terbit surat keputusan bersama Menteri agama,
Menteri dalam negeri, Dan jaksa agung Isinya:
Titah bagi Jemaah Ahmadiyah Untuk menghentikan semua kegiatan
Yang tidak sesuai dengan penafsiran Islam” (ATC, 68).
4. Babak keenam bait pertama (6,1):
“Sejak huru-hara Cikeusik itu Yuli mulai berubah
Ia senantiasa tampak gelisah Kalau ayah dan ibunya tahu
(44)
Siapa sebenarnya si Romi itu Cinta mereka harus tamat
Harus kiamat mat-mat-mat-mat” (ATC, 66).
Berdasarkan bait diatas, telah terjadi diskriminasi secara tidak langsung terhadap cinta Yuli. Baris keempat sampai ketujuh menunjukkan bahwa hubungan percintaan Romi dan Yuli akan putus jika ayah dan Ibu Yuli tahu bahwa Romi adalah salah satu dari jemaah Ahmadiyah. Yuli sangat gelisah dengan hal ini mengingat bahwa ajaran keras yang dianut Ayahnya merupakan ancaman bagi cintanya.
5. Babak keenam bait kedua (6,2):
“Hampir tiap malam
Orang-orang berkumpul di rumah Yuli Dan huru-hara Cikeusik yang kelam Jadi pusat gunjingan, jadi inti. Allahu Akbar! Allahu Akbar Tak jarang teriakan itu terdengar Di sela kata-kata yang marah, Di sela-sela sumpah serapah. Ayah Yuli aktivis Islam yang tegak Di garis keras” (ATC, 66).
6.2 menjelaskan bahwa polemik Ahmadiyah merupakan hal yang sering diperbincangkan. Hampir setiap malam penganut Islam ajaran keras berkumpul untuk membahas tentang penolakan terhadap pengajaran Ahmadiyah. Peristiwa huru-hara Cikeusik menjadi bahasan utama. Disela-sela perbincangan ada yang berkobar meneriakkan nama besar Allah dibarengi dengan kata-kata marah yang menyumpahi Ahmadiyah.
6. Babak keenam bait kelima (6,5):
“9 Juli 2005,
Perguruan al-Mubarok milik Ahmadiyah Di Parung, Bogor
(45)
Kampus al-mubarok merupakan kantor pengurus besar Jemaah Ahmadiyah Indonesia yang beralamat di jalan Raya Parung no. 27 Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor. Penyerangan yang dilakukan memperlihatkan adanya diskriminasi dalam bentuk tindakan yang dilakukan secara langsung oleh massa.
7. Babak keenam bait keenam (6,6):
“Sejak tahun 2006 hingga entah kapan
Di Mataram ratusan jemaah Ahmadiyah diserbu Mereka dipaksa mengungsi4” (ATC, 68).
Penjelasan tentang bentuk diskriminasi dapat terlihat pada baris kedua dan ketiga bait diatas. Ratusan Jemaah Ahmadiyah diserbu dan dipaksa mengungsi. Kata “dipaksa” mengartikan perbuatan yang tidak diinginkan. Pemaksaan menunjukkan tindakan kekerasan. Jadi, bentuk diskriminasi yang terdapat dalam 6,6 diatas merupakan bentuk diskriminasi tindakan.
8. Babak keenam bait ketujuh (6,7):
“27 april 2008
Masjid Al-Furqon milik Ahmadiyah Di Parakansalak, Sukabumi
Dibakar massa: para Ahmadi lari lintang-pukang
Tiga bangunan madrasah rata dengan tanah5”(ATC, 68).
Bentuk diskriminasi yang tergambar dalam 6,7 diatas adalah dalam bentuk tindakan. Kata “dibakar” pada baris keemat menunjukkan adanya tindakan. Tindakan ini mengakibatkan para Ahmadi lari lintang-pukang, bahkan masjid Al-Furqon milik Ahmadiyah hangus dan tiga bangunan madrasah rata dengan tanah. Hal ini menunjukkan adanya diskriminasi dalam bentuk tindakan.
Pada bentuk diskriminasi selanjutnya (bentuk diskriminasi kesembilan), pengarang kembali pada kisah cinta Romi dan Yuli yang terdiskriminasi akibat perbedaan paham agama Islam dan Ahmadiyah.
(46)
9. Babak keenam bait kesebelas (6,11):
“Satu-satunya hal yang pasti: Ayah dan Ibu mengubah pikiran Rencana pernikahan pasti dibatalakan Kecuali ada mukjizat” (ATC, 69).
Setelah peristiwa huru-hara Cikeusik, Yuli takut menghadapi kenyataan yang akan terjadi apabila orang tuanya mengetahui tentang status Romi. Ayah dan Ibu Yuli pasti akn berubah pikiran sehingga rencana pernikahan terpaksa dibatalkan. Mukjizat adalah satu-satunya harapan bagi Yuli. Bait diatas menggambarkan adanya bentuk diskriminasi secara tidak langsung. Pembatalan sepihak orang tua terhadap anak, tanpa menghiraukan keinginan anak merupakan suatu bentuk diskriminasi. Secara tidak langsung, orang tua Yuli telah melakukan diskriminasi dalam bentuk tindakan.
10.Babak ketujuh bait kedua (7,2):
“Orang tua Yuli bagai kena setrum Bagai tersambar halilintar:
Dan dalam kegeraman mereka berkata,
Demi nama baik keluarga
Pernikahan harus dibatalkan!” (ATC, 69)
Orang tua Yuli telah mengetahui bahwa Romi adalah jemaah Ahmadiyah. Yuli menceritakan semua tentang Romi apa adanya. Pada baris pertama dan kedua menunjukkan bahwa kedua orang tuanya sangat terkejut dengan berita itu. Mereka seperti kena setrum, tersambar halilintar mendengar cerita Yuli. Tanpa mempertimbangkan hal apapun, orang tua Yuli langsung berteriak bahwa pernikahan harus dibatalkan.
Dalam mengambil suatu keputusan – jika berkaitan antara dua pihak, seharusnya kedua belah pihak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut. Antara Yuli dan orang tuanya, pengambilan keputusan hanya berdasarkan keinginan orang tuanya saja. mereka tidak menanyakan keinginan Yuli. Dengan demikian, orang tua Yuli telah melakukan diskriminasi
(47)
terhadap Yuli (cinta Yuli dan Romi). Diskriminasi dilakukan dalam bentuk perkataan yang diucapkan secara langsung.
11.Babak ketujuh bait kedelapan (7,8):
“Percakapan pun selesai, tak ada jalan lagi Kecuali yang buntu.
Ayah dan Ibu sepakat bulat,
Agama Allah tak boleh kalah
Oleh cinta sesaat para remaja” (ATC, 72).
Cinta Romi dan Yuli merupakan hubungan yang belum diresmikan oleh Negara maupun agama. Cinta mereka dianggap belum kuat (cinta sesaat). Dalam puisi ini disebut dengan cinta remaja. Berdasakan pemikiran ini, orang tua Yuli tidak ingin ajaran Allah dikalahkan oleh cinta remaja. Agama yang sangat mereka imani, tidak bisa dilanggar begitu saja oleh cinta remaja puteri mereka. Secara tidak langsung, penjelasan ini menunjukkan bahwa adanya diskriminasi yang dilakukan oleh orang tua Yuli terhadap Yuli.
12.Babak kedelapan bait keempat (8,4):
“Penjelasan Romi terbang terbawa angin, Ayah memutuskan
Rencana pernikahan dibatalkan,
Stop! Hentikan semua hubungan!” (ATC, 73)
Baris keempat bait diatas menunjukkan bahwa diskriminasi dilakukan dalam bentuk perkataan. Perkataan dilontarkan oleh ayah Romi, “ Stop! Hentikan semua hubungan!”. Perkataan ini diucapkan secara langsung kepada Romi.
Sama halnya dengan orang tua Yuli, orang tua Romi juga membatalkan pernikahan yang telah disepakati. Orang tua Yuli dan Romi tidak menginginkan pernikahan mereka berlangsung. Kedua orang tua mereka mendiskriminasikan cinta mereka. Baris pertama menunjukkan bahwa Romi telah berusaha menjelaskan kepada ayahnya mengenai padangannya terhadap perbedaan paham agama, seperti yang tedapat pada bait berikut:
(48)
“Romi mencoba meluruskan,
Ayah, antara Ahmadiyah dan garis keras itu Sebenarnyara…ra…ra…
Ra…ri…ru…” (ATC, 73)
Menurut Romi, Ahmadiyah dan Islam itu sama. Keduanya mengajarkan tentang kebaikan. Hal ini bisa dilihat pada babak kelima bait kesebelas berikut:
“Mereka tidak mendudukkan Al-Tazkirah sebagai Kitab Suci
Dan menganggapnya sebagai karya Ghulam Ahmad Tiada lebih.
Mereka berkeyakinan sama dengan umumnya akidah Islam Menjalankan ibadah sesuai lima rukun Islam
Karena bla…bla…bla… Ra…ra…ra…” (ATC, 62)
13.Babak kedelapan bait ketujuh (8,7):
“Ayah membentak Romi keras sekali,
Romi, sekarang kamu dengarkan Ayah. Kedudukan agama itu diatas puisi!
Jangan kau bandingkan penyair dengan Nabi!” (ATC, 74)
Perkataan secara langsung merupakan bentuk diskriminasi yang terdapat pada bait diatas. Ayah Romi berkata dengan sangat keras pada baris kedua sampai baris keempat setelah mendengar perlawanan dari Romi.
4.2.3 Diskriminasi karena Perbedaan Kelas Sosial
Diskriminasi karena perbedaan kelas terdapat pada puisi ketiga yang berjudul “Minah tetap di pancung”. Minah merupakan tokoh utama dalam puisi esai ini. Ia adalah seorang TKI yang pergi ke negeri Arab untuk “mengadu nasib”. Ia berjuang untuk membantu suaminya mengatasi masalah finansial keluarga mereka. Ia terpaksa meninggalkan anak dan suami yang ia cintai demi uang real yang akan ia dapat kelak.
(49)
Sungguh malang nasib Minah. Ia dikurung di rumah tuannya yang mewah. Ia tidak diperbolehkan pergi ke manapun. Di rumah mewah itu Minah diperkosa berulang kali oleh majikan lelaki. Setiap selesai memperkosa Minah, majikannya melemparkan sejumlah uang untuknya. Majikan merasa bahwa Minah sebagai kaum kelas bawah dapat diperlakukan seenaknya demi uang. Dalam hal ini, kelas atas mendiskriminasikan kelas bawah. Minah memang menyandang gelar kelas bawah dalam masalah finansial. Namun, bukan berarti ia mempersilahkan tuannya untuk memperkosa dirinya.
Pada puisi “Minah Tetap Dipancung”, terdapat sepuluh bait yang menjelaskan bahwa adanya diskriminasi terhadap Minah dan TKI lainnya. Berikut akan dijelaskan bentuk diskriminasi yang terdapat pada sepuluh bait tersebut.
1. Babak pertama bait ketujuh (1,7):
“Kini aku sudah mati Algojo memenggal leherku Karena telah membunuh majikan Yang berulang kali memperkosaku Dan menyiksa jiwaku” (ATC, 90).
Pada baris pertama terdapat kata “aku” yang mengacu pada Minah sebagai tokoh yang dipenggal lehernya karena telah membunuh majikannya. Pembunuhan itu dilakukan Minah karena majukannya telah menyiksa jiwa Minah, bahkan telah berulang kali memperkosanya. Berdasarkan 1,7 diatas, diskriminasi yang dilakukan dalam bentuk perbuatan.
2. Babak kelima bait kelima (5,5):
“Burung yang tersungkur di sangkar emas Masih tetap bisa bernyanyi
Tapi dirumah yang megah ini Mulutku malah terkunci,
Tak ada siapa-siapa untuk berbagi cerita Karena tak boleh keluar rumah.5” (ATC, 99)
(50)
Minah didiskriminasikan di rumah Majikannya yang megah. Di rumah itu, dia tidak bisa berbicara seperti yang tertulis dibaris keempat – “Mulutku malah terkunci”. Tidak ada temannya untuk berbagi cerita karena ia tidak diperbolehkan keluar rumah.
3. Babak keenam bait ketiga (6,3):
“Ia bergerak mendekatiku Memegang punggungku Lalu meremas payudaraku.
Jangan, Tuan!” (ATC, 102).
Berdasarkan bait diatas, Minah didiskriminasikan dalam bentuk tindakan. Baris pertama sampai ketiga menjelaskan tindakan apa yang dilakukan kepada Minah. Ia (majikan Minah) mendekati Minah dan memegang punggungnya, kemudian memeras payudaranya. Baris keempat – “jangan, Tuan!” menunjukkan bahwa Minah tidak menginginkan perbuatan yang dilakukan oleh tuannya (majikannya). Minah meminta agar tuannya tidak melakukan perbuatan tersebut.
4. Babak keenam bait keempat (6,4):
“Aku berontak Kuterjang ia – Tapi ia perkasa
Menarik sarungku dengan paksa. Ia tampaknya sudah gelap mata. Aku berteriak sekuat-kuatnya Kudorong tubuhnya
Sampai membentur dinding” (ATC, 102-103).
Perkataan yang diucapkan Minah sama sekali tidak dihiraukan oleh tuannya. Minah akhirnya memberontak. Namun, tuannya yang perkasa menarik sarungnya dengan paksa. Ia mendorong tubuh Minah sampai membentur dinding. Bait 6,4 diatas menunjukkan bahwa Minah mendapat diskriminasi tindakan yang dilakukan secara langsung oleh tuannya.
(51)
“Usai menunaikan nafsu bejatnya Ia lemparkan
Beberapa helai uang real.
Aku tak lagi punya tenaga” (ATC, 104).
Setelah majikan memperkosa Minah, ia melemparkan beberapa uang real. Lemparkan atau melemparkan mengartikan bahwa Majikan tersebut menyepelekan Minah sebagai masyarakat golongan bawah (kelas bawah) dan menyepelekannya sebagai pembantu rumah tangga. Berdasarkan bait diatas, diketahui bahwa tindakan pemerkosaan dan pelemparan uang real merupakan bentuk diskriminasi yang dilakukan terhadap Minah.
6. Babak kedelapan bait pertama (8,1):
“Aku mencari jalan,
Mangadu kepada majikan perempuan Berharap mendapatkan perlindungan. Namun, bukan pembelaan yang kudapat Malah penyiksaan berlipat-lipat” (ATC, 107).
Perbuatan majikan lelaki yang telah memperkosa Minah, membuat Minah berusaha untuk mencari jalan keluar. Ia mengadukan perbuatan keji itu kepada majikan perempuan, berharap akan mendapat perlindungan. Namun, Minah tidak mendapatkan pembelaan. Ia disiksa berlipat-lipat oleh majikan perempuan. Tindakan penyiksaan merupakan bentuk diskriminasi yang dilakukan terhadap Minah.
7. Babak kedelapan bait kedua (8,2):
“Aku dituduh menggoda suaminya dengan senyumku Dan akupun disiksa:
Tubuhku dicambuk Rambutku dijambak
(52)
Pengaduan yang dilakukan Minah kepada majikan perempuan, menimbulkan kesalahpahaman dan kebencian di hati majikan tersebut. Majikan menuduh bahwa Minah telah menggoda suaminya dengan senyumnya. Minah memang seorang ibu rumah tangga yang terbiasa senyum dengan siapapun. Guru ngajinya dipesantren dulu mengajarkan agar ia bersikap sopan pada siapapun. Seperti yang dijelaskan pada babak keempat bait ketiga (4,3) berikut:
“Guru ngajiku dipesantren dulu mengajarkan Agar aku bersikap sopan
Tahu tata cara dan bertutur kata. Aku suka tersenyum –
Tapi celaka, majikan pria Keliru mengartikannya Dikira aku penggoda. Mana mungkin aku berani? Dan lagi, ha-ha-ha,
Suamiku lebih ganteng darinya” (ATC, 97).
Minah harus tahu tata cara dan bertutur kata manis, salah satunya adalah dengan senyum. Namun, majikan pria salah mengartikannya. Ia mengira bahwa Minah ingin menggodanya. Majikan pria lantas memperkosanya. Kesalahpahaman senyuman, membuat majikan perempuan menyiksa Minah. Di baris kedua sampai kelima pada 8,2 dikatakan bahwa tubuh Minah dicambuk, rambutnya dijambak, dan pahanya disetrika. Bait 8,2 menunjukkan bahwa tindakan penyiksaan seperti pencambukan, penjambakan rambut, dan penyetrikaan paha merupakan bentuk diskriminasi yang dilakukan kepada Minah.
8. Babak kedelapan bait ketiga (8,3):
“Aku menjerit Tapi jeritanku sia-sia
Wakil Indonesia di Arab sana6 Bekerja seperti biasa” (ATC, 107).
(53)
Minah menjerit akibat penyiksaan yang dilakukan oleh majikan perempuan terhadapnya. Tapi jeritannya sia-sia. Pada baris ketiga dan keempat dikatakan bahwa Wakil Indonesia di Arab bekerja seperti biasa. Bait ini menjelaskan bahwa pemerintah seolah “tidak ambil pusing” dengan penderitaan yang dialami oleh TKI/TKW. Hal ini dapat dilihat pada kasus pembunuhan yang dilakukan Minah. Pemerintah terkesan lambat dalam menangani kasus ini, seperti yang tergambar pada babak 10 bait pertama sampai ketiga berikut:
“Harus kuhadapi pengadilan, Tanpa perlindungan;
Hukum yang berlaku dinegeri Arab Nyawa berbayar nyawa.9 (ATC, 112) Pemerintah memberi tanggapan Tapi untuk kasusku,
Itu sudah ketinggalan kereta. Upaya hukum telat
Upaya diplomasi politik tak dirintis dari awal Dan tidak ada pembelaan di pengadilan – Ya, ya, harus aku jalani
Hukuman pancung.
Ya, ya, aku harus dipancung (ATC, 112)
Seorang pengacara dikirim Untuk membantuku, Aku dengar cerita
Rakyat Indonesia membelaku.
Bagaimanapun, aku pahlawan devisa. Pak Menteri panjang lebar pidato Akan berjuang membebaskanku
Tapi semuanya terlambat sudah” (ATC, 112).
Pada intinya, ketiga bait diatas menunjukkan kurang tanggapnya pemerintah dalam menangani kasus Minah. Bait pertama menjelaskan bahwa Minah harus menghadapi pengadilan tanpa adanya perlindungan. Padahal, proses pengadilan sangat berat. Hukum yang berlaku di negeri Arab adalah “nyawa dibayar dengan nyawa”. Bait kedua menjelaskan bahwa pemerintah memang memberi tanggapan. Namun, sudah terlambat untuk kasus Minah. Upaya hukum dan diplomasi politik tidak dirintis dari awal sehingga tidak ada
(54)
pembelaan bagi Minah di pengadilan. Hukuman pancung telah menanti Minah. Bait ketiga menjelaskan bahwa seorang pengacara telah dikirim untuk membantunya. Rakyat Indonesia membelanya karena Minah merupakan pahlawan devisa. Pada baris keenam dijelskan bahwa Pak Menteri panjang lebar berpidato dan berjuang untuk membebaskan Minah. Namun, semuanya sudah terlambat. Berdasarkan bait diatas, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi tindakan diskriminasi secara tidak langsung terhadap Minah.
9. Babak sembilan bait keempat (9,4):
“Secepat kilat ia kuasai diriku. Astaga! Dijepitnya leherku Dibekapnya mulutku –
Aku tak bisa bernafas” (ATC, 111).
Pada suatu malam, majikan pria mengulangi perbuatannya (memperkosa Minah). Baris pertama bait 9,4 menjelaskan bahwa majikannya berusaha untuk menguasai dirinya. Ia menjepit leher Minah dan membekap mulutnya. Bait 9,4 menjelaskan bahwa adanya tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap Minah.
10.Babak kesepuluh bait keenam (10,6):
“Selebihnya aku pasrah, aku pasrah;
Aku hanya mohon bisa bertemu anakku Aisah Untuk terakhir kali.
Ingin kutanyakan ikhwal sekolahnya –
Tapi permintaan itu pun susah dipenuhi” (ATC, 113).
Sebagai sesorang yang dijatuhkan hukuman mati (pancung), tentu diberikan kesempatan untuk meminta suatu permintaan. Pada baris pertama dikatakan bahwa Minah pasrah dihukum mati. Minah memohon agar bisa bertemu dengan anaknya Aisah untuk yang terakhir. Minah ingin bertanya tentang sekolahnya. Baris terakhir pada bait 10,6 menjelaskan bahwa permintaan Minah susah untuk dipenuhi. Berdasarkan bait diatas, disimpulakan bahwa Minah telah didiskriminasikan secara tidak langsung – diperkuat dengan Cerita akhir puisi
(1)
berbeda agama. Kedua orang tua Dewi telah mendiskriminasikan cinta Dewi lewat perkataan yang diucapkan secara langsung kepada Dewi.
Dewi melawan kedua orangtuanya. Ia ingin mengerjakan niatnya meskipun orang tua sekuat tenaga menghalanginya. Ia berusaha menjelaskan pada orang tuanya agar mereka bisa memahami pemikiran Dewi seperti yang tertulis pada babak dua belas bait kedua berikut:
“Ayah menghalangi sekuat tenaga,
Menikah beda agama hanya mengirimmu ke neraka!
Jawab Dewi, Ayah ini zaman Facebook dan twitter
Bukan era Siti Nurbaya! Dunia sudah berubah
Bukan manusia untuk agama Tapi agama untuk manusia
Bagi Ayah beda agama itu masalah. Bagiku tidak!
Ayah memang merawat fisikku sejak kecil
Tapi jalan hidupku bukan punya ayah!” (ATC, 178)
Ayah berpendapat bahwa pernikahan beda agama hanya akan membawa Dewi ke neraka. Dewi tidak sependapat dengan ayahnya. Menurutnya, sekarang adalah zaman Facebook dan
Twitter bukan zaman Siti Nurbaya. Tidak ada pemaksaan dalam pernikahan, termasuk pernikahan beda agama. Agama diciptakan untuk manusia, begitulah menurut Dewi.
Bait dibawah ini menjelaskan bahwa Dewi mengirim kembali bunga mawar yang pernah diberikan oleh Albert. Albert pernah berjanji bahwa ia akan datang kepada Dewi apabila ia telah mengirim bunga itu. Ia berjanji bahwa cintanya hanya biberikan untuk Dewi. Namun, harapan Dewi musnah setelah ia mengirim bunga itu. Ibu Albert mendatangi Dewi dan memberi surat yang di dituliskan oleh Albert.
“Dewi, tulis Albert,
Mungkin sudah kau kirim kembali Bunga kering itu sekarang.
(2)
Aku sekarang mungkin di alam lain Dan janjiku tetap seperti dulu: Cintaku hanya untukmu
Yang tak sampai hanya karena kita beda agama” (ATC, 180).
Albert meninggal disalah satu gunung tertinggi. Ia mendaki gunung demi gunung, seperti mencari sesuatu dan ingin memprotes sesuatu.
(3)
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1Simpulan
Berdasarkan hasil analisa terhadap kumpulan puisi esai Atas Nama Cinta karya Denny JA tentang bentuk diskriminasi, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat lima bentuk diskriminasi dalam puisi esai Denny JA: diskriminasi karena perbedaan etnis, diskriminasi karena perbedaan paham tentang agama, diskriminasi karena perbedaan kelas sosial, diskriminasi karena perbedaan orientasi seksual, dan diskriminasi karena perbedaan agama.
2. Secara terperinci, diskriminasi diaplikasikan dalam bentuk perkataan dan perbuatan/tindakan. Bentuk perkataan biasanya berupa hinaan, sindiran, dan bentakan sedangkan bentuk perbuatan dapat berupa pemerkosaan, pemukulan, penjambakan rambut, pembakaran rumah, dan lain-lain. Diskriminasi dalam bentuk perkataan dan perbuatan terdapat pada puisi “Sapu Tangan Fang Yin”, “Romi dan Yuli dari Cikeusik”, dan “Minah Tetap Dipancung”, sedangkan diskriminasi dalam bentuk perkataan terdapat pada puisi “Cinta Batman dan Robin” dan “Bunga Kering Perpisahan”.
5.2Saran
Saran dari penulis adalah agar puisi esai karya Denny JA ini dapat diteliti dari sisi lain, misalnya ideology pengarang, gaya bahasa yang digunakan pengarang dan lainnya .
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, Leon. 2012. “Tentang Puisi Esai Denny JA”. Horison, XLVII. Hal. 31-36. Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress.
Fintrah, Yundi. 2008. “Politik Anti Belanda dalam Cerpen “Hamid, Pahlawan Perkumpulan Anti ‘AVC’ (di Bawah Bayangan Jembatan)” Karya A.S. Hadisiswojo. Jurnal Ilmu-ilmu Bahasa dan Sastra Logat, Vol.IV, No.2. Hlm. 122-125.
Hartono, Sunaryati. 2000. Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Wanita dan Undang-undang Hak AsasiManusia. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Ihromi, Tapi Omas, dkk. 2000. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Bandung: Penerbit Alumni.
JA, Denny. 2012. Atas Nama Cinta Sebuah Puisi Esai. Pejaten Barat: Rene book. Lubis, M. Solly. 2005. Safari: Rakitan Sajak, Esai, danSkets. Medan: PustakaBangsa
(5)
Pradopo, Rachmat Joko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Khuta 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Khuta. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Data. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sadarjoen, Sawitri Supardi. 2005. Kasus Gangguan Psikoseksual. Bandung: PT. Rafika Aditama.
Sarjono, Agus R. 2013. “Puisi Esai Sebuah Kemungkinan Sebuah Tantangan.” Puisi Esai Kemungkinan Baru Puisi Indonesia. Depok: PT Jurnal Sajak Indonesia. Susan, Novri.M.A. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik
Kontemporer. Jakarta: PT FajarInterpratama Offset.
Soekanto, Soerjono. 1982. SosiologiSuatuPengantar. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.
(6)
Sumber Internet
1. diakses pada
tanggal 26 februari2014.
2.
2014.
3.
4.
diakses pada tanggal 18 January 2014.
5.