terkandung dalam rahim puisi. Pada kenyataannya, catatan kaki itu tidak termasuk dalam konsep estetik puisi. Ia juga melanjutkan bahwa Denny sedang berusaha merusak puisi dan
esai sekaligus:
“Denny JA dianggap gagal memahami ekspektasi orang terhadap puisi. Puisi menjadi sangat kuat apabila ia mampu menjadi medium yang multi-
tafsir. Bahasa menjadi serambi bagi setiap orang untuk menafsirkan sebuah puisi dari sudut manapun. Puisi esai hanya bermuara pada satu tafsir saja.
Varian baru milik Denny mengacaukan ruang estetik dalam puisi. Hal estetik pada puisi bukan hanya berkutat pada kemampuan penyair
memodifikasi penyebutan, tipografi, rasa indah melalui penaklukan bahasa, tetapi juga membuka pemaknaan seluas-luasnya” Moehiddin, 2014: 7-8.
Kebanyakan pendapat yang terus menjaga puisi tetap berdampingan dalam bahasa,
sastra, keindahan, curahan hati, dan harus dibaca dengan cara menafsirkannya, pada gilirannya akan memperlihatkan bahwa puisi bukan sebuah kurikulum dan menjinakkannya
untuk mengembangkan teori-teori pembacaan sastra dan bahasa.
4.1.2 Denny JA
Seorang reporter Laurencius Simanjuntak 21 April 2014 dalam dunia berita
Merdeka.com
1
Denny JA mengatakan , “sejak awal tahun hingga kini publik sastra Indonesia masih
berpolemik tentang peluncuran buku 33 TSIPB pada 3 Januari lalu. Pusaran polemik adalah masuknya nama
ke dalam jajaran sastrawan besar seperti Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer dan WS Rendra”. Dalam hal ini, seolah ada dua kubu sastrawan: ada
sastrawan yang menentang kehadiran Denny JA sebagai 33 tokoh sastrawan berpengaruh dan ada juga yang mendukung.
Hingga kini, polemik 33 Sastra berpengaruh masih sulit untuk diselesaikan. Seorang sastrawan penentang buku 33 TSIPB tidak lama lagi akan berhadapan dengan polisi karena
1
http:www.merdeka.comperistiwapolemik-panjang-33-tokoh-sastra-dari-puisi-hingga-ke-polisi.html
Universitas Sumatera Utara
pelaporan sastrawan lain kubu Denny JA. Sulit membayangkan polemik tersebut akan surut
k
arena sudah masuk ke ranah hukum. Hal ini semakin sulit lagi karena Denny mendukung pelaporan tersebut: “Denny JA mendukung pelaporan Fatin Hamama atas sastrawan Sutan
Iwan Soekri Munaf ke Mapolda Metro Jaya. Bahkan, konsultan politik yang bikin heboh jagat sastra karena muncul dalam buku 33 TSIPB itu secara khusus mem-posting tulisan di
forum situs miliknya, dilengkapi foto surat pelaporan Fatin” Laurencius Simanjuntak
, 17 April 2014
2
Tim juri sekaligus penulis, memasukkan nama .
Para sastrawan pendukung Denny JA terus giat merencanakan program-program untuk mengembangkan puisi esai, misalnya perlombaan menulis puisi esai dan lomba
mereview puisi esai karya Denny dengan hadiah total lima puluh juta rupiah. Puisi esai banyak dituangkan bentuk lain, seperti: teater monoplay, drama musikalitas, dan film
berdurasi singkat. Namun, pada akhirnya, banyak sastrawan yang mengundurkan diri bahkan mengembalikan uang yang telah diberikan oleh Denny JA. Pernyataan pengunduran diri dan
rasa diperalat oleh Denny JA banyak ditulis di situs merdeka.com oleh reporter Laurencius simanjuntak.
Denny JA ke dalam buku 33 TSIPB karena dia dianggap merintis genre sastra baru: puisi-esai. Setelah buku itu terbit awal
Januari, terbit buku yang merangkum puisi esai dari 23 penyair. Empat dari 23 penyair yang terlibat dalam proyek buku puisi esai menyadari karyanya akan dijadikan alat legitimasi
pengaruh Denny JA setelah buku 33 TSIPB terbit dan menjadi polemik dengan alasan: saat menyetorkan karyanya, para penyair itu tidak tahu bahwa akan terbit buku yang
menimbulkan konflik dalam publik sastra Indonesia. Kepada merdeka.com, Fatin membantah Denny telah memperalat sejumlah sastrawan, lewat perantaraannya. “Kawan-
kawan itu manusia dewasa, orang terpelajar dan terdidik, tidak mungkin mereka diperalat dan
2
http:www.merdeka.comperistiwadenny-ja-dukung-sastrawan-iwan-soekri-dipolisikan.html
Universitas Sumatera Utara
tertipu, saya tidak membeli kawan-kawan” kata Fatin. Laurencius Simanjuntak
,
7 Februari 2014 http:www.merdeka.comperistiwaempat-sastrawan-ini-mengaku-diperalat-denny-
ja.html. Mengaku melacurkan diri ke Denny JA, sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda akhirnya
mengembalikan uang sebesar sepuluh juta rupiah kepada Denny JA. Uang sebesar sepuluh juta adalah bayaran yang sebelumnya diterima Ahmadun untuk menulis sebuah puisi esai
berjudul Grafiti Sulastri. Uang sebesar sepuluh juta rupiah itu ia transfer melalui rekening BCA atas nama Fatin Hamama, perantara Denny JA, yang memberikan tawaran kepada
Ahmadun. Lewat media sosial, Ahmadun bahkan mem-posting slip bukti transfer-nya yang ia pindai lebih dulu, ditambah dengan isi pengakuan Ahmadun Yosi Herfanda:
“SAYA SUDAH KEMBALIKAN HONOR PUISI ESAI DENGAN PERMINTAAN MAAF
Salam sastra. Dengan rasa hormat dan kerendahan hati, serta dengan permintaan
maaf kepada Denny JA dan Fatin Hamama atas ketidaknyamanan ini, sebagai konsekuensi dari penyesalan saya atas keterlibatan saya pada
politik puisi esai ikut menulis puisi esai pesanan itu hari ini, tepat pukul 14.50 wib, saya sudah mengembalikan honor puisi esai Rp 10
juta melalui rekening BCA Fatin Hamama perantara pesanan puisi esai ini. Alhamdulillah, Allah SWT memberi jalan kemudahan bagi
saya untuk mengembalikan uang itu bukti setoran pengembalian dana itu terlampir. Semoga dengan kerendahan hati pula Denny JA
Universitas Sumatera Utara
berkenan menerimanya kembali. Sebelum ini sebenarnya saya sudah mengontak Fatin untuk membatalkan kesertaan saya itu, tapi Fatin
tentu tak dapat berbuat apa-apa karena bukunya sudah telanjur dicetak.
Dengan pengembalian honor itu berarti otomatis saya menarik kembali puisi esai berjudul Grafiti Sulastri yang pernah saya kirim
ke Denny JA atas pesanannya. Kalaupun puisi itu sudah terlanjur dicetak bersama puisi-puisi esai karya para penyair lain, tidak apa-
apa. Saya takkan mempersoalkannya. Yang penting, bagi saya pribadi, saya sudah jujur pada suara hati nurani saya sendiri, suara
hati yang sempat saya abaikan saat menerima pesanan itu. Sekali lagi, maaf dan terima kasih kepada Denny JA dan Fatin Hamama yang
telah memberikan penghargaan begitu tinggi pada saya lewat pesanan puisi esai itu. Mohon maaf, jika pengembalian honor itu membuat
perasaan jadi tidak nyaman. Ide puisi esai itu sebenarnya menarik jika tidak dipolitisir untuk kepentingan tertentu. Yang memang senang
menulis puisi esai tentu tidak ada salahnya juga, dan terus saja lanjutkan asal memang sesuai dengan pilihan hati masing-masing.
Perlu saya tegaskan juga bahwa sikap ini adalah sikap pribadi saya sendiri dan sama sekali tidak mewakili siapapun. Dengan pernyataan
sikap ini saya tidak bermaksud mengajak, menyinggung atau melibatkan siapapun yang sudah telanjur ikut menulis puisi esai. Jika
ada juga yang merasa dirugikan atas pernyataan penyelasan dan sikap saya ini, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Soal honor
puisi esai yang sudah terlanjur kawan-kawan terima, silakan kembalikan saja ke suara hati nurani masing-masing. Semoga honor
itu tetap berkah untuk kawan-kawan belanjakan. Hanya, uang yang saya terima memang agak beda jumlahnya dan prosesnya pun
berbeda sehingga hati nurani saya meragukan kehalalannya. Karena itu, sebagai manusia yang lemah dan tak bebas dari kekhilafan, hanya
pengembalian honor itu yang dapat saya lakukan sebagai wujud pertobatan atas keterlibatan saya pada politik puisi esai itu.
Sekali lagi, dengan kerendahan hati, saya minta maaf, jika di dalam pernyataan penyesalan dan sikap saya itu ada hal-hal yang konyol
atau menyinggung perasaan kawan-kawan yang terlibat dalam politik puisi esai dan penokohan Denny JA itu. Saya sekali lagi
minta maaf sedalam-dalamnya kepada Denny JA dan Fatin Hamama atas semua tidaknyamanan ini. Sungguh bukan maksud saya
menyinggung perasaan siapapun. Meskipun, memang, dalam mengungkap kebenaran kadang-kadang menimbulkan efek samping:
menyinggung perasaan orang lain. Sekali lagi minta maaf bagi siapa saja yang terkena efek samping penyesalan saya itu. Saya berpegang
pada hadis Nabi SAW, yang kurang lebih berarti, Sampaikanlah kebenaran, walau sepahit apapun.
Universitas Sumatera Utara
Dengan pernyataan penyesalan, sikap, dan pengembalian honor kepada Denny JA melalui perantara Fatin Hamama, karena saya
tidak memiliki rekening Denny JA, maka saya anggap persoalan saya dengan politik puisi esai telah selesai. Semoga kejujuran pada hati
nurani ini memberi hikmah bagi saya pribadi dan siapa saja yang menerimanya dengan hati terbuka. Semoga Allah SWT meridhoi
langkah saya ini dan memberi bimbingan serta kekuatan pada langkah saya selanjutnya, langkah seorang hamba yang sedang belajar setia di
jalan-Nya. Terima kasih. Salam cinta untuk semua. Wassalam wrwb”.
http:www.merdeka.comperistiwasastrawan-ahmadun-akhirnya- kembalikan-rp-10-juta-ke-denny-ja.html Laurencius Simanjuntak.
Masih banyak tulisan lain menyangkut penolakan kesastrawanan Denny JA yang
dapat dilihat di situs merdeka.com, diantaranya yaitu Penulis ‘33 Sastra Berpengaruh’ Siap Minta Maaf kepada Pelukis Hanafi, Hanafi Bicara Soal Lukisannya Dicabut untuk ’33 Sastra
Berpengaruh’, Pemenang Lomba Puisi Esai Kembalikan Uang Hadiah ke Denny JA, Sastrawan Yogya Tuding Denny JA Rekayasa Nama agar Masuk Buku, Sastrawan Ciputat
Pertanyakan Kredibilitas Sastra Denny JA, Dosen UIN Tolak Denny JA Masuk ke dalam 33 Sastrawan Berpengaruh, dan lain sebagainya.
Leon Agusta adalah sastrawan yang tetap mendukung puisi esai karya Denny JA. Ia menyamakan derajat puisi esai dengan sederet istilah puisi lainnya: puisi lirik, puisi
kontemplatif, puisi sufistik, puisi religious, puisi mantra, puisi prosa, puisi perlawanan, puisi pamphlet, puisi kontekstual, puisi sosial, puisi gumam, puisi bisu, dan puisi gelap. Ia
memiliki gagasan sendiri mengenai kesamaan derajat puisi esai dengan puisi lainnya: semua istilah nama puisi memiliki perbedaan pengertian masing-masing. Namun, semuanya adalah
puisi. Agusta merasa bahwa perbedaan istilah puisi berasal dari beberapa faktor yang ia gambarkan berdasarkan poin pertanyaan berikut: “bisa juga dengan mempertanyakan: faktor
apa sajakah yang melahirkan atau melatarbelakangi perbedaan sedemikian? Pendidikan dan bakat? Gagasan seni dan obsesi pencarian?” Agusta, 2012:32. Istilah baru pada puisi
muncul karena adanya kreasi dan inovasi yang terus berkembang.
Universitas Sumatera Utara
Agusta menyatakan kesedihannya terhadap sastrawan lain yang menolak kehadiran puisi esai Denny JA seperti yang tertulis dalam tulisanya berikut,
“seandainya puisi esai yang diperkenalkan Denny JA ini diterima dan mendapat sambutan dari para penulis sebagai suatu genre baru yang layak
dikembangkan, puisi esai memiliki sumber tema yang bagaikan tak ada batasnya: kehidupakan yang hiruk-pikuk, keseharian yang mencekik,
gaduh, kontroversi yang saling tidak peduli, kepura-puraan penuh muslihat dan tipu-daya, nafsu haus mangsa, dan jual beli dalil dan
perkilahan, tanpa toleransi dan solidaritas atas nama nilai kebenaran, cita- cita keadilan dan keyakinan serba sepihak, dan lain-lain” Agusta,
2012:33.
4.2 Bentuk-bentuk Diskriminasi