Kerangka Teoritik KAJIAN PUSTAKA
Bapak Pimpinan dalam setiap pertemuan bahwa Pondok Pesantren Bener Al- Manar hanya bergantung kepada Allah. Hanya Allah lah tempat
bergantung dan bernaung. Begitu juga dengan kehidupan para santri. Seluruh santri yang
mengenyam pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Bener Al- Manar harus mampu mengatur kehidupannya sendiri yang dimulai dari
mengatur hal-hal yang kecil hingga hal-hal yang besar seperti misalnya mengatur dan membagi waktu untuk menjalani seluruh aktifitas,
mengatur keuangan, mengatur hati dan pikiran dalam berinteraksi dengan orang lain dan masih banyak lagi lainnya.
Pendidikan merupakan faktor yang paling efektif untuk perubahan sosial
manakala pendidikan
masyarakat tersebut
ditingkatkan, diefektifkan, dikonstruksi dengan baik.
Bukan berarti orang yang berijazah tinggi di sini akan memperoleh ekonomi yang layak. Akan tetapi yang dimaksud pendidikan di sini,
pendidikan yang bermakna luas, baik pendidikan formal, non formal maupun informal dan bukan hanya terbatas pada pendidikan di sekolah.
Hal ini memang perlu dipahamkan kepada masyarakat, karena selama ini banyak orang yang menganggap pendidikan hanya terbatas pada
pendidikan formal di sekolah saja. Padahal pendidikan formal tidak terlalu signifikan dalam menentukan tarif ekonomi yang layak ketika
sudah kerja.
Kebanyakan masyarakat yang sukses dalam memnempuh kariernya dalam bisnis adalah mereka yang benar-benar banyak memanfaatkan
waktu luangnya untuk belajar di luar sekolah. Sebab, untuk membangun ekonomi yang baik tidak terlalu mengandalkan kecerdasan intelgensi
IQ, akan tetapi lebih banyak pada kecerdasan emosionalnyaEQ. Dalam teori pendidikan juga disebutkan bahwa ranah pendidikan
bukan hanya pada pengembangan IQ saja. Seperti yang diungkapkan oleh Bloom, bahwa ada tiga ranah yang perlu dicapai oleh pendidik, yaitu
kognitif, afektif dan psikomotorik. Seperti halnya tiga teori kecerdasan yang kita ketahui bahwa manusia yang perlu dikembangkan dan masing-
masing mempunyai peran yang signifikan dalam pengembangan potensi dirinya, yaitu kecerdasan intelektual IQ, kecerdasan emosional EQ
dan kecerdasan spiritual SQ. Dalam dunia kerja, kecerdasan IQ bukanlah andalan satu-satunya
yang dibutuhkan. Akan tetapi lebih pada penkeanan kecerdasan emosional dan spiritualnya. Dalam hal ini seseorang dituntut untuk
mempunyai pengalaman yang banyak dalam hal bisnis berdagang demi membangun ekonomi yang layak di masa depan.
b. Kemandirian sebagai tujuan pendidikan
Menyinggung tujuan akhir pendidikan yang penting baik pendidikan di sekolahmadrasah maupun di pondok pesantren, maka
aspek kemandirian yang utama. Tujuan pendidikan untuk memandirikan peserta didik merupakan tujuan pendidikan yang bersifat modern, tidak
bersifat tradisional yang menutut anak patuh dan mengikuti apa yang diajarkan.
Bahkan oleh Kelompok Kerja Filosofi, dan Kebijakan Strategi Pendidikan Nasional Fasli Jalal, 2001: 44 dinyatakan bahwa
kemandirian dipandang sebagai nilai inti pendidikan nasional. Nilai inti kemandiriaan tampil sebagai proses pemberdaya. Artinya, dengan
berbagai pembekalan isi dan wawasan yang dikembangkan melalui pendidikan kreatifitas individu dan satuan social ditumbuhkan sehingga
secara jeli dan cerdas mampu mensinergikan lingkungan. Oleh karena itu dalam undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pun, kemandirian merupakan salah satu aspek penting dalam rumusan tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa kita.
Anaksantri sebagai peserta didik yang memiliki potensi sebelumnya tidak berdaya menjadi berdaya setelah melalui proses
pendidikan. Adapun keberdayaan bercirikan kesadaran dan kemampuan diri, pemahaman yang sehat terhadap kenyataan kehidupan, pola
kehidupan yang sehat, bebas dari perasaan takut dari manapun datangnya, keberanian untuk berfikir dan bertindak, memiliki informasi
yang memadai untuk menjalani kehidupan, dan memiliki keteguhan pendirian.
Kemandirian sebagai salah satu tujuan pendidikan bukannya sesuatu yang dipilih menurut selera pribadi. Ia didasarkan pada
konstruktivisme, suatu teori ilmiah. Kemandirian bukan sekedar pengkhususan kualitas tertentu, melainkan untuk membantu masing-
masing orang memilih atau menolak hal-hal yang ada di hadapannya. Kemandirian intelektual dan moral adalah arah yang pasti dituju
oleh tiap orang, yang mengkoordinasikan pandangan-pandangan. Hal ini berkaitan dengan kemandirian sebagai esensi kehidupan yang berkualitas
merefleksikan integritas nilai-nilai hidup. c.
Faktor pendukung kemandirian Pada dasarnya anak akan tumbuh mandiri, apabila anak tersebut
berada dalam lingkungan yang orang-orang disekelilingnya mampu menciptakan faktor yang dapat mendukung mereka untuk tumbuh
berkembang dengan normal dan bahagia. Ahli psikolog perkembangan Elizabeth Hurlock 1995: 28,
menyebutkan beberapa kondisi penting yang mendukung kebahagiaan dalam awal masa kanak-kanak.
1. Kesehatan yang baik memungkinkan anak menikmati apapun yang ia
lakukan dan berhasil dalam melakukannya. 2.
Lingkungan yang merangsang dimana akan memperoleh kesempatan untuk menggunakan kemampuannya semaksimal mungkin.
3. Mengembangkan ekspresi-ekspresi kasih sayang yang wajar seperti
menunjukkan rasa bangga terhadap prestasi anak dan meluangkan waktu bersama anak melakukan hal-hal yang ingin dilakukan.
4. Harapan yang realistis sesuai dengan kemampuan anak sehingga
anak memperoleh kesempatan yang wajar. 5.
Mendorong kreativitas dalam bermain dan menghindari cemooh atau kritik yang tidak perlu yang dapat mengurangi semangat anak untuk
mencoba kreatif. 6.
Diterima oleh saudara-saudara kandung dan teman-teman bermain sehingga anak dapat mengembangkan sikap yang baik terhadap
berbagai kegiatan sosial. Ini dapat didorong oleh bimbingan dalam hal bagaimana menyesuaikan dengan orang lain dan oleh adanya
panutan yang baik di rumah untuk ditiru. 7.
Suasana gembira dan bahagia di rumah sehingga anak akan belajar berusaha untuk mempertahankan suasana ini.
8. Prestasi dalam kegiatan yang penting bagi anak dan dihargai oleh
kelompok dengan siapa anak mengidentifikasi diri. Berdasarkan teori-teori di atas dapat kita pahami bahwa
khususnya menumbuhkan rasa mandiri dibutuhkan lingkungan yang kondusif serta keterlibatan orang tua dan pendidik dalam membimbing.
Dalam pondok pesantren inilah yang penulis anggap sebagai tempat yang tepat dalam menumbuh kembangkan kemandirian. Walaupun di
pondok pesantren para orang tua santri tidak terlibat langsung akan tetapi
lingkungan dan para pendidik sangat mendukung dalam hal kemandirian.
d. Faktor penghambat pemandirian
Santri yang dikatakan mandiri yaitu santri yang bisa menyelesaikan tugasnya sendiri tanpa bantuan orang lain, tetapi karena ketika masih banyi
kebutuhannya yang lebih kecil sangat tergantung kepada orang lain. Apakah itu orang tua ataupun orang dewasa lainnya. Namun, sejalan
dengan pertambahan usia, santri tersebut akan berkembang mandiri bila secara mental dan fisik memang sudah siap untuk belajar mandiri. Oleh
karenanya, bila santri yang diharapkan oleh lingkungan sudah berkembang mandiri, tetapi ternyata masih mempertahankan “tingkah laku bayinya”
santri akan menemui kesulitan dalam mengembangkan dirinya serta mengganggu penyesuaian dengan lingkungan sosialnya.
Ketidakmandirian bisa mencakup secara fisik maupun mental, misalnya selalu meminta bantuan orang lain untuk mengurus kebutuhan
fisiknya atau dalam pengambilan keputusankeputusan. Pada balita, salah satu ciri nyata santri tidak mandiri adalah Santri yang tidak bisa ditinggal
ibunya, meski dalam waktu singkat ketika awal masuk dalam pondok pesantren. Ketidakmandirian santri biasanya tidak hanya ditujukan kepada
orang dewasa, tetapi kepada siapa saja yang mau menerimanya, misalnya teman sebaya. Dan akibatnya perasaan tidak mampu akan membuat santri
sangat mudah dipengaruhi oleh di lingkungannya. Apapun yang dilakukannya seringkali bukan atas keinginannya sendiri, tetapi lebih dasar
keinginan orang lain atau kelompok. Santri tidak punya kemampuan untuk melepaskan diri dari kelompok, dalam bersikap maupun bertingkah laku
karena mereka memang tidak pernah belajar untuk jadi mandiri. Ada beberapa hal yang menyebabkan santri tidak mandiri, yaitu :
1. Bantuan yang berlebihan
Banyak orang tua yang merasa “kasihan” melihat anaknya bersusah payah melakukan sesuatu sehingga langsung memberikan
pertolongan perlakuan yang menganggap anak tidak bisa apa-apa seperti itu sebenarnya justru memberi kesempatan pada anak untuk
memanipulasi bantuan orang tua. Anak cenderung tidak mau berusaha di kala mengalami kesulitan.
2. Rasa bersalah orang tua
Hal ini sering dialami oleh orang tua yang keduanya bekerja atau mereka yang memiliki anak sakit-sakitancacat. Orang tua ingin
menutupi rasa bersalah mereka dengan memenuhi segala keinginan anak.
3. Terlalu melindungi
Anak yang diperlakukan seperti porselen, cenderung akan tumbuh menjadi anak yang rapuh. Mereka akan goncang di kala
mengalami kesulitan karena selama ini orang tua selalu memenuhi segala permintaaannya.
4. Perhatian atau ketidakacuhan berlebih
Banyak anak yang memakai senjata merengek atau menangis karena tahu orang tuanya surplus perhatian. Itu bisa juga terjadi pada
anak yang orang tuanya bersikap acuh tak acuh. Mereka sengaja malas melakukan segala sesuatunya sendiri agar mendapat perhatian dari
orang tua. 5.
Berpusat pada diri sendiri Anak yang masih sangat egosentris, memfokuskan segalanya
untuk kebutuhan dirinya sendiri. Mereka begitu mementingkan dirinya sehingga orang harus menuruti segala kehendaknya.
2. Tinjauan Tentang Pondok Pesantren
a. Pengertian Pondok Pesanten
Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata santri berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari
Bahasa Arab funduuq
قوﺪﻨﻓ yang berarti penginapan. Khusus di Aceh,
pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai
menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan
dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan
juga Tuhan.
Menurut Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M Tata, Bisri, Abdul Mukti 2005: 11 berpendapat bahwa pesantren berasal dari kata santri
yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa yang berarti orang yang selalu
mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga
dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang
dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Terkadang juga
dianggap sebagai gabungan kata saint manusia baik dengan suku kata tra suka menolong, sehingga kata pesantren dapat berarti tempat
pendidikan manusia baik-baik. Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-
nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak
melulu mengakselerasikan mobilitas vertical dengan penjejelan materi- materi keagamaan, tetapi juga mobilitas horizontal kesadaran sosial.
Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan regional-based curriculum dan cenderung melangit, tetapi
juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian masyarakat society- based curriculum. Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa
semata-mata sebagai lembaga keagamaan
murni, tetapi juga
seharusnya menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnyal. HS. Mastuki, El-sha,
M. Ishom, 2006: 1 Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang
merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi
sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama
berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. Haedari, H.Amin ,
2007: 3 Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya
dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi. Meski begitu, jika
dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah. Organisasi massa ormas Islam
yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama NU. Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-
Washliyah dan Hidayatullah. b.
Sejarah Umum Pondok Pesantren Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang
kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang,
timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana
membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh
santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat- tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan
sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai. Semakin banyak jumlah
santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut,
sehingga menjadi terkenal kemana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo. Rochidin Wahab,
2004: 153, 154
c. Jenis Pondok Pesantren
Secara umum pondok pesantren dibedakan menjadi dua bagian. 1
Pondok pesantren salafi Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja
umumnya disebut pesantren salafi. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri bekerja untuk kyai mereka -
bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang kolam ikan,
dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut.
Sebagian besar pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang
rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh
dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang, para santri
pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustadz mereka untuk
memperdalam pelajaran agama dan al-Quran. 2
Pondok pesantren modern Pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, dimana
persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum matematika, fisika, dan lainnya. Ini
sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan,
keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Pada pesantren dengan materi ajar campuran antara
pendidikan ilmu formal dan ilmu agama Islam, para santri belajar seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran untuk
tingkat SMP kadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkat SMA dengan nama Madrasah
Aliyah. Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama,
sementara dalam madrasah tidak. Pada awal mulanya model atau jenis pondok pesantren salafilah yang
diterapkan. Seiring dengan tututan perkembangan jaman maka munculah pondok pesantren modern. Menurut Karel A. Steenbrink dalam majalah
Tajdid 2009: 358, Salah satu dari keempat sebab-sebab terjadinya moderenisasi pesantren,yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi
para pembaharu Islam untuk melakukan perubahan Islam di Indonesia.Sebab-sebab terjadinya moderenisasi pesantren diantaranya :
1 Munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-
Qur’an dan sunah” sebagai isu sentral yang mulai di tadaruskan sejak tahun 1990, Maka sejak saat tiu perdebatan antara kaum tua dengan
kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks konservatif, mulai mengemukan sebagai wancana public.
2 Kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme
belanda. 3
Terbitnya kesadaran kalangan Muslim untuk memperbaharui organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial
ekonomi. 4
Dorongan kaum Muslim untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam.
d. Kepemimpinan Pondok Pesantren
Pondok pesantren sebagai sebuah institusi dari lembaga-lembaga lain yang ada di dalamnya biasanya sudah menerapkan manejemen modern.
Lembaga-lembaga di luar institusi di pisah secara structural. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga independensi lembaga tersebut dan untuk
memberikan kebebasan berekspresi atau berinovasi bagi pengembangan lembaga. Kondisi seperti ini tentu berbeda dengan keberadaan suatu
lembaga yang hanya merupakan bagian terstruktural dalam lembaga dan menejemen pondok pesantren.
Dalam hal ini A. Halim et al 2005: 238 menjelaskan bahwa secara garis besar, model kepemimpinan pondok pesantren dapat dikategorikan
dalam dua kategori, yaitu :
1 Integrated Struktural
Yang mana semua bidangunit yang ada dalam pondok pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dengan pondok pesantren.
Artinya, semua bidangunit dengan berbagai ragam spesifikasi, berada dalam suatu organisasi.
System kendali organisasi berpusat hanya berpusat pada satu orang, maka dapat dipastikan bahwa system keorganisasian dan
kelembagaan semua harus mendapat restu kyai. Inilah problem klasik kelembagaan, yang biasanya banyak dijumpai di pondok
pesantren salafi. Meski demikian apabila figure kyai adalah seorang yang demokaratis, otoritarianisme kelembagaan dapat di hindari.
Bagan 1
Kepemimpinan Ponndok Pesantren Integrated Struktural
A. Halim et al 2005: 238
2 Integrated Non-Struktural
Sistem ini unitbidang usaha yang dikembangkan pondok pesantren terpisah secara structural organisatoris. Artinya, setiap bidang usaha
mempunyai struktur sendiri yang independent. Meski demikian, secara emosional dan ideologis tetap menyatu dengan pesantren.
Pemisahan lembaga ini dimaksudkan sebagi upaya kemandirian lembaga, baik dalam pengelolaan atau pengembangannya.
Bagan 2
Kepemimpinan Ponndok Pesantren Integrated Non-Struktural A. Halim et al 2005: 239
: Garis Komando : Garis Koordinasi
e. Peran Pondok Pesantren
Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia
secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama
inilah yang kemudain dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. federspiel salah seorang pengkaji ke-Islaman
di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh dan Palembang Sumatra, di Jawa Timur dan di Gowa Sulawesi telah
meng hasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.Irfan Hielmy, 2000: 120
Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting di Indonesia dan negara-negara lainnya yang penduduknya
banyak memeluk agama Islam. Alumni pondok pesantren umumnya telah bertebaran di seluruh wilayah Indonesia.
f. Tujuan dan Metode Pendidikan Pondok Pesantren
1 Tujuan pendidikan pondok pesantren
Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan mempunyai tujuan yang dirumuskan dengan jelas sebagai acuan program-program
pendidikan yang diselenggarakan. Tujuan utama pondok pesantren adalah untuk mencapai hikmah atau wisdom kebijaksanaan
berdasarkan pada ajaran Islam yang di maksudkan untuk meningkatkan pemahaman tentang arti kehidupan serta realisasi dari
peran-peran serta tanggungjawab sosial. Menurut M. Dian Nafi’ et al 2007: 50 tujuan pendidikan
pondok pesantren secara spesifik,l beberapa pondok pesantren yang tergabung dalam Forum Pesantren merumuskan berbagai tujuan
pendidikannya, yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu :
a Pembentukan akhlakkepribadian
Berpijak pada hadits Nabi Muhammad SAW
ﻢﻤﺗﻻ ﺖﺜﻌﺑ ﺎﻤﻧا مرﺎﻜﻣ
قﻼﺧﻻا “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
mulia” HR. Ahmad b
Penguatan kompetensi santri Kompetensi santri dikuatkan melalui empat jenjang tujuan yaitu :
i. Wasail
Penguasaan skolastik atas mata pelajaran di pesantren di tempatkan sebagai wasail,baik penguasaan itu berada dalam
ranah kognitif, efektif, maupun psikomotorik. ii.
Ahdaf Pemberian mata pelajaran sesuai dengan jenjangnya, seperti
halnya jenjang ula mata pelajarannya banyak hafalan. Jenjang wustha mata pelajaran hafalan dan analisis mulai berkembang.
Jenjang ‘ulya mata pelajaran mencakup kajian kasus dan kompetensi sebagai guru sejawat santri dijenjang dasar, dan hal
tersebut berjalan sampai jenjang terakhir. iii.
Maqashid Tujuan pokok yang ingin dihasilkan dari proses pendidikan
di lembaga pesantren adalah lahirnya mutafaqqih fi ad-din, yaitu orang yang ahli di bidang ilmu agama islam. Karena cabang-
cabang ilmu di dalam agama islam itu banyak, maka selalu terdapat kekhususan sesuai dengan kemampuan santri calon kyai.
iv. Ghayah
Tujuan akhir atau ghayah adalah mencapai ridla Allah SWT. Disitulah ahwal dan maqamat mulai dipahami karena
dijalani, melebihi yang terbaca dalam literature selama di dalam pondok sebagai santri mukim, karena di sana para santri baru
mempelajari. c
Penyebaran ilmu Penyebaran ilmu atau nasyru al-‘ilmi menjadi pilar utama
bagi menyebarnya ajaran agama islam. Kalangan pesantren mengemas penyebaran ilmu ini dalam kegiatan dakwah yang
memuat prinsip al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar. Kewajiban ini bahkan menjadi sebuah keyakina bagi kalangan
pesantren, sebagai pembeda antar orang mukmin dengan munafik. Iman al-Ghazali lebih keras menyatakan, bahwa
meninggalkan amar makruf nahi munkar berarti keluar dari komunitas orang mukmin.
2 Metode pendidikan pondok pesantren
Metode pendidikan membahas tentang cara-cara yang ditempuh guru untuk memudahkan murid memperoleh ilmu
pengetahuan, menumbuhkan pengetahuan ke dalam diri penuntut ilmu dan menerapkannya dalam kehidupan. Dalam hal ini M. Dian
Nafi’ et al 2007: 67 mengemukakan bahwa metode pengajaran di pesantern adalah bandongan atau wetonan dan sorogan.
Bandongan dilakukan dengan cara kyaiguru teks-teks kitab yang berbahsa arab, menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal, dan
sekaligus menjelaskan maksud yang terkandung dalam kitab tersebut. Metode ini dilakukan dalam rangka memenuhi kompetensi
kognitif santri dan memperluan referensi keilmuan bagi mereka. Aspek kognitif yang semua santri menjadi aktif adalah metode
pengajaran yang juga menjuadi cirri khas pesantren yaitu sorogan. Metode sorogan adalah semacam metode CBSA yang santri aktif
memilih kitab, biasanya kitab kuning yang akan dibaaca, kemudian membaca dan menerjemahkannya di hadapan kyai, sementara itu
kyai mendengarkan bancaan santri itu dan mengoreksi bacaan atau terjemahannya jika diperlukan.
Aspek efektif santri juga ditingkatkan melalui poembinaan akhlakkepribadian. Konsep barokah atau berkah yang ada di
pesantren, yaitu keyakinan bahwa jika seorang santri bersungguh- sungguh dalam belajar di pesantren maka akan mendapatkan
barokah, juga menjadi andil di dalam meningkatkan minat dan semangat santri untuk belajar.