Post 617deee0f9baeb5c

(1)

PENDIDIKAN KEMANDIRIAN BERBASIS

PONDOK PESANTREN DI PONDOK PESANTREN

AL-MANAR SALATIGA

Studi Pada Pondok Pesantren Al-Manar Bener Kecamatan

Tengaran Kabupaten Semarang Tahun 2011-2012

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam

Oleh

YEYEN EPTA

_______________________________

111 070 52

JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

SALATIGA

2012


(2)

(3)

PERSETUJUAN PEMBIMBING KEMENTERIAN AGAMA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721

Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail : administrasi@stainsalatiga.ac.id


(4)

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi Saudara Yeyen Epta dengan Nomor Induk Mahasiswa 111 070 52 yang berjudul ”Pendidikan Kemandirian Berbasis Pondok Pesantren di Pondok Pesantren Al-Manar Bener Kecamatan Tengaran kabupaten Semarang Tahun 2011-2012” telah dimunaqosahkan dalam Sidang Panitia Ujian Jurusan Tarbiyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada tanggal ….. bulan ………….. Tahun …….. 2012 dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I.).

Salatiga, 2012 M. …. adf 1432 H Panitia Ujian

Ketua Sidang

……….. NIP. ………

Sekretaris Sidang

……… NIP. ……….. Penguji 1

……… NIP. ………..

Penguji 2

………. NIP. ……… Pembimbing

M. Ghufron, M.Ag NIP. 197208142003312 1001

KEMENTERIAN AGAMA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721

Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail : administrasi@stainsalatiga.ac.id


(5)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Yeyen Epta

NIM : 111 070 52

Jurusan : Tarbiyah

Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, ... 2012 Yang menyatakan,

Yeyen Epta NIM : 111 070 52 KEMENTERIAN AGAMA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721

Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail : administrasi@stainsalatiga.ac.id


(6)

MOTTO

”Hiduplah laksana pohon buah yang berbuah lebat; tumbuh di tepi jalan dan ketika dilempari orang dengan batu, dibalas dengan buah”

(Abu Bakar al-Syibli)


(7)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan buat :

1. Bapak dan ibuku yang tersayang atas restu dan kasih sayangnya yang senantiasa menjadi kekuatan dalam setiap langkah dan keberhasilanku. Terima kasih untuk pemberian do’a dan pengorbanan kepadaku yang tak terkatakan.

2. Saudara-saudaraku tercinta atas persaudaraan yang selalu memberikan do’a dan dukungan dengan tulus.

3. Jodoh dan masa depanku

4. Sahabat-sahabat terbaikku Een Boen, Dum Markudum, si Kucrut Rohim, Syeikh Kom Medi, dan temen-temen ku yang tak bisa saya sebutkan satu persatu.

5. Almamater di angkatanku.

6. Keluarga besar Pondok Pesantren Al-Manar, yang senantiasa menjadi motivator selama penelitian dan penulisan skripsi penulis.

7. Temen-temen ku yang ada di cabang HMI salatiga, dan

8. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu pada kesempatan kali ini yang telah membantu penulis dengan hati terbuka


(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul ”Pendidikan Kemandirian Berbasis Pondok Pesantren di Pondok Pesantren Al-Manar Bener Kecamatan Tengaran kabupaten Semarang Tahun 2011-2012”. Skripsi yang ditulis ini menyangkut tentang pentingnya masalah kualitas keagamaan kaitannya dengan pendidikan kemandirian. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memperoleh gelar Sarjana strata 1 pada Fakultas Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.

Karya tulis ini dapat terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ketua STAIN Salatiga

2. KAPROGDI Pendidikan Agama Islam STAIN Salatiga

3. Bapak M. Ghufron, M. Ag. yang telah membimbing peneliti dalam

menyelesaikan karya tulis ini dengan tulus dan penuh kesabaran.

4. Pengasuh, Pengurus, Ustadz, Ustadzah dan para santri Pondok Pesantren Al-Manar Bener Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang yang memberikan izin dalam penelitian dan membantu dalam pengumpulan data


(9)

5. Teman-teman baikku bang Prima, Rohim, Dum, Een, Idit dan yang selalu mendukung, memotifasi dan membantuku dengan tulus.

6. Teman-teman Senasib dan Seperjungan di Himpunan Mahasiswa Islam(HMI).

Meskipun kegiatan penelitian ini telah dilaksanakan secara maksimal, namun penulis yakin masih banyak kekurangannya. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Akhirnya semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan Pondok Pesantren Al-Manar Bener Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang khususnya.

Penulis

Yeyen Epta NIM. 111 070 52


(10)

ABSTRAK

Yeyen Epta, 2012. Pendidikan Kemandirian Berbasis Pondok Pesantren di Pondok Pesantren Al-Manar Bener Kecamatan Tengaran kabupaten Semarang Tahun 2011-2012. Skripsi Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Skolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Bp. Ghufron, M.Ag.

Penelitian ini upaya untuk mengetahui; 1. Pelaksanaan pendidikan kemandirian berbasis pondok pesantren, 2. Kualitas pendidikan kemandirian berbasis pondok pesantren, 3. Faktor pendukung dan kendala dalam pelaksanaan pendidikan kemandirian berbasis pondok pesantren.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metodologi penelitian Kualitatif, metode pengumpulan datanya dengan metode observasi dan wawancara.

Metode yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah metode deskriptif yaitu menggambarkan bagaimana pendidikan kemandirian pada pondok pesantren tersebut.

Dalam Tugas Akhir ini, membahas bagaimana pendidikan kemandirian pada pondok pesantren. Seperti kita ketahui santri yang berada di pondok pesantren dibesarkan dan dididik dalam suatu lingkungan pesantren tanpa adanya orang tua. Jadi pengasuh, pengurus, ustadz dan ustadzah memusatkan pada para santri tersebut secara total. Secara umum ada keterikatan yang kuat antara para santri dengan pengasuh, pengurus, ustadz dan ustadzah atau siapapun yang berada di sekitar lingkungan tersebut. Hal ini bisa terjadi karena sejak masuknya santri ke pesantren tersebut perhatian terpusat pada para santri dan dalam perkembangan selanjutnya para santri tersebut memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan pengasuh, pengurus, ustadz dan ustadzah dan lingkungannya. Sebagai pengasuh, pengurus, ustadz dan ustadzah perlu mendidik para santri agar tumbuh menjadi anak yang mandiri meskipun banyak kendala-kendala yang harus dihadapi.

Pelaksanaan pendidikan kemandirian berbasis pondok pesantren Al-Manar Bener adalah Pertama pendidikan kemandirian dibidang keagamaan yang dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesadaran beragama santri adalah : forum kajian Islam, seni baca Alqur’an, khitobah tiga bahasa (bahasa Indonesia, bahasa Arab dan bahasa Inggris), shalawat, shalat berjamaah dan shalat dhuha, shalat sunah, peringatan hari besar Islam dan lain sebagainya semuanya terkumpul dalam kegiatan harian, kegiatan mingguan, kegiatan bulanan dan kegiatan tahunan. Kedua pelaksanaan pendidikan kemandirian life skill juga dengan mengedepankan pengembangan skill santri dengan pembimbing yang benar-benar menguasai dalam bidangnya. Sedangkan dalam pelaksanaannya tidak hanya pemberian materi atau teori saja melainkan juga dengan praktek langsung. Pendidikan kemandirian life skill yang diajarkan adalah otomotif sepeda motor, las listrik, menjahit dan memasak.


(11)

Kualitas pendidikan kemandirian berbasis pondok pesantren Al-Manar Dalam pendidikan kemandirian baik dari segi kegamaan maupun dari peningkatan skill secara utuh memberikan peningkatan kwalitas pendidikan pondok pesantren. Hal tersebut menandakan bahwa kualitas pendidikan di pondok pesantren Al-Manar Bener sangat baik dengan memperhatikan tingkah laku maupun perbuatan santri dan juga dengan melihat para alumni yang dapat mempraktekkan life skill mereka baik di dunia kerja maupun kesehariannya. Kwalitas pendidikan tersebut juga dibuktikan dengan penerimaan santri yang tiap tahunnya meningkat.

Faktor yang mendukung dalam pelaksanaan pendidikan kemandirian berbasis pondok pesantren Al-Manar Bener baik dari segi agama maupun life skill terdiri atas 2 bagian yaitu : Faktor Intern yang mendukung dalam faktor ini adalah pengasuh, pengurus dan ustadz selaku pembina. Faktor ekstern yang mendukung dalam factor ini adalah sarana prasarana seperti masjid, perpustakaan, buku, labolatorium bengkel Otomotif, bengkel las, ruang jahit, ruang pelatihan dan sumber belajar lain yang dapat digali.

Factor kendala dalam pelaksanaan pendidikan kemandirian berbasis pondok pesantren Al-Manar Bener adalah hambatan yang biasa sering ditemui dalam pelaksanaan pendidikan kemandirian ini adalah santri sering menganggap

pendidikan kemandirian keagamaan kurang menarik, sehingga

mengenyampingkan kegiatan tersebut. Selain itu sarana dan prasarana yang kurang meamdai juga menghambat dalam pendidikan kemandirian tersebut.

Jadi, sikap mandiri sangatlah penting bagi para santri karena untuk bekal kehidupan kelak sepanjang hidupnya. Dan sebagai pengasuh, pengurus, ustadz, dan ustadzah, bisa membina para santri untuk memastikan nilai nilai yang tanamkan dan tumbuhkan itu cukup apa tidak. Karena sebagai modal dalam kehidupan mereka selanjutnya. Selain itu sebagai pengasuh, pengurus, ustadz dan ustadzah harus selalu memberikan bimbingan secara moral dan memberi contoh teladan yang baik pada para santri yang dapat melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan.


(12)

DAFTAR BAGAN

Bagan I Kepemimpinan Ponndok Pesantren Integrated Struktural

Bagan 2 Kepemimpinan Ponndok Pesantren Integrated Non-Struktural

Bagan 3 Struktur Organisasi Pondok Pesantren Al-Manar Kecamatan


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel I Nama Kyai yang Pernah Menjadi Pengasuh Pondok

Pesantren Al-Manar

Tabel II Daftar Asatidz Pondok Pesantren Al-Manar Kecamatan

Tengaran Kabupaten Semarang

Tabel III Daftar Jumlah Santri Pondok Pesantren Al-Manar


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR BERLOGO ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PENGESAHAN KELULUSAN... .... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK... x

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

E. Manfaat Penelitian ... 4

F. Penegasan Istilah ... 5

G. Metodologi Penelitian ... 7


(15)

BAB II : KAJIAN PUSTAKA ...

A. Kerangka Teoritik ………

1. Tinjauan Tentang Kemandirian …………...……… 16

2. Tinjauan Tentang Pondok Pesantren ……... B. Pendidikan Kemandirian Menurut Pandangan Islam ...

C. Kerangka Analisis ……….

BAB III : PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ...

A. Gambaran Umum Pondok Pesantren Al-Manar Bener

Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang …………... 50 1. Sejarah Singkat ... 2. Letak Geografis ... 3. Sarana Prasarana ...

4. Keadaan Asatidz, Karyawan dan santri ...

5. Struktur Organisasi ………

B. Pelaksanaan Pembelajaran di Pondok Pesantren al-Manar

Bener Kecamatan Tengaran Kabupaten semarang...

1. Kurikulum …….………..

2. Metode Pengajaran ………..

C. Program Pengembangan Pondok Pesantren dan Masyarakat ...

1. Peranan Pondok Pesantren dalam Pelaksanaan Pengembangan

Masyarakat ……….

2. Penyelenggaraan Unit Usaha dan Pengembangan Ketrampilan

18 18 18 26 39 47 48 48 48 53 54 55 59 61 61 63 65 65


(16)

di Pondok Pesantren ……….

D. Keadaan Sosial Kemasyarakatan Sekitar Pondok Pesantren ……….

E. Latar Belakang Pendidikan Kemandirian Berbasis Pondok

Pesantren di Ponpes Al-Manar Bener ……….

1. Pendidikan kemandirian keagamaan ………

2. Pendidikan kemandirian peningkatan life skill ………

BAB IV : PEMBAHASAN ... A. Penyajian Dan Analisis Data Pelaksanaan pendidikan

Kemandirian ………

1. Pelaksanaan Pendidikan Kemandirian keagamaan ………..

2. Pelaksanaan pendidikan kemandirian life skill ………..

B. Usaha-Usaha Pendidikan kemandirian Dalam Meningkatkan

Keberhasilan dan Kwalitas Pendidikan Santri ………

1. Usaha Pendidikan kemandirian Dalam Meningkatkan

Keberhasilan ……….

2. Kwalitas Pendidikan Santri ………..

C. Faktor Pendukung Dan Kendala-kendala Dalam Pelaksanaan

Pendidikan kemandirian ……….

1. Faktor Pendukung Dalam Pelaksanaan Pendidikan kemandirian …

2. Kendala-kendala Dalam Pelaksanaan Pendidikan kemandirian …

68 69 70 70 73 77 77 77 82 89 89 93 94 94 95


(17)

BAB V : PENUTUP ... A. Kesimpulan ………... B. Saran ………... C. Penutup ...

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN-LAMPIRAN

98 98 100 101


(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah kegiatan yang melibatkan setiap orang dan seluruh lapisan masyarakat. Setiap orang sejak awal sampai akhir sangat berurusan dengan pendidikan, baik pendidikan untuk diri sendiri, anak-anak (keluarga) maupun untuk anggota masyarakat. Pendidikan ini pada dasarnya adalah merupakan kewajiban untuk selalu menyempurnakan diri, membangun kualitas hidup, dan bertanggung jawab atas amanah sebagai kholifah. Bagi bangsa Indonesia, pendidikan mengandung makna sebagai usaha membangun pribadi menjadi warga negara dan bangsa yang baik.

Dengan pendidikan akan terbina kepribadian yang harmonis. Terbinanya kepribadian seseorang diharapkan dapat secara bertahap mengatur

kehidupannya, mengatasi persoalan-persoalan guna mencukupi

kebutuhannya, dan dapat mengarahkan hidupnya kepada sesuatu yang lebih berguna secara mandiri. Dalam Ilmu Pendidikan disebutkan bahwah pendidikan pada hakekatnya adalah suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus-menerus

Pondok Pesantren adalah lembaga yang dapat dikatakan merupakan wujud proses perkembangan sistem pendidikan Islam, dimana pesantren menjadi salah satu media utama pengaruh Islam dalam pembinaan moral


(19)

bangsa indonesia. Pendidikan Pondok Pesantren lebih mengedepankan pendidikan agama, karena pendidikan agama merupakan bagian pendidikan yang sangat penting yang berkenaan dengan aspek-aspek sikap dan nilai.

Agama mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan dirinya sendiri yang dapat menjamin keselarasan, keseimbangan, keserasian dalam hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat dalam mencapai kebahagiaan lahir batin. Pondok Pesantren adalah salah satu lembaga yang mampu memberi pengaruh yang cukup besar dalam dunia pendidikan, baik jasmani, ruhani, maupun intelegensi, karena sumber nilai dan norma-norma agama merupakan kerangka acuan dan berfikir serta sikap ideal para santri. Sehingga pesantren sering disebut sebagai alat tranformasi kultural.

Fungsi pokok pesantren adalah mencetak ulama dan ahli agama. Kegiatan pembelajaran yang terjadi di pesantren tidaklah sekedar pemindahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan tertentu tetapi yang terpenting adalah penanaman dan pembentukan nilai-nilai tertentu kepada santri. Sebuah lembaga pendidikan akan dinilai berhasil oleh masyarakat bukan sekedar dilihat dari tingginya nilai mata pelajaran siswa, namun lebih dilihat pada kemampuan Spiritual Quotient dan Emotional Quotient, yang berarti kemampuan menahan diri, mengendalikan emosi, memahami emosi orang lain, memiliki ketahanan dalam menghadapi berbagai masalah, bersikap sabar, memiliki kepercayaan diri, dan bersikap mandiri jauh lebih penting.


(20)

Semua ini dapat muncul tak lepas dari peran serta para kiai atau ustadz, kakak kelas, yang selama dua puluh empat jam terus menerus senantiasa memberi bimbingan, pengarahan sehingga setiap gerak gerik mereka selalu terawasi dengan seksama untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya.

Berdasarkan pengamatan penulis tampak belum ada yang meneliti

tentang PENDIDIKAN KEMANDIRIAN BERBASIS PONDOK

PESANTREN DI PONDOK PESANTREN AL-MANAR SALATIGA (Studi pada pondok pesantren Al-Manar Bener, kecamatan Tengaran, kabupaten Semarang Tahun 2011-2012). Dengan demikian masalah yang diangkat dalam penelitian ini telah memenuhi unsur pembaharuan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut;

1. Bagaimana pelaksanaan pendidikan kemandirian berbasis pondok

pesantren Al-Manar Bener, kecamatan Tengaran, kabupaten Semarang Tahun 2011-2012?

2. Bagaimana kualitas santri dalam pendidikan kemandirian berbasis pondok pesantren Al-Manar Bener, kecamatan Tengaran, kabupaten Semarang Tahun 2011-2012?

3. Bagaimana factor pendukung dan kendala dalam pelaksanaan

pendidikan kemandirian berbasis pondok pesantren Al-Manar Bener, kecamatan Tengaran, kabupaten Semarang Tahun 2011-2012?


(21)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis dapat menentukan tujuan penelitian ini adalah;

1. Untuk mengetahui pelaksanaan pendidikan kemandirian berbasis

pondok pesantren Al-Manar Bener, kecamatan Tengaran, kabupaten Semarang, Jawa Tengah Tahun 2011-2012.

2. Untuk mengetahui kualitas pendidikan kemandirian berbasis pondok pesantren Al-Manar Bener, kecamatan Tengaran, kabupaten Semarang, Jawa Tengah 2011-2012.

3. Untuk mengetahui factor pendukung dan kendala dalam pelaksanaan pendidikan kemandirian berbasis pondok pesantren Al-Manar Bener, kecamatan Tengaran, kabupaten Semarang, Jawa Tengah 2011-2012.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua sisi; 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis, sekurang-kurangnya dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia pendidikan islam di pondok pesantren di Al-Manar.


(22)

a. Bagi penulis dapat menambah wawasan pengalaman tentang pendidikan Islam dalam bidang kemandirian berbasis pondok pesantren.

b. Bagi pondok pesantren Al-Manar dapat memberi motivasi untuk lebih meningkatkan kemampuan dan skil dalam mengembangkan pendidikan kemandirian santri.

Bagi peneliti berikutnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan atau dikembangkan lebih lanjut, serta referensi terhadap penelitian yang sejenis.

E. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kesalah pahaman dalam menafsirkan maksud yang terkandung dalam istilah-istilah pada judul skripsi, maka penulis menegaskan istilah pokok yang terkandung dalam skripsi sebagai berikut: 1. Pendidikan

Pendidikan adalah proses pengubahan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Depdiknas, 1989: 204). Pendidikan berasal dari kata “didik” yang memberi awalan “pe” dan akhiran “an” mengandung arti perbuatan (hal, cara).

Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu Paedagogie, yang berarti bimbingan yang diarahkan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “education” berarti pengembangan


(23)

atau bimbingan. Dalam bahasa Arab sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan (Ramayulis, 2004: 1)

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan pendidikan adalah usaha maksimal yang dilakukan untuk menjalani aktifitas maupun kegiatan-kegiatan dengan menggunakan kemampuan berfikir, menganalisa dengan serius dan bertanggung jawab atas semua yang diperbuat untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

2. Kemandirian

Kemandirian adalah hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain (Depdiknas, 2007: 710). Meningkatkan kemandirian pesantren berarti meningkatkan pesantren dalam ikut membangun bangsa dan ikut memperkokoh rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan kemandirian adalah usaha maksimal yang dilakukan santri untuk menjalani rutinitas yang ada dengan sendiri tanpa membutuhkan bantuan dari orang luar demi mewujudkan cita-cita bersama.


(24)

Secara bahasa pesantren berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti tempat menginap. Adapun kata pesantren merupakan bentukan dari kata santri mendapat affiks “pe-an” menjadi pesantrian (DEPAG, 2003: 12).

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. Lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia yang telah tumbuh dan berkembang sejak masa penyiaran Islam, pada umumnya pondok pesantren sebagai tanggungjawab ketaatan terhadap Allah Swt untuk mengajarkan ajaran agama islam dari dasar.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, berbasis pondok pesantren adalah tempat pembentukan karakter seseorang dari paling dasar yang tinggal didalam lembaga tersebut untuk mengembangkan baik sebagai makhluk individu, maupun sebagai makhluk sosial secara bertahap sesuai dengan tingkat pertumbuhan, perkembanganya dan tingkat kecerdasan serta potensi spiritual yang dimiliki masing-masing santri.

F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat kualitatif yang prosedurnya menghasilkan data deskriptif yang disusun


(25)

peneliti di lokasi penelitian, tidak dituangkan dalam bentuk dan angka-angka (Jamal, 2011: 75).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian misalnya: perilaku, persepsi, motivasi tindakan, secara holistic dan dengan cara diskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah (Moleong, 2009: 6), yaitu dengan cara menggali, menuturkan, menganalisis dan mengklasifikasikan realitas.

Dengan demikian penelitian ini bertujuan mendiskripsikan fenomena meningkatkan kualitas untuk mengamati bentuk- bentuk kemandirian belajar santri dengan menggunakan landasan berfikir fenomenologis sebagai landasan pokok dalam penelitian kualitatif, dimana berupaya memahami kenyataan yang disajikan tidak dalam bentuk angka dan Data kualitatif hanya dapat digolongkan dalam wujud kategori-kategori. Misalnya pernyataan orang tentang suatu keadaan bagus, buruk, mencekam, menarik, membosankan, sangat istimewa dan sebagainya.

2. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai pengumpul data dan sebagai instrumen aktif dalam upaya mengumpulkan data-data di lapangan, sedangkan instrumen pengumpulan data yang lain selain manusia adalah berbagai bentuk alat-alat bantu dan berupa


(26)

dokumen-dokumen lainnya yang dapat digunakan untuk menunjang keabsahan hasil penelitian, namun berfungsi sebagai instrumen pendukung.

Oleh karena itu, kehadiran peneliti secara langsung di lapangan sebagai tolok ukur keberhasilan untuk memahami kasus yang diteliti, sehingga keterlibatan peneliti secara langsung dan aktif dengan informan atau sumber data lainnya di sini mutlak dilakukan. Peneliti mengadakan komunikasi dengan objek penelitian memakai bahasa Jawa Krama Alus, yang memungkinkan komunikasi lebih akrab dan mudah dipahami sehingga akan terjalin baik antara peneliti dan responden.

Peneliti mengumpulkan dan mencatat data secara terperinci mengenai hal-hal yang bertalian dengan permasalahan yang sedang diteliti, misalnya mengenai tingkat kemandirian santri dalam kehidupan sehari-hari di tempat penelitian, pandangan ustad mengenai konsep dasar kemandirian santri berbasis pondok pesantren, kondisi lingkungan tempat penelitian dan lain sebagainya.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan difokuskan pada Pendidikan Kemandirian Berbasis Pondok Pesantren di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah.

4. Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui sumber lapangan. Sumber data lapangan adalah kyai pembimbing lembaga, santri dan ustad sebagai pelaku di pondok pesantren dan ulama di lingkungan yang


(27)

mendukung. Sedangkan sumber sekunder yaitu dokumen-dokumen yang merupakan hasil laporan, hasil penelitian, serta buku-buku yang ditulis orang lain tentang pendidikan kemandirian berbasis pondok pesantren.

5. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah:

a. Metode Observasi

Obsevasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian (Jamal, 2011: 123). Pengamatan terhadap gejala-gejala subjek yang diteliti ini dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung dalam situasi yang sebenarnya atau situasi buatan. Sedangkan yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi secara langsung dalam situasi yang sebenarnya. Metode ini digunakan dalam mengamati pelaksanaan kegiatan pendidikan kemandirian baik dalam hal keagamaan terutama pendidikan kemandirian dalam meningkatkan life skill santri di Pondok Pesantren Al-Manar Bener.

b. Metode Wawancara

Wawancara atau interviu adalah cara pengumpulan data dengan jalan tanya-jawab sepihak yang dilakukan dengan sistematik dan berlandaskan pada tujuan penelitian (Hadi, 2007: 218). Secara garis besar ada dua macam pedoman wawancara yaitu: 1) tidak terstuktur, adalah pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar yang


(28)

akan ditanyakan. 2) terstruktur, adalah pedoman wawancara yang disusun secara terperinci sehingga menyerupai chek-list (Arikunto, 2006: 227). Jenis wawancara yang penulis gunakan adalah wawancara terstruktur dan tidak terstruktur.

Metode wawancara dalam penelitian ini dipakai penulis untuk mengambil data tentang pelaksanaan pendidikan kemandirian baik dalam hal keagamaan terutama pendidikan kemandirian dalam meningkatkan life skill santri di Pondok Pesantren Al-Manar Bener serta perannya dalam membentuk kemandirian belajar santri di pondok tersebut.

c. Metode Dokumentasi

Dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal yang variabelnya berupa catatan-catatan, transkip, buku-buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2006: 231).

Metode ini digunakan untuk mendapatkan data tentang struktur organisasi, tenaga pendidikan, daftar anak didik, dan data lain yang diperlukan dalam penelitian.

6. Analisis Data

Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode penelitian, karena dengan analisa data dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Analisa data menurut patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam


(29)

suatu pola, kategori, dan satuan uraian data (Jamal, 2011: 164). Data dalam penelitian kualitatif sangat beragam bentuknya, ada berupa catatan wawancara, rekaman suara, gambar, foto, peta, dokumen, bahkan rekaman pada shoting lapangan.

Orientasi umum penelitian ini terletak pada aspek bagaimana sebenarnya pendidikan kemandirian berbasis pesantren di Al-manar Bener tahun 2011-2012, untuk itu metode yang digunakan untuk menganalisa data dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Analisis data adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti menggolongkan kedalam pola, tema, atau kategori tafsiran atau interpretasi artinya memberikan makna kepada analisis, menjelaskan pola atau kategori, mencari hubungan antara berbagai konsep (Pohan, 2007:133). analisis data ini sendiri akan dilakukan dalam tiga cara yaitu :

a. Reduksi Data

Data yang diperoleh dilapangan ditulis dalam bentuk uraian yang sangat lengkap dan banyak. Data tersebut direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok, difokuskan kepada hal-hal yang penting dan berkaitan dengan masalah, sehingga memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil wawancara. reduksi dapat membantu dalam memberikan kode kepada aspek-aspek yang dibutuhkan.


(30)

Analisis ini dilakukan untuk mengkaji data-data yang telah tereduksi dengan kajian ilmu yang berhubungan dengan tema penelitian, dalam hal ini data-data wawancara yang diperoleh di lapangan tentang pendidikan kemandirian akan dikaji lebih mendalam kemudian mengaitkan dengan kehidupan para santri.

c. Kesimpulan dan Verifikasi

Data yang sudah dipolakan, difokuskan dan disusun secara sistematis baik melalui reduksi dan pengkajian data kemudian disimpulkan sehingga makna data bisa ditemukan. Namun kesimpulan itu baru bersifat sementara saja dan bersifat umum. Supaya kesimpulan diperoleh secara lebih mendalam, maka diperlukanya data yang baru sebagai penguji terhadap kesimpulan di awal tadi.

Penarikan sebuah kesimpulan tersebut penulis menggunakan metode:

a. Deduktif, cara berfikir yang berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum dan bertitik tolak pada pengetahuan umum untuk menilai suatu kejadian yang khusus (Hadi, 2007: 47).

b. Induktif, cara berfikir yang berangkat dari fakta-fakta khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkret kemudian digeneralisasi yang mempunyai sifat umum (Hadi, 2007: 47).


(31)

Teknik pemeriksaan data dalam penelitian ini dilaksanakan berdasarkan beberapa kriteria tertentu, yang dibagi menjadi empat kriteria yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan keabsahan, yaitu : d. Derajat Kepercayaan (Credibility)

Kredibilitas ini merupakan konsep pengganti dari konsep validitas internal dalam penelitian kuantitatif, Kriteria kredibilitas ini berfungsi untuk melakukan penelaahan data secara akurat agar tingkat kepercayaan penemuan dapat dicapai. Adapun teknik dalam menentukan kredibilitas ini adalah memperpanjang masa observasi, menganalisis kasus negatif, menggunakan bahan referensi, tri angulasi serta member check.

e. Keteralihan (transferability)

Konsep ini merupakan pengganti dari vadilitas eksternal dalam penelitian kuantitatif. Validitas eksternal diperlukan dalam penelitian

kuantitatif untuk memperoleh generalisasi. Dalam kualitatif

generalisasi tidak dipastikan, ini bergantung pada pemakai, apakah akan dipastikan lagi atau tidak, karena tidak akan terjadi situasi yang sama. Transferability hanya melihat kemiripan sebagai kemungkinan terhadap situasi-situasi yang berbeda. Teknik yang digunakan untuk transferabilitas ini dilakukan dengan uraian rinci (Thick descrition)


(32)

Konsep ini merupakan pengganti dari konsep reability dalam penelitian kuantitatif, reability tercapai bila alat ukur yang digunakan secara berulang-ulang dan hasilnya sama. Dalam penelitian kualitatif, alat ukur bukan benda melainkan manusia atau si peneliti itu sendiri. Lain dari pada itu, rancangan penelitian terus berkembang. Yang dapat dilakukan dalam penelitian kualitatif adalah pengumpulan data sebanyak mungkin selama penelitian. Teknik yang digunakan untuk mengukur kebergantungan adalah auditing, yaitu pemeriksaan data yang sudah dipolakan.

g. Kepastian (confirmability)

Konsep ini merupakan pengganti dari konsep objektifitas pada penelitian kuantitatif. Bila pada kualitatif, objektifitas itu diukur melalui orangnya atau penelitianya. Diakui bahwa peneliti itu memiliki pengalaman subjektif. Namun, bila pengamatan tersebut dapat disepakati oleh beberapa orang, maka pengalaman peneliti itu bisa dipandang objektif. Jadi persoalan objektifitas dan subjektifitas dalam peneliti kualitatif sangat ditentukan oleh seseorang.

G. Sistematika Penulisan Skripsi

Dalam memahami skripsi ini, maka perlu diketahui tata urutan penulisanya, adapun tata urutanya sebagai berikut :


(33)

Pendahuluan memuat: Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Manfaat penelitian, Penegasan istilah, Metode penelitian dan Sistematika penulisan skripsi.

BAB II LANDASAN TEORI

Landasan teori berisi tentang teori-teori yang berhubungan dengan variabel penelitian yaitu : pendidikan kemandirian yang meliputi pengertian, faktor-faktor kemandirian, kemandirian sebagai tujuan pendidikan dan bimbingan Berbasis pondok pesantren yang meliputi pengertian dan sejarah pesantren, model pondok pesantren, kepemimpinan pondok pesantren, peran pondok pesantren, tujuan dan metode pendidikan pondok pesantren.

BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Metode penelitian berisi tentang jenis penelitian, subyek dan obyek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengambilan sampel dan analisis data.

BAB IV PEMBAHASAN

Pada bab ini akan menguraikan analisis tentang Latar

belakang pendidikan kemandirian berbasis pondok

pesantren, analisis tentang pelaksanaan pendidikan

kemandirian, analisis tentang usaha-usaha pendidikan kemandirian dalam meningkatkan keberhasilan dan


(34)

kwalitas pendidikan santri, analisis tentang faktor pendukung dan kendala-kendala dalam pelaksanaan pendidikan kemandirian.

BAB V PENUTUP

Berisi kesimpulan hasil penelitian, kritik dan saran yang berhubungan dengan pihak terkait.


(35)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritik

1. Tinjauan Tentang kemandirian a. Pengertian kemandirian

Menurut Anita Lie (2004: 2) dan Sarah Prasasti (2004: 3), menyatakan: “Kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari atau dengan sedikit bimbingan sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya”. “Kemandirian adalah perilaku yang menentukan bagaimana kita bereaksi terhadap situasi setiap hari yang memerlukan beberapa jenis keputusan bersifat moral dan merupakan sikap yang harus dikembangkan seorang anak untuk bisa menjalani kehidupan tanpa ketergantungan ke orang lain”.

Kemandirian merupakan sebuah mentalitas yang diajarkan oleh Islam. Kemandirian merupakan mental untuk berani menjalani kehidupan tanpa menggantungkan diri kepada orang lain, akan tetapi seseorang harus mempunyai keyakinan bahwa kehidupan seseorang tidak tergantung kepada orang lain akan tetapi kehidupan seseorang harus selalu digantungkan kepada Allah. Ajaran kemandirian ini tidak hanya disampaikan secara teori di dalam kelas akan tetapi Pondok Pesantren Bener Al- Manar juga mempraktekkan pendidikan kemandirian ini dalam kehidupan Pondok. Misalnya, pondok tidak menggantungkan nasib dan perjalanannya kepada siapapun akan tetapi nilai yang ditanamkan oleh


(36)

Bapak Pimpinan dalam setiap pertemuan bahwa Pondok Pesantren Bener Al- Manar hanya bergantung kepada Allah. Hanya Allah lah tempat bergantung dan bernaung.

Begitu juga dengan kehidupan para santri. Seluruh santri yang mengenyam pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Bener Al- Manar harus mampu mengatur kehidupannya sendiri yang dimulai dari mengatur hal-hal yang kecil hingga hal-hal yang besar seperti misalnya mengatur dan membagi waktu untuk menjalani seluruh aktifitas, mengatur keuangan, mengatur hati dan pikiran dalam berinteraksi dengan orang lain dan masih banyak lagi lainnya.

Pendidikan merupakan faktor yang paling efektif untuk perubahan

sosial manakala pendidikan masyarakat tersebut ditingkatkan,

diefektifkan, dikonstruksi dengan baik.

Bukan berarti orang yang berijazah tinggi di sini akan memperoleh ekonomi yang layak. Akan tetapi yang dimaksud pendidikan di sini, pendidikan yang bermakna luas, baik pendidikan formal, non formal maupun informal dan bukan hanya terbatas pada pendidikan di sekolah. Hal ini memang perlu dipahamkan kepada masyarakat, karena selama ini banyak orang yang menganggap pendidikan hanya terbatas pada pendidikan formal di sekolah saja. Padahal pendidikan formal tidak terlalu signifikan dalam menentukan tarif ekonomi yang layak ketika sudah kerja.


(37)

Kebanyakan masyarakat yang sukses dalam memnempuh kariernya dalam bisnis adalah mereka yang benar-benar banyak memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar di luar sekolah. Sebab, untuk membangun ekonomi yang baik tidak terlalu mengandalkan kecerdasan intelgensi (IQ), akan tetapi lebih banyak pada kecerdasan emosionalnya(EQ).

Dalam teori pendidikan juga disebutkan bahwa ranah pendidikan bukan hanya pada pengembangan IQ saja. Seperti yang diungkapkan oleh Bloom, bahwa ada tiga ranah yang perlu dicapai oleh pendidik, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Seperti halnya tiga teori kecerdasan yang kita ketahui bahwa manusia yang perlu dikembangkan dan masing-masing mempunyai peran yang signifikan dalam pengembangan potensi dirinya, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).

Dalam dunia kerja, kecerdasan IQ bukanlah andalan satu-satunya yang dibutuhkan. Akan tetapi lebih pada penkeanan kecerdasan emosional dan spiritualnya. Dalam hal ini seseorang dituntut untuk mempunyai pengalaman yang banyak dalam hal bisnis (berdagang) demi membangun ekonomi yang layak di masa depan.

b. Kemandirian sebagai tujuan pendidikan

Menyinggung tujuan akhir pendidikan yang penting baik pendidikan di sekolah/madrasah maupun di pondok pesantren, maka


(38)

aspek kemandirian yang utama. Tujuan pendidikan untuk memandirikan peserta didik merupakan tujuan pendidikan yang bersifat modern, tidak bersifat tradisional yang menutut anak patuh dan mengikuti apa yang diajarkan.

Bahkan oleh Kelompok Kerja Filosofi, dan Kebijakan Strategi Pendidikan Nasional (Fasli Jalal, 2001: 44) dinyatakan bahwa kemandirian dipandang sebagai nilai inti pendidikan nasional. Nilai inti kemandiriaan tampil sebagai proses pemberdaya. Artinya, dengan berbagai pembekalan isi dan wawasan yang dikembangkan melalui pendidikan kreatifitas individu dan satuan social ditumbuhkan sehingga secara jeli dan cerdas mampu mensinergikan lingkungan. Oleh karena itu dalam undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pun, kemandirian merupakan salah satu aspek penting dalam rumusan tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa kita.

Anak/santri sebagai peserta didik yang memiliki potensi sebelumnya tidak berdaya menjadi berdaya setelah melalui proses pendidikan. Adapun keberdayaan bercirikan kesadaran dan kemampuan diri, pemahaman yang sehat terhadap kenyataan kehidupan, pola kehidupan yang sehat, bebas dari perasaan takut dari manapun datangnya, keberanian untuk berfikir dan bertindak, memiliki informasi yang memadai untuk menjalani kehidupan, dan memiliki keteguhan pendirian.


(39)

Kemandirian sebagai salah satu tujuan pendidikan bukannya sesuatu yang dipilih menurut selera pribadi. Ia didasarkan pada konstruktivisme, suatu teori ilmiah. Kemandirian bukan sekedar pengkhususan kualitas tertentu, melainkan untuk membantu masing-masing orang memilih atau menolak hal-hal yang ada di hadapannya.

Kemandirian intelektual dan moral adalah arah yang pasti dituju oleh tiap orang, yang mengkoordinasikan pandangan-pandangan. Hal ini berkaitan dengan kemandirian sebagai esensi kehidupan yang berkualitas merefleksikan integritas nilai-nilai hidup.

c. Faktor pendukung kemandirian

Pada dasarnya anak akan tumbuh mandiri, apabila anak tersebut berada dalam lingkungan yang orang-orang disekelilingnya mampu menciptakan faktor yang dapat mendukung mereka untuk tumbuh berkembang dengan normal dan bahagia.

Ahli psikolog perkembangan Elizabeth Hurlock (1995: 28), menyebutkan beberapa kondisi penting yang mendukung kebahagiaan dalam awal masa kanak-kanak.

1. Kesehatan yang baik memungkinkan anak menikmati apapun yang ia

lakukan dan berhasil dalam melakukannya.

2. Lingkungan yang merangsang dimana akan memperoleh kesempatan


(40)

3. Mengembangkan ekspresi-ekspresi kasih sayang yang wajar seperti menunjukkan rasa bangga terhadap prestasi anak dan meluangkan waktu bersama anak melakukan hal-hal yang ingin dilakukan.

4. Harapan yang realistis sesuai dengan kemampuan anak sehingga anak memperoleh kesempatan yang wajar.

5. Mendorong kreativitas dalam bermain dan menghindari cemooh atau

kritik yang tidak perlu yang dapat mengurangi semangat anak untuk mencoba kreatif.

6. Diterima oleh saudara-saudara kandung dan teman-teman bermain sehingga anak dapat mengembangkan sikap yang baik terhadap berbagai kegiatan sosial. Ini dapat didorong oleh bimbingan dalam hal bagaimana menyesuaikan dengan orang lain dan oleh adanya panutan yang baik di rumah untuk ditiru.

7. Suasana gembira dan bahagia di rumah sehingga anak akan belajar berusaha untuk mempertahankan suasana ini.

8. Prestasi dalam kegiatan yang penting bagi anak dan dihargai oleh kelompok dengan siapa anak mengidentifikasi diri.

Berdasarkan teori-teori di atas dapat kita pahami bahwa khususnya menumbuhkan rasa mandiri dibutuhkan lingkungan yang kondusif serta keterlibatan orang tua dan pendidik dalam membimbing. Dalam pondok pesantren inilah yang penulis anggap sebagai tempat yang tepat dalam menumbuh kembangkan kemandirian. Walaupun di pondok pesantren para orang tua santri tidak terlibat langsung akan tetapi


(41)

lingkungan dan para pendidik sangat mendukung dalam hal kemandirian.

d. Faktor penghambat pemandirian

Santri yang dikatakan mandiri yaitu santri yang bisa menyelesaikan tugasnya sendiri tanpa bantuan orang lain, tetapi karena ketika masih banyi kebutuhannya yang lebih kecil sangat tergantung kepada orang lain. Apakah itu orang tua ataupun orang dewasa lainnya. Namun, sejalan dengan pertambahan usia, santri tersebut akan berkembang mandiri bila secara mental dan fisik memang sudah siap untuk belajar mandiri. Oleh karenanya, bila santri yang diharapkan oleh lingkungan sudah berkembang mandiri, tetapi ternyata masih mempertahankan “tingkah laku bayinya” santri akan menemui kesulitan dalam mengembangkan dirinya serta mengganggu penyesuaian dengan lingkungan sosialnya.

Ketidakmandirian bisa mencakup secara fisik maupun mental, misalnya selalu meminta bantuan orang lain untuk mengurus kebutuhan fisiknya atau dalam pengambilan keputusankeputusan. Pada balita, salah satu ciri nyata santri tidak mandiri adalah Santri yang tidak bisa ditinggal ibunya, meski dalam waktu singkat ketika awal masuk dalam pondok pesantren. Ketidakmandirian santri biasanya tidak hanya ditujukan kepada orang dewasa, tetapi kepada siapa saja yang mau menerimanya, misalnya teman sebaya. Dan akibatnya perasaan tidak mampu akan membuat santri sangat mudah dipengaruhi oleh di lingkungannya. Apapun yang dilakukannya seringkali bukan atas keinginannya sendiri, tetapi lebih dasar


(42)

keinginan orang lain atau kelompok. Santri tidak punya kemampuan untuk melepaskan diri dari kelompok, dalam bersikap maupun bertingkah laku karena mereka memang tidak pernah belajar untuk jadi mandiri.

Ada beberapa hal yang menyebabkan santri tidak mandiri, yaitu :

1. Bantuan yang berlebihan

Banyak orang tua yang merasa “kasihan” melihat anaknya bersusah payah melakukan sesuatu sehingga langsung memberikan pertolongan perlakuan yang menganggap anak tidak bisa apa-apa seperti itu sebenarnya justru memberi kesempatan pada anak untuk memanipulasi bantuan orang tua. Anak cenderung tidak mau berusaha di kala mengalami kesulitan.

2. Rasa bersalah orang tua

Hal ini sering dialami oleh orang tua yang keduanya bekerja atau mereka yang memiliki anak sakit-sakitan/cacat. Orang tua ingin menutupi rasa bersalah mereka dengan memenuhi segala keinginan anak.

3. Terlalu melindungi

Anak yang diperlakukan seperti porselen, cenderung akan tumbuh menjadi anak yang rapuh. Mereka akan goncang di kala mengalami kesulitan karena selama ini orang tua selalu memenuhi segala permintaaannya.


(43)

4. Perhatian atau ketidakacuhan berlebih

Banyak anak yang memakai senjata merengek atau menangis karena tahu orang tuanya surplus perhatian. Itu bisa juga terjadi pada anak yang orang tuanya bersikap acuh tak acuh. Mereka sengaja malas melakukan segala sesuatunya sendiri agar mendapat perhatian dari orang tua.

5. Berpusat pada diri sendiri

Anak yang masih sangat egosentris, memfokuskan segalanya untuk kebutuhan dirinya sendiri. Mereka begitu mementingkan dirinya sehingga orang harus menuruti segala kehendaknya.

2. Tinjauan Tentang Pondok Pesantren

a. Pengertian Pondok Pesanten

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (قوﺪﻨﻓ) yang berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.


(44)

Menurut Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M Tata, Bisri, Abdul Mukti (2005: 11) berpendapat bahwa pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.

Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjejelan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian masyarakat (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa


(45)

(seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnyal. (HS. Mastuki, El-sha, M. Ishom, 2006: 1)

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. (Haedari, H.Amin , 2007: 3)

Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah. Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.

b. Sejarah Umum Pondok Pesantren

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang,


(46)

timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai. Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal kemana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo. (Rochidin Wahab, 2004: 153, 154)

c. Jenis Pondok Pesantren

Secara umum pondok pesantren dibedakan menjadi dua bagian. 1) Pondok pesantren salafi

Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salafi. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri bekerja untuk kyai mereka - bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan),


(47)

dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut.

Sebagian besar pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustadz mereka untuk memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an.

2) Pondok pesantren modern

Pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, dimana persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika, dan lainnya). Ini sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri.

Pada pesantren dengan materi ajar campuran antara pendidikan ilmu formal dan ilmu agama Islam, para santri belajar seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran untuk tingkat SMP kadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkat SMA dengan nama Madrasah


(48)

Aliyah. Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak.

Pada awal mulanya model atau jenis pondok pesantren salafilah yang diterapkan. Seiring dengan tututan perkembangan jaman maka munculah pondok pesantren modern. Menurut Karel A. Steenbrink dalam majalah Tajdid (2009: 358), Salah satu dari keempat sebab-sebab terjadinya moderenisasi pesantren,yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam untuk melakukan perubahan Islam di Indonesia.Sebab-sebab terjadinya moderenisasi pesantren diantaranya : 1) Munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada

Al-Qur’an dan sunah” sebagai isu sentral yang mulai di tadaruskan sejak tahun 1990, Maka sejak saat tiu perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/ konservatif, mulai mengemukan sebagai wancana public.

2) Kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme

belanda.

3) Terbitnya kesadaran kalangan Muslim untuk memperbaharui

organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi.

4) Dorongan kaum Muslim untuk memperbaharui sistem pendidikan

Islam.


(49)

Pondok pesantren sebagai sebuah institusi dari lembaga-lembaga lain yang ada di dalamnya biasanya sudah menerapkan manejemen modern. Lembaga-lembaga di luar institusi di pisah secara structural. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga independensi lembaga tersebut dan untuk memberikan kebebasan berekspresi atau berinovasi bagi pengembangan lembaga. Kondisi seperti ini tentu berbeda dengan keberadaan suatu lembaga yang hanya merupakan bagian terstruktural dalam lembaga dan menejemen pondok pesantren.

Dalam hal ini A. Halim et al (2005: 238) menjelaskan bahwa secara garis besar, model kepemimpinan pondok pesantren dapat dikategorikan dalam dua kategori, yaitu :

1) Integrated Struktural

Yang mana semua bidang/unit yang ada dalam pondok pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dengan pondok pesantren. Artinya, semua bidang/unit dengan berbagai ragam spesifikasi, berada dalam suatu organisasi.

System kendali organisasi berpusat hanya berpusat pada satu orang, maka dapat dipastikan bahwa system keorganisasian dan kelembagaan semua harus mendapat restu kyai. Inilah problem klasik kelembagaan, yang biasanya banyak dijumpai di pondok pesantren salafi. Meski demikian apabila figure kyai adalah seorang yang demokaratis, otoritarianisme kelembagaan dapat di hindari.


(50)

Bagan 1

Kepemimpinan Ponndok Pesantren Integrated Struktural A. Halim et al (2005: 238)

2) Integrated Non-Struktural

Sistem ini unit/bidang usaha yang dikembangkan pondok pesantren terpisah secara structural organisatoris. Artinya, setiap bidang usaha mempunyai struktur sendiri yang independent. Meski demikian, secara emosional dan ideologis tetap menyatu dengan pesantren. Pemisahan lembaga ini dimaksudkan sebagi upaya kemandirian lembaga, baik dalam pengelolaan atau pengembangannya.


(51)

Bagan 2

Kepemimpinan Ponndok Pesantren Integrated Non-Struktural A. Halim et al (2005: 239)

: Garis Komando : Garis Koordinasi

e. Peran Pondok Pesantren

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudain dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. federspiel salah seorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh dan Palembang (Sumatra), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah


(52)

meng hasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.(Irfan Hielmy, 2000: 120)

Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting di Indonesia dan negara-negara lainnya yang penduduknya banyak memeluk agama Islam. Alumni pondok pesantren umumnya telah bertebaran di seluruh wilayah Indonesia.

f. Tujuan dan Metode Pendidikan Pondok Pesantren

1) Tujuan pendidikan pondok pesantren

Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan mempunyai tujuan yang dirumuskan dengan jelas sebagai acuan program-program pendidikan yang diselenggarakan. Tujuan utama pondok pesantren adalah untuk mencapai hikmah atau wisdom (kebijaksanaan) berdasarkan pada ajaran Islam yang di maksudkan untuk meningkatkan pemahaman tentang arti kehidupan serta realisasi dari peran-peran serta tanggungjawab sosial.

Menurut M. Dian Nafi’ et al (2007: 50) tujuan pendidikan pondok pesantren secara spesifik,l beberapa pondok pesantren yang tergabung dalam Forum Pesantren merumuskan berbagai tujuan pendidikannya, yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu :

a) Pembentukan akhlak/kepribadian

Berpijak pada hadits Nabi Muhammad SAW ﻢﻤﺗﻻ ﺖﺜﻌﺑ ﺎﻤﻧا


(53)

قﻼﺧﻻا “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR. Ahmad)

b) Penguatan kompetensi santri

Kompetensi santri dikuatkan melalui empat jenjang tujuan yaitu : i. Wasail

Penguasaan skolastik atas mata pelajaran di pesantren di tempatkan sebagai wasail,baik penguasaan itu berada dalam ranah kognitif, efektif, maupun psikomotorik.

ii. Ahdaf

Pemberian mata pelajaran sesuai dengan jenjangnya, seperti halnya jenjang ula mata pelajarannya banyak hafalan. Jenjang wustha mata pelajaran hafalan dan analisis mulai berkembang. Jenjang ‘ulya mata pelajaran mencakup kajian kasus dan kompetensi sebagai guru sejawat santri dijenjang dasar, dan hal tersebut berjalan sampai jenjang terakhir.

iii. Maqashid

Tujuan pokok yang ingin dihasilkan dari proses pendidikan di lembaga pesantren adalah lahirnya mutafaqqih fi ad-din, yaitu orang yang ahli di bidang ilmu agama islam. Karena cabang-cabang ilmu di dalam agama islam itu banyak, maka selalu terdapat kekhususan sesuai dengan kemampuan santri calon kyai. iv. Ghayah


(54)

Tujuan akhir atau ghayah adalah mencapai ridla Allah SWT. Disitulah ahwal dan maqamat mulai dipahami karena dijalani, melebihi yang terbaca dalam literature selama di dalam pondok sebagai santri mukim, karena di sana para santri baru mempelajari.

c) Penyebaran ilmu

Penyebaran ilmu atau nasyru al-‘ilmi menjadi pilar utama bagi menyebarnya ajaran agama islam. Kalangan pesantren mengemas penyebaran ilmu ini dalam kegiatan dakwah yang memuat prinsip al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar. Kewajiban ini bahkan menjadi sebuah keyakina bagi kalangan pesantren, sebagai pembeda antar orang mukmin dengan munafik. Iman al-Ghazali lebih keras menyatakan, bahwa meninggalkan amar makruf nahi munkar berarti keluar dari komunitas orang mukmin.

2) Metode pendidikan pondok pesantren

Metode pendidikan membahas tentang cara-cara yang ditempuh guru untuk memudahkan murid memperoleh ilmu pengetahuan, menumbuhkan pengetahuan ke dalam diri penuntut ilmu dan menerapkannya dalam kehidupan. Dalam hal ini M. Dian Nafi’ et al (2007: 67) mengemukakan bahwa metode pengajaran di pesantern adalah bandongan atau wetonan dan sorogan.


(55)

Bandongan dilakukan dengan cara kyai/guru teks-teks kitab yang berbahsa arab, menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal, dan sekaligus menjelaskan maksud yang terkandung dalam kitab tersebut. Metode ini dilakukan dalam rangka memenuhi kompetensi kognitif santri dan memperluan referensi keilmuan bagi mereka.

Aspek kognitif yang semua santri menjadi aktif adalah metode pengajaran yang juga menjuadi cirri khas pesantren yaitu sorogan. Metode sorogan adalah semacam metode CBSA yang santri aktif memilih kitab, biasanya kitab kuning yang akan dibaaca, kemudian membaca dan menerjemahkannya di hadapan kyai, sementara itu kyai mendengarkan bancaan santri itu dan mengoreksi bacaan atau terjemahannya jika diperlukan.

Aspek efektif santri juga ditingkatkan melalui poembinaan akhlak/kepribadian. Konsep barokah atau berkah yang ada di pesantren, yaitu keyakinan bahwa jika seorang santri bersungguh-sungguh dalam belajar di pesantren maka akan mendapatkan barokah, juga menjadi andil di dalam meningkatkan minat dan semangat santri untuk belajar.

B. Pendidikan Kemandirian Menurut Pandangan Islam

Kemandirian dalam pandangan Islam merupakan sikap hidup yang tidak pernah dilepaskan dari tugas manusia, yakni merealisasikan misinya di dunia sebagai hamba Allah (’abdullah) dan pemimpin di muka bumi (


(56)

khalifatullah fi al ardh ). Tugas manusia sebagai ‘abdullah diungkapkan dalam Al-Quran Surat Ad-Dzariyat: 56:

$tBur à

M ø) n=yz £

` Ågø: $# }§ RM} $#ur ž

w Î) È

b r ߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ

Artinya; Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (Departemen Agama RI, 2005: 523). Tugas manusia sebagai hamba dan khalifah Allah, bukanlah dua tugas yang terpisah, tetapi merupakan kesatuan utuh yang menyatu dan membentuk sikap manusia yang bermakna. Manusia hanyalah hamba (budak) yang terbatas di hadapan Allah dan bersamaan dengan itu, ia menjadi subyek yang bebas di hadapan alam.

Hakikat perhambaan adalah ketundukkan, kepatuhan, ketaatan dan kepasrahan kepada Allah. Artinya di hadapan Allah seorang hamba tidak memiliki kekuasaan apapun selain patuh, taat, dan berserah diri, sedangkan berhadapan dengan makhluk Allah, baik manusia maupun alam, ia ditugaskan sebagai pemimpin, dituntut mengembangkan potensinya untuk menjaga, memelihara, dan memakmurkan bumi.

Tugas perhambaan kepada Allah dan kekhalifahan di muka bumi merupakan suatu kesatuan tugas yang tidak terpisah-pisahkan. Dorongan perhambaan manusia kepada Allah, menjelmakan dirinya menjadi khalifah. Sebaliknya, karena penyerahan yang total kepada Allah ia menjadi khalifah di bumi.


(57)

Bagi umat Islam, kemandirian itu telah tersirat dalam pengakuan awal sebagai umat yang mengimani keesaan Allah (tawhid) dalam kalimat syahadat yang berbunyi: Asyhadualla ilaa haillallah (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah). Tuhan adalah sesuatu yang didambakan dan mendominasi diri. Bagi seorang muslim tidak ada yang didambakan dan mendominasi dirinya selain Allah, karena itu di muka bumi, ia akan hidup merdeka; dalam arti tidak menggantungkan dirinya kepada apapun selain Allah. Dengan demikian keimanan terhadap keesaan Allah melahirkan kemandirian.

Di samping pandangan-pandangan di atas, makna kemandirian terungkap secara eksplisit dalam Al-Quran sehingga dapat dibaca melalui

ayat-ayatnya yang mengandung perintah agar seseorang tidak

menggantungkan diri kepada orang lain. Kemandirian sebagai suatu sikap percaya kepada kemampuan diri sendiri, mau mengambil inisiatif (tidak menunggu bantuan orang lain), berani mengambil keputusan sendiri, mampu bertahan hidup tanpa bergantung pada pihak lain atau menjadi beban orang lain, dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya.

Kemandirian dalam ajaran Islam, tercermin dalam Quran dan Al-hadis yang mendorong manusia untuk berusaha sebagai berikut:

Pertama. Allah SWT memerintahkan setiap hamba-Nya untuk mencari nafkah atau bekerja. Orang yang memiliki pekerjaan dapat melepaskan diri dari ketergantungan orang lain (mandiri). Allah berfirman dalam Al-Quran Surat An-Naba: 11:

$uZù=yèy_ ur u

‘ $pk¨]9$# $V©$yètB ÇÊÊÈ


(58)

Artinya: Dan Kami telah membuat waktu siang untuk mengusahakan suatu kehidupan (Departemen Agama RI, 2005: 582).

Siang hari merupakan waktu yang disediakan untuk bekerja mencari nafkah dan mengusahakan kehidupan; yang dimaksud ayat ini adalah bekerja keras berusaha agar manusia dapat memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai keinginannya di dunia. Ayat ini mengisyaratkan aspek waktu saat manusia dituntut untuk bekerja dan hidup mandiri tanpa menjadi beban tanggungan orang lain. Dalam Al-Quran Surat Al-A’raf: 10 Allah berfirman:

ô ‰s) s9ur ö

Nà6 »¨Z©3 tB ’ Îû

Ç Ú ö‘ F{ $# $uZù=yèy_ ur

ö Nä3 s9 $pkŽÏù |· ÍŠ»yètB 3 W x ‹Î=s% $¨B tb r ãä3 ô± s? ÇÊÉÈ

Artinya: Kami telah menjadikan untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan. Tetapi sedikit sekali kamu berterima kasih (Departemen Agama RI, 2005: 151).

Bumi merupakan lapangan atau wahana untuk bekerja melestarikan kehidupan dunia. Allah telah menetapkan hukum-hukum-Nya atas alam (sunnatullah). Orang yang mau bekerja keras mengembangkan potensai dirinya akan memperoleh hasil yang baik, sebaliknya orang yang enggan mendayagunakan kemampuan dan potensinya akan merugi. Orang yang bekerja keras menggunakan potensi dirinya, baik akal, tenaga, dan alam lingkungannya yang telah dianugerahkan Allah merupakan bentuk syukur atau berterima kasih kepada Allah. Sebaliknya orang yang memiliki akal dan badan yang sehat tetapi membiarkan dirinya menganggur dan alam di depan matanya dibiarkan terbengkalai merupakan bentuk kufur nikmat.


(59)

Orang yang mengkufuri nikmat Allah akan mendapatkan siksaan, yakni kesengsaraan dan kemiskinan.

Ayat di atas menunjukkan aspek ruang dimana manusia dapat berkiprah optimal mengolah dan mengembangkan kemampuannya sehingga tidak tergantung kepada orang lain. Ayat tersebut diperkuat dengan firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-Jumu’ah: 10 berikut:

#sŒÎ*sù ÏM uŠÅÒ è% ä

o4qn=¢Á 9$# (#r ãÏ± tFR$$sù

’ Îû Ç

Ú ö‘ F{ $# (#qäótGö/ $#ur

` ÏB È

@ôÒ sù «

! $# (#r ãä. øŒ$#ur ©

! $# #ZŽÏWx.

ö / ä3 ¯=yè©9 tb qßs Î=øÿè? ÇÊÉÈ

Artinya: Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Departemen Agama RI, 2005:554). PerintahNya untuk menyebar di muka bumi, mencari rizki dan keutamaan mengandung arti bahwa kehidupan manusia yang baik dalam pandangan Allah adalah manusia yang dinamis dan kreatif.

Kedua, Nabi Muhamad SAW. menyebutkan rizki terbaik adalah yang diperoleh dengan keringat sendiri. Beliau melarang umatnya menjadi pengemis atau menjadi beban orang lain.

Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari Anas menyebutkan ;

لﺎﻗ ﺲﻧا ﻦﻋ

:

هﺎﯿﻧﺪﻟ ﮫﺗﺮﺧا ﻻو ﮫﺗﺮﺧﻻ هﺎﯿﻧد كﺮﺗ ﻦﻣ ﻢﻛﺮﯿﺨﺑ ﺲﯿﻟ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻠﻋ ﷲا ﻲﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر لﺎﻗ

س ﺎﻨﻟا ﻲﻠﻋ ﻼﻛ اﻮﻧﻮﻜﺗ ﻻو ةﺮﺧﻻا ﻲﻟا غﻼﺑ ﺎﯿﻧﺪﻟا نﺎﻓ ﺎﻌﯿﻤﺟ ﺎﻤﻤﮭﻨﻣ ﺐﯿﺼﯾ ﻲﺘﺣ

)

ﺮﻛﺎﺴﻋ ﻦﺑا هاور

(


(60)

Artinya : Dari Anas ra. Berkata, Rasulullah SAW bersabda “ tidak baik orang yang meninggalkan dunia untuk kepentingan akhirat saja, atau meninggalkan akhirat untuk kepentingan dunia saja, tetapi harus memperoleh kedua-duanya. Karena kehidupan dunia mengantarkan kamu menuju akhirat. Oleh karena itu jangan sekali kali kamu menjadi beban orang lain.” ( H.R. Ibnu Asakir )

Kehidupan dunia dan akhirat merupakan kehidupan yang tidak bisa dipisahkan karena mengejar kehidupan dunia atau akhirat saja bukanlah suatu yang dianjurkan. Kehidupan yang Islami adalah kehidupan yang selalu mempertimbangkan akhirat ketika bekerja keras mencukupi hidup. Demikian pula sebaliknya, mengembangkan dan merealisasikan makna ibadah khusus (ibadah yang langsung kepada Allah, seperti solat) sehingga bermakna bagi kehidupan dunia. Karena itu, kegiatan apapun yang dilakukan seorang muslim akan bermakna ibadah di hadapan Allah.

Larangan untuk hidup menjadi beban orang lain pada hadis di atas menunjukkan pentingnya kemandirian dan tidak tergantung kepada orang lain. Bahkan hidup tergantung kepada orang lain merupakan bentuk syirik, sebab seorang muslim hanya tergantung kepada Allah saja.

Kehidupan dunia harus dihadapi oleh manusia secara sungguh-sungguh dan bekerja keras. Dengan bersungguh-sungguh-sungguh-sungguh dan bekerja keras itu, manusia dapat hidup mandiri dan bebas dari ketergantungan orang lain.


(61)

َلﺎَﻗ ِماﱠﻮَﻌﻟا ِﻦﺑِﺮْﯿَﺑﱡﺰﻟا ِﷲاِﺪْﺒَﻋ ﻰِﺑَا ْﻦَﻋَو

:

ِﷲا ُلﻮُﺳَر َلﺎَﻗ

:

ٍﺔَﻣْﺰُﺤِﺑ َﻰِﺗْﺎَﯿَﻓ َﻞَﺒَﺠْﻟا ﻰِﺗْﺎَﯾ ﱠﻢُﺛ ُﮫَﻠُﺒْﺣَا ْﻢُﻛُﺪَﺣََا َﺬُﺧْﺄَﯾ ْنَﻷ

َﯾ ْنَا ْﻦِﻣ ُﮫَﻟٌﺮْﯿَﺧ ُﮫَﮭْﺟَو ﺎَﮭِﺑ ُﷲا ﱠﻒُﻜَﯿَﻓ ﺎَﮭَﻌْﯿِﺒَﯿَﻓ ِخِﺮْﮭَﻇ ﻰَﻠَﻋ ٍﺐَﻄَﺣ ْﻦِﻣ َﺄْﺴ

ُ هْﻮُﻌَﻨَﻣ ْوَا ُهْﻮَﻄْﻋَا َسﺎﱠﻨﻟا َلَﺄْﺴَﯾ

Artinya : Dari Abi Abdillah (Zubair) bin Awwam Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak”. [HR Bukhari, no. 1471].

Ketiga, Allah SWT. Mempersilakan hamba-hamba-Nya untuk memilih jalan hidup yang diberikan-Nya. Setiap manusia diberi keleluasaan berpikir dan bersikap secara mandiri dalam memilih jalan hidupnya, tentu dengan konsekuensinya masing-masing. Firman Allah dalam Quran Surat Al-Balad: 10:

ç m»oY÷ƒy‰yd ur È

ûøïy‰ôÚ¨Z9$# ÇÊÉÈ

Artinya: “Dan telah Kami tunjukkan dua jalan” (Departemen Agama RI, 2005: 594).

Dua jalan yang dimaksud adalah jalan baik dan jalan buruk yang dapat dipilih oleh manusia sesuai dengan keinginannya. Keduanya memiliki konsekuensi baik dan buruk yang harus dipertanggungjawabkannya di dunia maupun akhirat.


(62)

Keempat, Islam mengajarkan bahwa setiap orang adalah pemimpin,

minimal pemimpin atas dirinya sendiri, dan akan dimintai

pertanggungjawabannya. Dengan demikian jelaslah bagaimana Islam menuntut umatnya agar mandiri dalam mencari rezeki, beramal, bahkan kemandirian dalam menyikapi ajaran Islam sendiri.

Fondasi utama kemandirian adalah iman dan ilmu, yakni keyakinan dan pemahaman terhadap ajaran Islam. Iman adalah keyakinan yang mendorong seseorang untuk melakukan dan bersikap sesuai dengan keyakinannya itu. Iman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan mendorong untuk hanya menggantungkan dirinya kepada Allah; tidak kepada yang lain. Dengan itu, seorang beriman akan menghadapi kehidupan dengan bebas; tidak mau diperbudak atau tergantung kepada sesuatu. Hidup seperti itu menunjukkan sikap kemandirian.

Kemandirian sebagai nilai yang terpuji telah dikembangkan Nabi dalam membangun pribadi dan umatnya. Beberapa cara Nabi membangun kemandirian umat antara lain:

Pertama, jenjang pribadi. Dalam tahap ini Rasulullah berusaha membina hubungan dengan diri sendiri, sebagai pribadi yang layak dipercaya, berkemampuan, dan dapat menjadi teladan bagi orang lain.

Kedua, jenjang antar pribadi. Rasulullah membina hubungan dengan orang lain, menanamkan kepercayaan kepada orang lain bahwa dirinya seorang yang berjiwa mandiri, sehingga orang lain mau bersinergi dengannya.


(63)

Ketiga, jenjang manajerial Lebih menekankan bagaimana menyelesaikan pekerjaan bersama dengan orang lain, yakni memberdayakan orang-orang yang ada dalam wilayah pengaruhnya.

Keempat, jenjang organisasi (penyelarasan). Yakni membentuk sebuah struktur dan sistem masyarakat yang benar-benar mandiri dengan berlandaskan nilai-nilai Islam. Nabi bersabda yang artinya: Suatu harta yang ada padaku tidak kusembunyikan dari kalian. Sesungguhnya barang siapa yang menjaga kesucian dirinya, Allah akan menjaganya dari hal-hal yang tidak baik. Barang siapa yang bersabar, Allah akan memenuhi dirinya dengan kesabaran. Dan barang siapa yang memohon kecukupan, Allah akan mencukupi. Dan tidaklah sekali-kali kau diberikan sesuatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas dibandingkan sabar.

Hadis ini menganjurkan untuk bersifat qona’ah (merasa cukup), menahan diri dari meminta-minta kepada orang lain, sabar dan tawakal kepada Allah serta mencari rizkinya, dengan apa yang didapatkan, maka Allah akan menolong dalam kondisinya itu. Dicatat juga dalam sejarah bahwa ketika hijrah, Nabi Muhamad SAW. dan rombongan (kaum Anshar). Abdurrahman bin Auf sebagai salah seorang Anshar menolak tawaran salah seorang kaum muhajirin untuk diberi harta dan isterinya.

Dengan demikian jelas bahwa Islam menganjurkan nilai-nilai kemandirian pada penganutnya. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya perintah agar kita tidak menggantungkan diri kepada orang lain.


(64)

C. Kerangka Analisis

Dewasa ini banyak upaya untuk mengoptimalkan pendidikan kemandirian terus dilakukan oleh berbagai pihak, ta luput dari lembaga pondok pesantren juga melakukan hal tersebut. Upaya-upaya tersebut dilandasi suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan watak bangsa (Nation Character Building) untuk kemajuan masyarakat dan bangsa. Harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Dalam konteks bangsa Indonesia, pendidikan yang mengsilkan peserta didik yang dapat mandiri merupakan sasaran pengembangan di bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh.

Seiring dengan era otonomi dengan asas desentralisasi, peningkatan kualitas pendidikan menuntut partisipasi dan pemberdayaan seluruh komponen pendidikan dan penerapan konsep pendidikan sebagai suatu sistem. Pendekatan pendidikan kemandirian yang sesuai dengan paradikma dan gagasan tersebut diatas adalah konsep School Based Managemenet atau manajemen berbasis sekolah.

Pendidikan selama ini baru berada pada taraf pengembangan kemmpuan kognitif, yang sifatnya mengembangan fungsi reproduktif. Pendidikan belum mampu membangun etos kerja, jati diri dan percaya diri, untuk menghadapi masalah-masalah yang nyata di masayakat.


(1)

6. Usaha Pendidikan kemandirian Dalam Meningkatkan Keberhasilan

a. Usaha-usaha apa saja yang dilakukan Ponpes al-Manar dalam meningkatkan

kualitas pendidikan kemandirian..?

Rahmad Hidayat : pendidikan kemandirian memberikan dampak kualitas keberagamaan terhadap aktivitas pondok pesantren. Ustadz dan santri secara aktif menyelenggarakan sejumlah kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran baik kesadaran beragama maupaun kesadaran hidup (peningkatan skill).

Dalam konteks Pendidikan Nasional, semua cara, kondisi, dan peristiwa dalam pendidikan kemandirian sebaiknya selalu diarahkan pada kesadaran nilai-nilai agama sekaligus pada upaya pemeliharaan fitrah beragama. Karena itu Pondok Pesantren Al-Manar Bener juga mengadakan pendidikan kemandirian life skill yang dikembangkan secara integral baik dalam penataan fisik maupun pengalaman psikis.

Setelah mendapat penjelasan tersebut penulis mengadakan pengamatan secara langsung dari pelaksanaan sehingga dapat menyimpulkan bahwa :

f. Kultur Keagamaan Pondok Pesantren

Untuk pengelolaan pendidikan agama Islam sebagai kultur Pondok Pesantren, sebagian besar perilaku dan kebiasaan yang dikembangkan berjalan sukarela. Namun demikian Pondok Pesantren Al-Manar Bener secara tegas membuat peraturan seperti dalam tata tertib pondok pesantren. Hal-hal yang bersifat kultural yang dikembangkan di Pondok Pesantren, misalnya: 7K (Ketrampilan, Kerapian, Kebersihan, Keindahan, Kesopanan, Ketertiban dan Keamanan), kebiasaan untuk melakukan shalat jum’at di masjid pondok pesantren, pembiasaan shalat dhuha, shalat berjama’ah, tadarus, shalat sunah dan bacaan Alqur’an, berdo’a diawal dan diakhir jam pelajaran, kebiasaan mengucapkan salam, penggalangan infak santri secara sukarela, penyediaan majalah dinding khusus untuk opini keislaman pelibatan ustadz dalam forum


(2)

pengajian dan pemberian keleluasaan kepada santri untuk mengelola kegiatan keagamaan.

Sedangkan dalam kemandirian life skill kebiasaan untuk melakukan praktek baik otomotif, las, menjahit maupun memasak di tempat yang sudah disediakan, pembiasaan perawatan alat-alat yang tersedia, penyediaan majalah dinding khusus untuk opini tentang life skill yang ada dan pelibatan ustadz maupaun pembimbing dalam forum kajian ilmiyah yang berkenaan dengan life skill dan pemberian keleluasaan kepada santri untuk mengelola kegiatan life skill.

g. Peningkatan Motivasi

Motivasi dapat menjadi faktor penentu keberhasilan belajar santri. kecenderungan saat ini, motivasi peserta didik dalam belajar agama masih perlu ditingkatkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa minat membaca, menulis dan berkarya dalam bidang keagamaan hanya terjadi pada sebagian kecil santri yang masih tergolong baru namun semakin lama para santri akan senang dengan hal tersebut.

Sedangkan pemberian motivasi dalam pendidikan kemandirian tentang skill juga tidak dikesampingkan walaupun kegiatan ini sangat banyak diminati oleh santri baik santri yang masih baru maupun yang sudah lama. Pemberian motivasi ini dimaksudkan agar santri tidak hanya bisa melakukan apa yang telah dilakukan oleh pembimbing tetapi juga agar bisa menciptakan inovasi baru yang belum ditemukan oleh orang lain.

h. Pengembangan Keilmuan

Dalam hal pendidikan kemandirian keagamaan , pengurus dan ustadz memerintahkan kepada santri untuk mengadakan suatu kajian keislaman yang diisi dengan diskusi/dialog, ceramah dan tadabur ayat-ayat Alqur’an.

Tidak hanya dalam hal keagamaan dalam hal pendidikan kemandirian untuk meningkatkan skill santri, pengurus juga menyediakan beberapa sarana diantaranya bengkel otomotif, bengkel las, ruang menjahit dan tempat khusus untuk pelatihan memasak. Selain itu juga pembimbing dan


(3)

pengurus memberi keleluasaan kepada santri untuk belajar di luar pondok pesantren.

i. Mengikuti Berbagai Lomba

Dalam meningkatkan pendidikan kemandirian keagamaan

perlombaan ini bisa dilakukan antar santri, antar kelas dalam satu pondok pesantren ataupun antar pondok pesantren. Biasanya perlombaan ini dilaksanakan bertepatan dengan hari-hari besar Islam. Perlombaan ini bertujuan agar santri menghargai, merenungkan betapa besar sejarah dan perjuangan Nabi dan para Sahabat dulu.

Sedangkan dalam meningkatkan pendidikan kemandirian di bidang life skill perlombaan ini juga dilakukan antar santri maupun antar sekolah.

j. Evaluasi Dalam Berbagai Kegiatan

Evaluasi sangat penting untuk dilakukan karena, dengan evaluasi bisa mengukur kemampuan dan kemajuan yang telah diperoleh. Dengan evaluasi juga bisa mengukur segala kekurangan-kekurangan yang harus dibenahi kembali. Hal ini dilakukan baik dalam pendidikan kemandirian keagamaan maupaun pendidikan kemandirian di bidang life skill.

b. Bagaimana kwalitasa pendidikan santri ?

Rahmad Hidayat : Dari segi keagamaan para santri baik putra maupun putrid dapat menyerap dan mengamalkan banyak sekali berbagai macam materi, hal ini dapat diamati dengan kegiatan, perbuatan dan sikap kesehariannya.

Sedangkan dari segi peningkatan skill santri yang mengikuti dan setelah purna dari pondok pesantren dapat menerapkan dan mempraktekan apa yang telah dipelajari di pondok pesantren sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa kwalitas pendidikan santri dalam


(4)

peningkatan skill sangat baik walaupun masih perlu pengembangan lebih lanjut.

Kwalitas pendidikan santri di pondok pesantren Al-Manar Bener ini juga bisa dilihat dari penerimaan santri baru tiap tahunnya yang semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kwalitas pendidikan di pondok

pesantren tersebut memang benar-benar tidak

meragukan.

c. Apa saja yang menjadi factor-faktor yang menunjang dan yang menghambat

dalam

Isma’il : Faktor-faktor pendukung diantaranya adalah : Faktor Intern yaitu ustadz selaku Pembina, ustadz-ustadz lain yang dianggap mampu menguasai tentang keilmuan keagamaan yang mendalam dan ustadz maupun pembimbing yang memiliki kemampuan dalam meningkatkat skill santri, kerjasama antara pengurus, antar anggota. Faktor ekstern yaitu sumber belajar yang sudah disediakan secara formal seperti perpustakaan, buku, labolatorium ( bengkel Otomotif, bengkel las, ruang jahit, ruang pelatihan memasak), masjid dan sumber belajar lain yang dapat digali. Sehingga pemanfaatan sumber belajar yang telah disediakan perlu difungsikan secara optimal.

Isma’il : Pendidikan kemandirian keagamaan, khususnya dalam bidang qiro’ah hambatan yang seringkali ditemukan adalah kurangnya bakat dan minat yang dimiliki oleh santri. Selain itu, pada saat ujian ataupun liburan secara otomatis pendidikan kemandirian tidak dapat dilaksanakan, hal inilah yang menyebabkan para santri malas untuk mengikutinya kembali.


(5)

Dwi Mahrus Salim : Saat ujian dan liburan, pendidikan kemandirian keagamaan secara keseluruhan diliburkan. Hal tersebut dilakukan agar santri dapat berkonsentrasi dalam mengikuti berbaga ujian.

M. Mathori : Pendidikan kemandirian dalam hal peningkatan skill tetap disenangi oleh para santri seperti peltihan otomotif, las, menjahit dan memasak. Akan tetapi hal ini juga mengalami kendala dalam sarana prasarana yang kurang memadai sehingga para santri harus mencari di tempat lain karena sarana prasarana yang dibutuhkan belum tersedia sepenuhnya dan harus antri dalam penggunaan sarana prasarana tersebut karena jumlahnya yang terbatas dan tidak seimbang dengan jumlah santri.

Untuk mengatasi hambatan tersebut, para pembimbing selalu bekerja keras dan bekrja sama dengan ustadz atau orang tua santri untuk selalu giat dalam mengikuti pendidikan kemandirian keagamaan. Untuk menarik minat para santri maka pengurus dan ustadz melakukan inovasi baru dalam

pengajaran seperti halnya pemberiany hadiah tanpa

pemberitahuan lebih dulu, memberikan kesempatan pada santri untuk mengkaji keadaan di luar pondok pesantren dan sebagainya.

Sedangkan dalam pendidikan kemandirian life skill

pembimbing dan pengurus berusaha memenuhi kebutuhan sarana prasana dengan kerjasama dengan pihak lain yang bersedia menjadi donatur. Untuk menarik minat para santri maka pengurus dan ustadz biasanya juga mendatangkan tenaga pengajar atau pembina dari luar pondok pesantren sehingga dengan hal ini maka diharapkan dapat menarik minat para santri.


(6)