karyawan. 5. Pengawasan
Sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over. 6. Faktor instrinsik dari pekerjaan
Atribut yang ada dalam pekerjaan mensyaratkan keterampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggan akan tugas dapat meningkatkan atau mengurangi
kepuasan.
7. Kondisi kerja Termasuk di sini kondisi tempat, ventilasi, penyiaran, kantin dan tempat parkir.
8. Aspek sosial dalam pekerjaan Merupakan salah satu sikap yag sulit digambarkan tetapi dipandag sebagai faktor
yang menunjang puas atau tidak puas dalam bekerja. 9. Komunikasi
Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan
untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja.
10. Fasilitas Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar
suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.
Berdasarkan penjelasan faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja di atas dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik lingkungan kerja terutama yang
berkaitan dengan faktor manajemen seperti pengawasan, faktor instrinsik dari pekerjaan, kondisi kerja, aspek sosial dalam pekerjaan, komunikasi, fasilitas,
kesempatan untuk maju, keamanan selama bekerja, gaji, serta tempat kerja itu sendiri merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang
maupun kelompok. Pekerja yang memiliki tanggung jawab dan wewenang pengawasan lebih tinggi akan mengalami kepuasan kerja yang tinggi serta pekerja
yang memiliki pengawasan pekerjaan rendah ataupun tidak memiliki pengawasan sama sekali cenderung mengalami ketidakpuasan dalam bekerja karena merasa tidak
ada yang mengontrol dan menilai hasil kerja mereka tersebut.
2.2.3 Pengukuran Kepuasan Kerja
Mengukur kepuasan kerja dapat digunakan skala indeks deskripsi jabatan, skala kepuasan kerja berdasarkan ekspresi wajah, dan kuesioner kepuasan kerja
Minnesota oleh Anwar Prabu Mangkunegara 2009, 126. 1. Pengukuran kepuasan kerja dengan skala indeks deskripsi jabatan
Universitas Sumatera Utara
Skala pengukuran ini dikembangkan oleh Smith, Kendall, dan Hulin pada tahun 1969. Dalam penggunaannya, pegawai ditanya mengenai pekerjaan maupun
jabatannya yang dirasakan sangat baik dan sangat buruk, dalam skala mengukur sikap dari lima area, yaitu kerja, pengawasan, upah, promosi, dan co-worker.
Setiap pertanyaan yang diajukan, harus dijawab oleh pegawai dengan cara menandai jawaban ya, tidak, atau tidak ada jawaban. Contoh skala indeks
deskripsi jabatan dapat diperhatikan pada tabel berikut:
Tabel 2.2.3 Pengukuran kepuasan kerja dengan skala indeks deskripsi jabatan
Kerja ……. …Memuaskan ………. Biasa
………. Mengecewakan Pengawasan ………. Sangat menyenangkan
……….Dilakukan dengan baik ……….Mengesalkan
Upah ………. Memadai untuk kehidupan biasa ………. Kurang dari memadai
Promosi ………. Promosi berdasarkan kemampuan ………. Tidak ada kesempatan
Co-worker ………. Memotivasi ………. Hanya banyak bicara
2. Pengukuran kepuasan kerja dengan berdasarkan ekspresi wajah Mengukur kepuasan kerja ini dikembangkan oleh Kunin pada tahun 1955. Skala
ini terdiri dari seri gambar wajah – wajah orang mulai dari sangat gembira, gembira, netral, cemberut, dan sangat cemberut. Pegawai diminta untuk memilih
ekspresi wajah yang sesuai dengan kondisi pekerjaan yang dirasakan pada saat itu.
3. Pengukuran kepuasan kerja dengan Kuesioner Minnesota Pengukuran kepuasan kerja ini dikembangkan oleh Wiss, Dawis, dan England
pada tahun 1967. Skala ini terdiri dari pekerjaan yang dirasakan sangat tidak puas, tidak puas, netral, memuaskan, dan sangat memuaskan. Pegawai diminta memilih
satu alternatif jawaban yang sesuai dengan kondisi pekerjaannya.
2.2.4 Dampak Kepuasan Kerja dan Ketidakpuasan Kerja
Dampak perilaku dari kepuasan dan ketidakpuasan kerja telah banyak diteliti dan dikaji. Beberapa hasil penelitian tentang dampak kepuasan kerja terhadap
produktivitas, ketidakhadiran dan keluarnya pegawai dan dampak terhadap kesehatan
Universitas Sumatera Utara
yang dituangkan oleh Edy Sutrisno 2009, 87. 1. Dampak terhadap produktivitas
Pada mulanya orang berpendapat bahwa produktivitas dapat dinaikkan dengan menaikkan kepuasan kerja. Hubungan antara produktivitas dan kepuasan kerja
sangat kecil. Vroom dalam Munandar, 2001 mengatakan bahwa produktivitas dipengaruhi oleh banyak faktor – faktor moderator di samping kepuasan kerja.
Lawler dan Porter dalam Munandar, 2001, mengharapkan produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja
mempersepsikan bahwa ganjaran instrinsik misalnya rasa telah mencapai sesuatu dan ganjaran ekstrinsik berasosiasi dengan prestasi kerja, maka kenaikan
dalam prestasi tidak akan berkorelasi dengan kenaikan dalam kepuasan kerja.
2. Dampak terhadap ketidakhadiran absenteisme dan keluarnya tenaga kerja Ketidakhadiran dan berhenti bekerja merupakan jenis jawaban – jawaban yang
secara kualitatif berbeda. Ketidakhadiran lebih spontan sifatnya dan dengan demikian kurang mungkin mencerminkan ketidakpuasan kerja. Lain halnya
dengan berhenti atau keluar dari pekerjaan. Perilaku ini karena akan mempunyai akibat – akibat ekonomis yang besar, maka lebih besar kemungkinannya ia
berhubungan dengan ketidakpuasan kerja. Organisasi melakukan upaya yang cukup besar untuk menahan orang – orang ini dengan jalan menaikkan upah,
pujian, pengakuan, kesempatan promosi yang ditingkatkan, dan seterusnya. Justru hal sebaliknya bagi mereka yang mempunyai kinerja buruk, sedikit upaya
dilakukan oleh organisasi untuk menahan mereka. Bahkan mungkin ada tekanan halus un tuk mendorong mereka agar keluar. Menurut Steers dan Rhodes dalam
Munandar, 2001 mereka melihat adanya dua faktor pada perilaku hadir, yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir. Mereka percaya bahwa
motivasi untuk hadir dipengaruhi oleh kepuasan kerja dalam kombinasi dengan tekanan – tekanan internal dan eksternal untuk datang pada pekerjaan.
Robins 2001, ketidakpuasan kerja pada tenaga kerja atau karyawan dapat diungkapkan ke dalam berbagai macam cara. Misalnya, selain meninggalkan
pekerjaan, karyawan selalu mengeluh, membangkang, menghindari sebagian tanggung jawab pekerjaan mereka.
3. Dampak terhadap kesehatan Salah satu temuan yang penting dari kajian yang dilakukan oleh Kornhauser
Munandar, 2001 tentang kesehatan mental dan kepuasan kerja, ialah bahwa untuk semua tingkatan jabatan, persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan
mereka menuntut penggunaan efektif dan kecakapan – kecakapan mereka berkaitan dengan skor kesehatan mental yang tinggi.
Kepuasan kerja menunjang tingkat dari fungsi fisik dan mental serta kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan. Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan
mungkin saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya yang satu mempunyai akibat yang negatif
Universitas Sumatera Utara
juga pada yang lain.
Sintesis:
Yang dimaksud dengan kepuasan kerja pustakawan adalah reaksi emosional yang merupakan akibat dari dorongan, keinginan, tuntunan dan harapan – harapan
pustakawan terhadap pekerjaan yang dihubungkan dengan realita – realita yang dirasakan pustakawan, sehingga menimbulkan suatu bentuk reaksi emosional yang
berwujud perasaan senang, perasaan puas, ataupun perasaan tidak puas. Indikatornya antara lain: 1 Pengawasan Kerja, 2 Kondisi Fisik dan Kondisi Kerja, 3 Gaji, dan
4 Pengaturan Waktu Kerja.
2.3 Hubungan Burnout dengan Kepuasan Kerja