5. Pengaruh Islam dalam Sastra Melayu
Pada akhir abad ke -16 hingga abad ke-17 Masehi pengaruh sastra dan budaya Islam baru tampak dalam pergumulan baik dengan sastra Melayu Kharya
Melayu Sumatera Timur. Dalam sastra budaya Melayu, Islam diterima sebagai unsur yang memperkaya, mendinamisir, serta mengangkat derajat sastra Melayu
menjadi cukup canggih. Maka dalam perkembangannya, terjadi integritasi yang kukuh antara tradisi sastra budaya Melayu dan Islam, laksana pinang di belah dua.
Yakni Islam ya Melayu. Melayu ya Islam. Keduanya laksana dua permukaan dari satu mata uang
81
. Fenomena ini dapat terlihat dari karya-karya puisi yang lebih mengacu pada puitika Arab, dan karya susastra Melayu yang lebih banyak
berjenis puisi. Tercatat dalam sejarah sejumlah cendikiawan yang menulis buku
keagamaan dan juga memberikan kesempatan pada karya kreatif, terutama puisi. Tradisi puisi yang diletakkan hamzah Fanzuri ternyata kemudian memiliki
kesinambungan dengan tradisi puisi Amir Hamzah yang banyak bergulat dengan Tradisi sastra Timur dalam Landasan Estetik Melayu menjadi bahan studi
kepenyairan lain di Sumatera. Contohnya, pada orang melayu Batubara, dikenal dengan syair senandung, seperti orang berpuisi, akan tetapi, irama dari syair itu
mengalun-alun terdengar seperti rintihan, mengibah, seperti meratap yang tanpa sengaja terdengar seperti disenandungkan atau dilagukan.
Sajak-sajak mantra Sutardji penyair asal Riau telah tercatat sebagai karya terpenting dalam perjalanan sastra mutahir Indonesia. Umar Khayam tidak dapat
menyembunyikan kekagumannya dengan menyatakan bahwa sajak mantra Sutardji bukanlah untuk menjinakkan „buaya dan harimau‟ tetapi melepaskan kata
dari lingkup makna. “Konsep dunia rekaan dan bahasa pilihan Sutardji
memberikan magi baru kepada puisi Melayu-Indonesia Umar Khayam, 1982. Selanjutnya, Umar Yunus 1984:70 menyatakan, “perkembangan puisi sebelum
Sutardji ditentukan oleh puisi yang disarati oleh pikiran. Puisi adalah alat untuk menyampaikan pikiran, alat indoktrinasi. Pantun disarati oleh nasihat, syair
disarati oleh cerita. Puisi Chairil disarati oleh pikiran”.
81
Tuanku Luckman sinar Basarshah, Wan Syaifuddin, Ibid, h. 220-221
Pengaruh sastra dan pemikiran Melayu dalam karya kreatif sastra di Sumateraini dapat disimpulkan bahwa idiom-idiom Melayu yang berhubungan
dengan bahasa akrab dalam mengucapkan puisi para penyair. Pola dan struktur bait sebagaimana ditemukan dalam pantun masih terpakai. Misalnya, pola
perulangan bunyi repetisi, kesejajaran kata yang sama paralelisme, dan pola pantun masih tetap digemari, meskipun efek puitis yang ditemukan penyair adalah
pernyataan ekspresi individualnya. Selanjutnya, yang paling penting diperhatikan ialah tema-tema relegius
dan “keakraban insan dengan Tuhannya” tetap mencuat dan menggenangi rumah puisipara penyair Sumatera Timur dan penyair Indonesia
pada umumnya. Hal ini membuktikan bahwa wawasan penciptaan penyair yang mengaku beriman dan haruslah memerlukan pengawasan falsafah agama agar ia
tidak tersesat dalam rimba penciptaan, seperti dikatakan oleh Prof. Simuh sasatra dan budaya Melayu Islam ibarat pinang dibelah dua.
Lain halnya dengan syair senandung pada kebudayaan Melayu Batubara, penyair dari syair tersebut seakan tersusun secara sistematika tanpa terencana
diciptakan, keluar sendiri tanpa disadari kata-kata dari ungkapan syair senandung tersebut yang bersaratkan makna cerita yang dibawa oleh penyair dari syair
senandung tersebut.
D. Kajian Terdahulu