11
pertumbuhan sehingga penyembuhan luka menjadi terputus dan tidak terkoordinasi.
2.1.3 Klasifikasi Luka Diabetes
Luka diabetes menurut Wagner dapat dibedakan kedalam lima grade, yaitu Clayton dan Elasy, 2009:
- Grade 1
: Ulkus superfisial tanpa melibatkan jaringan bawah kulit -
Grade 2 : Ulkus dalam tanpa terlibat tulangpembentukan abses
- Grade 3
: Ulkus dalam dengan selulitisabses atau osteomyelitis -
Grade 4 : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki, dengan tanpa
selulitis -
Grade 5 : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah
2.1.4 Fase Penyembuhan Luka
Fase penyembuhan luka terdiri dari empat fase, yaitu Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013; Velnar, Bailey, dan Smrkolj, 2009:
a. Fase Hemostasis
Setelah terjadi kerusakan jaringan kulit pada saat luka, trombosit berperan dalam penutupan dari kerusakan pembuluh darah. Pembuluh darah itu
sendiri akan mengalami penyempitan dalam merespon cedera, tapi spasme ini akhirnya akan rileks. Trombosit mengeluarkan zat vasokontriksi untuk
membantu proses ini, namun peran utamanya adalah untuk membentuk bekuan darah stabil untuk menutup pembuluh darah yang rusak. Trombosit
diaktifkan dan mengeluarkan glikoprotein perekat yang memicu agregasi trombosit. Trombosit juga megeluarkan faktor-faktor yang berinteraksi dan
12
merangsang kaskade pembekuan intrinsik melalui produksi trombin, yang pada gilirannya memulai pembentukan fibrin dari fibrinogen. Jaring fibrin
memperkuat agregat trombosit menjadi bekuan hemostatik stabil Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013.
Akhirnya, trombosit juga mengeluarkan faktor pertumbuhan, sebagai salah satu faktor pertama dalam memulai langkah penyembuhan selanjutnya.
Faktor pertumbuhan ini melibatkan neutrofil dan monosit memulai tahap berikutnya penyembuhan luka, merangsang sel-sel epitel dan fibroblas.
Hemostasis terjadi dalam beberapa menit dari cedera awal kecuali pada pasien yang memiliki gangguan pembekuan.
b. Fase Inflamasi
Secara klinis, inflamasi fase kedua penyembuhan luka bermanifestasi sebagai eritema, bengkak, dan hangat, sering timbul nyeri atau dikenal
dengan istilah ”rubor et tumor cum calore et dolore”. Fase ini biasanya
berakhir hingga 4 hari pasca luka terjadi. Respon inflamasi menyebabkan pembuluh darah mengalami kebocoran, melepaskan plasma dan neutrofil ke
jaringan sekitarnya. Neutrofil memfagosit debris dan mikroorganisme serta menyediakan garis pertahanan pertama terhadap infeksi. Selama proses
pencernaan bakteri dan selular debris, neutrofil mati dan melepaskan enzim intraseluler ke matriks sekitarnya yang kemudian mencerna jaringan. Fibrin
kemudian mengalami pemecahan sebagai respon pembersihan dimana produk hasil degradasinya merangsang sel berikutnya yang terlibat dalam
13
proses tersebut seperti fibroblas dan sel epitel. Hal ini diperantarai oleh mast cell lokal Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013.
Penyembuhan luka memerlukan koordinasi aktivitas dan hubungan antar sel yang baik. Sel berhubungan satu sama lain melalui protein terlarut yang
disebut sitokin dan faktor pertumbuhan. Sitokin dan faktor pertumbuhan tersebut dikeluarkan oleh suatu sel dan berikatan dengan reseptor pada sel
target. Ketika sitokin berikatan dengan sel target, ia menstimulasi migrasi sel. Disisi lain faktor pertumbuhan menstimulasi sel target untuk membelah
dan memproduksi atau mensintesis sel baru sampai mengeluarkan substansi seperti kolagen yang diperlukan dalam pembentukan matriks ekstraselular.
Matriks ekstraselular juga berperan aktif dalam penyembuhan luka dengan interaksi sel-sel melalui reseptor bernama integrin, merangsang aktivasi
platelet, migrasi epitel dan pergerakan fibroblas. Monosit di sirkulasi berdiferensiasi menjadi makrofag setelah sel tersebut keluar dari pembuluh
darah dan melakukan kontak dengan matriks ekstraselular Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013.
c. Fase Proliferasi
Fase proliferasi dimulai sekitar 4 hari setelah terjadinya luka dan biasanya berlangsung sampai hari ke 21 pada luka akut, tergantung pada ukuran luka
dan kesehatan pasien. Hal ini ditandai dengan angiogenesis, deposisi kolagen, pembentukan jaringan granulasi, kontraksi dan epitelisasi luka.
Secara klinis, proliferasi ditandai oleh berwarna kemerahan pada jaringan atau kolagen di dasar luka dan melibatkan penggantian jaringan kulit dan
14
kadang-kadang subdermal jaringan pada luka yang lebih dalam, serta kontraksi luka. Dalam fase ini pertumbuhan lapisan luar pembuluh darah
kapiler dan sel-sel endotel. Proses ini disebut angiogenesis. Sel keratinosit, yang bertanggung jawab untuk epitelisasi Orsted et al, 2004; Rothenberg,
2013. Dalam penyembuhan luka, sel-sel di bawah pengaruh faktor pertumbuhan
membelah untuk menghasilkan sel-sel baru, yang bermigrasi ke tempat luka di bawah pengaruh sitokin. Ada keseimbangan antara MMP dan TIMPs
sehingga terdapat pertumbuhan jaringan baru. Pada luka kronik, sebaliknya, di mana fase penyembuhan terhenti, pembelahan sel dan migrasi ditekan,
terdapat sitokin inflamasi dan MMP yang tinggi dan, rendahnya tingkat TIMPs dan faktor pertumbuhan. Respon ini adalah karakteristik dari
keadaan inflamasi kronik. Ini mungkin disebabkan oleh peningkatan jumlah bakteri, adanya jaringan nekrotik, iskemia kronik atau trauma berulang.
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai faktor
pertumbuhan yang dibentuk oleh makrofag dan trombosit Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013.
d. Fase Remodelling
Proses penyembuhan luka melibatkan remodeling dan penataan kembali jaringan luka dari jaringan kolagen untuk menghasilkan tensil dengan
kekuatan yang lebih besar. Sel-sel utama yang terlibat dalam proses ini adalah fibroblas. Fase remodeling bias memerlukan waktu hingga dua tahun
15
setelah luka terjadi. Selama fase ini fibrin dibentuk ulang, pembuluh darah menghilang dan jaringan memerkuat susunannya. Remodelling mencakup
sintesis dan pemecahan kolagen Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013.
Tabel 1. Fase Penyembuhan luka
Fase Penyembuhan Luka
Waktu Sel yang Berperan
Fungsi atau
Aktivitas Hemostasis
Segera Platelet
Pembekuan darah
Inflamasi
Hari 1-4 Neutrofil
Makrofag Fagositosis
Proliferasi granulasi dan kontraksi
Hari 4-21 Makrofag
Limfosit Angiosit
Neutrosit Fibroblas
Keratinosit Membentuk kembali
kerusakan jaringan Memperbaiki kembali
fungsi kulit Penutupan luka
Remodelling Maturasi
Hari 21-2 tahun Fibrosit
Meningkatkan kekuatan tensil
Sumber: Orsted et al, 2004; Velnar, Bailey, dan Smrkolj, 2009
Indikator penyembuhan luka dilihat dari kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit sehingga mampu melakukan aktivitas normal. Meskipun
proses atau fase penyembuhan luka sama bagi setiap orang, namun hasil yang dicapai tergantung dari kondisi biologis masing-masing individu, lokasi, luasnya
luka dan penatalaksanaan luka itu sendiri. Seorang yang muda dan sehat akan mencapai proses yang lebih cepat dibandingkan dengan yang mengalami masalah
kekurangan gizi, dan disertai oleh penyakit sistemik seperti DM Purwaningsih, 2014.
Pada penderita DM, apabila kadar glukosa dalam tubuh tidak terkendali akan menyebabkan abnormalitas leukosit sehingga fungsi kemotaksis di lokasi
radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bekterisid menurun
16
sehingga apabila ada mikroorganisme pada luka akan sulit untuk dimusnahkan oleh fagosistosis-bakterisia intraseluler. Kondisi hiperglikemia merupakan media
pertumbuhan bakteri yang subur, sehingga kondisi ini meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus diabetik, yaitu kuman
aerobik Staphylococcus atau Streptococcus serta kuman anaerobik seperti Clostridium perfringens, Clostridium novy, Clostridium septikum Riyanto, 2007.
Pada DM, terjadi peningkatan mediator-mediator inflamasi, memicu respon inflamasi, menyebabkan inflamasi kronik, namun keadaan ini dianggap
sebagai inflamasi derajat rendah, karena hiperglikemia sendiri menimbulkan ganggguan mekanisme pertahanan seluler. Inflamasi dan neovaskularisasi penting
dalam penyembuhan luka, tetapi harus sekuensial, self-limited, dan dikendalikan secara ketat oleh interaksi sel-molekul. Pada DM respon inflamasi akut lemah dan
angiogenesis terganggu sehingga terjadi gangguan penyembuhan luka Tellechea et al, 2010.
Menurut Schultz dan Mast, luka kronik dapat dicirikan dengan adanya penurunan aktivitas mitogenesis fibroblas, keratinosit, dan sel endotel vaskular,
peningkatan sitokin pro-inflamasi seperti TNFa, IL- 1β, dan TGF-β1,
ketidakseimbangan aktivitas protease peningkatan aktivitas MMP dan penurunan aktivitas TIMP, penurunan sitokin yang meningkatkan proliferasi EGF dan
TGF- β, penurunan proliferasi dan migrasi fibroblas, perubahan fenotif fibroblas,
penurunan sintesis kolagen dan peningkatan produksi ROS dan NO Purwaningsih 2014.
17
Proses proliferasi juga akan sulit diprediksi pada pasien DM dikarenakan sel basal keratinosit pada luka kronik sulit diaktivasi oleh tubuh. Selama proses
proliferasi berlangsung, sel-sel akan bermigrasi ke dalam matriks sementara dan fibroblas luka memperoleh fenotipe kontraktil yang akan merubah menjadi
miofibroblas. Tipe sel ini memainkan peran utama dalam kontraksi luka Werner dan Groce, 2003.
Selain adanya mekanisme penyembuhan luka tingkat selular yang bekerja dalam tubuh, jangka waktu penyembuhan luka juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang dapat mengurangi efisiensi penyembuhan, seperti area sekitar luka yang kurang higienis, efek samping dari pengobatan, gangguan vaskularissi pada
luka berupa kondisi yang hipoksia, kebiasaan mengkonsumsi alkohol atau merokok, dan kurangnya suplai nutrisi. Penyembuhan luka juga akan dipengaruhi
oleh faktor seperti infeksi bakteri yang menghasilkan biofilm, kadar kalium, dan cairan luka. Adanya biofilm pada dasar luka dapat menghambat aktivitas
fagositosis neutrofil polimorfonuklear polimorphonuclear neutrophilPMN. Biofilm ini dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas
aeuroginosa. Manifestasi klinis akibat adanya hambatan tersebut, yaitu proses inflamasi akan berlangsung lama dan kerusakan jaringan baru saat memasuki fase
proliferasi Guo dan DiPietro, 2010. Penelitian lain menyebutkan ion kalium K
+
dalam sel dapat menghambat proliferasi yang berkaitan erat dengan respon fisiologis dari sel limfosit.
Hambatan kalium juga akan menyebabkan aktivasi sel terganggu dan akan menimbulkan efek imunosupresif Pardo, 2004. Sementara, pada cairan yang
18
dihasilkan dari luka kronik sangat berisiko menghambat proses proliferasi sel fibroblas baru karena cairan bersifat apoptosis atau mengandung jaringan mati.
Cairan yang mengandung jaringan mati ini akan menghambat konsistensi migrasi dari hormon faktor pertumbuhan dan sitokin. Hal ini menyebabkan pemanjangan
fase inflamasi dan memperlama proses penyembuhan luka Moffat, Martin, dan Smithdale, 2007
2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka