Pengaruh Sediaan Gel Ekstrak Daun Kembang Sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) Terhadap Waktu Penyembuhan Luka Pada Tikus Putih Galur Wistar dengan Diabetes Mellitus.
i
PENGARUH SEDIAAN GEL EKSTRAK DAUN KEMBANG
SEPATU (
Hibiscus rosa sinensis
Linn.) TERHADAP WAKTU
PENYEMBUHAN LUKA PADA TIKUS PUTIH GALUR
WISTAR DENGAN DIABETES MELLITUS
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
OLEH:
OLEH:
I PUTU RAMA CANDRA NIM. 1102105001
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
(2)
ii
PERNYATAAN KEASLIAN PENEITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : I Putu Rama Candra NIM : 1102105001
Fakultas : Kedokteran Program Studi : Ilmu Keperawatan
menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dpat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Denpasar, 15 Juni 2015 Yang membuat pernyataan,
(3)
iii
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI
PENGARUH SEDIAAN GEL EKSTRAK DAUN KEMBANG
SEPATU (
Hibiscus rosa sinensis
Linn.) TERHADAP WAKTU
PENYEMBUHAN LUKA PADA TIKUS PUTIH GALUR
WISTAR DENGAN DIABETES MELLITUS
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
OLEH:
I PUTU RAMA CANDRA NIM. 1102105001
TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN UNTUK DIUJI
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Prof. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika, M.Kes Ns. I Kadek Saputra, S.Kep NIP. 19660309 199802 1 003 NIP. 19820531 200812 1 001
(4)
iv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
PENGARUH SEDIAAN GEL EKSTRAK DAUN KEMBANG
SEPATU (
Hibiscus rosa sinensis
Linn
.
) TERHADAP WAKTU
PENYEMBUHAN LUKA PADA TIKUS PUTIH GALUR
WISTAR DENGAN DIABETES MELLITUS
OLEH:
I PUTU RAMA CANDRA NIM. 1102105001
TELAH DIUJI DIHADAPAN TIM PENGUJI PADA HARI: SENIN
TANGGAL: 15 JUNI 2015
TIM PENGUJI
Prof. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika, M.Kes (Ketua) …………...
Ns. I Kadek Saputra, S.Kep (Sekretaris).………
Ns. Desak Made Widyanthari, M.Kep, Sp. Kep.MB (Pembahas)……….
MENGETAHUI:
DEKAN KETUA
FK UNIVERSITAS UDAYANA PSIK FK UNIVERSITAS UDAYANA
Prof. Dr. dr. Pt.Astawa, Sp.OT, M.Kes. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF. NIP. 195301311980031 004 NIP. 19501231 198003 1 015
(5)
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Pengaruh Sediaan Gel Ekstrak Daun Kembang Sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) Terhadap Waktu Penyembuhan Luka Pada Tikus Putih Galur Wistar dengan Diabetes Mellitus”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada:
1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp. OT, M. Kes., sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.
2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF., sebagai ketua PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar yang memberikan pengarahan dalam proses pendidikan.
3. Prof. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika, M.Kes., sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
4. Ns. I Kadek Saputra, S.Kep, sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan bantuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
(6)
vi
5. Mahasiswa PSIK A 2011 (Achillesextavortouz) yang memberi saran, dukungan dan semangat dalam menyelesaikan pembuatan skripsi ini.
6. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan kritik yang membangun. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Denpasar, Juni 2015
(7)
vii ABSTRAK
Candra, I Putu Rama. 2015. Pengaruh Sediaan Gel Ekstrak Daun Kembang Sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) Terhadap Waktu Penyembuhan Luka Pada Tikus Putih Galur Wistar dengan Diabetes Mellitus. Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Prof. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika, M. Kes; (2) Ns. I Kadek Saputra, S.Kep.
Prevalensi Diabetes Mellitus (DM) di Indonesia meningkat beberapa tahun terakhir. Hal ini semakin sulit bila terjadi komplikasi, salah satunya luka diabetik. Adanya pemanjangan inflamasi pada luka diabetik berdampak pada peningkatan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) sehingga terjadi stres oksidatif dan menghambat penyembuhan luka. Reactive Oxygen Species dapat ditekan dengan antioksidan yang kuat yaitu salah satunya flavonoid yang terdapat pada daun kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.). Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun kembang sepatu dalam sediaan gel terhadap proses penyebuhan luka pada tikus putih galur wistar dengan diabetes mellitus melalui identifikasi waktu penyembuhan luka yang dihitung dalam hitungan hari, dengan jumlah 36 sampel dengan menggunakan simple random sampling. Penelitian eksperimen murni dengan rancangan post test control group ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh sediaan gel ekstrak daun kembang sepatu terhadap waktu penyembuhan luka dengan hasil uji
Independent t-test menunjukkan p=0,000 (p<0,05). Kelompok perlakuan memiliki rerata waktu penyembuhan luka lebih cepat yaitu 12,76 hari, sedangkan kelompok kontrol memiliki rerata 15,59 hari. Hal ini menunjukkan gel ekstrak daun kembang sepatu mampu mempercepat waktu penyembuhan luka. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian ke tingkat yang lebih tinggi sehingga gel ekstrak daun kembang sepatu dapat dijadikan alternatif perawatan luka modern berbasis alami dalam penatalaksanaan luka diabetes.
Kata Kunci: Diabetes Mellitus, Gel Ekstrak Daun Kembang Sepatu, Waktu Penyembuhan Luka
(8)
viii ABSTRACT
Candra, I Putu Raama. 2015. The Effect of Gel Preparation of hibiscus leaves (Hibiscus rosa sinensis Linn.) Towards the Time of Wound Healing in Wistar Strain White Rats with Diabetes Mellitus. Final Assigment, Nursing School, Faculty of Medicine Udayana University. Advisors (1) Prof. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika, M. Kes; (2) Ns. I Kadek Saputra, S.Kep. The prevalence of Diabetes Mellitus (DM) in Indonesia increased in recent years. This is will become increasingly difficult in case of complications, one is diabetic wounds. The prolonged inflammatory phase in diabetic wounds contribute in upregulation of Reactive Oxygen Species (ROS) resulting in oxidative stress and inhibit wound healing. Reactive Oxygen Species can be suppressed with strong antioxidant, one of them is a flavonoid found on hibiscus leaves (Hibiscus rosa sinensis Linn.). Therefore, research is done to determine the effect of extracts of hibiscus leaves in form of gel in term of wound healing activity on wistar strain white rats with diabetes mellitus through the identification of wound healing time (days), with the number of 36 samples were selected by simple random sampling. True experimental research with post-test control group design was conducted at the Laboratory of Pharmacology of the Faculty of Medicine Udayana University. The results showed that there were significant effect of hibiscus leaf extract gel in term of wound healing time with Independent t-test result showed p = 0.000 (p<0.05). Groups treated with gel of hibiscus leaf extract showed an average wound healing time faster (12.76 days), while treatment with placebo gel had an average of 15.59 days. As the conclusion, hibiscus leaves gel extract showed improvement of wound healing time. Based on these results, further research is needed so as the gel extracts of hibiscus leaves can be used as a modern alternative treatment with plant based in the management of diabetic wounds.
Keywords: Diabetes Mellitus, Gel of Hibiscus Leaf Extract, Wound Healing Time
(9)
ix DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
DAFTAR SINGKATAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Luka Diabetes ... 9
2.1.1 Definisi ... 9
2.1.2 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis ... 9
2.1.3 Klasifikasi Luka Diabetes ... 11
2.1.4 Fase Penyembuhan Luka ... 11
2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka ... 18
2.1.6 Manajemen Luka Diabetes ... 20
2.1.7 Kriteria Penyembuhan Luka ... 21
2.2 Tanaman Kembang Sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) ... 22
2.2.1 Deskripsi dan Taksonomi Tanaman ... 22
2.2.2 Kandungan Kimia dan Khasiat Daun Kembang Sepatu dalam Proses Penyembuhan Luka ... 24
2.2.3 Ekstraksi Daun Kembang Sepatu ... 27
2.3 Sediaan Obat Topikal ... 28
2.4 Pengaruh Pemberian Aloksan Terhadap Tikus Galur Wistar sebagai Hewan Model Diabetes Melitus ... 33
2.5 Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar ... 35
2.5.1 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar ... 35
2.5.2 Karakteristik Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar .... 35
2.5.3 Persiapan Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar ... 37
2.5.4 Persiapan Pakan dan Minum Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar ... 37
(10)
x
2.5.5 Kandang Hewan Coba Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur
Wistar ... 37
BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep ... 39
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 40
3.2.1 Variabel Penelitian ... 40
3.2.2 Definisi Operasional ... 40
3.3 Hipotesis ... 41
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ... 42
4.2 Kerangka Kerja ... 44
4.3 Tempat dan Waktu Penelitian ... 45
4.4 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling ... 45
4.4.1 Populasi ... 45
4.4.2 Sampel ... 45
4.4.3 Besar Sampel ... 46
4.4.4 Teknik Sampling ... 47
4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 48
4.5.1 Cara Kerja ... 48
4.5.2 Jenis Data ... 52
4.5.3 Cara Pengumpulan Data ... 52
4.5.4 Instrumen Pengumpul Data ... 54
4.5.5 Etika Penelitian ... 54
4.6 Pengolahan dan Analisis Data... 56
4.6.1 Teknik Pengolahan Data ... 56
4.6.2 Analisis Data ... 56
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 59
5.1.1 Kondisi Lokasi Penelitian ... 59
5.1.2 Karakteristik Subjek Penelitian ... 60
5.1.3 Pengamatan Sampel Berdasarkan Variabel Penelitian ... 66
5.1.4 Perbedaan Waktu Penyembuhan Luka Antar Kelompok ... 68
5.2 Pembahasan ... 70
5.2.1 Waktu Penyembuhan Luka pada Tikus Putih Galur Wistar ... 70
5.2.2 Perbedaan Waktu Penyembuhan Luka Antar Kelompok ... 75
5.2.3 Pengaruh Sediaan Gel Ekstrak Daun Kembang Sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) terhadap Waktu Penyembuhan Luka ... 81
5.3 Keterbatasan Penelitian ... 86
(11)
xi BAB VI PENUTUP
6.1 Simpulan ... 88 6.2 Saran ... 88 DAFTAR PUSTAKA
(12)
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Tanaman Kembang Sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) ... 22
Gambar 2. Penetrasi melalui tiga kompartemen kulit ... 30
Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian ... 39
Gambar 4. Rancangan Penelitian Post Test Control Group ... 43
Gambar 5. Kerangka Kerja Penelitian ... 44
Gambar 6. Situasi Tikus pada Kandang ... 60
Gambar 7 Perbedaan Penyembuhan Luka pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 76
(13)
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Fase Penyembuhan Luka ... 15
Tabel 2. Definisi Operasional Penelitian ... 40
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Saphiro Wilk Waktu Penyembuhan Luka ... 57
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Berat Badan (Gram) ... 62
Tabel 5. Karakteristik Berdasarkan Glukosa Darah Puasa (mg/dL) Sebelum Induksi Aloksan ... 63
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Kadar Glukosa Darah Puasa Setelah Induksi Aloksan Ke-1 ... 64
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Kadar Glukosa Darah Puasa Setelah Induksi Aloksan Ke-2 ... 65
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Waktu Penyembuhan Luka (Hari) ... 66
Tabel 9. Perbedaan Perubahan Luas Luka Antar Kelompok ... 67
Tabel 10. Tipe Dasar Luka ... 67
Tabel 11. Perbedaan Jumlah Eksudat pada Luka ... 68
Tabel 12. Analisis Pengaruh Sediaan Gel Ekstrak Daun Kembang Sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) terhadap Waktu Penyembuhan Luka ... 69
(14)
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Jadwal Kegiatan Penelitian Lampiran 2 : Biaya Penelitian
Lampiran 3 : Cara Kerja Pembuatan Insisi Luka Lampiran 4 : Cara Kerja Perawatan Luka Lampiran 5 : Lembar Observasi Luka Lampiran 6 : Tabel Master Data Lampiran 7 : Hasil Uji Analisis Lampiran 8 : Dokumentasi Penelitian Lampiran 9 : Lembar Konsultasi
Lampiran 10 : Lembar Peninjauan Ujian Skripsi Lampiran 11 : Ethical Clearance
Lampiran 12 : Surat Pernyataan Penelitian di Lab. FTP Unud
Lampiran 13 : Surat Pernyataan Penelitian di Lab. Farmakologi FK Unud Lampiran 14 : Surat Permohonan Peminjaman Lab. FTP Unud
Lampiran 15 : Surat Permohonan Peminjaman Lab. Farmakologi FK Unud Lampiran 16 : Surat Permohonan Ijin Melakukan Penelitian di Lab. FTP Unud Lampiran 17 : Surat Permohonan Ijin Melakukan Penelitian di Lab. Farmakologi
(15)
xv
DAFTAR SINGKATAN
DM : Diabetes Melitus
DINKES : Dinas Kesehatan
EGF : Epidermal Growth Factor
FK UNUD : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
IL : Interleukin
MMP : Matriks Metaloprotease
NO : Nitric Oxide
ROS : Reactive Oxygen Species
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
TGF : Transforming Growth Factor
TIMP : Tissue Inhibitor of Metalloproteinases
TNF : Tumor Necrosis Factor
(16)
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Meskipun globalisasi memberikan berbagai dampak baik, namun tidak dapat dipungkiri proses ini juga menimbulkan pengaruh buruk dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk pada bidang kesehatan. Sebagai suatu dampak buruk, perkembangan zaman ke arah globalisasi mengakibatkan terjadinya pergeseran pola penyakit dari penyakit menular (communicable disease) ke penyakit tidak menular (non-communicable disease) (Wulandari dan Martini, 2013). Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya perubahan gaya hidup yang tidak sehat, lingkungan serta faktor genetik yang dimiliki oleh masing-masing individu. Diabetes melitus (DM) menjadi salah satu penyakit tidak menular yang berkembang berdasarkan pengaruh negatif pada faktor-faktor tersebut.
Hingga saat ini, DM masih menjadi masalah kesehatan yang utama di dunia baik di negara maju maupun negara berkembang. Berdasarkan data WHO (2012), DM merupakan penyakit mematikan kedelapan dengan prosentase sebanyak 2,7 % dari seluruh penyebab kematian di dunia. Pada negara maju seperti Amerika Serikat, DM menduduki peringkat ketujuh dari seluruh penyebab kematian yaitu sebanyak 69.071 orang meninggal karena diabetes pada tahun 2010 (National Diabetes Statistic Report, 2014). Tidak hanya di negara maju, negara berkembang yaitu salah satunya Indonesia juga mengalami peningkatan prevalensi DM yang sangat tinggi (Yarisman, 2014).
(17)
2
Prevalensi penyakit DM di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun dan merupakan negara keempat dengan jumlah penderita DM terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat (Perkeni, 2011). Pada tahun 2014, sekitar sembilan juta penduduk di Indonesia menderita DM (International Diabetes Federation, 2014). Prevalensi DM di Bali sebanyak 5,9% dan diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup dan pola makan masyarakat (Trisnawati, Widarsa, Suastika, 2013). Dinkes Provinsi Bali (2012) melaporkan penyakit DM menduduki 10 besar penyakit terbanyak di Kota Denpasar dengan jumlah 8.543 orang. Peningkatan prevalensi DM menyebabkan peningkatan biaya pengobatan dan kerugian ekonomi yang ditanggung oleh individu, keluarga, masyarakat maupun oleh negara.
Di samping prevalensinya yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, permasalahan DM akan menjadi semakin sulit bila terjadi komplikasi. Komplikasi DM dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut diantaranya adalah kondisi hipoglikemia, ketoasidosis diabetik,
non-ketogenic hyperosmolar syndrome. Komplikasi kronik yaitu berupa aterosklerosis, retinopati, neuropati, nefropati, dan luka/ulkus diabetik (Pizzorno dan Murray, 2003).
Ulkus diabetik merupakan luka yang khas terjadi pada penderita DM. Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya luka diabetik adalah iskemia pembuluh darah dan neuropati perifer (Pizzorno dan Murray, 2003). Kelainan ini mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
(18)
3
berpotensi besar terjadinya luka. Luka diabetik mudah berkembang menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat yang strategis untuk pertumbuhan kuman (Hastuti, 2008). Dengan adanya luka yang terinfeksi, maka resiko amputasi menjadi lebih besar (Waspadji, 2007). Luka diabetik merupakan penyebab tersering dilakukannya amputasi yang didasari oleh kejadian tanpa trauma. Risiko dilakukan amputasi 15-40 kali lebih sering pada penderita DM dibandingkan yang bukan penderita DM. Komplikasi ini juga menyebabkan lama rawat penderita DM menjadi lebih panjang (Decroli et al, 2008). Menurut Sheehan (2003) di Amerika Serikat sekitar 2,5 % dari penderita DM berkembang timbulnya luka diabetes pertahun dan 15 % dari penderita luka DM tersebut berujung pada amputasi. Selain karena kadar glukosa yang tinggi sebagai tempat berkembangnya bakteri, infeksi juga dapat terjadi karena memanjangnya fase inflamasi pada luka kronik (Purwaningsih, 2014).
Inflamasi merupakan reaksi yang pertama kali terjadi apabila tubuh terkena luka. Pada respon seluler, ciri-ciri fase inflamasi adalah sel neutrofil dalam jumlah besar berpindah dari kapiler menuju jaringan luka, kemudian jumlah neutrofil menurun dan digantikan dengan makrofag pada jaringan luka. Makrofag berperan penting dalam pengaturan sel seperti fungsi fagositosis, memakan dan mencerna serta membunuh organisme patogen, membersihkan debris jaringan dan merusak sisa netrofil, menarik fibroblas ke jaringan luka dan memicu pembuluh darah baru ( Li et al, 2007). Dalam fase inflamasi ini, neutrofil dan makrofag menghasilkan sejumlah besar anion superoksida radikal. Kemudian sel lain seperti fibroblas dirangsang oleh sitokin pro inflamasi untuk memproduksi reactive oxygen spesies
(19)
4
(ROS). ROS merupakan suatu bagian dari sistem imun untuk membantu mempercepat pembersihan luka dari serangan bakteri. Tetapi selain memiliki efek positif, ROS juga memiliki banyak dampak negatif diantaranya menghambat migrasi dan propliferasi dari berbagai tipe sel, merusak jaringan dan bahkan dapat merubah jaringan menjadi neoplasma (Keller et al., 2006). Lebih lanjut, kondisi hiperglikemia yang mendasari kondisi DM, juga dapat menyebabkan produksi ROS. Hal ini akan menimbulkan terjadinya stress oksidatif, yaitu suatu keadaan dimana jumlah radikal bebas yang diproduksi melebihi kapasitas penangkalan (scavenging) antioksidan endogen (Wiryana, 2008). Hal inilah yang menyebabkan ROS dapat menghambat penyembuhan luka. Berdasarkan hal tersebut, peran antioksidan menjadi sangat signifikan dalam penanganan luka diabetes. Dari penelitian Mittler (2002) menjelaskan bahwa hasil metabolisme aerobik yang bersifat toksik seperti ROS dapat ditekan dengan antioksidan. Salah satu antioksidan yang kuat adalah flavonoid (Heim et al, 2002).
Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang terdapat dalam tanaman yang memiliki berbagai efek biologis secara in vitro dan in vivo. Flavonoid memiliki efek antimikroba, antivirus, anti-ulcerogenic, anti-neoplastik, antioksidan, antihepatotoksik, antihipertensi, hipolipidemik, antiplatelet dan aktivitas anti-inflamasi. Aktivitas anti-inflamasi flavonoid terjadi di kedua fase inflamasi yaitu fase proliferasi dan eksudatif (Rathee et al, 2009). Flavonoid berpotensi menghambat produksi prostaglandin. Penelitian telah menunjukkan bahwa efek ini disebabkan penghambatan enzim yang terlibat dalam biosintesis
(20)
5
prostaglandin (misalnya, lipoksigenase, fosfolipase, dan siklooksigenase) (Manthey, 2000). Flavonoid banyak didapatkan dari tanaman.
Indonesia merapakan negara tropis yang memiliki banyak potensi yang dapat dimanfaatkan. Salah satu wujud dari pemanfaatan potensi alam tersebut adalah dengan menjadikan flora Indonesia sebagai bahan dasar untuk memperbaiki kualitas kesehatan manusia. Telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai pemanfaatan tanaman obat untuk penyembuhan luka diabetik. Beberapa tanaman tersebut diantaranya adalah lidah buaya (Atiba, dkk., 2011; Yante, 2010), daun mengkudu (Ambiyani, 2013), daun sirih merah (Mun’im, dkk., 2011) dan lain-lain. Salah satu tanaman obat tradisional yang berpotensi dalam mengatasi masalah luka diabetes yaitu daun kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.).
Daun kembang sepatu mengandung kandungan bioaktif seperti flavonoid, triterpenoid, tanin dan saponin (Faten et al, 2012). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat aktivitas daun kembang sepatu sebagai agen antidiabetes. Moqbel et al (2011) menyatakan bahwa ekstrak daun kembang sepatu dengan fraksi tertentu memiliki aktivitas insulinotropik dan efek protektif pada tikus diabetes. Mamun et al (2013) menjelaskan ekstrak etanol daun kembang sepatu yang diberikan selama 1 minggu secara signifikan menurunkan glukosa darah pada tikus yang diinduksi dengan aloksan. Aktivitas ini lebih baik dibandingkan dengan metformin dalam aktivitas menurunkan kadar gula darah dan lemak darah.
Salah satu metode aplikasi daun kembang sepatu dalam penatalaksanaan luka diabetes adalah secara topikal dikombinasikan dengan balutan luka. Balutan luka yang bersifat lembab merupakan kondisi yang dapat memberikan lingkungan
(21)
6
yang mendukung epitelisasi sel untuk mencegah kerusakan atau trauma lebih lanjut (Baroroh, 2011). Perawatan luka yang didesain menciptakan suasana lembab guna mendukung dalam penyembuhan luka (World International, 2013). Sediaan farmasi yang sering digunakan dalam perawatan luka dengan konsep
moist wound adalah sediaan gel. Gel merupakan sediaan semipadat yang digunakan pada kulit, umumnya sediaan tersebut berfungsi sebagai pembawa pada obat-obat topikal, sebagai pelunak kulit, atau sebagai pelindung (Lachmann et al, 2008). Sediaan gel memiliki keuntungan diantaranya sangat baik dipakai untuk area berambut, tidak lengket, kemampuan penyebaran yang baik pada kulit, efek dingin karena impermeable terhadap air dan pelepasan obat yang baik (Panjaitan, dkk., 2012, Lachman et al, 2008; Voight, 1994).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat adanya analogi antara khasiat dari daun kembang sepatu dan lingkungan lembab yang kondusif untuk luka dengan sediaan gel. Peneliti ingin membuktikan bahwa terdapat pengaruh antara sediaan gel ekstrak daun kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) terhadap proses penyebuhan luka pada hewan coba tikus putih galur wistar sebagai model diabetes mellitus melalui identifikasi waktu penyembuhan luka yang dihitung dalam hitungan hari.
(22)
7
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penelitian adalah “Apakah terdapat pengaruh sediaan gel ekstrak daun kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) terhadap waktu penyembuhan luka pada tikus putih galur wistar dengan diabetes mellitus?”
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh sediaan gel ekstrak daun kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) terhadap waktu penyembuhan luka pada tikus putih galur wistar dengan diabetes mellitus.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi dan menganalisis waktu penyembuhan luka pada kelompok I yang diberikan gel ekstrak daun kembang sepatu pada tikus putih galur wistar dengan diabetes mellitus.
b. Mengidentifikasi dan menganalisis waktu penyembuhan luka pada kelompok II yang diberikan gel plasebo pada tikus putih galur wistar dengan diabetes mellitus.
c. Menganalisis perbedaan waktu penyembuhan luka antar kelompok pada tikus putih galur wistar.
d. Menganalisis pengaruh sediaan gel ekstrak daun kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) terhadap waktu penyembuhan luka pada tikus putih galur wistar dengan diabetes mellitus.
(23)
8
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan khususnya keperawatan terutama keperawatan medikal bedah dalam perawatan luka diabetes melalui pendekatan konsep moist wound dengan sediaan gel daun kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) terhadap proses penyembuhan luka diabetes.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan di lapangan antara lain: a. Digunakan penelitian selanjutnya sebagai bahan pertimbangan untuk
melakukan riset lanjutan ke tingkat yang lebih tinggi tentang efektivitas daun kembang sepatu sebagai aternatif perawatan luka dengan konsep moist wound
yang dikombinasikan dengan produk alam dan konsep antioksidan dalam penatalaksanaan luka diabetes.
b. Digunakan oleh masyarakat sebagai acuan pemanfaatan daun kembang sepatu sebagai alternatif dalam penanganan luka diabetes secara efektif dan efesien.
(24)
9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Luka Diabetes 2.1.1 Definisi
Luka adalah rusak atau hilangnya jaringan tubuh yang terjadi karena adanya suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh (Pusponegoro, 2005). Luka diabetes terjadi karena adanya kelainan pada saraf, kelainan pembuluh darah dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak ditangani dengan manajemen yang baik, hal itu akan berlanjut menjadi ulkus bahkan dapat diamputasi (Prabowo, 2007).
2.1.2 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Penyakit neuropati dan vaskular adalah faktor utama yang mengkontribusi terjadinya luka. Pada pasien dengan diabetik, sering kali mengalami gangguan pada sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini berhubungan dengan gangguan sensasi saraf terutama pada bagian tubuh perifer atau yang dikenal dengan “diabetic peripheral neuropathy” (Tanenberg, 2009). Efek sirkulasi inilah yang menyebabkan kerusakan pada saraf. Hal ini terkait dengan diabetik neuropati yang berdampak pada sistem saraf autonom, yang mengontrol fungsi otot-otot, kelenjar dan organ visceral. Dengan adanya gangguan pada saraf autonom menyebabkan terjadinya perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran darah. Dengan demikian kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian antibiotik tidak mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, dan atau
(25)
10
untuk kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek pada neuropati autonomi ini akan menyebabkan kulit menjadi kering, anhidrosis, yang memudahkan kulit menjadi rusak dan luka yang sukar sembuh, dan dapat menimbulkan infeksi dan mengningkatkan risiko untuk terjadinya gangren. Dampak lain adalah karena adanya neuropati perifer yang mempengaruhi pada saraf sensori dan sistem motor yang menyebabkan hilangnya sensasi rasa tekanan, nyeri, dan perubahan temperatur (Suriadi, 2004; Tanenberg, 2009). Hilangnya sensasi nyeri, suhu, dan tekanan yang biasanya terjadi pada kaki juga menjadi faktor risiko yang memicu terjadinya luka, sehingga berisiko tinggi infeksi dan terjadinya amputasi (Rowe, 2014).
Infeksi pada penderita DM terjadi karena kondisi hiperglikemia merusak respon immunologi, hal ini menyebabkan leukosit gagal melawan patogen yang masuk, selain itu iskemia menyebabkan penurunan suplai darah yang menyebabkan antibiotik juga tidak efektif sampai pada luka (Suriadi, 2007). Lobmann et al. (2005), menerangkan hubungan gangguan fungsi sel, ketidakseimbangan inflamasi, protease, sitokin, dan faktor pertumbuhan (growth factor). Dijelaskan bahwa pada kaki diabetes terjadi peningkatan apoptosis fibroblas, dan penurunan proliferasi sel fibroblas, dan reaksi inflamasi memanjang, terbukti dengan adanya neutrofil granulosit dalam jumlah besar di dalam luka. Neutrofil granulosit mensekresi sitokin proinflamasi terutama TNF-α dan interleukin-1 β (IL-1β). Kedua sitokin ini merangsang sintesa matrix metaloprotease (MMP), menyebabkan degradasi matrik protein dan faktor
(26)
11
pertumbuhan sehingga penyembuhan luka menjadi terputus dan tidak terkoordinasi.
2.1.3 Klasifikasi Luka Diabetes
Luka diabetes menurut Wagner dapat dibedakan kedalam lima grade, yaitu (Clayton dan Elasy, 2009):
- Grade 1 : Ulkus superfisial tanpa melibatkan jaringan bawah kulit - Grade 2 : Ulkus dalam tanpa terlibat tulang/pembentukan abses - Grade 3 : Ulkus dalam dengan selulitis/abses atau osteomyelitis - Grade 4 : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki, dengan tanpa
selulitis
- Grade 5 : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah 2.1.4 Fase Penyembuhan Luka
Fase penyembuhan luka terdiri dari empat fase, yaitu (Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013; Velnar, Bailey, dan Smrkolj, 2009):
a. Fase Hemostasis
Setelah terjadi kerusakan jaringan kulit pada saat luka, trombosit berperan dalam penutupan dari kerusakan pembuluh darah. Pembuluh darah itu sendiri akan mengalami penyempitan dalam merespon cedera, tapi spasme ini akhirnya akan rileks. Trombosit mengeluarkan zat vasokontriksi untuk membantu proses ini, namun peran utamanya adalah untuk membentuk bekuan darah stabil untuk menutup pembuluh darah yang rusak. Trombosit diaktifkan dan mengeluarkan glikoprotein perekat yang memicu agregasi trombosit. Trombosit juga megeluarkan faktor-faktor yang berinteraksi dan
(27)
12
merangsang kaskade pembekuan intrinsik melalui produksi trombin, yang pada gilirannya memulai pembentukan fibrin dari fibrinogen. Jaring fibrin memperkuat agregat trombosit menjadi bekuan hemostatik stabil (Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013).
Akhirnya, trombosit juga mengeluarkan faktor pertumbuhan, sebagai salah satu faktor pertama dalam memulai langkah penyembuhan selanjutnya. Faktor pertumbuhan ini melibatkan neutrofil dan monosit (memulai tahap berikutnya penyembuhan luka), merangsang sel-sel epitel dan fibroblas. Hemostasis terjadi dalam beberapa menit dari cedera awal kecuali pada pasien yang memiliki gangguan pembekuan.
b. Fase Inflamasi
Secara klinis, inflamasi (fase kedua penyembuhan luka) bermanifestasi sebagai eritema, bengkak, dan hangat, sering timbul nyeri atau dikenal dengan istilah ”rubor et tumor cum calore et dolore”. Fase ini biasanya berakhir hingga 4 hari pasca luka terjadi. Respon inflamasi menyebabkan pembuluh darah mengalami kebocoran, melepaskan plasma dan neutrofil ke jaringan sekitarnya. Neutrofil memfagosit debris dan mikroorganisme serta menyediakan garis pertahanan pertama terhadap infeksi. Selama proses pencernaan bakteri dan selular debris, neutrofil mati dan melepaskan enzim intraseluler ke matriks sekitarnya yang kemudian mencerna jaringan. Fibrin kemudian mengalami pemecahan sebagai respon pembersihan dimana produk hasil degradasinya merangsang sel berikutnya yang terlibat dalam
(28)
13
proses tersebut seperti fibroblas dan sel epitel. Hal ini diperantarai oleh mast cell lokal (Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013).
Penyembuhan luka memerlukan koordinasi aktivitas dan hubungan antar sel yang baik. Sel berhubungan satu sama lain melalui protein terlarut yang disebut sitokin dan faktor pertumbuhan. Sitokin dan faktor pertumbuhan tersebut dikeluarkan oleh suatu sel dan berikatan dengan reseptor pada sel target. Ketika sitokin berikatan dengan sel target, ia menstimulasi migrasi sel. Disisi lain faktor pertumbuhan menstimulasi sel target untuk membelah dan memproduksi atau mensintesis sel baru sampai mengeluarkan substansi seperti kolagen yang diperlukan dalam pembentukan matriks ekstraselular. Matriks ekstraselular juga berperan aktif dalam penyembuhan luka dengan interaksi sel-sel melalui reseptor bernama integrin, merangsang aktivasi platelet, migrasi epitel dan pergerakan fibroblas. Monosit di sirkulasi berdiferensiasi menjadi makrofag setelah sel tersebut keluar dari pembuluh darah dan melakukan kontak dengan matriks ekstraselular (Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013).
c. Fase Proliferasi
Fase proliferasi dimulai sekitar 4 hari setelah terjadinya luka dan biasanya berlangsung sampai hari ke 21 pada luka akut, tergantung pada ukuran luka dan kesehatan pasien. Hal ini ditandai dengan angiogenesis, deposisi kolagen, pembentukan jaringan granulasi, kontraksi dan epitelisasi luka. Secara klinis, proliferasi ditandai oleh berwarna kemerahan pada jaringan atau kolagen di dasar luka dan melibatkan penggantian jaringan kulit dan
(29)
14
kadang-kadang subdermal jaringan pada luka yang lebih dalam, serta kontraksi luka. Dalam fase ini pertumbuhan lapisan luar pembuluh darah kapiler dan sel-sel endotel. Proses ini disebut angiogenesis. Sel keratinosit, yang bertanggung jawab untuk epitelisasi (Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013).
Dalam penyembuhan luka, sel-sel di bawah pengaruh faktor pertumbuhan membelah untuk menghasilkan sel-sel baru, yang bermigrasi ke tempat luka di bawah pengaruh sitokin. Ada keseimbangan antara MMP dan TIMPs sehingga terdapat pertumbuhan jaringan baru. Pada luka kronik, sebaliknya, di mana fase penyembuhan terhenti, pembelahan sel dan migrasi ditekan, terdapat sitokin inflamasi dan MMP yang tinggi dan, rendahnya tingkat TIMPs dan faktor pertumbuhan. Respon ini adalah karakteristik dari keadaan inflamasi kronik. Ini mungkin disebabkan oleh peningkatan jumlah bakteri, adanya jaringan nekrotik, iskemia kronik atau trauma berulang. Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai faktor pertumbuhan yang dibentuk oleh makrofag dan trombosit (Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013).
d. Fase Remodelling
Proses penyembuhan luka melibatkan remodeling dan penataan kembali jaringan luka dari jaringan kolagen untuk menghasilkan tensil dengan kekuatan yang lebih besar. Sel-sel utama yang terlibat dalam proses ini adalah fibroblas. Fase remodeling bias memerlukan waktu hingga dua tahun
(30)
15
setelah luka terjadi. Selama fase ini fibrin dibentuk ulang, pembuluh darah menghilang dan jaringan memerkuat susunannya. Remodelling mencakup sintesis dan pemecahan kolagen (Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013).
Tabel 1. Fase Penyembuhan luka
Fase Penyembuhan Luka
Waktu Sel yang Berperan Fungsi atau
Aktivitas
Hemostasis Segera Platelet Pembekuan darah
Inflamasi Hari 1-4 Neutrofil
Makrofag
Fagositosis
Proliferasi (granulasi dan kontraksi)
Hari 4-21 Makrofag
Limfosit Angiosit Neutrosit Fibroblas Keratinosit
Membentuk kembali kerusakan jaringan Memperbaiki kembali fungsi kulit
Penutupan luka
Remodelling (Maturasi)
Hari 21-2 tahun Fibrosit Meningkatkan
kekuatan tensil Sumber: Orsted et al, 2004; Velnar, Bailey, dan Smrkolj, 2009
Indikator penyembuhan luka dilihat dari kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit sehingga mampu melakukan aktivitas normal. Meskipun proses atau fase penyembuhan luka sama bagi setiap orang, namun hasil yang dicapai tergantung dari kondisi biologis masing-masing individu, lokasi, luasnya luka dan penatalaksanaan luka itu sendiri. Seorang yang muda dan sehat akan mencapai proses yang lebih cepat dibandingkan dengan yang mengalami masalah kekurangan gizi, dan disertai oleh penyakit sistemik seperti DM (Purwaningsih, 2014).
Pada penderita DM, apabila kadar glukosa dalam tubuh tidak terkendali akan menyebabkan abnormalitas leukosit sehingga fungsi kemotaksis di lokasi radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bekterisid menurun
(31)
16
sehingga apabila ada mikroorganisme pada luka akan sulit untuk dimusnahkan oleh fagosistosis-bakterisia intraseluler. Kondisi hiperglikemia merupakan media pertumbuhan bakteri yang subur, sehingga kondisi ini meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus diabetik, yaitu kuman aerobik Staphylococcus atau Streptococcus serta kuman anaerobik seperti
Clostridium perfringens, Clostridium novy, Clostridium septikum (Riyanto, 2007). Pada DM, terjadi peningkatan mediator-mediator inflamasi, memicu respon inflamasi, menyebabkan inflamasi kronik, namun keadaan ini dianggap sebagai inflamasi derajat rendah, karena hiperglikemia sendiri menimbulkan ganggguan mekanisme pertahanan seluler. Inflamasi dan neovaskularisasi penting dalam penyembuhan luka, tetapi harus sekuensial, self-limited, dan dikendalikan secara ketat oleh interaksi sel-molekul. Pada DM respon inflamasi akut lemah dan angiogenesis terganggu sehingga terjadi gangguan penyembuhan luka (Tellechea
et al, 2010).
Menurut Schultz dan Mast, luka kronik dapat dicirikan dengan adanya penurunan aktivitas mitogenesis (fibroblas, keratinosit, dan sel endotel vaskular), peningkatan sitokin pro-inflamasi (seperti TNFa, IL-1β, dan TGF-β1), ketidakseimbangan aktivitas protease (peningkatan aktivitas MMP dan penurunan aktivitas TIMP), penurunan sitokin yang meningkatkan proliferasi (EGF dan TGF-β), penurunan proliferasi dan migrasi fibroblas, perubahan fenotif fibroblas, penurunan sintesis kolagen dan peningkatan produksi ROS dan NO (Purwaningsih 2014).
(32)
17
Proses proliferasi juga akan sulit diprediksi pada pasien DM dikarenakan sel basal keratinosit pada luka kronik sulit diaktivasi oleh tubuh. Selama proses proliferasi berlangsung, sel-sel akan bermigrasi ke dalam matriks sementara dan fibroblas luka memperoleh fenotipe kontraktil yang akan merubah menjadi miofibroblas. Tipe sel ini memainkan peran utama dalam kontraksi luka (Werner dan Groce, 2003).
Selain adanya mekanisme penyembuhan luka tingkat selular yang bekerja dalam tubuh, jangka waktu penyembuhan luka juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat mengurangi efisiensi penyembuhan, seperti area sekitar luka yang kurang higienis, efek samping dari pengobatan, gangguan vaskularissi pada luka berupa kondisi yang hipoksia, kebiasaan mengkonsumsi alkohol atau merokok, dan kurangnya suplai nutrisi. Penyembuhan luka juga akan dipengaruhi oleh faktor seperti infeksi bakteri yang menghasilkan biofilm, kadar kalium, dan cairan luka. Adanya biofilm pada dasar luka dapat menghambat aktivitas fagositosis neutrofil polimorfonuklear (polimorphonuclear neutrophil/PMN). Biofilm ini dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeuroginosa. Manifestasi klinis akibat adanya hambatan tersebut, yaitu proses inflamasi akan berlangsung lama dan kerusakan jaringan baru saat memasuki fase proliferasi (Guo dan DiPietro, 2010).
Penelitian lain menyebutkan ion kalium (K+) dalam sel dapat menghambat proliferasi yang berkaitan erat dengan respon fisiologis dari sel limfosit. Hambatan kalium juga akan menyebabkan aktivasi sel terganggu dan akan menimbulkan efek imunosupresif (Pardo, 2004). Sementara, pada cairan yang
(33)
18
dihasilkan dari luka kronik sangat berisiko menghambat proses proliferasi sel fibroblas baru karena cairan bersifat apoptosis atau mengandung jaringan mati. Cairan yang mengandung jaringan mati ini akan menghambat konsistensi migrasi dari hormon faktor pertumbuhan dan sitokin. Hal ini menyebabkan pemanjangan fase inflamasi dan memperlama proses penyembuhan luka (Moffat, Martin, dan Smithdale, 2007)
2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka secara umum adalah faktor intrinsik, yaitu (Purwaningsih, 2014):
a. Usia Pasien. Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan. Semakin tua usia maka jaringannya akan semakin kurang lentur.
b. Nutrisi. Pada proses penyembuhan luka faktor nutrisi sangat penting. Pada pasien yang mengalami penurunan tingkat diantaranya serum albumin, total limposit dan transferin adalah merupakan resiko terhambatnya proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan luka tidak hanya dipengaruhi oleh protein saja, vitamin A, E, dan C juga mempengaruhi dalam proses penyembuhan luka. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan berkurangnya makrofag yang konsekuensinya rentan terhadap infeksi, retardasi epitelialisasi, dan sistesis kolagen. Defisiensi vitamin E berpengaruh terhadap produksi kolagen. Sedangkan defisiensi vitamin C dapat menyebabkan kegagalan fibroblas untuk memproduksi kolagen, mudahnya terjadi ruptur pada kapiler dan rentan terhadap infeksi.
(34)
19
c. Hipovolemia. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka. d. Hematoma. Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka
secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.
e. Edema. Adanya edema dapat mengakibatkan penurunan suplai oksigen karena adanya gerakan peningkatan tekanan interstisial pada pembuluh. f. Insufisiensi Oksigen Jaringan. Diakibatkan karena adanya gangguan fungsi
organ paru, kardiovaskular, ataupun karena adanya vasokonstriksi setempat. Selain itu terdapat juga faktor ekstrinsik, yaitu (Purwaningsih, 2004; Suriadi, 2004):
a. Perawatan Jaringan. Cedera dan lambatnya penyembuhan dapat terjadi karena perawatan jaringan yang kasar.
b. Teknik Pembalutan Tidak Tepat. Pembalutan yang terlalu kecil dapat dimungkinkan terjadinya invasi mikroorganisme. Sedangkan pembalutan yang terlalu ketat akan mengakibatkan pengurangan suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan
c. Benda Asing. Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan leukosit (sel darah putih), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus”).
(35)
20
d. Medikasi Steroid. Medikasi steroid dapat menyamarkan adanya infeksi dengan mengganggu proses inflamasi normal.
e. Antikoagulan. Penggunaan antikoagulan pada luka dapat menyebabkan hemoragi.
f. Psikososial. Berbagai jenis faktor psikosial dapat memberikan efek merugikan pada penyembuhan luka seperti buruknya pemahaman dan penerimaan terhadap program pengobatan atau kecemasan yang berkaitan dengan perubahan pada pekerjaan, penghasilan, hubungan pribadi dan body image.
2.1.6 Manajemen Luka Diabetes
Manajemen luka diabetes merupakan tanggung jawab multidisplin. Tim yang terlibat dalam manajemen luka diabetes antara lain perawat, dokter, podiatris, dan perawat spesialis diabetes untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi hasil perawatan (Potter dan Perry, 2006).
Tujuan manajemen luka diabetes adalah menjaga kerusakan lebih lanjut dan memaksimalkan kualitas hidup selanjutnya. Intervensi untuk mencapai tujuan ini adalah dengan melakukan edukasi preventif, dan menjalankan program yang ditetapkan. Manajemen luka diabetes nonsurgical terdiri dari menjaga moist pada lingkungan luka, debridement jaringan nekrotik, mengurangi tekanan pada area luka, meningkatkan kekuatan otot pada ekstremitas (Hess, 2002). Pengelolaan luka diabetes berhubungan dengan pengurangan penekanan, pengendalian infeksi, perbaikan iskemia dan menjaga lingkungan luka yang dapat meningkatkan proses penyembuhan.
(36)
21
Pengurangan penekanan pada area luka dengan mengistirahatkan dan mengelevasikan ekstremitas harus dilakukan sesegera mungkin. Cara yang digunakan adalah dengan menggunakan alat bantu jalan, misalnya dengan menggunakan kruk, walker atau kursi roda. Selanjutnya adalah pengendalian infeksi. Pada umumnya luka diabetes mengalami infeksi mikroorganisme sehingga harus dilakukan kultur luka. Kultur luka yang harus dilakukan adalah kultur luka bagian dalam akan menunjukkan hasil yang lebih reliable terhadap kondisi luka. Dengan kultur antibiotik yang diberikan akan lebih sensitif. Selanjutnya, perawatan luka. Perawatan luka yang diberikan pada pasien harus dapat meningkatkan proses penyembuhan luka. Pembersihan luka dilakukan minimal dua kali dalam sehari. Perawatan yang bersifat memberi kehangatan dan lingkungan yang moist pada luka (Sartika, 2008). Balutan luka yang bersifat lembab dapat memberikan lingkungan yang mendukung sel untuk melakukan suatu proses penyembuhan luka dan mencegah terjadinya trauma atau kerusakan ulangan yang memperparah kondisi luka. Kondisi luka yang lembab pada permukaan luka dapat meningkatkan proses perkembangan perbaikan kondisi luka, mencegah dehidrasi jaringan dan nekrosis sel. Kondisi ini juga dapat meningkatkan interaksi antara sel dan faktor pertumbuhan (Carolina, 2014). 2.1.7 Kriteria Penyembuhan Luka
Push Score (length x widht, tissue type, exudate amount) adalah salah satu acuan dalam identifikasi proses penyembuhan luka. Luka dikatakan mengalami proses penyembuhan jika mengalami proses fase respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi (Morison, 2004).
(37)
22
Kemudian disertai dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah eksudat berkurang, jaringan luka semakin membaik (NPUAP, 2009).
2.2 Tanaman Kembang Sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) 2.2.1 Deskripsi dan Taknosonomi Tanaman
Tanaman kembang sepatu ( Hibiscus rosa sinensis Linn.) merupakan anggota tanaman yang dikelompokkan dalam family Malvaceae. Tanaman ini tumbuh sebagai tanaman perdu hijau. Tanaman kembang sepatu tumbuh di daerah dataran rendah sampai pegunungan. Tanaman kembang sepatu dengan nama ilmiah Hibiscus rosa sinensis Linn. dideskripsikan pertama kali oleh Linneaeus pada tahun 1753. Deskripsi Linneaeus merujuk pada tanaman dengan tipe bunga double
berwarna merah, yang ditemukan di sekitar bangunan kuil di Cina. Beers dan Howie (1990) menjelaskan bahwa kata pertama penunjuk spesies yaitu rosa
memiliki arti mawar, dan kata kedua penunjuk spesiesnya (sinensis), memiliki arti berasal dari Cina. Dengan demikian, secara istilah, tanaman ini diartikan sebagai bunga Hibiscus mawar yang berasal dari Cina (Hajar, 2011).
Gambar 1. Tanaman Kembang Sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.)
(38)
23
Tanaman ini memiliki berbagai nama lain di berbagai negara diantaranya tanaman mawar china, dasani, gudhal, gurhal, jaba, joba, mandaar, sadaphool, senicikobia, japaphool, japa, japakusam, jasum, jasunt, jaswand, jia pushpa, kante, mandasa, sambathoo chedi, senitoa dan yaloyalo. Adapun taksonomi tanaman kembang sepatu adalah sebagai berikut (Kumar dan Singh, 2012; Pekamwar S.S et al, 2013).
a. Kingdom: Plantae
b. Subkingdom: Tracheobionta – (Vascular plants) c. Super division: Spermatophyta – (Seed plants) d. Division: Magnoliophyta –(Flowering plants) e. Class: Magnoliopsida – (Dicotyledons) f. Subclass: Dilleniidae
g. Order: Malvales h. Family: Malvaceae i. Genus: Hibiscus
j. Species: Hibiscus rosa-sinensis Linn.
Tanaman ini dapat mencapai tinggi kurang lebih tiga meter, dengan karakteristik batang bulat, berkayu, keras, diameter kurang lebih sembilan sentimeter, berwara ungu ketika muda dan setelah tua berwarna putih dengan cokelat melintang (Iqbal dan Sulistyorini, 2014). Kembang sepatu memiliki akar silindris dengan panjang 5-15 cm dan diameter dua sentimeter. Akar memiliki rasa manis. Bunga kembang sepatu terdiri dari 5 kelopak, berwarna merah dengan diameter sekitar tiga inci. Selain warna merah juga terdapat warna putih, orange,
(39)
24
kuning dan merah muda. Buah jarang terbentuk, berukuran panjang tiga sentimeter berbentuk kapsul (Nwachukwu dan Mbagwu, 2007)..
Tanaman kembang sepatu memiliki daun yang sederhana, alternate, stipulate, petiolate atau multifoliate. Daun tunggal, dengan ujung yang runcing, pangkal tumpul, tepi bergerigi kasar, tulang daun menjari, anjang 10-16 cm, lebar 5-11 cm, daun berwarna hijau (Nwachukwu dan Mbagwu, 2007). Bagian tanaman kembang sepatu yang dapat digunakan antara lain bunga, daun dan akarnya (Kumar dan Singh, 2012). Penggunaan daun kembang sepatu sebagai alternatif dalam mengatasi masalah kesehatan masih rendah. Dalam masyarakat umum, tanaman asli daerah tropis dan sub-tropis ini secara luas dibudidayakan sebagai tanaman hias ataupun dijadikan tanaman pagar pembatas (Siregar dan Nurlela, 2011).
2.2.2 Kandungan Kimia dan Khasiat Daun Kembang Sepatu dalam Proses Penyembuhan Luka
Daun kembang sepatu mengandung kandungan bioaktif seperti glikosida, steroid, triterpens, fenol, flavonoid, saponin dan tannin. Komponen fenol total pada daun kembang sepatu setara dengan 48,4 mg catechol /g berat kering dan flavonoid setara dengan 24,26 mg quercetin /g berat kering (Faten et al, 2012; Patel et al, 2012). Kandungan lainnya adalah cyanidin, kalsium oksalat, tiamin, riboflavin, niasin, asam malvalat, alkaloid, asam askorbat dan β-Sitosterol (Kate dan Lucky, 2010; Patel et al, 2012; Pekamwar et al, 2013).
Berbagai penelitian menunjukkan daun kembang sepatu dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan diantaranya mengatasi androgenic alopecia
(40)
25
, memperbaiki fungsi ginjal , mengurangi keasamaan lambung dan penanganan ulkus peptikum , obat demam pada anak-anak, obat batuk dan obat sariawan (Kate dan Lucky, 2009; Mandade et al, 2011; Pac et al 2014).
Terkait dengan penyembuhan luka, ekstrak daun kembang sepatu memiliki aktivitas sebagai antidiabetes. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sachdewa (2001) yang menemukaan bahwa ekstrak daun kembang sepatu dengan dosis 250 mg/Kg memiliki aktivitas hipoglikemik setara dengan tolbutamide. Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Moqbel et al. (2011) yang menyatakan bahwa ekstrak daun kembang sepatu memiliki efek insulinotropik alami dan agen hipoglikemik.
Daun kembang sepatu memiliki aktivitas antifungi terhadap Rhizoctonia solani hingga 34,50%, aktivitas anti-inflamasi, merangsang pertumbuhan rambut, analgesik, antipiretik, anatibakteri dan anatioksidan. Flavonoid memiliki efek antimikroba, antivirus, anti-ulcerogenic, anti-neoplastik, antioksidan, antihepatotoksik, antihipertensi, hipolipidemik, dan aktivitas anti-inflamasi. Aktivitas anti-inflamasi flavonoid terjadi di kedua fase inflamasi yaitu fase proliferasi dan eksudatif (Rathee et al, 2009). Penelitian telah menunjukkan bahwa efek ini disebabkan penghambatan enzim yang terlibat dalam biosintesis prostaglandin (misalnya, lipoksigenase, fosfolipase, dan siklooksigenase) (Manthey, 2000). Flavonoid memiliki kemampuan immunomodulator yang dapat mengaktivasi makrofag (Titisanti, 2005). Makrofag yang aktif berfungsi untuk melakukan fagositosis, memproduksi TNF, perbaikan jaringan (fibroblast stimulating factor, fibrinectin, kolagenase), sitokin dan memproduksi hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi
(41)
26
dan proses mitogen fibroblas yang penting dalam proses penyembuhan luka serta berperan pada reepitelisasi dan angiogenesis. Efek perlindungan dari flavonoid dalam sistem biologikal adalah kapasitasnya untuk mentransfer elektron kepada radikal bebas, mengikat katalis logam, mengaktifkan antioksidan enzimatik, mengurangi radikal α-tocopherol, dan menghambat oksidase (Heim et al, 2002). Kemampuan untuk membasmi radikal bebas utamanya disebabkan karena reaktifitas yang tinggi dari gugus hydroxyl flavonoid dengan reaksi sebagai berikut ;
F-OH + R. F-O.+ RH
Efek chelating dari flavonoid dengan menetralkan ion besi dari kelebihan besi dalam sel hepar, sehingga menghambat kerusakan oksidatif.
Kandungan lainnya adalah saponin. Saponin merupakan komponen sekunder yang ditemukan dalam banyak tanaman dapat berbentuk busa stabil dalam larutan yang mengandung air, seperti sabun. Secara kimiawi, saponin sebagai sebuah grup yang meliputi glycosylated steroid, triterpenoids dan steroid alkaloids. Sebagai antioksidan, saponin mempunyai kekuatan mereduksi, aktivitas membasmi radikal superoksida, aktivitas mengikat logam, dan antibakteri (Li et al, 2007). Aktivitas ini berpengaruh pada kontraksi luka dan meningkatkan kecepatan dalam epitelisasi luka. Daun kembang sepatu juga mengandung tanin. Berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah kerusakan oksidatif DNA dengan dua cara, yaitu mengikat logam terutama besi dan secara langsung membasmi radikal bebas. Kandungan triterpen meningkatkan penyembuhan luka dengan efek astringent dan antimikroba (Ambiyani, 2013). Selain itu efek antioksidan eksogen
(42)
27
dalam mengurangi dampak ROS dilaporkan merupakan strategi penting dalam peningkatan proses penyembuhan luka, misalnya asam askorbat. Asam askorbat juga berperan dalam penutupan luka saat terjadi pendarahan dan memberikan perlindungan lebih dari infeksi mikroorganisme patogen (Naidu, 2003).
2.2.3 Ekstraksi Daun Kembang Sepatu
Ektraksi serbuk kering jaringan tumbuhan dapat dilakukan secara maserasi, perkolasi, refluks atau sokhletasi dengan menggunakan pelarut yang tingkat kepolarannya berbeda-beda. Daun kembang sepatu di ekstrak dengan cara maserasi (Harbone, 1996; Kristanti, dkk.,, 2008).
Maserasi adalah proses perendaman sampel untuk menarik komponen yang kita inginkan, dengan kondisi dingin diskontinyu. Keuntungan dari maserasi adalah lebih praktis, pelarut yang digunakan lebih sedikit dibandingkan perkolasi dan tidak memerlukan pemanasan, sedangkan kekurangannya adalah waktu yang dibutuhkan lebih lama. Serbuk simplisia daun kembang sepatu sebanyak 100 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian direndam dengan etanol 95% sebanyak 750 ml, ditutup dengan menggunakan alumunium foil dan dibiarkan selama 5 hari sambil sesekali diaduk. Setelah 5 hari, sampel yang direndam tersebut disaring dengan kertas saring menghasilkan filtrat 1 dan ampas 1. Ampas yang ada kemudian direndam kembali dengan etanol 95% sebanyak 250 ml, ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan selama 2 hari sambil sesekali diaduk. Setelah 2 hari sampel tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring menghasilkan filtrat 2 dan ampas 2. Filtrat 1 dan 2 dicampur menjadi satu, lalu dievaporasi menggunakan rotary evaporator dengan pemanasan 34-40OC dan
(43)
28
dikentalkan dengan waterbath, sehingga diperoleh filtrat kental daun kembang sepatu. Filtrat ditimbang dan disimpan dalam wadah gelas tertutup sebelum digunakan (Kairupan, Fatimawali, Lolo, 2014).
2.3 Sediakan Obat Topikal
Kata topikal berasal dari bahasa Yunani, topikos yang artinya berkaitan dengan daerah permukaan tertentu (Koesoemawati, dkk., 2002). Dalam literatur lain disebutkan kata topikal berasal dari kata topos yang berarti lokasi atau tempat. Secara luas obat topikal didefi nisikan sebagai obat yang dipakai di tempat lesi (Sharma, 2008). Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar yaitu zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen bahan topikal yang memiliki efek terapeutik, sedangkan zat pembawa adalah bagian inaktif dari sediaan topikal dapat berbentuk cair atau padat yang membawa bahan aktif berkontak dengan kulit. Idealnya zat pembawa mudah diaplikasikan, mudah dibersihkan, tidak mengiritasi serta menyenangkan secara kosmetik. Selain itu, bahan aktif harus berada di dalam zat pembawa dan kemudian mudah dilepaskan.
Untuk mendapatkan sifat zat pembawa seperti tersebut, maka ditambahkanlah bahan atau unsur senyawa tertentu yang berperan dalam memaksimalkan fungsi dari zat pembawa (Yahhendri dan Yenny, 2012).
Sediaan topikal secara umum dilihat dari aspek farmakokinetik, menggambarkan perjalanan bahan aktif dalam konsentrasi tertentu yang diaplikasikan pada kulit dan kemudian diserap ke lapisan kulit, selanjutnya
(44)
29
didistribusikan secara sistemik (Yahhendri dan Yenny, 2012). Perjalanan sediaan topikal secara umum, setelah diaplikasikan akan melewati tiga kompartemen, yaitu: permukaan kulit, stratum korneum, dan jaringan sehat. Stratum korneum dapat berperan sebagai reservoir bagi vehikulum tempat sejumlah unsur pada obat masih berkontak dengan permukaan kulit namun belum berpenetrasi tetapi tidak dapat dihilangkan dengan cara digosok atau terhapus oleh pakaian. Unsur vehikulum sediaan topikal dapat mengalami evaporasi, selanjutnya zat aktif berikatan pada lapisan yang dilewati seperti pada epidermis dan dermis. Pada kondisi tertentu sediaan obat dapat membawa bahan aktif menembus hipodermis. Sementara itu, zat aktif pada sediaan topikal akan diserap oleh vaskular kulit pada dermis dan hipodermis (Schaefer et al, 2008).
Ketika sediaan topikal diaplikasikan pada kulit, terjadi tiga reaksi, yaitu (Yahhendri dan Yenny, 2012):
a. Solute vehicle interaction: interaksi bahan aktif terlarut dalam vehikulum. Idealnya zat aktif yang terlarut dalam vehikulum tetap stabil dan mudah dilepaskan. Interaksi ini telah ada dalam sediaan.
b. Vehicle skin interaction: merupakan interaksi vehikulum dengan kulit. Saat awal diaplikasikan, fungsi reservoir kulit terhadap vehikulum.
c. Solute Skin interaction: interaksi bahan aktif terlarut dengan kulit. Saat suatu sediaan diaplikasikan ke kulit, absorpsinya akan melalu tiga fase, yaitu lag phase, rising phase, falling phase.
(45)
30
1) Lag phase
Periode ini merupakan saat sediaan diaplikasikan dan belum melewati stratum korneum, sehingga pada saat ini belum ditemukan bahan aktif obat dalam pembuluh darah.
2) Rising phase
Fase ini dimulai saat sebagian sediaan menembus stratum korneum, kemudian memasuki kapiler dermis, sehingga dapat ditemukan dalam pembuluhdarah.
3) Falling phase
Fase ini merupakan fase pelepasan bahan aktif obat dari permukaan kulit dan dapat dibawa ke kapiler dermis.
(46)
31
Penetrasi sediaan topikal melewati beberapa macam jalur. Jalur pertama adalah penetrasi transpidermal. Penetrasi transpidermal dapat secara interseluler dan intraseluler. Penetrasi interseluler merupakan jalur yang dominan, obat akan menembus stratum korneum melalui ruang antar sel pada lapisan lipid yang mengelilingi sel korneosit. Difusi dapat berlangsung pada matriks lipid protein dari stratum korneum. Setelah berhasil menembus stratum korneum obat akan menembus lapisan epidermis sehat di bawahnya, hingga akhirnya berdifusi ke pembuluh kapiler. Penetrasi secara intraseluler terjadi melalui difusi obat menembus dinding stratum korneum sel korneosit yang mati dan juga melintasi matriks lipid protein startum korneum, kemudian melewatinya menuju sel yang berada di lapisan bawah sampai pada kapiler di bawah stratum basal epidermis dan berdifusi ke kapiler. Jalur kedua yaitu penetrasi secara transfolikuler. Beberapa zat aktif dengan molekul kecil tidak hanya melewati sel-sel kornium, tetapi juga melewati rute folikular. Obat berdifusi melalui celah folikel rambut dan juga kelenjar sebasea untuk kemudian berdifusi ke kapiler (Cross dan Robert, 2008).
Tingkat penyerapannya sediaan topikal dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu sebagai berikut (Ansel, 1995).
a. Bahan aktif yang dicampurkan dalam pembawa tertentu harus menyatu pada permukaan kulit dalam konsentrasi yang cukup.
b. Konsentrasi bahan aktif merupakan faktor penting, jumlah obat yang diabsorpsi secara perkutan perunit luas permukaan setiap periode waktu,
(47)
32
bertambah sebanding dengan bertambahnya konsentrasi obat dalam suatu pembawa.
c. Penggunaan bahan obat pada permukaan yang lebih luas akan menambah jumlah obat yang diabsorpsi.
d. Absorpsi bahan aktif akan meningkat jika pembawa mudah menyebar ke permukaan kulit.
e. Ada tidaknya pembungkus dan sejenisnya saat sediaan diaplikasikan.
f. Pada umumnya, menggosokkan sediaan akan meningkatkan jumlah bahan aktif yang diabsorpsi.
g. Absorpsi perkutan akan lebih besar bila sediaan topikal dipakai pada kulit yang lapisan tanduknya tipis.
h. Pada umumnya, makin lama sediaan menempel pada kulit, makin banyak kemungkinan diabsorpsi.
Salah satu sediaan topikal adalah gel. Gel merupakan sediaan setengah padat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel organik dan anorganik. Sediaan gel memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan sediaan topikal lainnya yaitu mampu berpenetrasi lebih jauh dari krim, sangat baik dipakai untuk area berambut, tidak lengket, kemampuan penyebaran yang baik pada kulit, efek dingin karena impermeable terhadap air dan pelepasan obat yang baik. Penetrasi gel mampu menembus lapisan hipodermis sehingga banyak digunakan pada kondisi yang memerlukan penetrasi seperti sediaan gel analgetik. Rute difusi jalur transfolikuler gel juga baik, disebabkan kemampuan gel membentuk lapisan
(48)
33
absorpsi (Panjaitan, dkk., 2012, Lachman et al, 2008; Voight, 1994; Yahhendri dan Yenny, 2012).
Cara aplikasi sediaan obat topikal pada umumnya disesuaikan dengan lesi pada permukaan kulit. Salah satu metode aplikasi gel adalah dengan dioleskan. Banyaknya sediaan yang dioleskan disesuaikan dengan luas dam kelainan pada kulit.
Penambahan cara oles sediaan dengan menggosok dan menekan juga dilakukan pada obat topikal dengan tujuan memperluas daerah aplikasi namun juga meningkatkan suplai darah pada area lokal, memperbesar absorpsi sistemik. Penggosokan ini mengakibatkan efek eksfoliatif lokal yang meningkatkan penetrasi obat (Schaefer et al, 2008). Sediaan topikal akan dapat memberikan efek terapeutik secara sistemik apabila obat yang diberikan tersebut dapat menembus lapisan kulit dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik (Ansel, 1989).
2.4 Pengaruh Pemberian Aloksan Terhadap Tikus Galur Wistar sebagai Hewan Model Diabetes Melitus
Percobaan penelitian mengenai penyembuhan luka diabetes dengan menggunakan hewan model berupa tikus galur wistar didasarkan pada patogenesis penyakit DM pada manusia yang bersifat kronik. Kondisi patologis pada hewan model bertujuan untuk melakukan melihat efektivitas terapi pada luka diabetes dengan kondisi DM. Meskipun demikian, kondisi patologis hewan model tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi patologis secara nyata pada manusia.
(49)
34
Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi hewan model untuk menghasilkan kondisi diabetes eksperimental (hiperglikemia) secara cepat. Aloksan adalah suatu substrat yang secara struktural adalah derivat pirimidin sederhana. Nama lain dari aloksan adalah 2,4,5,6 - tetraoxypirimidin; 2,4,5,6-primidinetetron; 1,3-Diazinan-2,4,5,6-tetron (IUPAC) dan Mesoxalylurea 5-oxobarbiturat acid. Rumus kimia aloksan adalah C4H2N2O4. Aloksan murni diperoleh dari oksidasi asam urat oleh asam nitrat. Aloksan adalah senyawa kimia tidak stabil dan senyawa hidrofilik (Yuriska, 2009).
Aloksan merupakan zat kimia yang sering digunakan dalam induksi hewan model DM dimana zat ini secara selektif merusak sel β pankreas. Kerusakan sel ini akibat induksi aloksan diduga karena reduksi aloksan menghasilkan radikal hidroksil yang dapat menyebabkan kematian sel β pankreas. Hal tersebut dapat menyebabkan kondisi ‘alloxan diabetes’ (Lenzen, 2007). Dosis aloksan 150 mg/kgBB yang diinjeksi secara intraperitoneal dipilih karena dosis ini merupakan dosis optimal untuk menyebabkan kondisi diabetes yang stabil dalam jangka waktu yang lama (Szkudelski, 2001). Setelah 3 hari injeksi aloksan, dilakukan pengambilan darah dari ekor tikus untuk mengukur kadar glukosa darah tikus karena dalam waktu 12-48 jam pasca induksi aloksan telah terjadi kondisi hiperglikemia yang menetap (Lenzen, 2007). Hewan coba yang belum diberikan makanan diambil dari kandang, kemudian diambil sampel darahnya dari bagian ekor dengan cara ditusuk menggunakan jarum steril, darah dikeluarkan dari ekor tikus, diaplikasikan pada glucose strip dan dilihat hasilnya pada monitor. Setiap tikus dievaluasi dan dilihat tingkat keberhasilan peningkatan gula darahnya, untuk
(50)
35
hewan coba yang tidak berhasil mengalami peningkatan gula darah yang diinginkan, hewan coba akan dilakukan induksi ulang (Carolina, 2014).
2.5 Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar
2.5.1 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar Tikus putih diklasifikasikan sebagai berikut (Sugiyanto, 1995). a. Filum: Chordata
b. Subfilum: Vertebrata c. Classis: Mammalia d. Subclassis: Placentalia e. Ordo: Rodentia
f. Familia: Muridae g. Genus: Rattus
h. Species: Rattus norvegicus
2.5.2 Karakteristik Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar
Tikus putih galur wistar memiliki sifat karakteristik relatif resisten terhadap infeksi dan memiliki kemampuan sangat cerdas. Tikus tidak seperti mencit yang fotofobik dan cenderung berkumpul dengan sesamanya sehingga aktivitasnya pun tidak terganggu oleh kehadiran manusia (Setiawan, 2010). Tikus putih galur wistar memiliki ciri kepala lebar, telinga panjang, dan mempunyai ekor yang panjangnya tidak melebihi panjang tubuhnya, berbulu putih, mata berwarna merah, moncong tumpul, telinga dan mata kecil. Memakan segala
(51)
36
(omnivora) namun lebih menyukai daging dan kacang, ahli berenang, bisa memanjat namun tidak ahli (Sugiyanto, 1995).
Dalam penelitian biasanya lebih sering menggunakan tikus jantan sebagai binatang percobaan karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus putih betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibandingkan tikus betina (Ratnaningtyas, 2010). Tikus galur wistar jantan jarang berkelahi dibandingkan dengan mencit jantan. Tikus galur wistar bisa tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan mencit yaitu dengan panjang 18-25 cm, sehingga untuk percobaan di laboratorium, tikus putih lebih menguntungkan dibandingkan dengan mencit (Setiawan, 2010).
Wang Jinheng dalam penjelasannya mengatakan beberapa alasan tikus putih galur wistar digunakan dalam penelitian karena memiliki banyak keunggulan. Pertama, banyak gen tikus wistar relatif mirip dengan manusia. Kedua, sebagai binatang menyusui (mammalia), tikus galur wistar memiliki organ yang lengkap dan kemampuan berkembang biak tikus galur wistar sangat tinggi, sangat cocok digunakan dalam eksperimen masal. Selain hal tersebut, tipe bentuk badan tikus tersebut kecil, mudah dipelihara dan obat yang digunakan di tubuhnya relatif cepat bermanifestasi, dikarenakan fisiologisnya yang mirip dengan manusia (Setiawan, 2010).
(52)
37
2.5.3 Persiapan Tikus Putih (Rattus novergicus L.) Galur Wistar
Tikus putih galur wistar akan diberikan penomoran sesuai dengan kelompok sampel dan kemudian dimasukkan ke kandang sesuai dengan kelompok, baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
2.5.4 Persiapan Pakan dan Minum Tikus Putih (Rattus novergicus L.) Galur Wistar
Komposisi pakan standar pada tikus dapat sedikit bervariasi, misalnya protein 20-25% (tetapi hanya 12% kalau protein itu lengkap dengan semua asam amino esensial dengan konsentrasi yang benar); lemak 5%; karbohidrat 45-50%; serta kasar kira-kira 5% dan abu 4-5%. Seekor tikus dewasa makan sekitar 12-20 g makanan/hari (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pemberian dilakukan pada pagi atau sore hari. Minum diberikan dengan menggunakan botol ukuran 150 cc dan ditempatkan diatas kandang. Pakan yang diberikan yaitu BR-1 (broiler 1). Jenis minuman yang diberikan adalah air meneral. Pakan dan minum tikus diberikan secara ad libitum.
2.5.5 Kandang Hewan Coba Tikus Putih (Rattus novergicus L.) Galur Wistar
Kandang hewan coba terbuat dari kotak plastik yang bagian atasnya ditutup dengan menggunakan kawat besi yang telah dipilin. Dilengkapi juga dengan tempat untuk minum. Ukuran kandang yang dianjurkan adalah 900 cm2 untuk sepasang bibit tikus dan 1.080 cm2 cukup untuk seekor induk dengan 14 anak. Pada waktu disapih, kurang lebih 10 ekor tikus dapat ditempatkan di
(53)
38
kandang yang lebih besar. Apabila tikus sudah mencapai dewasa, maka 4-5 ekor tikus adalah jumlah terbanyak yang dapat ditempatkan dalam kandang dengan ukuran tersebut. Tikus akan dibuat hidup secara alami dalam kandang pada suhu ruangan berkisar antara 20-25oC (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Untuk makanannya, diberikan secara langsung ke tikus dengan cara menaburkan ke dalam kotak setiap hari yaitu pada pagi atau sore hari. Kandang dan tempat minum tikus dibersihkan dengan menggunakan sabun, kemudian kotak kandang dijemur hingga kering dan di dalamnya diberikan alas dengan menggunakan serbuk kayu. Pembersihan kandang dan penggantian serbuk kayu dilakukan minimal setiap seminggu sekali (Carolina, 2014).
(1)
33
absorpsi (Panjaitan, dkk., 2012, Lachman et al, 2008; Voight, 1994; Yahhendri dan Yenny, 2012).
Cara aplikasi sediaan obat topikal pada umumnya disesuaikan dengan lesi pada permukaan kulit. Salah satu metode aplikasi gel adalah dengan dioleskan. Banyaknya sediaan yang dioleskan disesuaikan dengan luas dam kelainan pada kulit.
Penambahan cara oles sediaan dengan menggosok dan menekan juga dilakukan pada obat topikal dengan tujuan memperluas daerah aplikasi namun juga meningkatkan suplai darah pada area lokal, memperbesar absorpsi sistemik. Penggosokan ini mengakibatkan efek eksfoliatif lokal yang meningkatkan penetrasi obat (Schaefer et al, 2008). Sediaan topikal akan dapat memberikan efek terapeutik secara sistemik apabila obat yang diberikan tersebut dapat menembus lapisan kulit dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik (Ansel, 1989).
2.4 Pengaruh Pemberian Aloksan Terhadap Tikus Galur Wistar sebagai Hewan Model Diabetes Melitus
Percobaan penelitian mengenai penyembuhan luka diabetes dengan menggunakan hewan model berupa tikus galur wistar didasarkan pada patogenesis penyakit DM pada manusia yang bersifat kronik. Kondisi patologis pada hewan model bertujuan untuk melakukan melihat efektivitas terapi pada luka diabetes dengan kondisi DM. Meskipun demikian, kondisi patologis hewan model tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi patologis secara nyata pada manusia.
(2)
34
Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi hewan model untuk menghasilkan kondisi diabetes eksperimental (hiperglikemia) secara cepat. Aloksan adalah suatu substrat yang secara struktural adalah derivat pirimidin sederhana. Nama lain dari aloksan adalah 2,4,5,6 - tetraoxypirimidin; 2,4,5,6-primidinetetron; 1,3-Diazinan-2,4,5,6-tetron (IUPAC) dan Mesoxalylurea 5-oxobarbiturat acid. Rumus kimia aloksan adalah C4H2N2O4. Aloksan murni diperoleh dari oksidasi asam urat oleh asam nitrat. Aloksan adalah senyawa kimia tidak stabil dan senyawa hidrofilik (Yuriska, 2009).
Aloksan merupakan zat kimia yang sering digunakan dalam induksi hewan model DM dimana zat ini secara selektif merusak sel β pankreas. Kerusakan sel ini akibat induksi aloksan diduga karena reduksi aloksan menghasilkan radikal hidroksil yang dapat menyebabkan kematian sel β pankreas. Hal tersebut dapat menyebabkan kondisi ‘alloxan diabetes’ (Lenzen, 2007). Dosis aloksan 150 mg/kgBB yang diinjeksi secara intraperitoneal dipilih karena dosis ini merupakan dosis optimal untuk menyebabkan kondisi diabetes yang stabil dalam jangka waktu yang lama (Szkudelski, 2001). Setelah 3 hari injeksi aloksan, dilakukan pengambilan darah dari ekor tikus untuk mengukur kadar glukosa darah tikus karena dalam waktu 12-48 jam pasca induksi aloksan telah terjadi kondisi hiperglikemia yang menetap (Lenzen, 2007). Hewan coba yang belum diberikan makanan diambil dari kandang, kemudian diambil sampel darahnya dari bagian ekor dengan cara ditusuk menggunakan jarum steril, darah dikeluarkan dari ekor tikus, diaplikasikan pada glucose strip dan dilihat hasilnya pada monitor. Setiap tikus dievaluasi dan dilihat tingkat keberhasilan peningkatan gula darahnya, untuk
(3)
35
hewan coba yang tidak berhasil mengalami peningkatan gula darah yang diinginkan, hewan coba akan dilakukan induksi ulang (Carolina, 2014).
2.5 Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar
2.5.1 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar Tikus putih diklasifikasikan sebagai berikut (Sugiyanto, 1995). a. Filum: Chordata
b. Subfilum: Vertebrata c. Classis: Mammalia d. Subclassis: Placentalia e. Ordo: Rodentia
f. Familia: Muridae g. Genus: Rattus
h. Species: Rattus norvegicus
2.5.2 Karakteristik Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar
Tikus putih galur wistar memiliki sifat karakteristik relatif resisten terhadap infeksi dan memiliki kemampuan sangat cerdas. Tikus tidak seperti mencit yang fotofobik dan cenderung berkumpul dengan sesamanya sehingga aktivitasnya pun tidak terganggu oleh kehadiran manusia (Setiawan, 2010). Tikus putih galur wistar memiliki ciri kepala lebar, telinga panjang, dan mempunyai ekor yang panjangnya tidak melebihi panjang tubuhnya, berbulu putih, mata berwarna merah, moncong tumpul, telinga dan mata kecil. Memakan segala
(4)
36
(omnivora) namun lebih menyukai daging dan kacang, ahli berenang, bisa memanjat namun tidak ahli (Sugiyanto, 1995).
Dalam penelitian biasanya lebih sering menggunakan tikus jantan sebagai binatang percobaan karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus putih betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibandingkan tikus betina (Ratnaningtyas, 2010). Tikus galur wistar jantan jarang berkelahi dibandingkan dengan mencit jantan. Tikus galur wistar bisa tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan mencit yaitu dengan panjang 18-25 cm, sehingga untuk percobaan di laboratorium, tikus putih lebih menguntungkan dibandingkan dengan mencit (Setiawan, 2010).
Wang Jinheng dalam penjelasannya mengatakan beberapa alasan tikus putih galur wistar digunakan dalam penelitian karena memiliki banyak keunggulan. Pertama, banyak gen tikus wistar relatif mirip dengan manusia. Kedua, sebagai binatang menyusui (mammalia), tikus galur wistar memiliki organ yang lengkap dan kemampuan berkembang biak tikus galur wistar sangat tinggi, sangat cocok digunakan dalam eksperimen masal. Selain hal tersebut, tipe bentuk badan tikus tersebut kecil, mudah dipelihara dan obat yang digunakan di tubuhnya relatif cepat bermanifestasi, dikarenakan fisiologisnya yang mirip dengan manusia (Setiawan, 2010).
(5)
37
2.5.3 Persiapan Tikus Putih (Rattus novergicus L.) Galur Wistar
Tikus putih galur wistar akan diberikan penomoran sesuai dengan kelompok sampel dan kemudian dimasukkan ke kandang sesuai dengan kelompok, baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
2.5.4 Persiapan Pakan dan Minum Tikus Putih (Rattus novergicus L.) Galur Wistar
Komposisi pakan standar pada tikus dapat sedikit bervariasi, misalnya protein 20-25% (tetapi hanya 12% kalau protein itu lengkap dengan semua asam amino esensial dengan konsentrasi yang benar); lemak 5%; karbohidrat 45-50%; serta kasar kira-kira 5% dan abu 4-5%. Seekor tikus dewasa makan sekitar 12-20 g makanan/hari (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pemberian dilakukan pada pagi atau sore hari. Minum diberikan dengan menggunakan botol ukuran 150 cc dan ditempatkan diatas kandang. Pakan yang diberikan yaitu BR-1 (broiler 1). Jenis minuman yang diberikan adalah air meneral. Pakan dan minum tikus diberikan secara ad libitum.
2.5.5 Kandang Hewan Coba Tikus Putih (Rattus novergicus L.) Galur Wistar
Kandang hewan coba terbuat dari kotak plastik yang bagian atasnya ditutup dengan menggunakan kawat besi yang telah dipilin. Dilengkapi juga dengan tempat untuk minum. Ukuran kandang yang dianjurkan adalah 900 cm2 untuk sepasang bibit tikus dan 1.080 cm2 cukup untuk seekor induk dengan 14 anak. Pada waktu disapih, kurang lebih 10 ekor tikus dapat ditempatkan di
(6)
38
kandang yang lebih besar. Apabila tikus sudah mencapai dewasa, maka 4-5 ekor tikus adalah jumlah terbanyak yang dapat ditempatkan dalam kandang dengan ukuran tersebut. Tikus akan dibuat hidup secara alami dalam kandang pada suhu ruangan berkisar antara 20-25oC (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Untuk makanannya, diberikan secara langsung ke tikus dengan cara menaburkan ke dalam kotak setiap hari yaitu pada pagi atau sore hari. Kandang dan tempat minum tikus dibersihkan dengan menggunakan sabun, kemudian kotak kandang dijemur hingga kering dan di dalamnya diberikan alas dengan menggunakan serbuk kayu. Pembersihan kandang dan penggantian serbuk kayu dilakukan minimal setiap seminggu sekali (Carolina, 2014).