c. Kesulitan dalam diri pribadi Kesulitan atau masalah yang terjadi pada diri pribadi terletak di
bagian yang paling dasar dalam tingkatan kesulitan. Contoh kesulitan dalam diri individu yakni : lingkungan yang terkena polusi membuat individu
terkena berbagai penyakit seperti penyakit asma, kanker, dan juga keracunan makanan. Individu harus dapat mengantisipasi dan menentukan terjadinya
sebuah perubahan yang terjadi akibat berbagai kesulitan yang dialami. Permulaan terjadi dari dalam diri individu kemudian melewati tingkatan
kesulitan yang lain dan di tingkat ini individu dapat menciptakan sebuah perubahan dari kesulitan yang ada.
3. Teori Dasar Adversity Quotient
Adversity quotient merupakan faktor utama yang menentukan kemampuan seseorang dalam mencapai kesuksesan. Adversity quotient
berdasarkan pada tiga bidang ilmu yang berbeda. Masing – masing menjadi
landasan yang apabila digabung akan membentuk adversity quotient seseorang Stoltz, 2000
a. Psikologi kognitif Psikologi kognitif merupakan cabang dari psikologi yang
mempelajari tentang proses mental individu seperti, bagaimana individu berpikir, menerima, mengingat dan mempelajarinya. Psikologi kognitif
merupakan landasan dari adversity quotient karena mencakup beberapa teori dari learned helplessness. Teori menunjukkan keyakinan bahwa apapun
yang akan dilakukan seorang individu tidak perlu merasa khawatir, karena semua situasinya akan berjalan dan menjadi sama saja. Keyakinan ini
membuat kendali yang dirasakan individu dalam melakukan sesuatu meningkat, yang mana kendali termasuk dimensi pertama yang ada di dalam
adversity quotient. b. Psikoneuroimunologi
Ilmu ini berkaitan dengan pikiran, kerja otak dan sistem imun kekebalan seseorang. Menurut Dreher dalam Stoltz,2000, banyak ahli
imunologi merasa heran dengan pikiran dan perasaan yang ditimbulkan melalui kerja otak yang ternyata juga mengatur pertahanan tubuh seseorang.
Dengan kata lain, emosi yang terdapat dalam diri seseorang secara langsung mempengaruhi kesehatan jasmani seseorang. Respon seseorang dalam
menghadapi berbagai kesulitan dapat berpengaruh secara mendalam terhadap kesehatan dan kemampuan seseorang dalam mencapai kesuksesan.
c. Neurofisiologi Nuwer dalam Stoltz, 2000 berpendapat, bahwa proses belajar
berlangsung di wilayah sadar bagian luar yang disebut dengan cerebral cortex. Proses belajar merupakan awal aktivitas yang membutuhkan banyak
darah dan oksigen. Saat pengulangan sebuah pola pikiran atau perilaku, maka kegiatan tersebut berpindah ke daerah yang disebut basal ganglia.
Semakin sering seseorang melakukan sesuatu ,maka semakin otomatis dan
tidak disadari tindakan itu yang kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Proses ini menjadi bagian dari struktur fisiologi sebuah kebiasaan.
4.Dimensi Adversity Quotient
Stoltz 2000, menyatakan bahwa terdapat empat dimensi pokok yang ada di dalam adversity quotient, yaitu :
a. Control
C adalah singkatan dari control atau kendali. C mempertanyakan seberapa banyak kendali yang seseorang miliki terhadap sebuah kejadian
yang menimbulkan kesulitan.Untuk memperkirakan seberapa besar sebuah kendali tersebut sangat sulit, akan tetapi tanpa sebuah kendali kehidupan,
harapan serta seluruh tindakan akan berakhir gagal atau sia – sia. Orang –
orang yang memiliki adversity quotient yang tinggi akan cenderung dapat memegang kendali atas apa yang dihadapinya dengan baik dibandingkan
orang – orang yang memiliki adversity quotient yang rendah.
b. Origin and Ownership
O2 merupakan kependekan dari origin yang berarti asal usul dan ownership yang berarti pengakuan. O2 mempertanyakan dua hal yakni, hal
apa saja yang menjadi asal usul sebuah kesulitan dan bagaimana seseorang dapat mengakui perasaan bersalahnya atas suatu kejadian. Orang yang
memiliki adversity quotient rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya akibat peristiwa
– atau kejadian buruk yang terjadi. Dalam hal ini, orang
– orang tersebut melihat dirinya sendiri sebagai asal
usul atau origin penyebab suatu masalah atau peristiwa buruk tersebut dapat terjadi.
Sebenarnya suatu perasaan bersalah terkadang diperlukan untuk menciptakan pembelajaran yang kritis dan dibutuhkan untuk melakukan
perbaikan secara terus menerus asalkan dengan adil dan tepat. Ownership merupakan sebuah pengakuan, orang
– orang yang memiliki adversity quotient yang rendah cenderung tidak mengakui atau menghindari adanya
peristiwa yang buruk. Mereka selalu menyalahkan orang lain dan tidak akan belajar apapun dari hal tersebut.
c. Reach Reach yang berarti pula jangkauan ini mempertanyakan sejauh mana
kesulitan akan menjangkau bagian – bagian yang ada dalam diri atau
kehidupan seseorang. Orang – orang yang memiliki skor yang rendah,
cenderung menganggap suatu peristiwa sebagai sebuah bencana yang dapat menghancurkan seluruh kebahagiaan. Sedangkan orang
– orang yang memiliki skor tinggi akan semakin besar kemungkinannya untuk membatasi
jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi. Sebuah konflik hanyalah sebuah konflik bukan berarti hal tersebut dapat begitu saja
menghancurkan kehidupan dan kebahagiaan seseorang selama hidupnya. d. Endurance
Endurance atau daya tahan adalah dimensi terakhir pada adversity quotient seseorang. Dimensi ini mempertanyakan mengenai seberapa lama
kesulitan akan berlangsung atau terjadi dan seberapa lama penyebab dari kesulitan atau masalah tersebut akan berlangsung. Seseorang dengan skor
yang yang rendah menganggap sebuah kesulitan dan penyebab –
penyebabnya akan berlangsung lama di dalam hidup orang tersebut. Sebaliknya jika seseorang memiliki skor yang tinggi maka menganggap
segala kesulitan tidak akan berlangsung lama dan akan segera berakhir dengan daya upaya yang dilakukan untuk menyelesaikannya.
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa adversity quotient memiliki empat dimensi penting control, origin and
ownership, reach and endurance yang merupakan komponen utama dalam konsep adversity quotient.
5.Manfaat dari Kepemilikan Adversity Quotient
Stoltz 2000 menyatakan bahwa seseorang yang memiliki adversity quotient, akan mendapatkan berbagai manfaat sebagai berikut :
a. Memiliki daya saing
Satterfield dan Seligman dalam Stoltz, 2000 menemukan bahwa orang
– orang yang merespon kesulitan secara optimis bersikap lebih produktif dan berani untuk melakukan pekerjaan yang lebih banyak
resikonya. Orang – orang yang pesimis terhadap kesulitan menimbulkan
lebih banyak sikap pasif dan hati – hati dalam melakukan pekerjaannya.
mudah putus asa.
b. Memiliki produktivitas kerja yang baik
Dalam berbagai penelitian yang dilakukan di perusahaan –
perusahaan, orang – orang yang merespon kesulitan secara destruktif terlihat
kurang produktif dibandingkan dengan orang yang tidak destruktif. Para pemimpin perusahaan mempunyai persepsi bahwa orang
– orang dengan adversity quotient yang tinggi akan unggul dibandingkan orang
– orang dengan adversity quotient yang rendah. Selligman dalam Stoltz, 2000
membuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan dengan baik akan kurang produktif, dan kinerjanya lebih buruk daripada orang yang
merespons kesulitan dengan baik. c.
Memiliki kreativitas yang luas Di dalam sebuah kreativitas terdapat berbagai ide dan inovasi yang
dimunculkan oleh seseorang. Inovasi membutuhkan keyakinan yang cukup besar karena memunculkan sesuatu yang sebelumnya tidak ada kemudian
menjadi ada. Menurut futuris Joel Barker dalam Stoltz, 2000, kreativitas dapat muncul dari sebuah keputusasaan. Kreativitas menuntut kemampuan
untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal – hal yang tidak pasti.
d. Memiliki motivasi kerja
Sebuah penelitian di suatu perusahaan farmasi, Stoltz, 2000 meminta untuk mengurutkan tim di dalam perusahaan tersebut sesuai dengan
motivasi yang terlihat kemudian mengukur adversity quotient dari para anggota tim. Berdasarkan hasil yang ada, baik pada pekerjaan harian
maupun untuk jangka panjang, mereka yang memiliki adversity quotient tinggi dianggap sebagai orang
– orang yang paling memiliki motivasi. e.
Memiliki keberanian untuk mengambil resiko Seseorang yang memiliki kemampuan dalam memegang kendali,
sebenarnya tidak memiliki alasan untuk tidak mengambil resiko dalam hidupnya, bahkan resiko
– resiko yang dinilai tidak masuk akal untuk dipikirkan. Sebagaimana telah dibuktikan oleh Satterfield dan Selligman
dalam Stoltz, 2000, orang – orang yang merespon kesulitan secara lebih
konstruktif, bersedia mengambil lebih banyak resiko karena resiko dianggap sebagai hal yang esensial dalam proses mendaki.
f. Memiliki kemampuan dalam melakukan perbaikan
Pada saat ini, kita sedang berada pada zaman yang harus selalu melakukan perbaikan untuk dapat bertahan hidup. Orang - orang harus dapat
melakukan perbaikan untuk mencegah agar tidak ada orang yang ketinggalan oleh zaman baik dalam karier maupun dalam hubungan sosial. Ditemukan
bahwa orang – orang yang memiliki adversity quotient yang tinggi menjadi
lebih baik dalam kehidupannya. g.
Memiliki ketekunan Ketekunan merupakan inti dari proses mendaki seseorang. Ketekunan
adalah kemampuan untuk terus menerus berusaha, bahkan saat seseorang dihadapkan dengan sebuah kemunduran ataupun kegagalan. Selligman
Stoltz, 2000 membuktikan bahwa orang – orang yang merespon kesulitan
dengan baik akan cepat pulih dari kekalahan dan mampu untuk terus bertahan. Orang
– orang yang responnya buruk saat berhadapan dengan kesulitan akan mudah untuk menyerah. adversity quotient dinilai dapat
menentukan keuletan yang dibutuhkan untuk menciptakan ketekunan. h.
Memiliki keinginan untuk terus belajar Pada abad ini, mengumpulkan dan memproses ilmu pengetahuan
tidak pernah berhenti. Hal ini dibuktikan oleh Carol Dweck Stoltz,2000, bahwa anak
– anak dengan respon – respon yang pesimistis dalam menghadapi kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi. Sedangkan
anak – anak yang memiliki respon – respon yang optimistis akan jauh lebih
baik dalam belajar menghadapi kesulitan. i.
Memiliki kemampuan untuk dapat merangkul perubahan Saat individu mengalami perubahan yang tidak pernah berhenti
dalam hidup, maka kemampuan individu dalam menghadapi ketidakpastian dan pijakan yang berubah menjadi hal yang penting. Individu bisa sukses
apabila memiliki keefektifan dalam mengatasi dan merangkul perubahan tersebut. Individu harus menghindari pemikiran bahwa akan dikalahkan dan
dilumpuhkan dengan adanya perubahan tersebut, hal ini berdampak pada individu cenderung menyerah dalam menghadapi arus perubahan tersebut
C. Pegawai Negeri 1. Pengertian Pegawai Negeri