CH Obs
CH TRMM
RMSE r
R
2
MAE Rel.bias
Maluku Grid 1x1,
stamet Amahai 2217
1644 178
0.70 0.50
1.34 -25.85
200 400
600 800
1000 1200
1400
Jan-03 Jan-04
Jan-05 Jan-06
Jan-07 Jan-08
Jan-09
C H
m m
Maluku
TRMM Stamet Amahai
4000 8000
12000 16000
20000 24000
4000 8000
12000 16000
20000 24000
O b
s er
v as
i m
m
Satelit TRMM [mm]
Kurva Massa Ganda Lampung
TRMM 1:1
4000 8000
12000 16000
20000 24000
4000 8000
12000 16000
20000 24000
O b
s er
v as
i m
m
Satelit TRMM [mm]
Kurva Massa Ganda Jawa Timur
TRMM 1:1
4000 8000
12000 16000
20000 24000
4000 8000
12000 16000
20000 24000
O b
s er
v as
i m
m
Satelit TRMM [mm]
Kurva Massa Ganda Kalimantan Selatan
TRMM 1:1
4000 8000
12000 16000
20000 24000
4000 8000
12000 16000
20000 24000
O b
s er
v as
i m
m
Satelit TRMM [mm]
Kurva Massa Ganda Sumatera Utara
TRMM 1:1
4000 8000
12000 16000
20000 24000
4000 8000
12000 16000
20000 24000
O b
s er
v as
i m
m
Satelit TRMM [mm]
Kurva Massa Ganda Kalimantan Barat
TRMM 1:1
4000 8000
12000 16000
20000 24000
4000 8000
12000 16000
20000 24000
O b
s er
v as
i m
m
Satelit TRMM [mm]
Kurva Massa Ganda Maluku
TRMM 1:1
lebih rendah underestimate. Di wilayah equatorial Sumatera Utara dan Kalimantan Barat data satelit TRMM menunjukkan kecenderungan overestimate,
sedangkan di wilayah lokal Maluku menunjukkan kebalikannya, yaitu underestimate
. Berdasarkan Gambar 26, juga dapat ditunjukkan adanya breaking point atau
titik perubahan pada kisaran nilai antara 4000-6000, yang terdapat mulai pengamatan sekitar awal tahun 2005 dan cenderung lebih stabil setelah tahun
2005. Hal tersebut juga ditemukan pada penelitian Su 2008 dan Vernimmen et al. 2012 dimana pada pengamatan hujan pada satelit near real
time , menunjukkan performa yang lebih baik terutama untuk model hidrologi
setelah tahun 2005. Perubahan ini dimungkinkan karena adanya penggabungan tambahan dalam perhitungan intensitas hujan, yaitu dari instrumen satelit
AMSU-B dan AMSR-E Huffman David 2011. Gambaran diagram pencar scatterplot antara data hujan satelit TRMM dengan hujan observasi di seluruh
wilayah Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara dan Maluku ditunjukkan pada Gambar 27.
200 400
600 800
1000 1200
200 400
600 800
1000 1200
O b
se rv
a si
m m
Satelit TRMMmm Lampung
200 400
600 800
1000 1200
200 400
600 800
1000 1200
O b
se rv
a si
m m
Satelit TRMM mm Jawa Timur
200 400
600 800
1000 1200
200 400
600 800
1000 1200
O b
se rv
a si
m m
Satelit TRMM mm Kalimantan Selatan
200 400
600 800
1000 1200
200 400
600 800
1000 1200
O b
se rv
a si
m m
Satelit TRMM mm Sumatera Utara
r=0.88 r=0.94
r=0.83 r=0.69
Gambar 27. Scatterplot curah hujan bulanan observasi terhadap satelit TRMM periode 2003-2009 di setiap wilayah.
4.4.2. Pola hujan observasi dan satelit TRMM
Berdasarkan stasiun yang telah terpilih sebagaimana tersebut di atas, dilakukan perbandingan antara data curah hujan dari stasiun hujan terhadap data
satelit TRMM di setiap wilayah studi. Pada masing-masing wilayah dengan pola hujan berbeda, data satelit TRMM menunjukkan performa berbeda terhadap data
observasi.
a. Wilayah pola hujan muson
Pada wilayah dengan pola hujan muson, secara time series selama pengamatan 7 tahun, data satelit hujan TRMM menunjukkan performa yang bagus
dimana pola hujannya mengikuti pola hujan observasi. Data satelit menunjukkan intensitas hujan lebih tinggi overestimate umumnya terjadi pada musim hujan
September-April, terutama untuk wilayah Lampung, sedangkan pada musim kemarau, data satelit menunjukkan intensitas hujan yang cukup tepat terhadap
data hujan observasi Gambar 28. Sedangkan pada bulan puncak hujan bulan Desember-Januari di wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, hujan dari
satelit TRMM menunjukkan intensitas yang lebih rendah underestimate dibandingkan intensitas hujan data observasi.
200 400
600 800
1000 1200
200 400
600 800
1000 1200
O b
se rv
a si
m m
Satelit TRMM mm Kalimantan Barat
200 400
600 800
1000 1200
200 400
600 800
1000 1200
O b
se rv
a si
m m
Satelit TRMM mm Maluku
r=0.78 r=0.78
Gambar 28. Plot perbandingan curah hujan bulanan observasi dan satelit TRMM periode 2003-2009 wilayah pola hujan muson.
Berdasarkan analisis intra-seasonal yang ditunjukkan pada Gambar 29, dihasilkan perbandingan curah hujan rata-rata bulanan data observasi terhadap
data satelit TRMM. Pada Gambar 29 ditunjukkan bahwa data satelit TRMM mempunyai pola yang mengikuti pola hujan observasi dan mempunyai intensitas
yang cukup mendekati hujan observasi. Curah hujan satelit cenderung overestimate
terutama diperoleh pada musim hujan Nopember-Maret dimana curah hujan cukup tinggi. Di wilayah Lampung, curah hujan satelit menunjukkan
kecenderungan overestimate pada musim hujan, dan sebaliknya underestimate pada musim kemarau April-September. Pada wilayah Jawa Timur, curah hujan
200 400
600 800
1000 1200
Jan-03 Jan-04
Jan-05 Jan-06
Jan-07 Jan-08
Jan-09
CH m
m
CH Observasi CH TRMM
200 400
600 800
1000 1200
Jan-03 Jan-04
Jan-05 Jan-06
Jan-07 Jan-08
Jan-09
CH m
m
CH Observasi CH TRMM
200 400
600 800
1000 1200
Jan-03 Jan-04
Jan-05 Jan-06
Jan-07 Jan-08
Jan-09
CH m
m
CH Observasi CH TRMM
Lampung
Kalimantan Selatan Jawa Timur
satelit overestimate terutam dan September-Oktober,
mendekati hujan observasi hujan satelit underestimate
pada musim hujan, cukup m muson, secara konsisten
underestimate pada musim ke
Gambar 29. Curah hujan rat
b. Wilayah pola huj
Berdasarkan analisis equatorial, data satelit TR
hujan observasi, namun int dengan data observasi ha
Sumatera Utara, intensitas lebih tinggi sepanjang tahun
maupun musim kemarau. D hujan dari pengamatan sat
April-Mei dan Oktober
50 100
150 200
250 300
350 400
450
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu
C H
m m
CH rata-rata bulanan obs CH rata-rata bulanan TRMM
50 100
150 200
250 300
350 400
450
Jan
C H
m m
Lampung Jawa Timur
Kalimantan Selatan
ama terjadi pada musim-musim peralihan Ma , sedangkan pada musim hujan dan kemar
asi. Sedangkan wilayah Kalimantan Selatan, ate
pada musim peralihan dan musim kemarau, p mendekati Gambar 29. Sehingga, pada wila
n ditunjukkan curah hujan satelit TRMM m kemarau.
rata-rata bulanan wilayah pola hujan muson.
ujan equatorial
sis hujan tahunan, pada wilayah dengan p RMM menunjukkan pola yang mengikuti pe
intensitas hujan cenderung overestimate diba hampir sepanjang tahun Gambar 30. Pada
s hujan dari pengamatan satelit menunjukkan hun dibandingkan dengan observasi, baik musi
. Di wilayah Kalimantan Barat, secara umum satelit cenderung overestimate pada dua punc
ober-Nopember, sedangkan pada bulan-bulan
Agu Sep Okt Nop Des
CH rata-rata bulanan obs CH rata-rata bulanan TRMM
50 100
150 200
250 300
350 400
450
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep
C H
m m
CH rata-rata bulanan obs CH rata-rata bulanan…
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
CH Rata-rata bulanan obs CH Rata-rata bulanan TRMM
Lampung Jawa Timur
Kalimantan Selatan
Maret-April arau cukup
n, intensitas u, sedangkan
ilayah hujan MM cenderung
n pola hujan pengamatan
dibandingkan ada wilayah
n nilai yang usim hujan
um intensitas puncak hujan
an peralihan
Sep Okt Nop Des
CH rata-rata bulanan obs CH rata-rata bulanan…
Lampung Jawa Timur
Kalimantan Selatan
musim Agustus-Sept kemarau Juni-Agustus
data TRMM cukup m
Gambar 30. Plot perba periode 2003
Gambar 31. Perbandi TRMM di
Pada analisis ditunjukkan pada Ga
equatorial, curah huja dibandingkan hujan
200 400
600 800
1000 1200
Jan-03 Jan-04
C H
m m
200 400
600 800
1000 1200
Jan-03 Jan-04
CH m
m
100 200
300 400
500 600
Jan Peb Mar Apr Mei Jun
C H
m m
CH Rata-rata bulanan obs CH Rata-rata bulanan TRMM
Sumatera Utara
Kalimantan Barat
Sumatera Utara Kalimantan Barat
eptember, Desember-Januari, dan Maret-April ustus dan Desember-Pebruari menunjukkan
ukup mendekati hujan observasi.
rbandingan curah hujan bulanan observasi dan sa 2003-2009 wilayah pola hujan equatorial.
ndingan curah hujan rata - rata bulanan obser MM di wilayah pola hujan equatorial.
s menggunakan rata-rata bulanan intra-se Gambar 31, diperoleh bahwa di wilayah den
hujan satelit TRMM mempunyai intensitas huj n observasi pada dua puncak musim hujan
Jan-04 Jan-05
Jan-06 Jan-07
Jan-08 CH Observasi
CH TRMM
Jan-04 Jan-05
Jan-06 Jan-07
Jan-08 CH Observasi
CH TRMM
Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
CH Rata-rata bulanan obs CH Rata-rata bulanan TRMM
100 200
300 400
500 600
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul
C H
m m
CH rata-rata bulanan obs CH rata-rata bulanan TRMM
Sumatera Utara
Kalimantan Barat
Sumatera Utara Kalimantan Barat
pril hingga musim n intensitas hujan
n satelit TRMM
observasi dan satelit
ra-seasonal yang
dengan pola hujan hujan overestimate
n April-Mei dan
Jan-09
Jan-09
Jul Agu Sep Okt Nop Des
CH rata-rata bulanan obs CH rata-rata bulanan TRMM
Sumatera Utara
Kalimantan Barat
Sumatera Utara Kalimantan Barat
200 400
600 800
1000 1200
Jan-03 Jan-04
Jan-05 Jan-06
Jan-07 Jan-08
Jan-09
C H
m m
CH Bulanan Observasi CH Bulanan TRMM
Gambar 33. Perbandin TRMM di
4.4.3. Analisis st
Dalam mengev statistika yang terdiri
Error , MAE Mean
sejauh mana ketepata dari stasiun hujan ter
bias pada masing-ma diberikan pada Tabel
Tabel 8. Perbandingan ni observasi dan T
No Wilayah
CH Tahunan TRM
M-Obs RMSE
r R
2
MAE Relatif
Bias Obs
TRMM 1
Lampung 2014
2217 203
84 0.88
0.77 17
-10
2
Jawa Timur 2037
1792 -244
58 0.94
0.89 20
12
3
Kalimantan Selatan 2160
2193 33
63 0.83
0.69 3
-2
4
Sumatera Utara 2171
3563 1392
158 0.69
0.47 116
-64
5
Kalimantan Barat 3012
3253 240
97 0.78
0.60 20
8
6
Maluku 2552
1542 -1011
173 0.78
0.61 84
-40
Berdasarkan ana korelasi antara data s
sangat tinggi, yaitu 0.69-0.78. Hal ini
antara data observasi
100 200
300 400
500 600
CH m
m
ndingan curah hujan rata-rata bulanan observasi da MM di wilayah pola hujan lokal.
s statistik data satelit TRMM dengan data ob
evaluasi dan validasi data satelit TRMM, dil diri dari perhitungan nilai korelasi, RMSE Root
an Absolute Error , dan relatif bias yang me
atan data hujan satelit TRMM terhadap data terpilih. Perbandingan nilai korelasi, RMSE, M
masing wilayah hujan untuk time series per bel 8.
gan nilai korelasi, RMSE, MAE dan relatif bias unt dan TRMM periode 2003-2009 di masing-masin
No CH Tahunan
TRM M-Obs
RMSE r
R MAE
Relatif Bias
Obs TRMM
1
2014 2217
203 84
0.88 0.7
17 -10
2
2037 1792
-244 58
0.94 0.8
20 12
3
n 2160
2193 33
63 0.83
0.6 3
-2
4
2171 3563
1392 158
0.69 0.4
116 -64
5
3012 3253
240 97
0.78 0.6
20 8
6
2552 1542
-1011 173
0.78 0.6
84 -40
analisis tahunan Tabel 8 dapat ditunjukka satelit TRMM terhadap observasi pada wilay
u 0.83-0.94, diikuti di wilayah lokal 0.78 ni menunjukkan bahwa terdapat hubungan ya
si dan data satelit TRMM. Nilai RMSE di wila
100 200
300 400
500 600
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
CH m
m
CH Rata-rata bulanan obs CH Rata-rata bulanan TRMM
si dan satelit
a observasi
dilakukan analisis oot Mean Square
mempresentasikan ta hujan observasi
, MAE dan relatif periode 2003-2009
bias untuk data sing wilayah.
No Wilayah
CH Tahunan TRM
M-Obs RMSE
r R
2
MAE Relatif
Bias Obs
TRMM 1
Lampung 2014
2217 203
84 0.88
0.77 17
-10
2
Jawa Timur 2037
1792 -244
58 0.94
0.89 20
12
3
Kalimantan Selatan 2160
2193 33
63 0.83
0.69 3
-2
4
Sumatera Utara 2171
3563 1392
158 0.69
0.47 116
-64
5
Kalimantan Barat 3012
3253 240
97 0.78
0.60 20
8
6
Maluku 2552
1542 -1011
173 0.78
0.61 84
-40
ukkan bahwa nilai ayah hujan muson
0.78 dan equatorial n yang cukup kuat
ilayah dengan pola
hujan muson mempunyai nilai lebih rendah dibandingkan wilayah pola hujan equatorial dan lokal. Di wilayah Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan
nilai RMSE berturut-turut sebesar 58 mm, 63 mm dan 84 mm, selanjutnya di wilayah Kalimantan Barat dan Sumatera Utara adalah sebesar 97 mm dan
158 mm, sedangkan di Maluku sebesar 173 mm. Demikian halnya dengan nilai MAE dan relatif bias, di wilayah pola hujan muson mempunyai nilai MAE yang
lebih rendah dibandingkan dua pola hujan lainnya, berturut-turut yaitu wilayah Kalimantan Selatan 3 mm, Lampung 17 mm, Jawa Timur 20 mm,
Kalimantan Barat 20 mm, Maluku 84 mm, Sumatera Utara 116 mm.\
4.5. Perbandingan evaluasi data hujan TRMM dan hujan observasi menggunakan grid 1x1 dan grid 2x2
Hasil perbandingan antara evaluasi data hujan observasi dengan data hujan TRMM menggunakan grid ukuran 1x1 dengan satu stasiun dan rata-rata tiga
stasiun, dan menggunakan grid ukuran 2x2 dengan jumlah stasiun seperti tertera pada Tabel 3, disajikan pada Gambar 34. Berdasarkan Gambar 34, ditunjukkan
bahwa nilai korelasi antara huajn TRMM grid 2x2, secara umum mempunyai nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan grid berukuran 1x1 baik di
wilayah hujan muson, equatorial maupun lokal. Di wilayah Lampung, nilai korelasi grid ukuran 2x2 lebih tinggi yaitu 0.88 88 dibandingkan dengan grid
ukuran 1x1 menggunakan satu stasiun dan rata-rata tiga stasiun, yaitu 71-88. Di Wilayah Jawa Timur, nilai korelasi grid ukuran 2x2 lebih tinggi yaitu sebesar 94
dibandingkan dengan grid ukuran 1x1, yatu 87-93. Demikian halnya di Kalimantan Selatan, grid ukuran 2x2 mempunyai nilai korelasi lebih tinggi yaitu
83 dibandingkan grid ukuran 1x1 yaitu 66-75 kecuali stasiun Marihat mempunyai korelasi cukup tinggi sebesar 91. Di wilayah pola hujan equatorial,
yaitu Sumatera Utara dan Kalimantan Barat, grid ukuran 2x2 juga menunjukkan nilai korelasi yang lebih tinggi berturut-turut: 69 dan 78 dibandingkan
dengan grid ukuran 1x1 berturut-turut: 35-60, dan 59-76. Nilai RMSE pada perbandingan data hujan observasi dengan hujan satelit
TRMM grid 1x1 dan 2x2 menunjukkan bahwa nilai RMSE pada grid 2x2 mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan grid ukuran 1x1 di
Grid 1x1, 3
sta Sta.
Masgar Sta.
Metro Selatan
Sta. Branti
grid 2x2 RMSE
98 94
142 133
84 r
88 87
84 71
88 80
160 240
80 160
240
K o
e f.
Ko re
la si
r ,
d lm
R M
S E
Lampung
Grid 1x1, 3
sta Sta.
Birowo Sta.
Doko Sta.
Karang Kates
grid 2x2 RMSE
74 78
114 88
58 r
93 88
87 91
94 80
160 240
80 160
240
K o
e f.
Ko re
la si
r ,
d lm
R M
S E
Jawa Timur
Grid 1x1, 3
sta Sta.
Banu Lawas
Sta. Kelua
Sta. Paringin
grid 2x2 RMSE
89 107
108 120
63 r
75 70
91 66
83 80
160 240
80 160
240
K o
e f.
Ko re
la si
r ,
d lm
R M
S E
Kalimantan Selatan
Grid 1x1, 3
sta Sta.
Marihat Sta.
Bangun Sta.
Pagar Jaya
grid 2x2 RMSE
150 140
173 237
158 r
60 59
46 35
69 80
160 240
80 160
240
K o
e f.
Ko re
la si
r ,
d lm
R M
S E
Sumatera Utara
Grid 1x1, 3
sta Sta.
Supadio Sta.
Rasau Jaya
Sta. Liu Ambaw
ang grid 2x2
RMSE 112
116 145
178 97
r 76
72 72
59 78
80 160
240
80 160
240
K o
e f.
Ko re
la si
r ,
d lm
R M
S E
Kalimantan Barat
Grid 1x1, stamet Amahai
Grid 1x1, 3 sta, 3 grid
RMSE 178
173 r
70.4 77.9
80 160
240
80 160
240
K o
e f.
Ko re
la si
r ,
d lm
R M
S E
Maluku
Nilai koefisien determinasi tertinggi untuk wilayah hujan equatorial Sumatera Utara dan Kalimantan Barat, diperoleh pada bentuk persamaan
geometrik berturut-turut sebesar 0.54 dan 0.641. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman dari peubah respon data TRMM dapat dijelaskan oleh bentuk
persamaan geometrik sebesar 54 dan 64.1. Sedangkan di wilayah lokal, nilai R
2
tertinggi terdapat pada bentuk persamaan linear sebesar 0.606 Tabel 9. Hasil ini kemudian digunakan untuk menentukan faktor koreksi nilai a dan b untuk
data TRMM dimana di wilayah pola hujan muson dan equatorial digunakan bentuk persamaan geometrik, sedangkan bentuk persamaan linear digunakan
untuk pola hujan lokal.
Tabel. 9. Perbandingan nilai koefisien determinasi masing-masing bentuk persamaan regresi
Lokasi Nilai R
2
Linier Geometrik
Eksponensial Logaritmik
Lampung 0.772
0.824 0.365
0.487 Jawa Timur
0.89 0.795
0.437 0.597
Kalimantan Selatan 0.694
0.792 0.668
0.611 Sumatera Utara
0.473 0.54
0.4762 0.484
Kalimantan Barat 0.601
0.641 0.512
0.565 Maluku
0.606 0.404
0.443 0.258
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan metode kuadrat terkecil, diperoleh bentuk persamaan regresi dengan nilai a dan b sebagai faktor koreksi
yang ditunjukan pada Tabel 10. Persamaan koreksi yang dihasilkan menggunakan stasiun hujan dan grid TRMM terpilih Tabel 10.
Tabel 10. Bentuk persamaan regresi dan faktor koreksi TRMM
Pola hujan Nilai a
Nilai b Bentuk persamaan regresi
Muson 7.094
0.625 Y=7.094 X
0.625
Equatorial 6.849
0.605 Y=6.849 X
0.605
Lokal
0.118 1.672
Y=0.118+1.672X Keterangan Y = CH TRMM terkoreksi; X = CH TRMM
1 Lampung
2014 2217
203 84
0.88 17
10 1999
-15 50
0.90 1
-1 -34
2 Jawa Timur
2037 1792
-244 58
0.94 20
-12 1587
-449 69
0.95 37
-22 11
3 Kalimantan
Selatan 2160
2193 33
63 0.83
3 2
2083 -77
61 0.84
6 -4
-2 4
Sumatera Utara
2171 3563
1392 158
0.69 116
64 2500
329 66
0.70 27
15 -92
5 Kalimantan
Barat 3012
3253 240
97 0.78
20 8
2346 -666
87 0.79
56 -22
-10 6
Maluku 2552
1542 -1011
154 0.79
78 -37
2579 26
135 0.78
2 1
-19 Perban-
dingan RMSE
CH mmthn
TRMM- Obs
RMSE r
MAE Relatif
Bias CH
mmthn RMSE
r MAE
Relatif Bias
TRMM- Obs
No Wilayah
CH Obs mmthn
TRMM TRMM Koreksi
200 400
600 800
1000 1200
Jan-03 Jan-04
Jan-05 Jan-06
Jan-07 Jan-08
Jan-09
C H
m m
Lampung
CH obs CH TRMM
TRMM terkoreksi
200 400
600 800
1000 1200
Jan-03 Jan-04
Jan-05 Jan-06
Jan-07 Jan-08
Jan-09
C H
m m
Jawa Timur
CH obs CH TRMM
TRMM terkoreksi
200 400
600 800
1000 1200
Jan-03 Jan-04
Jan-05 Jan-06
Jan-07 Jan-08
Jan-09
C H
m m
Kalimantan Selatan
CH obs CH TRMM
TRMM terkoreksi
100 200
300 400
500 600
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
C H
m m
Lampung
CH Obs CH TRMM
TRMM terkoreksi
100 200
300 400
500 600
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
C H
m m
Jawa Timur
CH Obs CH TRMM
TRMM terkoreksi
100 200
300 400
500
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
C H
m m
Kalimantan Selatan
CH Obs CH TRMM
TRMM terkoreksi
200 400
600 800
1000 1200
Jan-03 Jan-04
Jan-05 Jan-06
Jan-07 Jan-08
Jan-09
CH m
m Sumatera Utara
CH obs CH TRMM
TRMM terkoreksi
200 400
600 800
1000 1200
Jan-03 Jan-04
Jan-05 Jan-06
Jan-07 Jan-08
Jan-09
CH m
m Kalimantan Barat
CH obs CH TRMM
TRMM terkoreksi
100 200
300 400
500 600
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
C H
m m
Sumatera Utara
CH Obs CH TRMM
TRMM terkoreksi
100 200
300 400
500 600
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
C H
m m
Kalimantan Barat
CH Obs CH TRMM
TRMM terkoreksi
200 400
600 800
1000 1200
Jan-03 Jan-04
Jan-05 Jan-06
Jan-07 Jan-08
Jan-09
C H
m m
Maluku
CH Obs CH TRMM
TRMM terkoreksi
100 200
300 400
500 600
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
C H
m m
Maluku
CH Obs CH TRMM
CH TRMM terkoreksi
4.7. Model penduga curah hujan bulanan TRMM 4.7.1.
Hasil keluaran model ARIMA untuk masing-masing wilayah
Model penduga curah hujan bulanan di masing-masing wilayah pada tiga pola hujan berbeda dibangun menggunakan data satelit TRMM yang telah
dikoreksi. Model disusun untuk memprediksi curah hujan 12 bulan ke depan dengan tingkat kepercayaan 95 dengan beberapa kali iterasi untuk mendapatkan
model terbaik. Grafik ACF dan PACF yang digunakan adalah setelah dilakukan pembedaan differencing secara musiman seasonal
yaitu 12 bulan, dimana pada data asli dan pembedaan
pertama, grafik ACF dan PACF masih mengandung pola musiman. Grafik ACF dan PACF model ARIMA yang
dihasilkan pada masing-masing wilayah diberikan pada Lampiran 5. Hasil model ARIMAp,d,qP,D,Q
s
untuk prediksi hujan bulanan tahun 2010 di
masing-masing wilayah studi ditunjukkan pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12, dapat ditunjukkan model pendugaan curah hujan
untuk 12 bulan ke depan pada setiap wilayah, mempunyai bentuk model berbeda-beda. Namun secara keseluruhan, p-value yang dihasilkan 0.05 yang
menunjukkan bahwa model signifikan pada tingkat kepercayaan 95 dengan lag musiman yaitu lag ke-12. Seluruh model mengalami pembedaan differencing
pada lag ke-1 dan ke-12. Pada wilayah Lampung dan Jawa Timur, pola pemodelan ARIMA menunjukkan tidak ada komponen autoregressive AR yang
masuk dalam model baik pada non musiman maupun musiman. Sedangkan komponen moving average MA siginifikan terhadap model pada lag non
musiman MA dan musiman SMA orde 1 yang menunjukkan kombinasi linear antara nilai yang telah lalu dengan nilai mendatang. Koefisien MA dan SMA di
wilayah Lampung berturut-turut adalah sebesar 0.8205 dan 0.6950. Sedangkan di Jawa Timur, koefisien MA dan SMA berturut-turut adalah sebesar 0.9084 dan
0.6899. Di wilayah Sumatera Utara, komponen AR pada lag musiman dan non
musiman menunjukkan signifikan pada lag ke-1 dengan koefisien AR dan SMA masing-masing sebesar -0.4853 dan -0.5161. Sedangkan untuk Kalimantan Barat,
komponen AR pada lag musiman signifikan pada lag ke-1 SAR=-0.2739 dan tidak signifikan pada lag non musiman. Namun, komponen MA signifikan pada
lag ke-1 baik non musiman maupun musiman dengan koefisien non musiman sebesar 0.8715 dan musiman 0.8525.
Pada wilayah Maluku, pola pemodelan ARIMA menunjukkan tidak ada komponen autoregressive AR yang masuk dalam model baik pada non musiman
maupun musiman. Sedangkan komponen moving average MA siginifikan terhadap model pada lag non musiman MA dan musiman SMA orde 1 dengan
koefisien MA dan SMA masing-masing sebesar 0.9756 dan 0.8042.
Tabel 12. Hasil model ARIMA, koefisien model dan nilai p-value di masing- masing wilayah
Wilayah Model ARIMA
Coef P-Value
Lampung ARIMA0,1,1 0,1,1
12
MA = 0.8205 SMA= 0.6950
0.0000 0.0000
Jawa Timur
ARIMA0,1,10,1,1
12
MA= 0.9084 SMA= 0.6899
0.0000 0.0000
Kalimantan Selatan ARIMA1,1,01,1,0
12
AR= -0.5237 SAR= -0.6661
0.0000 0.0000
Sumatera Utara ARIMA1,1,01,1,0
12
AR=-0.4853 SAR=-0.5161
0.0000 0.0000
Kalimantan Barat ARIMA0,1,11,1,1
12
SAR = -0.2739 MA = 0.8715
SMA=0.8525 0.0000
0.0000 0.0000
Maluku ARIMA0,1,10,1,1
12
MA = 0.9756 SMA=0.8042
0.0000 0.0000
Pengujian model ARIMA yang dihasilkan juga dilakukan dengan uji visual kenormalan galat, homogenitas, dan uji sisaan berdistribusi normal
Lampiran 6. Masing-masing model ARIMA yang dihasilkan di setiap wilayah menunjukkan histogram galat mempunyai sebaran yang mendekati nol, nilai galat
dan probabilitas normalnya membentuk pola garis lurus atau mendekati garis lurus dan plot nilai dugaan TRMM Ŷ dengan galat menyebar secara acak dan
tidak membentuk pola tertentu dengan lebar pita yang ampir sama ragam galat bersifat homogen. Hasil tersebut menunjukkan bahwa model ARIMA memenuhi
kriteria penerimaan model.
4.7.2. Verifikasi model ARIMA terhadap data TRMM terkoreksi dan observasi tahun 2010.
Hasil pendugaan atau prediksi curah hujan bulanan TRMM terkoreksi menggunakan model ARIMA perlu dilakukan verifikasi model untuk mengetahui
sejauh mana ketepatan hasil prediksi terhadap data observasi. Hasil verifikasi model antara data prediksi hujan dengan data TRMM terkoreksi dan data prediksi
hujan dengan data observasi tahun 2010 ditunjukkan pada Tabel 13 dan Tabel 14. Pada Tabel 13 ditunjukkan bahwa nilai RMSE antara data hasil prediksi dengan
TRMM terkoreksi pada seluruh lokasi cukup tinggi 40 mm. Sedangkan nilai koefisien korelasi r bervariasi antar wilayah. Nilai r tertinggi diperoleh di
wilayah hujan lokal 0.98, diikuti pola muson yaitu Kalimantan Selatan, Jawa Timur dan Lampung masing – masing sebesar 0.81, 0.70 dan 0.62. Sedangkan di
wilayah hujan equatorial, nilai koefisien korelasi r tidak cukup besar, yaitu Sumatera Utara sebesar 0.33 dan Kalimantan Barat sebesar 0.17.
Tabel 13. Perbandingan hasil verifikasi nilai RMSE, koefisien determinasi, MAE dan relatif bias data hujan prediksi dengan TRMM terkoreksi tahun 2010
No Wilayah
CH TRMM
terkoreksi mmthn
TRMM Prediksi
CH Thn
TRMM Pred-TRMM
Kor RMSE
r MAE
Relatif Bias
1
Lampung 2856
2114 -741
90 0.62
62 26
2
Jawa Timur 3186
1527 -1658
159 0.70
138 52
3
Kalimantan Selatan
2940 2609
-331 41
0.81 28
11
4
Sumatera Utara 2438
2760 -290
68 0.33
27 -13
5
Kalimantan Barat 2686
2431 -254
51 0.17
21 10
6
Maluku 2579
3193 614
55 0.98
51 -24
Perbandingan hasil prediksi curah hujan bulanan TRMM di setiap wilayah terhadap curah hujan observasi Tabel 14, menunjukkan nilai RMSE dan selisih
hujan tahunan yang lebih besar dibandingkan perbandingan hasil prediksi curah
hujan bulanan TRMM terhadap curah hujan TRMM terkoreksi Tabel 9. Sedangkan nilai koefisien korelasi cukup bervariasi di mana di wilayah hujan
lokal dan equatorial, nilai koefisien korelasi pada Tabel 10 lebih kecil dibandingkan Tabel 9 wilayah lokal 0.54, wilayah equatorial 0.16 dan 0.01.
Berdasarkan Tabel 14, diperoleh bahwa nilai koefisien korelasi r tertinggi terdapat di wilayah pola hujan muson Kalimantan Selatan sebesar 0.87, Jawa
Timur sebesar 0.71, dan Lampung 0.56. Di wilayah tipe hujan lokal diperoleh nilai r sebesar 0.54, sedangkan di wilayah pola hujan equatorial mempunyai nilai r
sangat kecil yaitu Sumatera Utara sebesar 0.16 dan Kalimantan Barat sebesar 0.10. Nilai RMSE di seluruh wilayah menunjukkan nilai cukup besar 40 mm,
dan nilai MAE juga menunjukkan nilai cukup besar untuk wilayah hujan muson yaitu Lampung: 56 mm, Jawa Timur: 145 mm, dan Kalimantan Selatan: 27 mm
dan equatorial Sumatera Utara: 19 mm, Kalimantan Barat: 100 mm dan cukup kecil untuk wilayah lokal Maluku: 11 mm.
Tabel 14. Perbandingan hasil verifikasi nilai RMSE, koefisien determinasi, MAE dan relatif bias data hujan prediksi dengan data hujan observasi tahun 2010
No Wilayah
CH Obs
mm thn
TRMM Prediksi
CH mmThn
TRMM- Obs
RMSE r
MAE Relatif
Bias
1
Lampung 2783
2114 -669
92 0.56
56 24
2
Jawa Timur 3266
1527 -1739
172 0.71
145 53
3 Kalimantan Selatan
2938 2609
-329 43
0.87 27
11
4
Sumatera Utara 2537
2760 -388
114 0.16
19 -9
5
Kalimantan Barat 3632
2431 -1200
133 0.10
100 33
6
Maluku 3325
3193 -132
183 0.54
11 4
Perbandingan hasil verifikasi antara data prediksi hujan tahun 2010 dengan data TRMM terkorekasi dan data hujan observasi tahun 2010 ditunjukkan pada
Gambar 41 wilayah pola hujan muson, Gambar 42 wilayah pola hujan equatorial, dan Gambar 43 wilayah pola hujan lokal.
100 200
300 400
500 600
700 800
Jan Peb Mar Apr
Mei Jun
Jul Agus Sep
Okt Nop Des
C H
m m
Lampung
Observasi TRMM terkoreksi
TRMM Prediksi
100 200
300 400
500 600
700 800
Jan Peb Mar Apr Mei
Jun Jul Agus Sep
Okt Nop Des
C H
m m
Jawa Timur
Observasi TRMM terkoreksi
TRMM Prediksi
100 200
300 400
500 600
700 800
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
C H
m m
Kalimantan Selatan
Observasi TRMM terkoreksi
TRMM Prediksi
100 200
300 400
500 600
700 800
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
C H
m m
Sumatera Utara
Observasi TRMM terkoreksi
TRMM Prediksi
100 200
300 400
500 600
700 800
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
C H
m m
Kalimantan Barat
Observas i
100 200
300 400
500 600
700 800
Jan Peb
Mar Apr
Mei Jun
Jul Agus
Sep Okt
Nop Des
C H
m m
Maluku
Observasi TRMM terkoreksi
TRMM prediksi
TRMM menunjukkan hasil yang cukup tepat baik dari sisi pola bulanannya maupun dari intensitas hujan. Umumnya, hujan overestimate di wilayah pola
hujan muson terdapat pada musim hujan dan cukup mendekati pengamatan observasi pada musim kemarau dan musim peralihan Prasetia 2012;
Vernimmen et al. 2012; As-syakur eta al. 2011. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh kejadian muson yang relatif stabil sepanjang tahun di wilayah Indonesia.
Berbeda dengan dua wilayah pola hujan lainnya, yaitu pola equatorial dan lokal, data satelit TRMM menunjukkan kecenderungan overestimate yang cukup tinggi
walaupun pola bulanan mengikuti pola observasi. Hal ini dimungkinkan akibat variasi dan intensitas hujan yang cukup tinggi dimana tipe hujan konvektif dan
stratiform juga cukup tinggi. Namun pada musim kemarau, pada pola equatorial dan lokal, intensitas hujan dari satelit TRMM menunjukkan cukup mendekati
intensitas hujan observasi. Hal tersebut disebabkan karena jumlah pantulan hujan yang ditangkap oleh sensor TRMM pada musim kemarau lebih sedikit akibat
intensitas hujan yang lebih rendah sehingga hasil pengukurannya lebih mudah dilakukan.
b. Persamaan koreksi data satelit TRMM Bentuk persamaan koreksi yang dihasilkan untuk wilayah pola hujan
muson dan equatorial adalah bentuk geometrik sedangkan untuk pola hujan anti muson adalah bentuk linier. Di wilayah pola hujan muson, menunjukkan TRMM
setelah dikoreksi menunjukkan hasil yang cukup baik, yaitu nilai RMSE dan bias menurun. Sedangkan koefisien korelasi meningkat dimana curah hujan TRMM
yang overestimate menjadi lebih mendekati hujan observasi. Demikian halnya di wilayah hujan equatorial, dimana hujan TRMM sebelum koreksi cenderung
overestimate . Namun setelah dikoreksi, intensitas hujan TRMM menjadi lebih
mendekati hujan observasi. Di wilayah Maluku, nilai RMSE dan bias setelah dikoreksi juga mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
mengoreksi TRMM, galat yang dihasilkan dari data TRMM dapat dikurangi sehingga data TRMM terkoreksi lebih mendekati data observasi.
Berdasarkan gambaran pola hujan tahunan periode 2003-2009 dan rata- rata bulanan ditunjukkan pada Gambar 35-40, diperoleh bahwa intensitas hujan
data satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menggunakan satu faktor koreksi untuk masing-masing wilayah pola hujan menunjukkan hasil yang berbeda-beda.
Pada wilayah pola hujan muson, hasil perbandingan hujan tahunan menunjukkan intensitas hujan keluaran data TRMM setelah dikoreksi mengalami penurunan dan
lebih mendekati intensitas hujan data observasi baik TRMM sebelum dikoreksi maupun hujan observasi. Hal ini terutama terjadi pada musim kemarau
Mei-September baik di wilayah Lampung, Jawa Timur maupun Kalimantan Selatan. Demikian juga berdasarkan analisis intra-seasonal yang ditunjukkan
dengan analisis rata-rata bulanan ditunjukkan bahwa di wilayah pola hujan muson, intensitas hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menjadi lebih mendekati
hujan observasi terutama pada saat musim kemarau Mei-September. Namun, pada wilayah Kalimantan selatan, intensitas hujan satelit TRMM pada musim
kemarau menjadi overestimate setelah dikoreksi. Pada musim hujan, di wilayah Lampung, intensitas hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi, menjadi lebih
mendekati hujan observasi. Namun di wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, pada musim hujan intensitas hujan satelit TRMM setelah dikoreksi
menjadi lebih rendah underestimate dibandingkan hujan observasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan satu faktor koreksi untuk lokasi berbeda pada
pola hujan muson, menghasilkan keluaran yang tidak konsisten pada lokasi studi terutama di wilayah Kalimantan Selatan, baik pada musim kemarau maupun
musim hujan. Pada wilayah hujan equatorial, evaluasi hujan data satelit TRMM pada skala
tahunan setelah dilakukan koreksi menunjukkan bahwa hujan satelit TRMM lebih mendekati hujan observasi setelah dilakukan koreksi terutama di wilayah
Sumatera Utara baik pada musim kemarau dan musim hujan, walaupun masih cenderung overestimate. Sedangkan berdasarkan analisis rata-rata bulanan,
intensitas hujan satelit TRMM menjadi lebih mendekati hujan observasi setelah dilakukan koreksi terutama pada musim kemarau Juni-Agustus dan Desember-
Pebruari. Secara keseluruhan, pada wilayah pola hujan equatorial, data satelit TRMM setelah koreksi menjadi lebih mendekati hujan observasi terutama pada
musim kemarau Juni-Agustus dan Desember-Pebruari. Namun, hal tersebut juga menunjukkan hasil koreksi data satelit TRMM menggunakan satu faktor
koreksi tidak menunjukkan hasil yang konsisten pada kedua lokasi Sumatera Utara dan Kalimantan Barat di wilayah pola hujan equatorial.
Pada wilayah pola hujan lokal, secara intra-seasonal ditunjukkan bahwa pada puncak musim hujan Juni-Juli, hujan satelit TRMM setelah dilakukan
koreksi menunjukkan intensitas yang lebih mendekati hujan observasi, sedangkan pada musim kemarau Nopember-April, intensitas hujan data satelit TRMM
setelah dilakukan koreksi menunjukkan overestimate dibandingkan hujan observasi.
c. Model Penduga curah hujan bulanan satelit TRMM dan verifikasi model ARIMA
Pendugaan curah hujan satelit TRMM menggunakan model ARIMA menunjukkan performa model yang berbeda-beda. Pemanfaatan model ARIMA
untuk pendugaan curah hujan menghasilkan model yang cukup baik
Tresnawati 2010, namun bila dibandingkan dengan model non linear dengan multi-input transfer model, hasil prediksi hujan mempunyai ketepatan yang lebih
tinggi dibandingkan hasil model ARIMA Otok 2009. Hasil verifikasi prediksi curah hujan bulanan tahun 2010 terhadap data TRMM terkoreksi menunjukkan di
wilayah pola hujan muson dan lokal, koefisien korelasi yang dihasilkan cukup tinggi yaitu 60. Sedangkan di wilayah pola hujan equatorial, nilai koefisien
korelasi hanya berkisar antara 17-33. Hasil perbandingan curah hujan prediksi terhadap data hujan observasi juga menunjukkan bahwa model ARIMA
mempunyai performa cukup baik di wilayah pola hujan lokal dan muson dengan nilai koefisien korelasi 50. Sebaliknya, hasil prediksi hujan bulanan di wilayah
dengan pola hujan equatorial menunjukkan hasil verifikasi dengan koefiesin korelasi yang sangat kecil antara 10-16. Hal ini menunjukkan bahwa di
wilayah dengan pola hujan equatorial cukup sulit dilakukan prediksi menggunakan data TRMM. Wilayah ini sangat dipengaruhi oleh pergerakan ITCZ
dimana terjadi pertemuan aliran udara dari sirkulasi Hadley pada tiap belahan bumi dan mengalir menuju khatulistiwa. Sehingga pada wilayah ini, curah hujan
cukup tinggi sepanjang tahun. Selain itu, pada intensitas hujan yang tinggi, sensor satelit menangkap pantulan hujan lebih tinggi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Evaluasi dan validasi data satelit TRMM dilakukan menggunakan stasiun hujan terpilih untuk menghasilkan validasi yang tepat, dimana semakin banyak
stasiun hujan pada setiap grid, semakin baik untuk melakukan evaluasi dan validasi satelit TRMM. Perbandingan evaluasi data satelit TRMM menggunakan
grid 2x2 terhadap hujan observasi mempunyai nilai korelasi yang lebih tinggi dan nilai RMSE lebih rendah dibandingkan dengan grid ukuran 1x1. Selain itu, pada
hasil perbandingan grid TRMM ukuran 2x2 dengan hujan observasi menunjukkan nilai RMSE yang lebih rendah dibandingkan dengan grid TRMM ukuran 1x1.
Evaluasi data satelit TRMM menggunakan grid 2x2 terhadap data observasi pada setiap wilayah menunjukkan hasil yang berbeda baik secara pola maupun
intensitas hujan. Di wilayah pola hujan muson, secara konsisten pada musim kemarau April-September, data satelit TRMM menunjukkan kecenderungan
cukup tepat terhadap data hujan observasi, sedangkan pada musim hujan Nopember-Maret, data satelit TRMM menunjukkan intensitas overestimate
terhadap data hujan observasi. Pada wilayah equatorial, data satelit TRMM menunjukkan overestimate yang cukup besar pada puncak musim hujan April-
Mei dan Oktober-Nopember, namun menunjukkan performa berbeda di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat pada musim peralihan dan musim kemarau.
Sedangkan di wilayah lokal, intensitas hujan satelit TRMM cenderung underestimate
pada musim hujan dan cukup dekat dengan data observasi pada musim kemarau.
Persamaan faktor koreksi di wilayah hujan muson dan equatorial mempunyai bentuk geometrik, sedangkan untuk di wilayah hujan lokal
mempunyai bentuk persamaan linier dengan masing-masing pola hujan mempunyai satu faktor koreksi. Hasil koreksi data satelit TRMM di wilayah pola
hujan muson, equatorial dan lokal untuk data satelit TRMM, menghasilkan penurunan nilai galat data TRMM terhadap data observasi. Selain itu, penggunaan
faktor koreksi juga meningkatkan nilai koefisien korelasi antara data satelit TRMM dengan data observasi pada seluruh wilayah studi, kecuali Jawa Timur.
Secara intra-seasonal di wilayah muson dan equatorial, pola hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menggunakan satu faktor koreksi menunjukkan
hasil yang berbeda antar lokasi. Di wilayah pola hujan muson yaitu Lampung dan Jawa Timur, satelit TRMM terkoreksi menghasilkan intensitas hujan yang lebih
mendekati hujan observasi di musim kemarau. Sedangkan di wilayah Kalimantan Selatan, intensitas hujan satelit TRMM terkoreksi di musim kemarau menjadi
overestimate . Pada wilayah pola hujan equatorial, hasil koreksi satelit TRMM
menggunakan satu faktor koreksi menunjukkan hasil yang berbeda pada kedua lokasi Sumatera Utara dan Kalimantan Barat dimana di Kalimantan Barat, hujan
satelit TRMM terkoreksi menjadi lebih mendekati hujan observasi pada musim kemarau Juni-Agustus dan Desember-Pebruari. Sedangkan di Sumatera Utara,
walaupun terdapat penurunan intensitas hujan setelah dikoreksi, intensitas hujan satelit TRMM masih menunjukan overestimate. Di wilayah pola hujan lokal, hasil
koreksi data satelit TRMM menunjukkan intensitas hujan lebih mendekati hujan observasi terutama pada musim hujan Juni-Juli, sedangkan pada musim kemarau
menjadi overestimate. Pendugaan curah hujan bulanan data satelit TRMM menggunakan model
ARIMA menunjukkan performa berbeda-beda di tiga wilayah pola hujan. Hasil verifikasi model prediksi terhadap data TRMM terkoreksi di wilayah pola hujan
muson dan lokal, diperoleh nilai korelasi cukup tinggi, namun sebaliknya di wilayah pola hujan equatorial. Sedangkan pada verifikasi model penduga hujan
ARIMA terhadap data observasi, wilayah pola hujan lokal mempunyai nilai korelasi lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah pola hujan muson dan lokal.
5.2. Saran
1. Perlu dilakukan evaluasi dan validasi data satelit TRMM pada skala waktu pengamatan yang lebih tinggi, yaitu dasarian 10 harian dengan
dilakukan pembedaan analisis secara musiman, sehingga diharapkan hasil koreksi data satelit TRMM lebih mendekati hujan observasi.
2. Perlu dilakukan uji persamaan regresi yang dihasilkan untuk mengoreksi data TRMM di wilayah lain dengan pola hujan yang sama.
3. Perlu dilakukan uji model prediksi time series lainnya, seperti Jaringan Saraf Tiruan, multi-input transfer function, dan sebagainya untuk
meningkatkan keakuratan hasil prediksi hujan menggunakan data satelit TRMM.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. Int.
Journal of Climatology 23: 1435–1452.
Almazroui M. 2011. Calibration of TRMM Rainfall Climatology over Saudi Arabia during 1998–2009. Atmospheric Research 99: 400-4014.
As-Syakur AR, Tanaka T, Prasetia R, Swardika IK, Kasa IW. 2011. Comparison of TRMM Multisatellite Precipitation Analysis TMPA Products and Daily-Monthly
Gauge Data Over Bali. Int. Journal of Remote Sensing 32: 8969-8982.
Boer, R. 2005. Pendekatan Strategis, Taktis dan Operasional dalam Mengurangi Risiko Iklim di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di dalam Seminar ‘Pelembagaan
Pemanfaatan Informasi Ramalan Iklim Untuk Mengatasi Dampak Bencana Iklim’; Kupang, 21-22 Juni 2005.
Characteristic of TRMM data.
http:disc.sci.gsfc.nasa.govprecipitation . diakses
tanggal 14 feb 2012.
Christian HJ, Blakeslee RJ, Boccipio DJ, Koshak WJ, Goodman SJ, Mach DM. 2000. Science Data Validation Plan for the Lightning Imaging Sensor LIS. National
Aeronautics and Space Administration-NASA.
Curtis S, Salahuddin A, Adler RF, Huffman GJ, Gu G, Hong Y. 2007. Precipitation Extremes Estimated by GPCP and TRMM: ENSO
Relationship. Journal of Hydrometeorology 8: 678-689.
Funk C, Ederer G, Pedreros D. 2006. Tropical Rainfall Measuring Mission. UCSB Climate
Hazard Group.
http:www.drought.govimageserverNIDISworkshopsremotesensingabstractsch ris_funk.pdf
. Di akses tanggal 10 Februari 2012.
Hamada JL, Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati T. 2002. Spatial and Temporal Variations of the Rainy Season over Indonesia
and their Link to ENSO. Journal of the Meteorological Society of Japan 80:285-310.
Hong Y, Hsu KL, Sooroshian S, Gao X. 2005. Improved Representation of Diurnal Variability of Rainfall Retrieved from the Tropical Rainfall
Measurement Mission Microwave Imager Adjusted Precipitation Estimation from Remotely Sensed Information Using Artificial Neural Network
PERSIANN System. Journal of Geophysical Research 110: D06102, doi:10.10292004JD005301.