Kerusakan yang terjadi pada ginjal dapat bersifat akut atau kronis karena kerusakan yang berlangsung lama. Hilangnya fungsi ginjal pada gagal ginjal akut
dan kronis
tersebut mengakibatkan
ketidakmampuan tubuh
dalam mempertahankan homeostasis cairan, elektrolit, dan asam-basa. Sehingga terjadi
akumulasi adanya bahan toksik. Gangguan pada ginjal seperti nephrotoxin racun, polutan, dan obat-obatan yang merusak ginjal dapat menyebabkan terhambatnya
proses pembentukan urin. Gangguan yang paling jelas pada kasus gagal fungsi ginjal adalah kemampuan filtrasi glomerulus yang menurun
. Akibatnya jumlah
urin berkurang, tekanan darah menurun, dan timbul racun metabolisme dalam darah, terutama limbah metabolisme nitrogen seperti urea dan kreatinin Corwin
2009 Salah satu bagian ginjal yang sering mengalami kelainan adalah
glomerulus. Menurut Confer dan Panciera 1995, kerusakan yang terjadi sering disebabkan oleh adanya deposisi imun kompleks, thrombosis, emboli, dan infeksi
virus pada komponen glomerulus. Kerusakan dapat menyebabkan berbagai dampak secara morfologi maupun fungsional. Secara morfologis, kerusakan
glomerulus ditandai dengan terjadinya nekrosa, proliferasi sel membran, dan infiltrasi leukosit. Rusaknya glomerulus secara fungsional ditandai dengan
berkurangnya perfusi aliran darah. Jika aliran darah berkurang dapat mengurangi laju filtrasi glomerulus, proses reabsorbsi, serta sekresi tubulus. Hal ini
mengakibatkan aliran dalam tubulus tersumbat dan menghambat aliran urin. Jika berlanjut mengakibatkan retensi cairan dan elektrolit. Rusaknya glomerulus juga
dapat ditandai dengan lolosnya protein dan makromolekul dalam jumlah besar. Hal
ini mengakibatkan
terjadinya peningkatan
ekskresi urin,
udema, hiperlipidemia,
dan proteinuria.
Kejadian proteinuria
menyebabkan hipoproteinemia hipoalbuminemia dalam darah, yang mengakibatkan udema
pada paru-paru. Hal ini mengakibatkan difusi O
2
menjadi terganggu. Jika berlanjut tubuh menjadi hipoksia yang kemudian gagal nafas. Pada akhirnya dapat
menyebabkan kematian pada hewan Sowden dan Betz 2009. Epitel tubuli ginjal dapat mengalami degenerasi dan nekrosa. Kematian epitel tubuli ginjal dapat
menyebabkan nekrosa maupun apoptosis. Seperti di hati, epitel tubuli ginjal juga mengalami apoptosis Harrison 1999.
2.6 Efek Samping Setelah Mengkonsumsi Daun Katuk
Daun katuk memiliki banyak manfaat untuk kesehatan bagi semua
makhluk hidup. Menurut Suprayogi 2000 daun katuk dapat menanggulangi penyakit kurang darah atau anemia. Penelitian dilanjutkan dengan pemberian
ekstrak daun katuk ke dalam air minum, dan ditemukan bahwa pemberian ekstrak daun katuk menurunkan akumulasi lemak perut, hati dan lemak karkas. Pemberian
ekstrak daun katuk sebesar 4,5 gl air memberikan akumulasi lemak yang paling rendah. Penelitian tersebut diperkuat dengan pemberian ekstrak daun katuk ke
dalam ransum broiler sebesar 18 gkg ransum mampu menurunkan akumulasi lemak pada perut Santoso 1997. Di balik kelebihannya, daun katuk menyimpan
sejumlah kekurangan. Selain membantu proses metabolisme di dalam tubuh, glukokortikoid hasil metabolisme senyawa aktif daun katuk dapat mengganggu
penyerapan kalsium dan fosfor Santoso 2001. Pujiyati 1999 melaporkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk EDK dengan dosis 1.89 gekorhari dan suspensi
daun katuk SDK dengan dosis 7.44 gekorhari pada domba laktasi yang diberikan selama 5 minggu menyebabkan terjadinya degenerasi lemak pada hati
yang kemungkinan diakibatkan oleh senyawa aktif yang terkandung dalam daun katuk. Suprayogi 2000 juga melaporkan, dengan pemberian ekstrak daun katuk
sebesar 3.29 dengan dosis 1,89 gekorhari dan suspensi daun katuk sebesar 7.55 dengan dosis 7.44 gekorhari menyebabkan terjadinya peningkatan sel
epitel metaplasia menjadi sel goblet pada bronkhiolus yang kemungkinan disebabkan oleh adanya senyawa aktif kelompok Eicosanoid yang terdapat dalam
DK, seperti octadecanoid aacid, 9-ecosine, 5,8,11-heptadekatrienoic acid, 9,12,15- Octadekatrienoic acid ethyl ester, dan 11,14,17-eicosatrienoic acid
methyl ester. Ger dan Yang et al. 1997 juga melaporkan terjadi Bronkhiolitis Obliterans BO di Taiwan setelah mengkonsumsi daun katuk sebesar 150-303
ghari selama 46-320 hari. Kasus yang terjadi di Taiwan akibat mengkonsumsi daun katuk menjadi dasar untuk menganalisis kembali senyawa tersebut dengan
menggunakan GC-MS Gas Chromatography-Mass. Spectrometry. Ternyata keracunan yang diduga akibat PPV seperti diatas tidak dapat dibuktikan karena
pada sampel tidak ditemukan adanya PPV, begitu juga dengan sampel darah pasien yang mengalami keracunan Chang et al. 1998. Diperkirakan keracunan
disebabkan akibat mengkonsumsi daun katuk secara berlebihan dalam bentuk jus dan penggunaanya dalam jangka waktu yang lama. Hal ini diketahui setelah
menghitung dosis PPV melebihi dosis yang direkomendasikan oleh The Unitate States Pharmacopeia 1950 yaitu 300-400 mghari katuk kering. Penelitian
Suprayogi 2000 juga membuktikan bahwa kasus BO yang terjadi di Taiwan
bukan disebabkan oleh daun katuk karena tidak ditemukan kerusakan pada saluran pernafasan, tetapi ada peningkatan epitel sel bronkhiolus yang mengalami
metaplasia menjadi sel goblet. Di Amerika, sejak tahun 1995 daun katuk goreng, salad daun katuk, dan
minuman banyak dikonsumsi oleh masyarakat sebagai obat antiobesitas pelangsing tubuh. Penelitian dilakukan terhadap 115 kasus bronkiolitis obliterasi
110 perempuan dan 5 pria, berumur antara 22-66 tahun yang sebelumnya mengkonsumsi daun katuk. Pada uji fungsi paru terlihat obstruksi sedang sampai
parah. Pengobatan dengan campuran kortikosteroid, bronkodilatasi, eritromisin, dan zat imunosupresi hampir tidak berkhasiat. Setelah 2 tahun bronkiolitis
obliterasi berkembang menjadi parah dan terjadi kematian pada 6 pasien 6,1 . Di Taiwan 44 orang mengkonsumsi jus daun katuk mentah 150 g selama 2
minggu - 7 bulan, terjadi efek samping dengan gejala sukar tidur, tidak enak makan dan sesak nafas. Gejala hilang setelah 40-44 hari menghentikan konsumsi
jus daun katuk. Hasil biopsi dari 12 pasien menunjukkan bronkiolitis obliterasi.9 Sejumlah 178 pasien mengkonsumsi jus daun katuk mentah dengan dosis 150 g
hari 60.7 , digoreng 16.9 , campuran 20.8 , dan digodok 1.7 , selama 7 bulan - 24 bulan. Terdapat efek samping setelah penggunaaan selama 7
bulan berupa gejala obstruksi bronkiolitis sedang sampai parah. Konsumsi selama 22 bulan atau lebih menyebabkan gejala bronkiolitis obliterasi yang permanen
Ger dan Yang et al. 1997. Pemberian ekstrak daun katuk kering dan katuk hijau dengan dosis 1.68 gkgBB pada mencit selama kebuntingan menimbulkan
degenerasi lemak pada organ hati dan ginjal. Hal ini merupakan efek samping yang tidak diinginkan walaupun kejadiannya hanya bersifat sementara reversible
dan tergolong masih dalam tingkat rendah Hendarsari 2005.
2.7 Karakteristik dan Data Biologis Tikus Sebagai Hewan Percobaan 2.7.1 Karakteristik Tikus Putih Rattus sp.
Robinson 1979 mengklasifikasikan tikus putih sebagai hewan percobaan dengan taksonomi sebagai berikut: kelas Mamalia, ordo Rodentia, subordo
Myomorpha, famili Muridae, subfamili Murinae, genus Rattus, spesies Rattus sp. Gambar tikus putih tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Tikus putih Rattus sp.. Tikus merupakan mamalia yang umum digunakan sebagai hewan
percobaan. Tikus putih Rattus sp. galur Sprague Dawley yang merupakan jenis outbred tikus albino serbaguna yang digunakan secara ekstensif dalam beberapa
riset medis, termasuk dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan ketenangan dan kemudahan dalam penanganannya Smith dan Mangkoewidjojo 1988. Tikus
merupakan hewan laboratorium yang memiliki banyak keunggulan. Hal ini dikarenakan banyak gen tikus relatif mirip dengan manusia, dalam binatang
menyusui mamalia, kemampuan berkembangbiak tikus sangat tinggi, dan relatif cocok untuk digunakan dalam eksperimen massal. Selain itu, tipe bentuk badan
tikus kecil, mudah dipelihara, dan obat yang digunakan di badannya dapat relatif cepat terdistribusi Smith dan Mangkoewidjojo 1988. Melihat kenyataan diatas,
tikus sering digunakan sebagai hewan pengujian obat sebelum diberikan kepada manusia.
2.7.2 Data Biologis Tikus Putih Rattus sp.
Sebagai hewan percobaan, data biologis tikus penting dalam membantu
menyeragamkan hasil penelitian dunia medis. Berikut ini terdapat data biologis
tikus putih Rattus sp., yaitu diantaranya: Konsumsi pakan perhari
: 5 gram100 gram BB Konsumsi air minum perhari
: 8-11 mL 100 gram BB Diet Protein
: 12 Ekskresi Urin Perhari
: 5,5 mL 100 gram BB Lama hidup
: 2,5-3 tahun Bobot badan dewasa jantan
: 300-400 gram
Bobot badan dewasa betina : 250-300 gram
Bobot lahir : 5-6 gram
Dewasa kelamin : 50 ± 10 hari
Siklus estrus : 21 hari
Rasio Kawin : 1 jantan dengan 3 atau 4 betina
Jumlah kromosom : 42
Suhu rektal : 37,5º C
Laju respirasi : 87 xmenit
Denyut jantung : 300-500x menit
Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo 1988.
BAB 3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian