Pengaruh Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) terhadap Gambaran Hematologi pada Tikus Putih Laktasi

(1)

 

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAN FRAKSI

DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr) TERHADAP

GAMBARAN HEMATOLOGI PADA TIKUS PUTIH LAKTASI

NOVRI WANDI BAHAR

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

 

ABSTRACT

NOVRI WANDI BAHAR. The Effects of the Administration of Sauropus androgynus (L) Merr Leaf Extract and Fraction on the Hematological Views in Lactating Rats. Under supervision of AGIK SUPRAYOGI and ANDRIYANTO.

The separation of the active compound Sauropus androgynus leaf (SA leaf) based

on their solubility of organic solvents (ethanol, hexan, ethyl acetate, and water). This research was conducted to elucidate the effects of the administration of SA leaf extract and fraction on the hematological views in lactating rats. The extract and fraction was mixed in the pelleted feeds by ratio of 0,87%, 4,53%, 0,45%, and 3,22% for hexan fraction (FH), extracts of ethanol (E-Eto), ethyl acetate fraction (F-EtOAc), and water fraction (F-H2O) respectively. Fifteen lactating rats were divided into 5 groups, such as

control (K), FH , E-Eto, F-EtOAc, and F-H2O. The administration of SA leaf extract and

fraction to each groups was conducted on the first pregnancy up to the 10 days lactation. After 10 days lactation period the measurement of the total erythrocytes and leucocytes, hemoglobin (Hb), hematocrit values (PCV), and the differential leucocytes was executed. The research revealed that the SA leaf extract and fraction administration showed no significant influence for all hematological parameters. But there was an indication the decreasing of the total leucocytes on EtOAc administration and also Hb values on F-EtOAc and F-H administration. On the other hand, the F-H and E-Eto administration showed the increasing of the percentage of lymphocytes in leucocytes. The changes of hematological views, might be caused by the roles of active compounds in the extract and fraction of SA leaf.

Keywords: Lactation, Sauropus androgynus, Extraction, Fractionation, Hematology.


(3)

 

ABSTRAK

NOVRI WANDI BAHAR. Pengaruh Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) terhadap Gambaran Hematologi pada Tikus Putih Laktasi. Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan ANDRIYANTO.

Pemisahan kandungan senyawa aktif daun Sauropus androgynus (daun SA) dilakukan berdasarkan sifat kelarutannya pada pelarut organik (etanol, hexan, etil asetat, dan air). Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan pengaruh pemberian ekstrak dan fraksi daun SA terhadap gambaran hematologi pada tikus putih laktasi. Ekstrak dan fraksi daun SA dicampurkan ke dalam pelet dengan rasio 0,87%, 4,53%, 0,45%, dan 3,22% masing-masing untuk fraksi hexan (F-H), ekstrak etanol (E-Eto), fraksi etil asetat (F-EtOAc), dan fraksi air (F-H2O).

Sebanyak 15 ekor tikus laktasi dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan, yaitu kelompok perlakuan kontrol (K), F-H, E-Eto, F-EtOAc, dan F-H2O. Pemberian

ekstrak dan fraksi daun SA masing-masing kelompok perlakuan diberikan pada hari kebuntingan pertama sampai dengan laktasi hari ke-10. Setelah 10 hari masa laktasi dilakukan pengukuran terhadap jumlah eritrosit dan leukosit, kadar hemoglobin (Hb), nilai hematokrit (PCV), dan diferensial leukosit. Penelitian ini mengungkapkan bahwa pemberian ekstrak dan fraksi daun SA secara umum tidak mempengaruhi keseluruhan parameter hematologi. Namun ada tanda-tanda penurunan jumlah leukosit pada pemberian F-EtOAc dan juga penurunan kadar Hb pada pemberian F-EtOAc dan F-H. Selain itu, pemberian F-H dan E-Eto juga menunjukkan adanya peningkatan limfosit. Perubahan-perubahan yang terjadi pada gambaran hematologi tersebut kemungkinan disebabkan oleh peran senyawa aktif pada ekstrak dan fraksi daun SA.

Kata Kunci: Laktasi, Sauropus androgynus, Ekstraksi, Fraksinasi, Hematologi.

 


(4)

 

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAN FRAKSI

DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr) TERHADAP

GAMBARAN HEMATOLOGI PADA TIKUS PUTIH LAKTASI

NOVRI WANDI BAHAR

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

 

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) terhadap Gambaran Hematologi pada Tikus Putih Laktasi” adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011 Novri Wandi Bahar NIM B04070067


(6)

 

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak mengurangi kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

 

Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) terhadap Gambaran Hematologi pada Tikus Putih Laktasi

Nama Mahasiswa : Novri Wandi Bahar

NRP : B04070067

Program Studi : Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

Disetujui

Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, M.Sc, AIF. drh. Andriyanto, M.Si. Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini, AIF. Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan


(8)

 

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) terhadap Gambaran Hematologi pada Tikus Putih Laktasi” berhasil diselesaikan. Skripsi ini terwujud dengan baik atas dukungan Proyek Penelitian Hibah Kompetitif DIKTI DEPDIKNAS tahun 2009 yang diketuai oleh Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, M.Sc, AIF. dengan nomor kontrak : 343/SP2H/PP/AP2H/VI/2009.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, M.Sc, AIF. dan drh. Andriyanto, M.Si. selaku pembimbing, serta Dr. Nastiti Kusumorini, AIF. dan drh. Supriyono yang telah banyak memberikan sumbangan ilmu selama penelitian. Di samping itu penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ida, Ibu Sri, Bapak Edi, dan Ibu Erna yang telah banyak membantu selama penelitian. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman sepenelitian dan seperjuangan, Sari, Syaprianti, Arisa, dan Poniman. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc, AIF., drh. Huda Shalahudin Darusman, M.Si., Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Bachrum Sudarwanto, dan Ibu Rini Madyastuti Purwono, M.Si, Apt. yang telah memberikan kritik, saran, dan koreksian penulisan skripsi pada saat seminar dan ujian akhir sarjana penulis.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Dr. drh. Joko Pamungkas, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan motivasi dan nasehat selama penulis menjadi mahasiswa program sarjana FKH IPB. Penghargaan penulis sampaikan kepada Ayahanda Syamsul Bahar, S.IP, Ibunda Nini Deswita, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada Fenny, Eddy, Ila, Sari, Yakub, Sigit, Noby, Lora, Achi, dan seluruh sahabat GIANUZZI FKH 44, serta sahabat A13 TPB 44 atas kebersamaan, pengalaman, kenangan, dan semangat dukungannya. Semoga karya ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2011 Novri Wandi Bahar


(9)

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungai Dareh, Sumatera Barat pada tanggal 5 November 1989. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, putra dari pasangan ayah Syamsul Bahar, S.IP dan ibu Nini Deswita.

Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 05 VI Suku kota Solok, Sumatera Barat pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 8 kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat dan lulus pada tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Pulau Punjung kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama menjalani pendidikan S1, penulis aktif di Himpunan Minat Profesi (Himpro) Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA) FKH IPB menjadi pengurus divisi Satwa Aquatik dan Eksotik periode 2008-2009. Pada periode berikutnya 2009-2010 di himpunan yang sama penulis menjadi pengurus divisi Informasi, Komunikasi, dan Usaha (INFOKUS).


(10)

 

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 2

1.3. Manfaat Penelitian ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanaman Katuk ... 3

2.2. Manfaat dan Toksisitas Tanaman Katuk ... 4

2.3. Kandungan Nutrisi dan Senyawa Aktif Daun Katuk ... 5

2.4. Ekstrak dan Fraksi Hexan, Etanol, Etil Asetat, dan Air ... 8

2.5. Biologi Tikus Putih ... 10

2.6. Gambaran Darah Tikus Putih ... 11

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya ... 19

3.3. Alat dan Bahan ... 19

3.4. Metode Penelitian ... 20

3.4.1. Ekstraksi dan Fraksinasi Daun Katuk ... 20

3.4.2. Pembuatan Bubuk Ekstrak dan Fraksi Ekstrak Daun Katuk ... 21

3.4.3. Pembuatan Pakan ... 22

3.4.4. Pelaksanaan Penelitian ... 22

3.4.5. Pengamatan Pengaruh Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk Terhadap Gambaran Darah Tikus ... 23

3.4.5.1. Perhitungan Eritrosit ... 23

3.4.5.2. Perhitungan Leukosit ... 24

3.4.5.3. Perhitungan Diferensial Leukosit ... 24

3.4.5.4. Pengukuran Kadar Hemoglobin ... 25

3.4.5.5. Pengukuran Nilai Hematokrit ... 26

3.4.5. Analisis Data... 26

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Jumlah Eritrosit, Kadar Hb, dan Nilai PCV terhadap Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk ... 27

4.2. Gambaran Jumlah Leukosit terhadap Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk ... 30

4.3. Gambaran Diferensial Leukosit terhadap Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk ... 31


(11)

 

5. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan ... 34

5.2. Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35


(12)

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kandungan Nutrisi Daun Katuk (Nilai per 100 g Daun Katuk Segar) ... 6 2 Tujuh Senyawa Aktif Utama Tanaman Katuk dan Pengaruhnya terhadap

Fungsi Fisiologis dalam Jaringan ... 7 3 Komposisi Nutrisi Pakan ... 22 4 Nilai Hematologi Eritrosit (juta/mm3), PCV (%), dan Hb (%) Tikus Putih

Laktasi Hari ke-10 ... 27 5 Nilai Hematologi Leukosit (ribu/mm3) Tikus Laktasi Hari ke-10 ... 30 6 Nilai Hematologi Diferensial Leukosit (%) Tikus Laktasi Hari ke-10 ... 32


(13)

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tanaman katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) beserta buah dan bunga ... 3 2 Tikus Putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley ... 11 3 Pembentukan berbagai sel darah tepi yang berbeda-beda dari sel stem

hematopoietik pluripoten asal (PHSC) dalam sumsum tulang ... 13 4 Prosedur fraksinasi ekstrak daun katuk ... 21


(14)

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Rataan Nilai Eritrosit (juta/mm3) Tikus Laktasi Hari ke-10 ... 40

2 Rataan Nilai PCV (%) Tikus Laktasi Hari ke-10 ... 41

3 Rataan Nilai Hb (g%) Tikus Laktasi Hari ke-10 ... 42

4 Rataan Nilai Leukosit (ribu/mm3) Tikus Laktasi Hari ke-10 ... 43

5 Rataan Nilai Limfosit (%) Tikus Laktasi Hari ke-10 ... 44

6 Rataan Nilai Netrofil (%) Tikus Laktasi Hari ke-10 ... 45

7 Rataan Nilai Monosit (%) Tikus Laktasi Hari ke-10 ... 46

8 Rataan Nilai Eosinofil (%) Tikus Laktasi Hari ke-10 ... 47


(15)

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, baik hewan maupun tanaman. Tanaman obat sebagai salah satu sumber keanekaragaman hayati yang dimiliki bangsa Indonesia sudah seharusnya dimanfaatkan sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan dan mempunyai nilai tambah secara ekonomi bagi masyarakat, serta dapat menyumbangkan devisa negara pada masa yang akan datang.

Beberapa tanaman obat dapat digunakan oleh ibu yang baru melahirkan dan menyusui anaknya untuk mengatasi kekurangan gizi. Ada sekitar 15 jenis tanaman obat tradisional yang sering digunakan sebagai suplemen dan pelancar ASI. Salah satunya ialah daun katuk yang secara ilmiah dinamakan Sauropus androgynus (L.) Merr (Suharmiati et al. 1997). Secara empiris, tanaman katuk sudah dikenal sebagai tanaman obat sejak zaman dahulu. Banyak orang percaya bahwa mengkonsumsi daun katuk dapat menyegarkan dan meningkatkan daya tahan tubuh bagi orang yang baru sembuh dari sakit, serta diyakini dapat meningkatkan produksi ASI. Daun katuk selain dapat meningkatkan produksi ASI, juga dapat memperbaiki fungsi pencernaan dan metabolisme tubuh (Suprayogi 2000).

Kejadian gizi buruk, gangguan reproduksi, dan laktasi masih cukup besar di Indonesia. Kejadian gizi buruk yang terjadi pada ibu hamil sangat mempengaruhi pertumbuhan janin di dalam kandungan dan mempengaruhi tumbuh kembang sel sekretori kelenjar ambing. Kekurangan gizi ini pada akhirnya akan menurunkan produksi air susu ibu (ASI) baik secara kualitas maupun kuantitas. Di samping itu, pada saat proses kelahiran ibu kehilangan banyak darah, pada tubuh yang sehat kehilangan darah ini akan dipulihkan kembali melalui proses homeostasis dengan cara membentuk sel-sel darah baru. Sel-sel darah baru ini digunakan untuk mengganti darah yang hilang, hal ini penting dalam menopang berlangsungnya produksi air susu pada periode laktasi. Cairan darah sendiri berfungsi sebagai alat transportasi bagi oksigen dan nutrisi


(16)

yang diperlukan dalam proses metabolisme dan sintesis air susu di kelenjar ambing (Cunningham 1997).

Pada umumnya pemanfaatan daun katuk masih dalam bentuk daun segar (sayur) maupun ekstrak kasarnya. Pemanfaatan daun katuk untuk ibu melahirkan masih belum optimal. Di samping itu, dilaporkan kemungkinan masih adanya efek samping dari penggunaan daun katuk sehingga perlu upaya penelitian lebih dalam lagi. Sampai saat ini, pemanfaatan daun katuk baik dalam bentuk ekstrak kasar maupun daun segarnya juga masih belum terstandardisasi. Mekanisme kerja daun katuk khususnya terhadap hematologi juga masih sulit dipahami secara rinci, karena banyaknya kelompok senyawa aktif yang ikut terlibat. Oleh karena itu, penelitian daun katuk harus mulai diarahkan pada penemuan kelompok senyawa aktif dalam bentuk fraksi agar mendapatkan produk dengan efek farmakologi tinggi dan efek samping yang rendah (Suprayogi et al. 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pengaruh pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk terhadap gambaran darah tikus laktasi hari ke-10. Produk ekstrak daun katuk yang digunakan ialah ekstrak kasar etanol, fraksi hexan, fraksi etil asetat, dan fraksi air.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini ialah mengamati pengaruh pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk terhadap gambaran darah tikus laktasi pada hari ke-10. Selain itu, penelitian ini bertujuan membandingkan efek masing-masing fraksi tersebut terhadap proses pembentukan darah.

1.3. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini untuk memberikan informasi tentang pengaruh pemberian senyawa aktif dalam bentuk ekstrak dan fraksi daun katuk sebagai penambah darah dan stimulan produksi air susu. Selain itu, terbukanya pengetahuan baru tentang manfaat ekstrak dan fraksi daun katuk yang memiliki efek farmakologi yang tinggi dan efek samping yang rendah, sehingga selanjutnya dapat mendasari inovasi produk-produk baru dari ekstrak dan fraksi daun katuk.


(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Karakteristik Tanaman Katuk

Taksonomi tanaman katuk diklasifikasikan ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, bangsa Geraniales, suku Euphorbiaceae, subsuku Phyllanthoideae, dengan marga Sauropus, dan digolongkan ke dalam jenis Sauropus androgynus (L.) Merr (Sukendah 1997).

Bentuk tanaman katuk berupa semak dengan tinggi mencapai 2 sampai dengan 3 meter. Daunnya berbentuk bulat memanjang, pangkal daun tumpul atau bulat, ujung daun runcing, dan kadang-kadang setengah runcing. Lebar daun berkisar antara 1,25-3 cm, panjang daun berkisar antara 2,25-7,5 cm, tangkai daun berkisar antara 2-4 mm, dan stipula atau daun penumpu berkisar antara 1,75-3 mm. Warna permukaan atas daunnya hijau gelap, sedangkan permukaan bawah hijau muda. Bunganya berwarna merah gelap atau kuning dengan titik-titik merah yang gelap. Sepanjang tahun tanaman ini berbunga, dengan buah melekat pada satu pedisel yang panjangnya berkisar antara 0,75-1,25 cm, dan berwarna putih atau sedikit merah muda (Setyowati 1997). Selanjutnya tanaman katuk dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tanaman katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) beserta buah dan bunganya.


(18)

Tanaman katuk memiliki susunan daun yang menarik bahwa seolah-olah berdaun majemuk tetapi jika dilihat dengan seksama berdaun tunggal karena diketiak daunnya terdapat bunga. Batang tanaman katuk memiliki alur-alur dengan kulit yang agak licin berwarna hijau, jumlah daun percabang berkisar antara 11-12 helai (Sukendah 1997). Produksi daun katuk berikut batang atau cabang muda dari tanaman yang telah mantap berkisar antara 300-700 kg/1000 m2. Katuk umumnya ditanam pada ketinggian antara 5-3000 m diatas permukaan laut dan diperbanyak dengan cara stek (Puspaningtyas et al. 1997).

2. 2. Manfaat dan Toksisitas Tanaman Katuk

Tanaman katuk telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai tanaman dengan kandungan gizi yang cukup tinggi. Selain itu, mengkonsumsi katuk dipercaya memiliki khasiat sebagai bahan obat tradisional. Pengetahuan ini telah diturunkan secara turun temurun dari zaman nenek moyang (Malik 1997). Sekarang ini, tanaman katuk juga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias dan tanaman pagar di halaman atau di pekarangan rumah (Sumantera 1997).

Daun katuk dapat digunakan sebagai obat berbagai macam penyakit, di antaranya adalah obat bisul, borok, koreng, demam, darah kotor, dan frambusia (Malik 1997). Buahnya sering dibuat sebagai manisan. Daun katuk dan bagian pucuk batang dapat diolah dan dikonsumsi sebagai salah satu sayuran yang digemari oleh masyarakat Indonesia. Perasan daun katuk dimanfaatkan sebagai pewarna makanan, selai, dan kue, seperti kue klepon, tape ketan, dan kue bugis (Heyne 1987). Fungsi tanaman katuk lainnya yaitu mampu meningkatkan jumlah darah (Darmawan 1997).

Konsumsi daun katuk terbukti dapat meningkatkan produksi ASI karena adanya kandungan senyawa aktif yang terdapat didalam daun katuk (Suprayogi 2000). Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa pemberian suspensi daun katuk dapat meningkatkan kecernaan terhadap pakan di antaranya bahan kering, protein, dan lemak, serta dapat menyebabkan terjadinya peningkatan absorpsi glukosa di saluran pencernaan dan metabolisme glukosa di hati. Peningkatan kecernaan pakan ini mengindikasikan terjadinya efisiensi penyerapan nutrisi dalam saluran pencernaan utamanya karbohidrat sehingga ketersediaan nutrisi


(19)

dalam tubuh meningkat untuk dapat memenuhi kebutuhan tubuh dan sintesis air susu (Suprayogi 1995).

Saat ini, ekstrak daun katuk maupun daun katuk kering giling sudah mulai ditambahkan ke dalam ransum hewan sebagai campuran pakan untuk meningkatkan produksi susu. Ekstrak daun katuk mampu meningkatkan sintesis air susu pada kambing laktasi sebesar 21,03% dan adanya peningkatan glukosa di kelenjar susu sebesar 52,66% (Suprayogi et al. 1992).

Selain memberikan banyak manfaat bagi manusia dan ternak, ternyata daun katuk juga memberikan efek negatif apabila di konsumsi dalam konsentrasi yang tinggi. Penyakit saluran pernapasan akut pernah dilaporkan di Taiwan, terjadi pada pasien yang mengkonsumsi katuk yang tidak dimasak. Hasil pemeriksaan patologi dari biopsi paru-paru menunjukkan adanya Bronchiolitis obliterans (BO). Senyawa kimia yang kemungkinan bertanggung jawab dalam hal ini kemungkinan papaverin (Hung et al. 2000).

2.3. Kandungan Nutrisi dan Senyawa Aktif Daun Katuk

Kandungan daun katuk terdiri atas protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B, C. Selain itu, daun katuk juga mengandung tanin, flavanoid, dan senyawa steroid, serta polifenol (Sa’roni et al. 1997). Kandungan ini merupakan penunjang nilai gizi daun katuk yang bermanfaat bagi ibu yang sedang menyusui. Kandungan nutrisi daun katuk secara lengkap disajikan pada Tabel 1.


(20)

Tabel 1 Kandungan Nutrisi Daun Katuk (Nilai per 100 g Daun Katuk Segar) Nutrisi Departemen Kesehatan RI (1981) Oei (1987) Padmavathi & Rao (1990)

Karbohidrat 11 g 11 g -

Protein 4,8 g 4,8 g 7,4 g

Lemak 1 g 2 g 1,1 g

Kalsium (Ca) 204 mg 204 mg 771 mg

Fosfor (P) 83 mg 83 mg 543 mg

Besi (Fe) 2,7 mg 2,7 mg 8,8 mg

Vitamin A 10371 SI - 5600 µg

Vitamin B1 0,1 mg - 0,5 mg

Vitamin B6 - 0,1 mg 0,21 mg

Vitamin C 239 mg 200 mg 244 mg

Vitamin D - 3111 µg -

Air 81 g 70 g 69,9 g

Serat - - 1,8 g

Karotin - - 5600 µg

Thiamin - - 0,5 mg

Riboflavin - - 0,21 mg

Energi (Kal) 59 72 -

- : Tidak dianalisa

Selain kandungan nutrisi, daun katuk juga mengandung tujuh senyawa aktif utama, yaitu lima kelompok senyawa polyunsaturated fatty acid yang merupakan kelompok senyawa eicosanoids yaitu, antara lain Octadecanoic acid; 9-Eicosine; 5, 8, 11-Heptadecatrienoic acid; 9, 12, 15-Octadecatrienoic acid; dan 11, 14, 17- Eicosatrienoic acid. Lima kelompok senyawa ini berperan sebagai prekursor dalam metabolisme seluler yang menghasilkan senyawa prostaglandin, thromboxan, prostacyclin, dan leukotrine. Disamping itu terdapat satu senyawa intermediate-step dari biosintesis steroid hormon yaitu Andostran -17- one, 3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha dan senyawa 3, 4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid sebagai eksogenus asam asetat dari saluran pencernaan. Senyawa-senyawa ini penting karena memiliki efek biologis pada fungsi seluler (Suprayogi 2000). Tujuh senyawa aktif utama daun katuk dan pengaruhnya terhadap fungsi fisiologis dalam jaringan disajikan secara lengkap pada Tabel 2.


(21)

Tabel 2 Tujuh Senyawa Aktif Utama Tanaman Katuk dan Pengaruhnya Terhadap Fungsi Fisiologis dalam Jaringan

No Senyawa Aktif Pengaruhnya pada Fungsi Fisiologis 1 2 3 4 5 Octadecanoic acid 9-Eicosine

5, 8, 11-Heptadecatrienoic acid

9, 12, 15-Octadecatrienoic acid

11, 14, 17- Eicosatrienoic acid

Sebagai prekursor dan terlibat dalam biosintesis

senyawa eicosanoids (Prostaglandin,

prostacycline, thromboxane, lipoxines dan leukotrienes)

6 Andostran -17- one, 3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha

Sebagai prekursor atau intermediate-step dalam

sintesis senyawa hormon steroid (progesteron, estradiol, testosteron dan glukokorticoid)

Senyawa 1-6 Memodulasi hormon-hormon mammogenesis dan

laktogenesis serta aktifitas fisiologi yang lain. 7

3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid

Sebagai eksogenus asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus krebs.

Senyawa 1-7 Berkhasiat sebagai : pemacu produksi air susu

ASI, meningkatkan fungsi pencernaan, meningkatkan pertumbuhan badan, pemicu jumlah darah, mengatasi kelelahan, mengatasi penyakit pembuluh darah, mengatasi gangguan reproduksi pada pria dan wanita.

Sumber: Suprayogi (2002)

Penelitian sebelumnya telah menemukan adanya senyawa kimia alkaloid papaverin dalam daun katuk (Bender & Ismail 1975 dalam Suprayogi 2000). Akan tetapi, identifikasi komponen kimia yang dilakukan oleh Suprayogi (2000) tidak menunjukkan adanya senyawa aktif papaverin dalam daun katuk, kecuali hanya kelompok alkaloid isoquinoline. Efek yang ditimbulkan oleh senyawa alkaloid tersebut dimungkinkan sama dengan efek yang ditimbulkan oleh papaverin sehingga alkaloid tersebut dapat disebut sebagai senyawa alkaloid papaverine-like compound (Suprayogi 2000).

Papaverin bekerja langsung pada otot polos, pembuluh darah, dan otot jantung. Senyawa ini bekerja pada reseptor beta adrenergik dengan perantara c-AMP (Goodman & Gilman 1975). Begitu juga sama halnya dengan prostaglandin


(22)

yang merupakan kelompok senyawa eicosanoid. Prostaglandin juga memiliki efek yang spesifik terhadap otot jantung, pembuluh darah dan otot polos yaitu dapat berperan sebagai vasokonstriktor dan juga dapat berperan sebagai vasodilator tergantung pada tempat prostaglandin tersebut disintesis (Adam 2001).

Papaverin dan prostaglandin dapat memberikan pengaruh dilatasi pada pembuluh darah besar seperti arteri dan dapat menurunkan tekanan perifer (Goodman & Gilman 1975). Papaverin dalam darah dilaporkan dapat berinteraksi dengan eritrosit terutama pada kemampuan Hb dalam mengikat oksigen. Secara in vitro, papaverin terbukti dapat menurunkan afinitas oksigen dan Hb yang terdapat dalam eritrosit (de Paula & Meirelles 1992). Penurunan afinitas Hb dalam mengikat O2 dapat menyebabkan penurunan kemampuan fungsional sel untuk

mentranspor O2 ke jaringan sehingga akan merangsang produksi eritropoetin yang

dapat menggertak pembentukan eritrosit baru. Pembentukan sel darah ini akan terus berlangsung sampai kebutuhan oksigen dalam jaringan terpenuhi. Hb disintesis dalam eritrosit dan mampu berikatan dengan oksigen sehingga jika proses pembentukan eritrosit terus berlangsung maka kadar Hb akan meningkat (Guyton & Hall 2008). Pengaruh prostaglandin pada darah baik secara in vitro maupun in vivo telah terbukti nyata dapat meningkatkan Unit Pembentuk unit pembentuk koloni eritrosit (CFU-E) pada hewan tikus (Jain 1993).

2.4. Ekstrak dan Fraksi Etanol, Hexan, Etil Asetat, dan Air

Ekstraksi adalah penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat dan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang diinginkan larut. Bahan mentah obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan tidak perlu diproses lebih lanjut kecuali dikumpulkan atau dikeringkan. Ekstrak tidak mengandung hanya satu unsur saja tetapi berbagai macam unsur, tergantung pada obat yang digunakan dan kondisi ekstraksi (Ansel 1989).

Ekstraksi adalah pemisahan kandungan aktif dari simplisia menggunakan cairan penyaring yang cocok. Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami perubahan, biasanya bahan yang dikeringkan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam ekstraksi yaitu jumlah simplisia, penambahan air ekstrak, derajat kehalusan, cara pemanasan, cara


(23)

penyaringan, dan perhitungan dosis pemakaian. Pada dasarnya metode ekstraksi ada beberapa macam diantaranya yaitu maserasi (perendaman), perkolasi, digesti, infusi, dan dekoksi (Wientarsih & Prasetyo 2006)

Pelarut adalah suatu cairan yang digunakan dalam proses pemecahan ikatan suatu persenyawaan untuk selanjutnya membentuk suatu larutan. Energi yang dibutuhkan untuk memecahkan ikatan-ikatan ini diambil dari energi yang dilepaskan karena terbentuknya ikatan antara partikel yang dilarutkan dengan partikel pelarut. Untuk memecahkan ikatan persenyawaan dibutuhkan energi yang cukup besar. Pada umumnya, senyawa yang berikatan ion hanya larut di dalam air atau pelarut sangat polar lainnya. Begitu juga senyawa kovalen polar hanya larut didalam pelarut polar, dan senyawa kovalen nonpolar hanya larut di dalam persenyawaan nonpolar (Winarno et al. 1973).

Pelarut yang digunakan adalah etanol, hexan, etil asetat, dan air. Air dalam farmakope Indonesia ditetapkan sebagai salah satu cairan penyari. Air dapat melarutkan garam alkaloid, minyak menguap, glikosida, tanin, dan gula. Air dipertimbangkan sebagai pelarut karena murah, mudah diperoleh, stabil, tidak beracun, alamiah, tidak mudah menguap, dan tidak mudah terbakar (Depkes 1995).

Etanol merupakan senyawa yang mudah menguap, jernih, dan tidak berwarna. Berbau khas dan menyebabkan rasa terbakar pada lidah. Mudah menguap walaupun pada suhu rendah dan mendidih pada suhu 78oC, serta mudah terbakar. Larut dalam air dan semua pelarut organik. Bobot jenis etanol tidak lebih dari 0,7964. Etanol dipertimbangkan sebagai pelarut karena lebih selektif. Kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas, air pada segala perbandingan, dan panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit (Depkes 1995). Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Keuntungan lainnya adalah sifatnya, untuk mengendapkan bahan putih telur dan menghambat kerja enzim. Umumnya berlaku sebagai cairan pengekstraksi adalah campuran bahan pelarut yang berlainan, terutama etanol dan air. Etanol 70% merupakan bahan aktif yang sangat optimal, dimana bahan pengotor hanya dalam skala kecil turut serta dalam cairan pengekstraksi (Voight 1994).


(24)

Hexan merupakan senyawa yang mengandung 98% sampai dengan 100,5% C13H6Cl6O2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Berwarna

putih agak cokelat dan agak berbau fenol. Tidak larut dalam air, namun mudah larut dalam aseton, etanol, kloroform, eter, dan larutan encer alkali hidroksida tertentu (Depkes 1995).

Etil asetat merupakan cairan tidak berwarna dengan bau khas, rasa aneh, seperti aseton dan membakar. Etil asetat didapat secara destilasi lambat campuran etil alkohol, asam asetat dan asam sulfat. Berdasarkan kelarutannya, etil asetat dapat larut dalam eter, alkohol, minyak lemak, dan minyak atsiri (Depkes 1995).

Fraksinasi adalah prosedur pemisahan yang bertujuan memisahkan golongan utama kandungan yang satu dari golongan utama yang lain. Pemisahan jumlah dan jenisnya senyawa menjadi fraksi yang berbeda tergantung pada jenis tumbuhan. Senyawa-senyawa yang bersifat polar akan masuk ke pelarut polar, begitu pula senyawa yang bersifat nonpolar akan masuk ke pelarut nonpolar (Harborne 1987).

2.5. Biologi Tikus Putih

Sistem taksonomi tikus diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Rodentia, subordo Myomorpha, family Muridae, subfamily Murinae, dengan genus Rattus, dan digolongkan ke dalam spesies Rattus norvegicus (Myers et al. 2008)

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan salah satu hewan percobaan atau hewan laboratorium yang sering digunakan dalam riset medis. Keuntungan utamanya adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya. Tikus putih merupakan rodensia yang mudah dipelihara, praktis juga dapat berkembang biak dengan cepat, sehingga dapat diperoleh keturunan dalam jumlah yang banyak dalam waktu singkat serta anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik. Di Indonesia hewan percobaan ini sering dinamakan tikus besar, sedangkan hewan percobaan lain yang lebih kecil, Mus musculus dinamakan mencit (Smith & Mangkoewidjojo 1988).


(25)

Gambar 2 Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley.

Jika dibandingkan dengan tikus liar, tikus laboratorium lebih cepat menjadi dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, umumnya lebih mudah berkembang biak, dan lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Jika tikus liar dapat hidup selama selama 4 sampai dengan 5 tahun, tikus laboratorium jarang hidup lebih dari 3 tahun (Smith & Mangkoewidjojo 1988).

Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lainnya, yaitu bahwa tikus tidak mudah muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung, dan tikus tidak mempunyai kantung empedu (Bivin et al. 1979).

Data biologi dan fisiologis untuk volume darah normal tikus putih berkisar antara 57-70 ml/kg; sel darah merah berkisar antara 7,2-9,6 x 106/mm3; sel darah putih berkisar antara 5-13 x 103/mm3; netrofil tikus putih berkisar antara 9-34%; limfosit berkisar antara 63-84%; monosit berkisar antara 0-5%; eosinofil berkisar antara 0-6%; nilai kadar PCV berkisar antara 45-47%; sedangkan nilai kadar Hb berkisar antara 15-16 g/100 ml (Smith & Mangkoewidjojo 1988).

2.6. Gambaran Darah Tikus Putih

Darah merupakan media cair yang terdiri dari komponen selular yaitu sel-sel darah dan komponen cairan yang kaya akan protein yaitu plasma darah (Schalm 2010). Darah dianggap sebagai jaringan khusus yang menjalani sirkulasi dan terdiri atas sel-sel yang terendam dalam plasma darah (Dellman & Brown 1992).


(26)

Darah mempunyai peranan penting dalam mempertahankan homeostasis tubuh yang meliputi keseimbangan cairan tubuh, pH maupun suhu tubuh, transportasi enzim dan hormon, pertahanan tubuh terhadap infiltrasi benda-benda asing dan mikroorganisme (Guyton & Hall 2008). Fungsi darah juga untuk mengalirkan substansi-substansi yang sangat penting untuk kehidupan dan kesehatan termasuk oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan oleh setiap sel. Darah juga membawa karbondioksida dan produk metabolit lain dari berbagai sel didalam tubuh dan mengalirkannya ke paru-paru, ginjal, dan hati dimana mereka akan dikeluarkan (Cunningham 1997). Darah mempunyai fungsi untuk koagulasi sehingga akan mencegah kehilangan darah apabila ada kerusakan dalam pembuluh darah. Selain itu, darah berperan penting dalam pengaturan suhu, menjaga sistem keseimbangan asam basa tubuh, serta mengandung faktor penting untuk pertahanan tubuh terhadap penyakit (Schalm 2010).

Pada sumsum tulang terdapat sel-sel yang disebut sel stem hematopoietik pluripoten (PHSC) yang merupakan asal dari seluruh sel-sel darah dalam sirkulasi. Pembelahan sel-sel PHSC membentuk bermacam-macam sel darah tepi. Pertumbuhan dan reproduksi berbagai sel stem ini diatur oleh protein yang disebut penginduksi pertumbuhan. Tetapi, protein penginduksi pertumbuhan ini hanya akan memicu pertumbuhan, tidak mampu untuk membeda-bedakan sel. Pembedaan sel-sel ini diatur oleh protein lain yaitu penginduksi diferensiasi. Setelah itu, masing-masing dari protein penginduksi diferensiasi akan menghasilkan satu tipe sel stem untuk berdiferensiasi sampai akhirnya membentuk sel darah merah dewasa. Sel-sel darah ini diproduksi secara terus menerus sepanjang hidup, oleh sebab itu sebagian dari sel-sel asal ini masih seperti sel-sel pluripoten asal dan disimpan dalam sumsum guna mempertahankan pasokannya (Guyton & Hall 2008).

Pembentukan penginduksi pertumbuhan dan penginduksi diferensiasi dikendalikan oleh faktor-faktor diluar sumsum tulang. Pada eritrosit, pembentukan penginduksi pertumbuhan dan penginduksi diferensiasi dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kadar oksigen di lingkungan. Pada keadaan dimana kontak tubuh dengan oksigen rendah dalam waktu yang lama akan menyebabkan induksi pertumbuhan, diferensiasi dan produksi eritrosit dalam jumlah yang sangat


(27)

meningkat. Pada leukosit, penyakit infeksi akan menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi, dan akhirnya pembentukan leukosit tipe spesifik yang diperlukan untuk memberantas infeksi (Guyton & Hall 2008). Pembentukan berbagai sel darah tepi yang berbeda-beda dari sel stem hematopoietik pluripoten asal (PHSC) dalam sumsum tulang disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Pembentukan berbagai sel darah tepi yang berbeda-beda dari sel stem hematopoietik pluripoten asal (PHSC) dalam sumsum tulang (www.thefullwiki.org/Haematopoiesis).

Unsur seluler dari darah terdiri dari leukosit (sel darah putih), eritrosit (sel darah merah), dan platelet (trombosit) yang tersuspensi di dalam plasma (Ganong 2008). Jika tubuh hewan mengalami perubahan fisiologis maka gambaran darah juga akan mengalami perubahan. Perubahan fisiologis ini dapat disebabkan secara internal dan eksternal. Secara internal seperti pertambahan umur, status gizi, latihan, kesehatan, stres, siklus estrus dan suhu tubuh, sedangkan secara eksternal


(28)

akibat infeksi kuman, fraktura, dan perubahan suhu lingkungan (Guyton & Hall 2008).

Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut hemoglobin, dan seterusnya mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan. Eritrosit juga banyak mengandung karbonik anhidrase, yang berfungsi untuk mengkatalisis reaksi antara karbondioksida (CO2) dan air, sehingga akan meningkatkan kecepatan

reaksi bolak-balik beberapa ribu kali lipat (Guyton & Hall 2008).

Proses diferensiasi eritrosit melewati berbagai tahapan. Sel-sel pertama yang dapat dikenali sebagai rangkaian eritrosit adalah proeritroblas, dimana dengan rangsangan yang sempurna maka dari sel stem CFU-E dapat dibentuk banyak sekali proeritroblast. Kemudian proeritroblast ini akan membelah beberapa kali sampai akhirnya akan terbentuk banyak sekali eritrosit yang matang. Sel-sel generasi pertama ini disebut basofil eritroblas, dimana pada saat ini sel akan mengumpulkan sedikit sekali hemoglobin. Kemudian pada perkembangan selanjutnya akan menjadi polikromatik eritroblas lalu menjadi ortokromatik eritroblas dimana sel-sel tersebut sudah dipenuhi oleh hemoglobin dengan konsentrasi 34% dan nukleus terlihat memadat dan mengecil. Setelah itu, retikulum endoplasma akan direabsorbsi, dan tahap ini disebut retikulosit karena masih mengandung bahan basofilik. Bahan basofilik yang tersisa tersebut akan menghilang dalam waktu 1 sampai dengan 2 hari dan sel tersebut selanjutnya menjadi eritrosit matang (Guyton & Hall 2008).

Proses pembentukan eritrosit diatur oleh suatu hormon glikoprotein yaitu eritropoietin (Ganong 2008). Pada hewan dewasa kira-kira 85% eritropoetin berasal dari ginjal dan 15% berasal dari hati (Guyton & Hall 2008). Pembentukan eritropoietin di ginjal, dipengaruhi oleh adanya peningkatan prostaglandin di medula (Jain 1993). Eritropoietin terdapat di dalam darah pada keadaan hipoksia, dan selanjutnya bekerja pada sumsum tulang untuk meningkatkan kecepatan pembentukan eritrosit (Guyton & Hall 2008).

Beberapa bahan penting yang dibutuhkan dalam pembentukan eritrosit antara lain protein (asam amino), vitamin (vitamin B2, B6, B12, folat, tiamin,

vitamin C, dan E), dan mineral (Fe, Cu, Mn, dan Co). Bila tubuh mengalami defisiensi salah satu bahan-bahan penting tersebut, maka proses pembentukan


(29)

eritrosit akan terganggu dan dapat menyebabkan terjadinya anemia (Darmawan 1996).

Hemoglobin adalah substansi pembawa oksigen dalam eritrosit (Ganong 2008). Menurut Cunnigham (1997) hemoglobin adalah pigmen merah protein dalam eritrosit. Hemoglobin terdiri atas protein 96% globin dan 4% hem (Hartono 1988). Hem adalah suatu derifat protein yang mengandung besi, sedangkan Globin adalah suatu polipeptida yang didapatkan dari pembentukan hemoglobin yang disintesis oleh sitoplasma eritrosit (Ganong 2008).

Hemoglobin mampu berikatan dengan oksigen yang di bawa dari paru-paru menuju jaringan tubuh dan sebaliknya juga dapat berikatan dengan karbondioksida yang diangkut dari jaringan ke paru-paru di bawah pengaturan enzim karbonik anhidrase (Hartono 1988). Pembentukan hemoglobin dimulai dalam eritroblas dalam stadium retikulosit kemudian diteruskan sampai eritosit matang. Jika eritrosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke aliran darah maka akan tetap melanjutkan pembentukan sedikit hemoglobin selama beberapa hari atau sesudahnya (Schalm 2010).

Hematokrit atau Packed Corpuscular Volume (PCV) adalah suatu ukuran yang mewakili eritrosit di dalam 100 ml darah, sehingga dilaporkan dalam bentuk persentase. Nilai hematokrit sangat berhubungan dengan proses pembentukan eritrosit. Dimana nilai hematokrit dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit dan ukuran eritrosit (Schalm 2010).

Pada saat perdarahan jumlah eritrosit yang hilang berbanding lurus dengan plasma darah sehingga nilai hematokrit tidak berubah. Namun anemia menyebabkan nilai hematokrit turun (Duncan & Prase 1977). Nilai hematokrit sangat bervariasi pada setiap individu. Angka ini bergantung derajat aktivitas tubuh, anemia, dan ketinggian dimana individu tersebut berada (Guyton & Hall 2008).

Fungsi leukosit adalah untuk menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap setiap agen infeksi. Mekanisme pertahanan yang dilakukan adalah dengan cara menghancurkan agen infeksi melalui proses fagositosis atau dengan membentuk antibodi dan limfosit yang disensitifkan (Dellmann & Brown 1992). Leukosit digolongkan menjadi dua, yaitu granulosit dan agranulosit. Leukosit


(30)

granulosit terdiri atas netrofil, basofil, dan eosinofil, sedangkan leukosit agranulosit terdiri atas monosit dan limfosit (Frandson 1992)

Leukosit sebagian dibentuk di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfe. Granulosit dan monosit dibentuk dalam sumsum tulang kemudian di simpan dan dikeluarkan ke dalam sistem sirkulasi bila diperlukan. Limfosit dan sel plasma diproduksi dalam berbagai organ limfogen termasuk kelenjar limfe, limpatik, timus, tonsil, dan berbagai kantong jaringan limfoid di dalam tubuh (Guyton & Hall 2008).

Jumlah seluruh leukosit jauh di bawah eritrosit dan bervariasi tergantung dari jenis hewan (Dellmann dan Brown 1992). Peningkatan jumlah leukosit pada umumnya merupakan pertanda adanya infeksi. Selain itu, suatu kanker jaringan yang menghasilkan leukosit akan menghasilkan juga jumlah leukosit yang berlebihan, yang disebut dengan leukemia (Frandson 1992).

Netrofil merupakan leukosit darah perifer yang paling banyak (Hoffbrand 2006). Netrofil dewasa memiliki nukleus yang bersegmen. Sementara itu, netrofil muda disebut juga band cell memiliki nuklues yang menggulung, seperti batang tanpa segmentasi (Swenson 1984). Sel netrofil berukuran antara 12-15 mikron, inti memiliki gelambir sebanyak 2 sampai dengan 5. Sitoplasma bergranul eosinofilik dan basofilik. Setelah 6 sampai dengan 10 jam di dalam darah, netrofil memasuki jaringan dan tahan 1 sampai dengan 2 hari. Waktu paruh rata-rata sel neutrofil di dalam sirkulasi adalah 6 jam. Kadar normal netrofil di dalam peredaran darah diperlukan pembentukan lebih dari 100 miliar sel netrofil per hari (Ganong 2008).

Jumlah netrofil di dalam darah akan meningkat pada kasus penyakit bakteri. Netrofil memiliki butir-butir spesifik yang mengandung lisozime, laktoferin dan mieloperoksidase yang merupakan bakterisida (Dellmann & Brown 1992). Sel netrofil merupakan sel pertahanan pertama terhadap kontaminasi mikroba pada peradangan. Netrofil bertugas membunuh dan memfagosit partikel-partikel asing yang terdapat pada luka dengan cara fagositosis. Setelah memfagosit partikel asing (termasuk sisa nekrosa sel inang), netrofil akan mati dan akan digantikan oleh makrofag sebagai sel pertahanan kedua (Vegad 1995).


(31)

Sel netrofil dapat memfagositosis 5 sampai dengan 20 bakteri sebelum sel netrofil itu sendiri menjadi inaktif dan mati (Guyton & Hall 2008).

Eosinofil memiliki nukleus bergelambir dua, dikelilingi butir-butir asidofil yang cukup besar berukuran antara 0,5-1,0 µm. Diameter eosinofil berkisar antara 10-15 µm dan jangka waktu hidup dalam sirkulasi darah selama 3 sampai dengan 5 hari (Dellman & Brown 1989). Eosinofil sangat penting dalam respon terhadap penyakit parasitik dan alergi. Pelepasan isi granulnya ke patogen yang lebih besar membantu dekstruksinya dan fagositosis berikutnya (Hoffbrand 2006). Pada penyakit alergi, seperti asma pada saluran pernapasan, jumlah eosinofil yang beredar dalam sirkulasi akan meningkat. Eosinofil melepaskan protein, sitokin, dan kemokin yang mengakibatkan reaksi peradangan tetapi mampu membunuh mikroorganisme yang menyusup ke dalam tubuh (Ganong 2008). Eosinofil mampu membunuh bakteri tapi kurang efisien dibandingkan dengan neutrofil (Jubb et al. 1993). Fungsi utama eosinofil ialah detoksikasi baik terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru ataupun saluran pencernaan maupun racun yang dihasilkan oleh bakteri dan parasit (Frandson 1992).

Basofil memiliki diameter antara 10-12 µm dengan inti bergelambir dua atau tidak teratur. Butirnya berkisar antara 0,5-1,5 µm berwarna biru tua sampai ungu sering menutupi inti yang berwarna agak cerah. Butir-butir tersebut mengandung heparin, histamin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, serotonin, dan beberapa faktor kemotaktik (Dellmann & Brown 1992). Jumlah basofil di dalam sirkulasi darah relatif sedikit. Di dalam sel basofil terkandung histamin dan heparin (antikoagulan). Heparin ini dilepaskan di daerah peradangan guna mencegah timbulnya pembekuan serta statis darah dan limfe, sehingga sel basofil diduga merupakan prekursor bagi mast cell (Frandson 1992). Basofil memiliki fungsi utama dalam membangun reaksi hipersensitif dan sekresi mediator yang bersifat vasoaktif (Dellmann & Brown 1992).

Sel limfosit memiliki dua bentuk, yaitu limfosit besar yang merupakan bentuk belum dewasa, berdiameter antara 12-15 µm, memiliki lebih banyak sitoplasma, nukleus lebih besar dan sedikit pucat dibandingkan limfosit kecil. Sementara limfosit kecil merupakan bentuk dewasa berdiameter antara 6-9 µm, nukleus besar dan kuat mengambil zat warna, serta memiliki sedikit sitoplasma


(32)

berwarna biru pucat. Umumnya inti limfosit memiliki sedikit lekuk pada satu sisi (Dellmann & Brown 1992). Limfosit merupakan unsur kunci pada proses kekebalan tubuh (sistem imunitas). Limfosit merupakan sel yang memiliki inti bulat besar dan sitoplasma sedikit. Limfosit dibentuk di sumsum tulang pasca kelahiran, tetapi sebagian besar dibentuk dalam kelenjar limfe, timus, dan limpa dari sel prekursor yang berasal dari sumsum tulang. Setelah diproses di dalam timus atau bursa ekivalen menjadi prekursor sel T atau sel B. Pada umumnya limfosit memasuki sistem peredaran darah melalui pembuluh limfe lebih dari satu kali (resirkulasi) (Ganong 2008).

Monosit adalah leukosit terbesar berdiameter antara 15-20 µm. Sitoplasma lebih banyak daripada sitoplasma sel limfosit. Nukleus seperti ginjal atau mirip tapal kuda. Monosit darah tidak pernah mencapai dewasa penuh sampai bermigrasi ke dalam jaringan menjadi makrofag tetap pada sinusoid hati, sumsum tulang, alveoli paru-paru, dan jaringan limfoid (Dellmann & Brown 1992). Monosit berfungsi melindungi tubuh tehadap organisme penyerang dengan cara fagositosis. Setelah masuk ke dalam jaringan, sel-sel ini membengkak dengan ukuran yang sangat besar untuk membentuk makrofag jaringan, dan dalam bentuk ini, sel-sel tersebut dapat hidup berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun kecuali bila mereka dimusnahkan karena melakukan fungsi fagositik (Guyton & Hall 2008). Makrofag atau monosit sering memakan partikel yang sama atau lebih besar darinya. Saat benda asing terlalu besar untuk dicerna, beberapa makrofag bergabung menjadi satu yang dikenal dengan nama phagocytic giant cell sampai cukup besar untuk melakukan tugasnya (Martini et al. 1992).


(33)

3. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010 di Kandang Unit Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley. Tikus yang digunakan sebanyak 15 ekor betina bunting. Tikus tersebut dikandangkan secara individu dalam bak plastik berukuran 40x30x15 cm3 dengan menggunakan kawat untuk menutupi bagian atas kandang. Kandang dialasi dengan sekam yang diganti 3 hari sekali untuk menjaga kebersihan dan kesehatan. Pemberian minum pada tikus dilakukan ad libitum dan pemberian pakan sesuai perlakuan.

3.3. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu timbangan, cotton swab, kandang tikus, tempat pakan, tempat minum, gelas erlenmeyer, peralatan destilasi (mesin pencampur otomatis, kertas saring, kain flanel, rotary-evaporator), gelas separasi, spoit, gelas objek, mikroskop, pipet pengencer, kamar hitung burker (hemositometer), kertas saring, tabung kapiler, alat penyumbat tabung kapiler, alat sentrifuse kecepatan tinggi 10.000-20.000 rpm, alat pembaca mikrohematokrit (mikrohematokrit reader), hemoglobinometer Sahli (hemometer), pipet tetes (mohr), dan stopwatch.

Bahan yang digunakan adalah daun katuk, pelarut etanol (EtOH), pelarut hexan, pelarut etil asetat (EtOAc), aquadest (H2O), tikus putih betina bunting,

pakan tikus (terdiri atas tepung jagung, bungkil kedelai, garam, minyak kelapa, tepung ikan, premix dan CaCO3), NaCl fisiologis 0,9%, alkohol 70%, eter,

antikoagulan EDTA, cairan pengencer (Hayem dan Turk), HCl 0,1 N, minyak emersi, dan larutan pewarnaan Giemsa.


(34)

3.4. Metode Penelitian

Metode pembuatan ekstrak dan fraksi daun katuk dan formulasi pakan tikus pada penelitian ini sesuai dengan prosedur yang telah dilakukan oleh Suprayogi et al. (2009), yaitu seperti diuraikan sebagai berikut:

3.4.1. Ekstraksi dan Fraksinasi Daun Katuk

Daun katuk segar dicuci dengan air bersih, kemudian dijemur hingga layu. Pengeringan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan alat oven yang diatur suhunya sampai 600C selama 12 jam. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode maserasi. Simplisia daun katuk sebanyak 2 kg dilarutkan dengan pelarut etanol (EtOH) sebanyak 13 L. Campuran tersebut diaduk secara manual selama 30 menit dan kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah maserasi, dilakukan penyaringan dengan menggunakan kain flanel dan kertas saring. Filtrat dari penyaringan ini kemudian dievaporasikan dengan menggunakan rotary-evaporator pada temperatur 400C. Dari hasil ekstraksi ini diperoleh ekstrak etanol.

Ekstraksi dilakukan kembali untuk memisahkan senyawa non-polar dengan menggunakan pelarut hexan. Ekstrak etanol sebanyak 20 g dilarutkan dalam 500 mL etanol yang kemudian dicampurkan dengan pelarut hexan sebanyak 500 mL pada gelas separasi. Larutan tersebut kemudian dikocok hingga tercampur sempurna, kemudian didiamkan selama beberapa menit sampai terjadi pemisahan yaitu larutan hexan pada bagian atas dan larutan etanol pada bagian bawah. Pencampuran dan pengocokan dilakukan berulang hingga didapat larutan dengan pelarut hexan yang jernih. Kedua larutan tersebut kemudian dipisah dan ditempatkan pada gelas erlenmeyer yang berbeda. Filtrat yang didapat merupakan larutan ekstrak hexan dan larutan etanol yang telah bebas senyawa non-polarnya. Kedua filtrat tersebut kemudian dievaporasikan sehingga didapat fraksi hexan dan fraksi etanol dalam bentuk ekstrak kental.

Fraksi etanol sebanyak 20 g dilarutkan dengan 500 mL air sedikit demi sedikit. Kemudian di dalam gelas separasi ditambahkan lagi dengan 500 mL pelarut etil asetat. Larutan tersebut kemudian dikocok hingga tercampur sempurna, kemudian didiamkan selama beberapa menit sampai terjadi pemisahan, yaitu larutan etil asetat pada bagian atas dan larutan air pada bagian bawah.


(35)

Pencampuran dan pengocokan dilakukan berulang hingga didapat larutan dengan pelarut etil asetat yang jernih. Larutan kemudian dipisah dan ditempatkan pada gelas erlenmeyer yang berbeda. Kedua filtrat kemudian dievaporasikan sehingga didapat fraksi etil asetat (F-EtOAc) dan fraksi air (F-H2O) dalam bentuk ekstrak

kental. Pencampuran fraksi ekstrak daun katuk disajikan pada Gambar 4.

- EtOH, 13 L - Evaporasi

- Hexan, 500 mL - EtOH,500 mL

- Evaporasi - Evaporasi

- Etil asetat, 500 mL - Aquadest, 500 mL - Evaporasi - Evaporasi

Gambar 4 Prosedur fraksinasi ekstrak daun katuk.

3.4.2. Pembuatan Bubuk Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk

Ekstrak kental yang diperoleh dari ekstraksi dan fraksinasi dibuat menjadi bentuk bubuk menurut prosedur Suprayogi et al. (2009). Pembuatan bubuk ekstrak dan fraksi dilakukan dengan menambahkan tepung pada masing-masing ekstrak dan fraksi sehingga diperoleh persentase bahan bubuk E-Eto 25%, F-H 13%, F-H2O 25%, dan F-EtOAc 25%. Pembuatan bubuk ini diperlukan untuk

mempermudah pembuatan pakan.

Daun Katuk Kering Giling

Ekstrak Etanol Daun Katuk

Fraksi Hexan Fraksi Etanol


(36)

3.4.3. Pembuatan Pakan

Pakan yang diberikan berbentuk pelet yang dibuat secara manual dengan bahan utama terdiri atas tepung jagung, tepung ikan, bungkil kedelai, premiks, garam, CaCO3, minyak kelapa dan terigu. Hasil pencampuran bahan-bahan utama

ini merupakan pakan kontrol. Untuk pakan perlakuan, bahan utama ini ditambahkan dengan bubuk ekstrak dan fraksi yang telah disiapkan sebelumnya yaitu fraksi hexan, air, etil asetat, dan ekstrak etanol. Penambahan dan pencampuran ekstrak dan fraksi pada daun katuk dilakukan untuk mendapatkan pakan yang mengandung E-Eto 4,53%, F-H 0,87%, F-H2O 3,22%, dan F-EtOAc

0,45%. Pembuatan prosedur baku ekstrak dan fraksi ini disesuaikan dengan proporsi fraksinasi dari fraksi-fraksi tersebut terhadap ekstrak kasarnya. Komposisi nutrisi pakan yang meliputi konsentrasi daun katuk, protein kasar, lemak kasar, dan energi yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi Nutrisi Pakan

Kelompok Konsentrasi Daun

Katuk (%)

Protein Kasar (%)

Lemak Kasar (%)

Energi (Kal/100 g)

Kontrol 0 20,01 6,55 3499

E-EtOH 4,53 20,06 6,54 3497

F-H 0,87 20,03 6,55 3498

F-H2O 3,22 20,04 6,54 3498

F-EtOAc 0,45 20,02 6,55 3499

Sumber: Suprayogi et al. 2009

3.4.4. Pelaksanaan Penelitian

Tikus yang digunakan sebanyak 15 ekor yang dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan yaitu kelompok K, F-H, E-Eto, F-EtOAc, dan F-H2O. Tikus diberikan

pakan perlakuan sejak kebuntingan hari pertama (tikus bunting selama ± 21 hari) hingga hari ke-10 laktasi. Berdasarkan penghitungan penelitian serupa yang dilakukan Suprayogi et al. (2009), diketahui rataan dosis ekstrak dan fraksi yang dikonsumsi oleh tikus pada setiap perlakuan adalah F-H sebanyak 57,5 mg/hari/ekor, E-Eto sebanyak 297,5 mg/hari/ekor, F-EtOAc sebanyak 40 mg/hari/ekor, dan F-H2O sebanyak 209 mg/hari/ekor. Pengamatan dilakukan


(37)

sampai hari ke-10 laktasi, mengingat peningkatan produksi air susu tikus mencapai puncak antara hari ke 7 sampai hari ke 14 (Knight & Peaker 1982).

3.4.5. Pengamatan Pengaruh Ekstrak Dan Fraksi Daun Katuk Terhadap Gambaran Darah Tikus

Parameter yang diukur adalah gambaran darah yang meliputi jumlah eritrosit, jumlah leukosit beserta diferensial leukosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit. Pengukuran parameter dilakukan pada hari ke 10 masa laktasi untuk masing-masing kelompok perlakuan. Pengulangan pengukuran dilakukan sampai 3 kali (N=3 ekor tikus) untuk setiap kelompok.

Pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara menganestesi tikus terlebih dahulu menggunakan eter dan pengambilan darah dilakukan intrakardial. Sesudah dianestesi mula-mula tikus diletakkan pada punggungnya, dada didisinfeksi, lalu dengan jarum sepanjang 2,5 cm, ukuran 25 (25 gauge) dengan spoit 2 ml, jarum ditusukkan sedikit di belakang cartilago xyphoidea dan sedikit ke bawah dan ke depan sehingga jarum tersebut menusuk jantung. Darah yang telah diambil dengan spoit segera dimasukkan kedalam tabung yang sudah berisi antikoagulan EDTA (ethylendiamine tetraacetic acid). Kemudian dilakukan pemeriksaan aspek hematologis. Pemeriksaan hematologis yaitu jumlah eritrosit, leukosit beserta diferensial leukosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit dilakukan sesuai dengan metode yang disampaikan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988) seperti diuraikan sebagai berikut:

3.4.5.1. Perhitungan Eritrosit

Cara perhitungan eritrosit didasarkan atas pengenceran 1:200 darah yang sudah dicampur dengan antikoagulan. Larutan pengencer yang digunakan untuk perhitungan eritrosit adalah cairan pengencer Hayem. Pengenceran dilakukan dengan pipet eritrosit dan kemudian eritrosit dihitung dalam kamar hitung (hemositometer).

Sesudah darah dihisap ke dalam pipet pengencer darah sampai garis batas tera 0,5, sisa dari pipet diisi dengan larutan pengencer dan cairan itu dihisap sampai batas tera 101, kemudian dikocok hingga tercampur sempurna. Kira-kira


(38)

sepertiga campuran dibuang, sesudah itu satu tetes campuran diteteskan pada tiap sisi hemositometer. Perlu menunggu kurang lebih 3 menit agar sel menetap dan mengendap sempurna sebelum hemositometer diletakkan di bawah mikroskop untuk perhitungan sel.

Pada tiap sisi hemositometer terdapat kotak persegi besar. Kotak tersebut dibagi menjadi 25 kotak lebih kecil masing-masing dibagi lagi menjadi 16 kotak lebih kecil lagi. Kotak besar luasnya 1 mm2, sehingga kotak terkecil luasnya 1/400 mm2. Dalamnya kamar hitung antara gelas penutup dan gelas hemositometer adalah 0,1 mm.

Sel-sel darah merah dihitung dalam lima kotak yaitu empat kotak pojok dan satu kotak tengah. Hasil perhitungan akhir yaitu jumlah seluruh sel darah merah dari lima kotak tersebut dikalikan dengan 10.000 per ml3.

3.4.5.2. Perhitungan Leukosit

Prinsip perhitungan leukosit sama dengan perhitungan eritrosit, namun pipet yang digunakan adalah pipet pengencer leukosit. Larutan pengencer yang digunakan untuk perhitungan sel darah putih adalah larutan Turk.

Pengenceran darah menjadi 1:20 diperoleh dengan cara menghisap darah ke dalam pipet leukosit sampai batas 0,5, lalu diisi dengan larutan pengencer sampai tanda 11. Pipet kemudian dikocok untuk mencampur darah dengan larutan pengencer. Kurang lebih sepertiga bagian campuran dibuang, lalu satu tetes diteteskan pada kamar hitung dan dibiarkan selama 3 menit. Sediaan kemudian siap diperiksa di bawah mikroskop.

Dalam menghitung leukosit yang dihitung 8 kotak persegi. Seperti cara sebelumnya, hasil perhitungan akhir yaitu jumlah seluruh sel darah putih dari delapan kotak persegi tersebut dikalikan 50 per ml3.

3.4.5.3. Perhitungan Diferensial Leukosit

Perhitungan diferensial leukosit menggunakan metode preparat ulas darah dan diberi pewarnaan giemsa. Sel yang telah diwarnai diperiksa dengan mikroskop, banyaknya sel darah putih yang dihitung paling sedikit 100 butir.


(39)

Sediaan apus dapat dibuat dengan satu tetes darah tanpa antikoagulan diteteskan di satu ujung gelas objek bersih. Gelas objek bersih lain digunakan untuk menggeser darah. Gelas objek ini ditempatkan di muka tetes darah tersebut dengan sudut 45o, dan darah menyebar di sudut antara kedua gelas. Sebelum darah mencapai ujung gelas, gelas yang di atas didorong ke muka.

Sebelum sediaan diwarnai, sediaan apus difiksasi dengan metil alkohol absolut selama 3 sampai 5 menit. Sediaan apus kemudian dicuci dan diwarnai dengan meletakkannya dalam larutan Giemsa selama 15 sampai 30 menit. Sediaan apus dicuci lagi dan dibiarkan kering di udara.

Preparat diperiksa di bawah mikroskop dimulai dengan pembesaran rendah (objektif 10x) untuk mengorientasi dan memilih daerah ulasan yang baik untuk pengamatan. Untuk mengamati dan mengidentifikasi sel-sel ini dipergunakan pembesaran tinggi dengan bantuan minyak emersi.

3.4.5.4. Pengukuran Kadar Hemoglobin

Pengukuran kadar hemoglobin dengan menggunakan hemoglobinometer Sahli (hemometer) yang terdiri dari sebuah pipet hemoglobin yang bertanda 20 mm3, tabung Sahli, dan warna standar sebagai pembanding. Tabung Sahli diisi dengan HCl 0,1 N sampai garis terbawah (tanda 20 mm3). Darah dihisap dengan pipet hemoglobin sampai tanda 20 mm3 dan kemudian darah dimasukkan ke dalam tabung Sahli dengan meniup secara perlahan-lahan. Untuk menghomogenkan larutan, campurkan dengan cara menghisap dan meniupkan kembali secara perlahan-lahan.

Terbentuknya asam hematin ditandai dengan adanya perubahan warna menjadi coklat atau coklat hitam. Dengan menggunakan pipet penetes, aquades diteteskan sambil dikocok hati-hati. Penambahan aquades dilakukan sampai warnanya sama dengan warna pembanding. Kadar hemoglobin dibaca dengan melihat meniskus bawah cairan pada tabung Sahli. Satuan hemoglobin dinyatakan dengan gram%.


(40)

3.4.5.5. Pengukuran Nilai Hematokrit

Pengukuran nilai hematokrit atau packed cell volume (PCV) yaitu dengan cara mikrohematokrit yang menggunakan tabung kapiler dan sentrifuge kecil khusus. Darah dihisap dengan tabung kapiler dengan cara menyentuhkan ujung tabung pada darah dan menggoyang-goyang atau mengetuk-ngetuk ujung lainnya dengan telunjuk. Posisi tabung hampir mendatar sedangkan ujung tabung dikosongkan kira-kira 1 cm.

Setelah itu bagian ujung tabung disumbat dengan alat penyumbat khusus. Kemudian tabung kapiler yang sudah berisi darah diletakkan pada alat sentrifuse dengan bagian tak tersumbat mengarah ke pusat sentrifuse. Sentrifugasi selama 4 sampai dengan 5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm atau selama 2 menit dengan kecepatan 16.000 rpm. Pembacaan hasil dengan menggunakan alat mikrohematokrit reader.

3.4.6. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam ANOVA untuk mengetahui interaksi antar kelompok perlakuan. Jika diantara perlakuan diperoleh hasil yang berbeda nyata akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.


(41)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin (Hb), dan Nilai Hematokrit (PCV) Terhadap Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk

Pengaruh pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk selama periode kebuntingan hingga masa laktasi hari ke-10 terhadap nilai hematologi, yaitu jumlah eritrosit, kadar Hb, dan nilai PCV dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai Hematologi Eritrosit (juta/mm3), PCV (%), dan Hb (g%) Tikus Laktasi Hari ke-10

Parameter Kontrol F-H E-Eto F-EtOAc F-H2O

Eritrosit 6,33 ± 0,34a 6,43 ± 0,9a 6,6 ± 0,83a 6,74±1,31a 6,81 ± 1,41a

PCV 36,17 ± 3,69a 34,5 ± 0,87a 40,83±2,84a 34 ± 4,44a 37,58 ±3,13a

Hb 12,87 ± 1,0c 11,87± 0,12b 12,8 ± 0,2bc 10,86±1,2a 12,33 ± 0,6bc

Huruf yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P < 0,05)

Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah eritrosit dan nilai PCV pada tikus laktasi hari ke-10 yang diberikan ekstrak dan fraksi daun katuk tidak berpengaruh nyata pada setiap perlakuan, yaitu F-H, E-Eto, F-EtOAc, dan F-H2O dibandingkan

dengan kelompok kontrol (P>0,05). Sementara itu, pengaruh pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk terhadap kadar Hb menunjukkan pengaruh yang nyata pada kelompok perlakuan F-H dan F-EtOAc dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0,05). Dimana pada kedua kelompok perlakuan F-H dan F-EtOAc tersebut mengalami penurunan kadar Hb.

Nilai normal untuk parameter hematologi tikus putih, yaitu jumlah eritrosit, nilai PCV, dan kadar Hb secara berurutan ialah (7,2-9,6)106/mm3, (45-47)%, (15-16)g% (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Literatur lain melaporkan tentang nilai normal hematologi tikus bunting untuk jumlah eritrosit, nilai PCV, dan kadar Hb secara berurutan ialah (5,91-8,69)106/mm3, (29,34-37,56)%, (10,27-14,69)g% (Suprayogi et al. 2009). Perbedaan nilai normal dari pustaka ini wajar mengingat perbedaan lingkungan dan kondisi fisiologis yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran hematologi eritrosit, PCV, dan kadar Hb terlihat masih di dalam kisaran nilai normal,


(42)

Penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang sama, bahwa pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk pada tikus bunting hari ke-12 terhadap gambaran jumlah eritrosit dan nilai PCV masih dalam kisaran normal dan tidak berpengaruh nyata pada setiap perlakuan, yaitu F-H, E-Eto, F-EtOAc, dan F-H2O dibandingkan

dengan kelompok kontrol (P<0,05). Gambaran jumlah eritrosit yang didapat pada hasil penelitian sebelumnya pada setiap kelompok perlakuan kontrol, F-H, E-Eto, F-EtOAc, dan F-H2O secara berurutan ialah (7,17±0,32), (6,85±0,97),

(6,85±0,97), (5,90±1,50), dan (7,35±1,33)106/mm3. Sementara itu, untuk nilai PCV secara berurutan ialah (37,17±3,54), (34,38±0,88), (36,00±0,75), (33,75±1,06), dan (38,13±6,19)106/mm3 (Suprayogi et al. 2009). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk tidak memiliki efek pada gambaran hematologi eritrosit dan PCV, baik pada saat kebuntingan hari ke-12 maupun laktasi hari ke-10. Terdapat kemungkinan bahwa pada hari ke-10 post partus (laktasi), tikus sudah kembali ke kondisi fisiologis normal melalui proses homeostasis pembentukan darah.

Nilai PCV berhubungan dengan jumlah eritrosit karena nilai PCV merupakan gambaran persentase yang mewakili eritrosit di dalam 100 mL darah. Nilai PCV dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah dan ukuran eritrosit (Schalm 2010). Nilai PCV juga sangat bervariasi pada setiap individu dan dipengaruhi oleh derajat aktivitas tubuh, anemia, dan ketinggian dimana individu tersebut berada (Guyton & Hall 2008).

Gambaran kadar Hb tikus laktasi hari ke-10 yang diberikan ekstrak dan fraksi daun katuk menunjukkan pada perlakuan F-EtOAc dan F-H didapatkan kadar Hb lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan kontrol, akan tetapi kadar Hb yang lebih rendah ini masih berada di dalam kisaran nilai normal. Penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang sedikit berbeda, bahwa pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk pada tikus bunting hari ke-12 terhadap gambaran kadar Hb masih dalam kisaran normal dan tidak berpengaruh nyata pada setiap perlakuan, yaitu F-H, E-Eto, F-EtOAc, dan F-H2O dibandingkan dengan

kelompok kontrol (P>0,05). Gambaran kadar Hb yang didapat pada hasil penelitian sebelumnya pada setiap kelompok perlakuan kontrol, H, E-Eto,


(43)

F-EtOAc, dan F-H2O secara berurutan ialah (13,10±0,21), (12,97±0,03),

(12,62±0,26), (12,35±1,48), dan (13,00±0,57) g% (Suprayogi et al. 2009).

Penelitian ini menunjukkan terjadi penurunan kadar Hb pada kelompok F-EtOAc dan F-H yang nyata (P<0,05). Penurunan kadar Hb ini tidak seiiring dengan jumlah eritrosit yang masih tetap stabil. Hal ini mungkin saja terjadi mengingat pembentukan Hb dalam eritrosit sangat ditentukan oleh asupan nutrisi terutama protein dan mineral (Fe). Pengaruh daun katuk terhadap asupan nutrisi protein dan mineral pada berbagai hewan coba sudah banyak dilakukan. Namun demikian pada hasil-hasil penelitian tersebut masih belum jelas mekanisme pengaruh daun katuk terhadap penurunan asupan nutrisi. Pada ayam broiler dilaporkan bahwa penambahan daun katuk kering 10% dan 15% dalam pakan mengalami penurunan kecernaan protein kasar (Andriyanto et al. 2010). Penghambatan kecernaan protein kasar ini kemungkinan disebabkan oleh senyawa aktif yang terdapat dalam daun katuk (Suprayogi 1995).

Penelitian lain menggunakan hewan kelinci White New Zealand melaporkan bahwa pemberian daun katuk terhadap gambaran darah menunjukkan adanya peningkatan jumlah eritrosit, PCV, dan kadar Hb (Darmawan 1997). Peningkatan eritrosit PCV, dan kadar Hb ini dipengaruhi oleh kandungan senyawa aktif dalam daun katuk yaitu alkaloids papaverine-like compound. Selain itu juga dipengaruhi oleh senyawa aktif lain dalam daun katuk yang bekerja sinergis dengan alkaloida papaverine-like compound yaitu kelompok eicosanoid prostaglandin. Kedua senyawa aktif tersebut diduga dapat menstimulir produksi eritropoetin sehingga dapat mempengaruhi pembentukan eritrosit (Suprayogi 2000). Fungsi eritropoetin dalam pembentukan eritrosit yaitu merangsang produksi proeritroblast dari sel-sel stem hemopoietik dalam sumsum tulang dan mempercepat tahapan eritroblastik dibanding keadaan normal. Eritropoetin selanjutnya akan mempercepat pembentukan eritrosit sehingga mencukupi untuk mengangkut oksigen ke jaringan (Guyton & Hall 2008). Penelitian menggunakan hewan kelinci ini terlihat sungguh berbeda dengan penelitian menggunakan hewan tikus, hal ini bisa terjadi mengingat spesies hewan maupun fase fisiologis yang berbeda sehingga memberikan respons yang berbeda pula.


(44)

4.2. Gambaran Jumlah Leukosit Terhadap Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk

Leukosit merupakan unit yang aktif sebagai sistem pertahanan tubuh untuk menyediakan pertahanan yang kuat dan cepat terhadap benda-benda asing yang dapat menimbulkan peradangan dan infeksi dalam tubuh (Guyton & Hall 2008). Pengaruh pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk selama periode kebuntingan hingga masa laktasi hari ke-10 terhadap jumlah Leukosit disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai Hematologi Leukosit (ribu/mm3) Tikus Laktasi Hari ke-10

Perlakuan Leukosit

Kontrol 13 ± 3,15b

F-H 14,1 ± 3,18b

E-Eto 14,22 ± 6,67b

F-EtOAc 4,83 ± 1,43a

F-H2O 12,93 ± 4,28

b

Huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata (P < 0,05)

Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah leukosit pada tikus laktasi hari ke-10 yang diberikan ekstrak dan fraksi daun katuk tidak berpengaruh pada perlakuan F-H2O, E-Eto, dan F-H, tetapi berpengaruh nyata pada F-EtOAc terhadap

perlakuan kontrol (P<0,05), yaitu terjadinya penurunan jumlah leukosit. Kisaran normal jumlah leukosit pada tikus yaitu berkisar antara 5-13 x 103/mm3 (Smith & Mangkoewidjojo 1988) atau 9,29±2,55 x 103/mm3 (Suprayogi et al. 2009). Hasil perhitungan leukosit tikus masa laktasi hari ke-10 pada penelitian ini menunjukkan masih berada di kisaran normal, kecuali pada perlakuan F-EtOAc yang berada dibawah kisaran normal.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk pada tikus bunting hari ke-12 terhadap gambaran leukosit masih dalam kisaran normal dan tidak berpengaruh nyata pada setiap perlakuan, yaitu F-H, E-Eto, F-EtOAc, dan F-H2O dibandingkan dengan kelompok kontrol (P>0,05).

Gambaran leukosit yang didapat pada hasil penelitian sebelumnya pada setiap kelompok perlakuan kontrol, F-H, E-Eto, F-EtOAc, dan F-H2O secara berurutan

ialah (13,50±0,35), (11,98±1,45), (12,43±1,59), (8,43±2,51), dan (13,78±3,57) 103/mm3 (Suprayogi et al. 2009).


(45)

Dari Tabel 5 terlihat adanya penurunan jumlah leukosit yang sangat signifikan pada perlakuan F-EtOAc. Penurunan jumlah leukosit ini dimungkinkan bisa disebabkan oleh senyawa aktif kaempferol yang ditemukan pada pelarut EtOAc. Senyawa kaempferol ini diketahui sebagai antioksidan kuat (Suprayogi et al. 2009). Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang melaporkan antioksidan dapat mengurangi peroksidasi lipid sehingga dapat menghambat peningkatan leukosit (Yayuk 2007). Peroksidasi lipid merupakan proses yang bersifat kompleks akibat reaksi asam lemak tak jenuh ganda penyusun fosfolipid membran sel dengan senyawa oksigen reaktif, sehingga membentuk hidroperoksida (Robles et al. 2001). Berkurangnya peroksidasi lipid menyebabkan berkurangnya kerusakan jaringan atau peradangan dan kerusakan beberapa molekul biologi juga menurun, sehingga leukosit yang tadinya meningkat pada saat peradangan, produksi leukosit pun kemudian dihambat (Yayuk 2007). Dalam hal ini ada 3 level pertahanan untuk mengurangi eliminasi kerusakan yaitu lipolitik, proteolitik, dan enzim yang lain, yaitu DNA repair dan sejumlah transferase (Rohn et al. 2002). Kemungkinan dosis kaempferol pada F-EtOAc dalam penelitian ini sudah mencapai efek yang tidak diinginkan, sehingga pada fraksi ini menunjukkan adanya penurunan jumlah leukosit.

4.3. Gambaran Diferensial Leukosit Terhadap Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk

Masing-masing komponen atau bentuk leukosit memiliki berbagai macam fungsi khusus, namun secara garis besar bentuk-bentuk ini berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap benda asing. Pengaruh pemberian fraksi ekstrak daun katuk selama periode kebuntingan hingga masa laktasi hari ke-10 terhadap diferensial leukosit disajikan pada Tabel 6.


(46)

Tabel 6 Nilai Hematologi Diferensial Leukosit (%) Tikus Laktasi Hari ke-10

Parameter Kontrol F-H E-Eto F-EtOAc F-H2O

Limfosit 65 ± 3,61a 83,67± 5,69b 76,67±7,02ab 66,33±9,29a 68,67±12,06a

Netrofil 27,33 ± 1,53c 13 ± 6,08a 15,67±2,31ab 30 ± 10c 24,33 ± 8,5bc

Monosit 2,33 ± 0,58a 2 ± 1a 4,67 ± 4,04a 3 ± 0a 3 ± 0a

Eosinofil Basofil

5,33 ± 2,52a 0a

1,33 ± 0,58a 0a

3 ± 1a 0a

2,67 ± 1,53a 0a

4 ± 3,16a 0a Huruf yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P < 0,05)

Berdasarkan Tabel 6 nilai persentase limfosit tikus laktasi hari ke-10 yang diberikan fraksi ekstrak daun katuk menunjukkan adanya pengaruh nyata terutama pada perlakuan F-H dan E-Eto yang mengalami persentase nilai limfositnya lebih tinggi. Sementara itu, pada perlakuan lainnya yaitu F-EtOAc dan F-H2O tidak berpengaruh terhadap perlakuan kontrol. Persentase nilai limfosit

yang lebih tinggi pada perlakuan F-H dan E-Eto ini masih berada di kisaran nilai normal. Nilai normal limfosit berkisar antara 63-84% (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Persentase nilai limfosit yang lebih tinggi ini diduga karena senyawa aktif yang terdapat dalam F-H dan E-Eto membentuk sistem pertahanan atau kekebalan humoral. Sistem kekebalan humoral ini dilakukan oleh sel limfosit B yang bertanggung jawab atas sintesis antibodi humoral yang bersirkulasi dalam darah yang dikenal dengan imunoglobulin (Hoffbrand 2006). Persentase limfosit pada pemberian F-H memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai persentase limfosit pada pemberian E-Eto, hal ini karena senyawa aktif yang diduga terlibat membentuk kekebalan humoral lebih efektif bekerja pada F-H.

Tabel 6 menunjukkan gambaran persentase nilai netrofil tikus laktasi hari ke-10 yang diberikan ekstrak dan fraksi daun katuk. Pengamatan nilai netrofil menunjukkan adanya pengaruh nyata terutama pada perlakuan F-H dan E-Eto yang mengalami persentase nilai netrofil yang lebih kecil dibandingkan perlakuan kontrol. Sementara itu, pada perlakuan F-H2O dan F-EtOAc tidak berpengaruh

terhadap perlakuan kontrol. Persentase nilai netrofil yang lebih kecil pada perlakuan F-H dan E-Eto disebabkan karena persentase nilai limfosit lebih tinggi pada kedua perlakuan tersebut. Hal ini berarti, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, senyawa aktif yang terdapat pada perlakuan F-H dan E-Eto membentuk sistem kekebalan humoral, akan tetapi netrofil tidak meningkat karena tidak adanya infeksi bakteri. Persentase nilai netrofil yang lebih rendah


(47)

pada F-H dan E-Eto masih berada dikisaran nilai normal, walaupun berpengaruh nyata terhadap kelompok kontrol. Menurut literatur kisaran normal nilai netrofil berkisar antara 9-34% (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Jumlah netrofil dalam darah akan meningkat pada kasus bakteri kontaminan dan runtuhan sel debris mengingat netrofil merupakan lini pertahanan tubuh yang pertama (Dellmann & Brown 1992).

Hasil yang diperoleh pada pengamatan monosit menunjukkan pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk tidak adanya pengaruh terhadap kelompok kontrol. Nilai persentase monosit yang diperoleh dari penelitian ini pun masih berada di kisaran nilai normal monosit yaitu antara 0-5% (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Adanya peningkatan jumlah monosit dalam darah disebabkan karena peningkatan aktivitas fagositosis terhadap benda asing mengingat monosit dalam jaringan akan berubah menjadi makrofag (Martini et al. 1992).

Selain pada golongan monosit, pada Tabel 6 juga menunjukkan pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk untuk nilai eosinofil tidak adanya pengaruh terhadap kelompok kontrol. Nilai persentase eosinofil yang diperoleh dari penelitian ini pun masih berada di kisaran nilai normal eosinofil yaitu antara 0-6% (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Jumlah eosinofil meningkat dalam sirkulasi darah menunjukkan respons terhadap penyakit parasitik dan alergi dengan cara melepaskan protein, sitokin, dan kemokin yang mampu membunuh mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh (Hoffbrand 2006).

Basofil tidak ditemukan pada pengamatan diferensial leukosit. Jumlah basofil di dalam sirkulasi darah relatif sangat sedikit, sehingga pada penelitian ini tidak ditemukan adanya basofil. Basofil berperan dalam peradangan, membangun reaksi hipersensitif dan sekresi mediator yang bersifat vasoaktif (Dellmann & Brown 1992).


(48)

5.

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk secara umum tidak mempengaruhi keseluruhan parameter hematologi dan masih berada dikisaran nilai normal, namun ada tanda-tanda penurunan jumlah leukosit pada pemberian F-EtOAc dan juga penurunan kadar Hb pada pemberian F-EtOAc dan F-H. Selain itu, pemberian F-H dan E-Eto juga menunjukkan adanya peningkatan limfosit. Perubahan-perubahan yang terjadi pada gambaran hematologi tersebut kemungkinan disebabkan oleh peran senyawa aktif pada ekstrak dan fraksi daun katuk.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menganalisis kandungan senyawa aktif pada setiap kelompok ekstrak dan fraksi daun katuk guna mengetahui perbedaan pengaruhnya terhadap gambaran darah.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Adam HR, Booth NH, McDonald LE, editor. 2001. Autonomic Nervous System : Veterinary Pharmacology and Therapeutic. Ed ke-8. Lowa: The Lowa State University Press.

Andriyanto, Suprayogi A, Satyaningtijas AS, Pilliang WG, Nasution WR. 2010. Pengaruh Penambahan Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) Dalam Pakan Ayam Broiler Terhadap Kecernaan Pakan, Bobot Badan, dan Produksi Cairan Empedu. Majalah Ilmu Faal Indonesia 9(2):98-103.

Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Ed ke-4. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI press).

Bivin WS, Crawford MP, Brewer NR. 1979. The Laboratory Rat. Di dalam: Baker HJ, Lindsey JR, Weisbroth SH, editor. The Laboratory Rat Vol.1. New York: Academic Press. hlm 73.

Cunningham JG. 1997. Cardiovascular Physiology. Di dalam: text Book of Veterinary Physiology. Philadelphia, Pennsylvania: WB Saunders Company. hlm 127-142.

Darmawan I. 1996. Kapita Selekta Hematologi. Ed ke-2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Darmawan D. 1997. Pengaruh Pemberian Suspensi Daun Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) Terhadap Nilai Hematologi Kelinci White New Zealand [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

de-Paula E, Meirelles NC. 1992. Interaction Beetwen Vasodilatator Drugs and Human Hemoglobin. Braz J Med. Biol. hlm 57-65.

Dellmann HD, Brown EM. 1992. Histologi Veteriner. Hartono R, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia.

[Depkes] Departemen Kesehatan. 1981. Composition List of Foodstuff. Jakarta: Bharata.

[Depkes] Departemen Kesehatan. 1995. Farmakope Indonesia. Ed ke-4. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Duncan JR, Prase KW. 1977. Veterinary Laboratory Medicine. Ame, Lowa, Clinical Pathology: the Lowa State University Press.


(50)

Frandson RD. 1992. Darah dan Cairan Tubuh Lainnya. Di dalam: Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hlm 395-417.

Ganong WF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-22. Widjajakusumah MD, penerjemah. Jakarta: EGC.

Goodman LS, Gilman A. 1975. The Pharmacologycal Basic of Therapeutics. Ed ke-6. Toronto: Macmillan Canada Limited.

Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-11. Irawati et al. penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: Penerbit ITB.

Hartono. 1988. Jaringan Ikat. Di dalam: Histologi Veteriner. Bogor: Laboratorium Histologi, Jurusan Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. hlm 93-130.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Balitbang Kehutanan. Terjemahan dari: Balitbang Kehutanan.

Hoffbrand V. 2006. At a Glance Hematology. Jakarta: EMS.

Hung GU, Tsai SC, Hsieh JF, Kao CH, Wang SJ. 2000. Detect Bronchiolitis obliterans due to Sauropus androgynus Vegetable Ingestion: Comparison With 99mTc-DTPA Radioaerosol Inhalation Lung Scintigraphy, High Resolution Computed Tomography and Pulmonary Function Testing. Ann. Nucl. Med. Sci 13(4):197-202.

Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hemathology. Philadelphia: Lea and Febiger.

Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animals. Ed ke-4. USA: Academic Press Inc.

Knight CH, Peaker M. 1982. Development of The Mammary Gland. Journal of Reproduction and Fertility 65:521-536.

Malik A. 1997. Tinjauan Fitokimia, Indikasi Penggunaan dan Bioaktivitas Daun Katuk dan Buah Trengguli. Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia 3:39.

Martini FH, Ober WC, Garrison C, Welleh K. 1992. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Ed ke-2. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.


(51)

Myers P, Espinosa R, Parr CS, Jones T, Hammond GS, Dewey TA. 2008. The Animal Diversity Web (online). University of Michigan Museum of Zoology [terhubung berkala]. http://animaldiversity.org. [27 Feb 2011] Oei KN. 1987. Daftar Analisis Bahan Makanan. Jakarta: Badan Litbangkes

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. hlm 18-19.

Padmavathi P, Rao MP. 1990. Nutritive Value of Sauropus androgynus Leaves. Plant Foods for Human Nutrition 40:107-113.

Puspaningtyas DM, Sutrisno, Immamudin H. 1997. Usaha Tani Katuk di Desa Cilebut Barat, Kabupaten Bogor. Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia 3:9. Robles R, Palomino N, Robles A. 2001. Oxidative Stress in the Neonate. Early

Human Dev 65: 575-581.

Rohn S, Harshadrai MR, Jurgen K. 2002. Inhibitory Effect of Plant Phenol on the Activity of Selected Enzymes. J Agric Food Chem 50: 3566-3571.

Sa’roni A, Astuti NY. 1997. Tinjauan Penelitian Daun Katuk yang Telah Dilakukan di Indonesia. Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia 3:44.

Schalm OW, Weiss DJ, Wardrop KJ, editor. 2010. Veterinary Haematology. Ed ke-6. Lowa : Blackwell Publishing.

Setyowati FM. 1997. Arti Katuk Bagi Masyarakat Dayak Tengah, Kalimantan Timur. Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia 3:54.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press.

Suharmiati, Agil M, Handayani L. 1997. Tinjauan Penggunaan Daun Katuk (Sauropus androgynus) untuk Peningkatan Produksi Air Susu Ibu (ASI). The Journal on Indonesia Medicinal Plants 3: 59-60.

Sukendah. 1997. Pengenalan Morfologi Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr). Jurnal. Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia 3:53.

Sumantera IW. 1997. Etnobotani Katuk di Bali. Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia 3:57.

Suprayogi A, Kusumorini N, Achmadi P. 1992. Effect of Katuk’s Leaves (Sauropus androgynus) on The Metabolism, Milk Yield and Milk Composition in Mammary Gland of Lactating Goats. Bogor: Grants of Research Institut, Bogor Agriculture University.


(1)

Lampiran 3 Rataan Nilai Hb (g%) Tikus Laktasi Hari ke-10

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Nilai_Hb_L10 Source

Type III Sum

of Squares Df Mean Square F Sig.

Model 2224.406a 7 317.772 1.314E3 .000

Perlakuan 8.168 4 2.042 8.444 .006

Ulangan 3.845 2 1.922 7.949 .013

Error 1.935 8 .242

Total 2226.341 15

a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,998)

DUNCAN

Perlakuan N

Subset

1 2 3

EtilAsetat 3 10.8567

Hexan 3 11.8667

Air 3 12.3333 12.3333

Etanol 3 12.8000 12.8000

Kontrol 3 12.8667

Sig. 1.000 .056 .238

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.


(2)

Lampiran 4 Rataan Nilai Leukosit (ribu/mm3) Tikus Laktasi Hari ke-10

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Nilai_BDP_Ribu_mm3_L10 Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2399.458a 7 342.780 52.898 .000

Perlakuan 187.163 4 46.791 7.221 .009

Ulangan 117.790 2 58.895 9.089 .009

Error 51.840 8 6.480

Total 2451.298 15

a. R Squared = ,979 (Adjusted R Squared = ,960)

DUNCAN

Perlakuan N

Subset

1 2

EtilAsetat 3 4.8333

Air 3 12.9333

Kontrol 3 13.0000

Hexan 3 14.1000

Etanol 3 14.2167

Sig. 1.000 .576

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 6,480.


(3)

Lampiran 5 Rataan Nilai Limfosit (%) Tikus Laktasi Hari ke-10

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent

Variable:Nilai_Limfosit_L10 Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 78963.267a 7 11280.467 262.540 .000

Perlakuan 750.267 4 187.567 4.365 .036

Ulangan 308.933 2 154.467 3.595 .077

Error 343.733 8 42.967

Total 79307.000 15

a. R Squared = ,996 (Adjusted R Squared = ,992)

DUNCAN

Perlakuan N

Subset

1 2

Kontrol 3 65.0000

EtilAsetat 3 66.3333

Air 3 68.6667

Etanol 3 76.6667 76.6667

Hexan 3 83.6667

Sig. .075 .227

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 42,967.


(4)

Lampiran 6 Rataan Nilai Netrofil (%) Tikus Laktasi Hari ke-10

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects

DependentVariable:Nilai_Netrofil_L10 Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 8145.933a 7 1163.705 37.378 .000

Perlakuan 656.933 4 164.233 5.275 .022

Ulangan 184.933 2 92.467 2.970 .108

Error 249.067 8 31.133

Total 8395.000 15

a. R Squared = ,970 (Adjusted R Squared = ,944)

DUNCAN

Perlakuan N

Subset

1 2 3

Hexan 3 13.0000

Etanol 3 15.6667 15.6667

Air 3 24.3333 24.3333

Kontrol 3 27.3333

EtilAsetat 3 30.0000

Sig. .574 .094 .267

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.


(5)

Lampiran 7 Rataan Nilai Monosit (%) Tikus Laktasi Hari ke-10

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent

Variable:Nilai_Monosit_L10 Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 124.867a 7 17.838 3.556 .048

Perlakuan 22.267 4 5.567 1.110 .415

Ulangan 1.200 2 .600 .120 .889

Error 40.133 8 5.017

Total 165.000 15

a. R Squared = ,757 (Adjusted R Squared = ,544)

DUNCAN

Perlakuan N

Subset 1 EtilAsetat 3 1.0000

Hexan 3 2.0000

Kontrol 3 2.3333

Air 3 3.0000

Etanol 3 4.6667

Sig. .100

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 5,017.


(6)

Lampiran 8 Rataan Nilai Eosinofil (%) Tikus Laktasi Hari ke-10

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Nilai_Eosinofil_L10 Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 211.133a 7 30.162 11.035 .001

Perlakuan 26.933 4 6.733 2.463 .129

Ulangan 24.133 2 12.067 4.415 .051

Error 21.867 8 2.733

Total 233.000 15

a. R Squared = ,906 (Adjusted R Squared = ,824)

DUNCAN

Perlakuan N

Subset

1 2

Hexan 3 1.3333

EtilAsetat 3 2.6667 2.6667

Etanol 3 3.0000 3.0000

Air 3 4.0000 4.0000

Kontrol 3 5.3333

Sig. .101 .101

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 2,733.


Dokumen yang terkait

Ekstrak Daun Katuk (Sauropus Androgynus Merr.) Sebagai Obat Luka Insisi Kronis Dalam Sediaan Salep Dan Krim

22 140 95

Pengaruh Pemberian Minuman Ekstrak Daun Katuk Kering dan Katuk Hijau (Sauropus androgynus (L.) Merr) Terhadap Produksi Susu Mencit (Mus musculus)

0 10 61

Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Laktasi yang Diberi Ekstrak dan Fraksi Sauropus androgynus (L.) Merr Sejak Bunting Sampai 10 Hari Postpartus

1 12 113

Pengaruh Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Meer) terhadap Involusi Uterus Tikus (Rattus norvegicus)

6 74 110

NASKAH PUBLIKASI SUBSTITUSI TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L) Merr) Substitusi Tepung Daun Katuk (Sauropus Androgynus (L) Merr) Terhadap Elongasi Dan Daya Terima Mie Basah.

0 3 11

Pengaruh Kombinasi Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.)Merr.) dan Domperidon Terhadap Involusi Uterus Mencit Menyusui.

4 14 24

Pengaruh Pemberian Fraksi Terpenoid Daun Katuk (Sauropus Androgynus (L.) Merr) Terhadap Profil Lipid Tikus Putih (Rattus Novergicus, L.) Jantan Galur Wistar yang Diinduksi Pakan Kaya Lemak.

0 0 15

PENGARUH PEMBERIAN FRAKSI TERPENOID DAUN KATUK (SAUROPUS ANDROGYNUS (L.) MERR) TERHADAP PROFIL LIPID TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS, L.) JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI PAKAN KAYA LEMAK.

0 0 25

Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Katuk (Sauropus androgynus [L.] Merr.) terhadap Pertumbuhan Candida albicans secara In Vitro.

0 0 11

EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L) Merr) SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP Propionibacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis

2 4 10