Pengaruh Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Meer) terhadap Involusi Uterus Tikus (Rattus norvegicus)

(1)

PENGA

KATUK (

INVO

ARUH PEM

(Sauropus

OLUSI UT

FAKU

INS

MBERIAN

s androgyn

TERUS TI

RUSYDA

ULTAS KE

STITUT P

N EKSTR

nus (L.) M

IKUS PUT

A MULYA

EDOKTE

ERTANIA

BOGOR

2011

RAK DAN

Merr) TER

TIH (Rattu

A SARI

RAN HEW

AN BOGO

FRAKSI

RHADAP P

us norvegi

WAN

OR

DAUN

PROSES

icus)


(2)

ABSTRACT

RUSYDA MULYA SARI. The Influence of Sauropus androgynus Leaf Extract and Fraction Administration on Rat’s Uterine Involution. Under supervision of NASTITI KUSUMORINI and AGIK SUPRAYOGI.

This study was aimed to analyses the efficacy leaft extract and fractions of katuk (Sauropus androgynus) on the rat’s uterine involution. Fifteen pregnant female rats divided in to 5 treatment groups; control (K), ethanol extract (E-EtOH), hexane fraction (F-H), ethyl acetate fraction (F-EtAc), and water fraction (F-H2O). The effect of treatment on uterine involution seen by measuring the

weight of uterus at 5 days postpartum and 10 days postpartum. Data obtained from measurements were analyzed using analysis of variance test (ANOVA) and continued by advance tests (Duncan Test). The results were indicated that uterine involution of the group hexane fraction and ethanol extract at 5 days postpartum going slow down, but at 10 days postpartum the uterus of both groups had reached normal size. Uterine involution in ethyl acetate fraction and water fraction groups, run faster than the other groups. Uterine’s weight of both groups have reached normal weight at 5 days postpartum, but the weight of the uterus was decreased at 10 days postpartum. Conclusion of this study was by giving extract and fraction of katuk leaves is able to influence uterine involution in rats.


(3)

ABSTRAK

RUSYDA MULYA SARI. Pengaruh Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) terhadap Involusi Uterus Tikus (Rattus norvegicus). Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan AGIK SUPRAYOGI.

Penelitian ini dilakukan untuk menguji khasiat ekstrak dan fraksi daun katuk (Sauropus androgynus) terhadap involusi uterus dengan menggunakan tikus sebagai hewan percobaan. Sebanyak 15 ekor tikus betina bunting di bagi menjadi 5 kelompok perlakuan: kontrol (K), ekstrak etanol (E-EtOH), fraksi heksan (F-H), fraksi air (F-H2O), dan fraksi etil asetat (F-EtAc). Pengaruh perlakuan terhadap

involusi uterus dilihat dengan mengukur berat uterus pada 5 hari postpartus dan 10 hari postpartus. Data yang diperoleh dari pengukuran dianalisis dengan menggunakan Uji Sidik Ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji lanjut (Duncan Test). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok fraksi heksan dan ekstrak etanol pada 5 hari postpartus mengalami perlambatan involusi uterus, namun bobot uterus kedua kelompok ini sudah mencapai ukuran normal pada 10 hari postpartus. Involusi uterus pada kelompok fraksi etil asetat dan fraksi air terjadi lebih cepat dibanding kelompok lain. Bobot uterus kedua kelompok ini sudah mencapai bobot normal pada 5 hari postpartus, namun berat uterus semakin mengecil pada 10 hari postpartus. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk dapat mempengaruhi involusi uterus tikus.

Kata kunci: ekstraksi, fraksinasi, involusi uterus, Sauropus androgynus.

                                   


(4)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAN FRAKSI DAUN

KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr) TERHADAP

INVOLUSI UTERUS TIKUS (Rattus norvegicus)

RUSYDA MULYA SARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) terhadap Involusi Uterus Tikus (Rattus norvegicus) adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011 Rusyda Mulya Sari NIM B04070015


(6)

     

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak mengurangi kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

Judul Skripsi : Pengaruh Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Meer) terhadap Involusi Uterus Tikus (Rattus norvegicus)

Nama : Rusyda Mulya Sari

NIM : B04070015

Disetujui

Dr. Nastiti Kusumorini, AIF Pembimbing I

Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, MSc. AIF Pembimbing II

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Tanggal Lulus:

Diketahui


(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Meer) terhadap Involusi Uterus Tikus (Rattus norvegicus). Skripsi ini dapat terwujud dengan baik atas dukungan Proyek Penelitian Hibah Kompetitif DIKTI Departemen Pendidikan Nasional tahun 2009 yang diketuai oleh Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi dengan nomor kontrak : 343/SP2H/PP/AP2H/VI/2009.

Terima kasih penulis ucapkan kepada dosen pembimbing pertama yaitu Dr. Nastiti Kusumorini, AIF dan dosen pembimbing anggota yaitu Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi MSc.AIF atas bimbingan, arahan, dan kesabaran selama membimbing penulis. Tidak lupa terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Drh. R. Harry Soehartono selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan dorongan pada penulis untuk menjadi lebih baik. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Drh. Hera Maheshwari, M.Sc, Drh. Supratikno, M.Si P.Avet, Drh. Upik Kesumawati Hadi, MS,PhD, dan Dr. Ietje Wientarsih, Msc, Apt yang telah memberikan masukan, kritik, dan saran saat seminar dan sidang skripsi. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh. Supriyono atas bantuan, bimbingan, dan waktunya selama penelitian dan proses penulisan skripsi ini berlangsung serta staf laboratorium Fisiologi (Ibu Ida dan Ibu Sri) yang telah membantu dan membimbing penulis dalam mengumpulkan data.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Ibunda Mernawati, ayahanda Salmi Syah, kakanda Nandy, Arif, dan Yopi atas cinta, doa, dukungan, dan semangat yang tiada hentinya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa terima kasih penulis ucapkan kepada Rice Chairmen, S.Kom yang selalu menemani perjalanan penulis dengan doa, semangat, dan dukungannya. Terimakasih penulis ucapkan kepada teman-teman sepenelitian dan seperjuangan (Iwan, Syaprianti, Arisa, dan Poniman) dan Pak Edi yang telah membantu selama penelitian. Terima kasih pula kepada sahabat-sahabat penulis (Rahima, Fenny, Levi, Denny, Wulan, Putri, Ira, dan Iwan) atas semangat, kebersamaan, keceriaan, dan nasehat-nasehat yang telah diberikan.


(9)

Selanjutnya terima kasih kepada rekan-rekan GIANUZI FKH 44 atas kebersamaan, pengalaman, kenangan, dan semangatnya. Kepada anak-anak Istana 200 (Ni Adiak, Kak Iffa, Ni Sofi, Kak Dinda, Tari, Nice, dan Dimas) atas kehangatan dan itu merupakan rumah kedua bagi penulis. Terakhir kepada semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penelitian ini.

Semoga karya ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Oktober 2011 Rusyda Mulya Sari


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Juni 1989 di Tiakar, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara, putri dari pasangan ayah Salmi Syah dan Ibu Mernawati.

Penulis memulai pendidikan di TK Pertiwi Tiakar pada tahun 1993, lalu melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Negeri 43 Tiakar pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Kecamatan Guguak dan lulus pada tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kecamatan Guguak. Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama menjalani pendidikan S1, penulis aktif di Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Payakumbuh (IKMP) sebagai Bendahara Umum periode 2008-2009 serta anggota Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang (IPMM) Bogor. Pada tahun 2008-2009 penulis menjadi Bendahara II Himpunan Minat Profesi (Himpro) Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA) FKH IPB dan kemudian menjadi Bendahara Umum pada periode 2009-2010. Penulis juga aktif menjadi pengurus divisi Zoonosis, Penelitian, Pengembangan, dan Pengabdian Masyarakat (Zolipmask) Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Cabang FKH IPB periode 2008-2010. Pada tahun 2009-2010 penulis menjadi Asisten Luar Biasa mata kuliah Histologi Veteriner I dan penulis juga aktif dalam kegiatan Pengabdian Masyarakat pada tahun 2010.

         


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Daun Katuk(Sauropus androgynus) ... 4

2.1.1 Karakteristik Tanaman Katuk ... 4

2.1.2 Pemanfaatan dan Toksisitas Daun Katuk Bagi Manusia dan Ternak ... 5

2.1.3 Kandungan Nutrisi dan Senyawa Aktif Daun Katuk ... 7

2.2 Ekstraksi ... 9

2.3 Biologi dan Reproduksi tikus Putih (Rattus norvegicus) ... 12

2.3.1 Klasifikasi dan Deskripsi Tikus Putih (Rattus norvegicus) ... 12

2.3.2 Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) ... 13

2.4 Involusi Uterus ... 14

3 BAHAN DAN METODE ... 18

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

3.2 Hewan Coba dan Pemeliharaan ... 18

3.3 Metode Penelitian ... 18

3.3.1 Pembuatan Ekstrak dan Fraksi Ekstrak Daun Katuk ... 18

3.3.1.1 Pembuatan Simplisia ... 18

3.3.1.2 Pembuatan Ekstrak Kasar Etanol ... 18

3.3.1.3 Pembuatan Fraksi Heksan ... 29

3.3.1.4 Pembuatan Fraksi Air dan Fraksi Etil Asetat ... 29

3.3.2 Pembuatan Bubuk Ekstrak dan Fraksi Ekstrak Daun Katuk ... 20

3.3.3 Pembuatan dan Pemberian Pakan ... 20

3.3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 21

3.3.4.1 Pengelompokan Hewan Coba ... 21

3.3.4.2 Pemberian Pakan Perlakuan ... 21

3.4 Parameter yang Diukur ... 22

3.5 Pengolahan Data ... 22

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 28


(12)

Halaman

5.2 Saran ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 29 LAMPIRAN ... 33


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi nutrisi daun katuk (per 100 gram daun katuk segar) ... 7 2 Senyawa aktif utama tanaman katuk dan pengaruhnya

terhadap fungsi fisiologis di dalam jaringan ... 9 3 Parameter normal fisiologi reproduksi dan biologi tikus ... 13 4 Perubahan normal pada uterus selama involusi uterus ... 15 5 Konsentrasi ekstrak daun katuk, dosis yang dikonsumsi,

dan komposisi nutrisi dalam pakan ... 21 6 Rataan bobot badan induk tikus, bobot badan induk

hari pertama postpartus, dan jumlah anak ... 23 7 Rataan bobot badan induk dan bobot uterus pada hari ke-5


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tanaman katuk ... 5

2 Tinggi fundus uterus selama proses involusi uterus ... 14

3 Prosedur fraksinasi ekstrak daun katuk ... 20


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Rata-rata Bobot Badan Induk pada Hari Pertama Kebuntingan ... 34

2 Rata-rata Jumlah Anak tikus pada Setiap Kelompok Perlakuan ... 35

3 Rata-rata Bobot Induk pada Hari Pertama Postpartus ... 36

4 Rata-rata Bobot Badan Induk pada Hari ke-5 Postpartus ... 37

5 Rata-rata Bobot Uterus pada Hari ke-5 Postpartus ... 38

6 Rata-rata Bobot Badan Induk pada Laktasi Hari ke-10 ... 39

7 Rata-rata Bobot Uterus pada Hari ke-10 Postpartus ... 40

                                   


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

Komplikasi postpartus serta kematian selama kehamilan dan bersalin masih menjadi masalah yang besar di Indonesia. Indonesia menduduki peringkat tertinggi Angka Kematian Ibu (AKI) di lingkup ASEAN. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007, AKI Indonesia sebesar 228/100.000 kelahiran (Depkes RI 2009). Diperkirakan 60% kematian ibu terjadi setelah persalinan dan 50% terjadi pada masa nifas dalam 24 jam pertama (Saifudin 2001). Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2002 penyebab langsung kematian maternal di Indonesia adalah akibat perdarahan (28%), eklamsia (24%), infeksi (11%), komplikasi (8%), abortus (5%), dan lain-lain (Depkes RI 2009).

Untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian postpartus, perawatan masa nifas sangat perlu dilakukan, salah satunya dengan mempercepat terjadinya involusi uterus. Involusi uterus merupakan perbaikan uterus ke ukuran dan fungsi normal tidak bunting setelah partus (Hafez dan Hafez 2000). Involusi uterus terjadi melalui 3 proses yang bersamaan yaitu autolisis otot uterus, atropi jaringan, dan kontraksi uterus (Sulistyawati 2009).

Berdasarkan penelitian Dahlianti et al. (2005) di Desa Sukajadi, Kecamatan Sukasari Bogor, usaha percepatan involusi uterus dilakukan masyarakat dengan mengkonsumsi jamu baik yang dibuat sendiri, maupun kemasan serta melakukan senam nifas. Selain itu, obat-obatan generik juga sudah dijual secara komersil untuk membantu percepatan involusi uterus seperti methylergometrine maleat, oxytocin, syntometrin, dan prostaglandin. Obat-obatan tersebut sangat membantu dalam mempercepat proses involusi uterus meskipun masih menimbulkan beberapa efek samping. Pemberian syntometrin lebih efektif dari oxytosin dosis tunggal namun memiliki banyak efek samping yaitu mual, sakit kepala, muntah, dan tekanan darah tinggi, sedangkan pemberian prostaglandin efektif dalam mengendalikan perdarahan postpartus tetapi secara umum lebih mahal dan memiliki efek samping diare, muntah, dan sakit perut (PATH 2002). Adanya


(17)

beberapa efek samping pada obat-obatan generik ini, mendorong perlu dilakukannya penelitian tentang obat-obatan dari bahan alami yang dapat membantu proses percepatan dan perbaikan involusi uterus dengan efek farmakologi tinggi dan efek samping minimal.

Salah satu bahan alami yang memiliki potensi untuk mempercepat involusi uterus adalah daun katuk (Sauropus androgyrus (L.) Merr.). Bihariddin (2004) menyatakan, pemberian minuman ekstrak daun katuk kering pada mencit, dari masa kawin sampai partus menyebabkan involusi uterus lebih cepat dibandingkan kontrol. Involusi uterus pada kelompok yang diberi minuman ekstrak daun katuk kering terjadi pada hari ke-2 postpartus, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi pada hari ke-5 postpartus. Selain itu, para peneliti juga mencoba mengetahui kandungan senyawa aktif daun katuk yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Suprayogi (2000) menyatakan bahwa terdapat 7 senyawa aktif utama dalam daun katuk yang berpengaruh terhadap fungsi fisiologi tubuh yaitu Octadecanoic acid, 9-Eicosyne, 5,8,11-heptadecatrinoic acid methyl ester, 9,12,15-octadecatrinoic acid ethyl ester, 11,14,17-eicosatrienoic acid methyl ester, Androstan-17-one,3,-ethyl-3-hydroxy-5 alpha, 3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetatic acid. Ketujuh senyawa aktif tersebut didapatkan dari fraksi alkohol 70%, fraksi heksan, dan fraksi kloroform dengan menggunakan analisis gas chromatography-mass spectrometric (GCMS).

Hingga saat ini belum diketahui senyawa aktif pada daun katuk yang bertanggung jawab terhadap perbaikan kondisi postpartus terutama involusi uterus. Senyawa aktif pada daun katuk yang banyak dilaporkan umumnya terkait dengan mekanisme terhadap proses laktasi. Walaupun begitu, telah dilaporkan bahwa dalam bentuk seduhan, daun katuk kering memiliki potensi mempercepat involusi uterus (Bihariddin 2004).

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji khasiat ekstrak maupun fraksi daun katuk (Sauropus androgynus) terhadap involusi uterus dengan menggunakan tikus sebagai hewan percobaan.


(18)

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi pemberian estrak dan fraksi daun katuk terhadap proses involusi uterus. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya sehingga didapatkan produk bahan baku obat dalam bentuk fraksi daun katuk yang terstandar dan aman untuk perbaikan reproduksi.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daun Katuk (Sauropus androgyrus) 2.1.1 Karakteristik Tanaman Katuk

Tanaman katuk merupakan tanaman yang telah lama dikenal masyarakat di negara Asia Barat dan Asia Tenggara. Penyebaran tanaman katuk ini dapat ditemukan di negara Malay Peninsula (Pahang, Kelantan), Philipina (Luzon, Mindoro), Cina, Vietnam, dan Indonesia. Di Indonesia penyebarannya terdapat di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sumbawa, Maluku, dan Ambon (Setyowati 1997).

Tanaman katuk dikenal dengan nama yang berbeda-beda tergantung pada tempat atau daerah di mana tanaman ini tumbuh. Tanaman katuk di Jawa disebut babing, katu, katukan; di daerah Sunda disebut katuk; di Madura disebut kerakur dan masyarakat Minang menyebutnya simani (Heyne 1987). Toksonomi tanaman katuk menurut Backer dan Brink (1963) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotiledoneae

Sub kelas : Monochleamydae (Apetalae)

Bangsa : Euphorbiales

Suku : Euphorbiceae

Marga : Sauropus

Jenis : Sauropus androgynus

Tanaman ini memiliki susunan daun seolah-olah berdaun majemuk tetapi jika dilihat dengan seksama berdaun tunggal karena di ketiak daunnya terdapat bunga warna merah bercampur putih. Perawakannya berupa perdu dengan tinggi 2-3 meter dan batang memiliki alur-alur dengan kulit yang agak licin berwarna hijau. Daunnya kecil dan menyirip ganda dengan jumlah anak daun banyak, jumlah daun per cabang berkisar antara 11-12 helai. Permukaan atas daun berwarna hijau dan kadang-kadang terlihat ada bercak keputih-putihan, sedangkan permukaan bawah berwarna hijau muda dengan tampak pertulangan daun yang


(20)

jelas (Gambar 1). Tepi daunnya rata dengan ujung daun yang lancip dan pangkal daun berbentuk bulat atau tumpul. Buahnya terdapat di sepanjang tangkai daun dan berwarna putih. Tanaman ini tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian1.300 m dpl dan di daerah yang terbuka tetapi tidak langsung terkena sinar matahari. Tanaman ini juga memerlukan banyak air untuk pertumbuhannya (Sukendar 1997; Supriati et al. 2008)

Gambar 1 Tanaman katuk

2.1.2 Pemanfaatan dan Toksisitas Daun Katuk Bagi Manusia dan Ternak Pada umumnya daun katuk digunakan sebagai sayuran atau lalapan dan dipercaya masyarakat mampu melancarkan air susu ibu dan mempercepat pemulihan tenaga bagi orang yang sakit (Soeseno 1984). Pemanfaatan daun katuk sebagai obat tradisional telah banyak dibuktikan secara ilmiah, Suprayogi (1995) menyatakan bahwa daun katuk terbukti memiliki khasiat sebagai obat bisul dan borok serta mampu memperbaiki fungsi pencernaan dan metabolisme tubuh. Pemberian suspensi daun katuk dapat meningkatkan kecernaan terhadap pakan diantaranya bahan kering, protein, dan lemak serta dapat meningkatkan absorpsi glukosa di saluran pencernaan dan metabolisme glukosa di hati. Selain itu air rebusan dari akar tanaman ini diyakini dapat menurunkan panas tubuh pada saat demam dan dapat juga melancarkan air seni, sedangkan akar tanaman yang telah


(21)

digiling digunakan sebagai obat luar untuk frambusia dan buahnya sering dibuat sebagai manisan (Heyne 1987).

Penggunaan daun katuk dalam meningkatkan produksi ASI telah dibuktikan Suprayogi et al. (1992) dengan menggunakan kambing laktasi. Pemberian estrak daun katuk melalui abomasum dapat meningkatkan produksi ASI sebesar 21,03% dengan diimbangi susunan air susu yang baik. Selain itu terjadi peningkatan aktivitas metabolisme glukosa pada sel ambing sebesar 52,66% yang berarti kelenjar ambing bekerja ekstra untuk mensintesis air susu. Sehingga secara langsung dapat meningkatkan keuntungan bagi peternak. Sa’roni et al. (2004) juga mengatakan bahwa pemberian ekstrak daun katuk pada kelompok ibu melahirkan dan menyusui bayinya dengan dosis 3 x 300mg/hari selama 15 hari terus menerus mulai hari ke-2 atau hari ke-3 setelah melahirkan dapat meningkatkan produksi ASI 50,70% lebih banyak dibandingkan dengan kelompok ibu melahirkan dan menyusui bayinya yang tidak diberi ekstrak daun katuk. Pemberian ekstrak daun katuk tersebut tidak menurunkan kadar protein dan kadar lemak ASI (Sa’roni et al. 2004). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa penambahan daun katuk dalam ransum unggas menujukkan hasil yang sangat memuaskan. Subekti (2003) menunjukkan bahwa pemberian tepung daun katuk 6% dan 9% dapat meningkatkan konsumsi ransum ayam lokal. Selain itu pemberian tepung daun katuk dan tepung ekstrak daun katuk dalam ransum puyuh menunjukkan pengaruh yang positif terhadap peningkatan sistem reproduksi yang terlihat dari peningkatan perkembangan organ reproduksi, kualitas telur, percepatan umur dewasa kelamin, peningkatan fertilitas, dan daya tetas telur (Subekti et al. 2008).

Di samping manfaat yang begitu banyak bagi manusia dan ternak, ternyata daun katuk juga memberikan efek negatif bila di konsumsi dalam konsentrasi yang tinggi. Ger et al. (1997) melaporkan bahwa adanya hubungan antara konsumsi daun katuk dengan bronkiolitis di Taiwan Selatan. Sebanyak 54 kasus bronkiolitis yang diteliti di Rumah Sakit Veterans General Hospital-Kaohsiung menunjukkan bahwa 100% pasien mengkonsumsi daun katuk. Suprayogi (2000) juga mengatakan bahwa penggunaan daun katuk menunjukkan efek yang cukup


(22)

mengganggu yaitu penghambatan absorpsi kalsium di saluran pencernaan dan gangguan pada pernafasan.

Saat ini, dari 213 jenis jamu yang berasal dari pabrik jamu, hanya ditemukan 6 jenis jamu (2,8%) yang mengandung daun katuk. Dari 6 jenis tersebut, 4 di antaranya mempunyai indikasi sebagai pelancar ASI (Sutedja et al. 1997). Selain sebagai pelancar ASI, daun katuk juga bermanfaat dalam mempercepat involusi uterus. Bihariddin (2004) melaporkan bahwa pemberian minuman ekstrak daun katuk kering pada mencit dari masa kawin sampai partus mengakibatkan terjadinya percepatan involusi uterus yaitu pada hari ke-2 postpartus. Hal ini lebih cepat bila dibandingkan dengan kontrol yaitu pada hari ke-5 postpartus, sedangkan pada pemberian minuman ekstrak daun katuk hijau, involusi uterus terjadi pada hari ke-5 postpartus sama seperti kelompok kontrol.

2.1.3 Kandungan Nutrisi dan Senyawa Aktif Daun Katuk

Kandungan nutrien yang memadai merupakan penunjang dalam nilai gizi terutama bagi ibu yang menyusui. Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa daun katuk memiliki nutrien yang cukup tinggi. Komposisi nutrien yang terkandung dalam 100 gram daun katuk segar yang diacu dalam Suprayogi (2000) dapat dilihat dari Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi nutrisi daun katuk (per 100 gram daun katuk segar)

Nutrien Depkes (1981) Padmavathi

&Rao (1990) Karbohidrat Protein Lemak Kalsium (Ca) Fosfor (P) Besi (Fe) Vitamin A Vitamin B1

Vitamin B6

Vitamin C Vitamin D Air Energi (Kal) 11 g 4,8 g 1 g 204 mg 83 mg 2,7 mg 10370 SI 0,1 mg - 239 mg - 81 g 59 - 7,4 g 1,1 g 771 mg 543 mg 8,8 mg 5600 µg 0,5 mg 0,21 mg 244 mg - 69,9 g -

Sumber: Suprayogi (2000) - : tidak dianalisa


(23)

Selain itu daun katuk juga mengandung beberapa senyawa aktif lain yang dapat mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh. Para peneliti mencoba untuk mengetahui kandungan senyawa kimia daun katuk yang dapat dimanfaatkan. Agusta et al. (1997) melaporkan bahwa pengujian ekstrak daun katuk dengan menggunakan analisa kromatografi gas dan spekrometri masa (KGMS), menunjukkan adanya enam senyawa utama yaitu monomethyl succinate dan cis-2-methyl cyclopentanol asetat (ester), asam benzoat dan asam fenil malonat (asam karboksilat), 2 Pyrolidinon dan methyl pyroglutamat (alkaloid). Semua senyawa ini berpotensi untuk industri kimia dan farmasi.

Suprayogi (2000) melaporkan bahwa senyawa aktif utama yang berperan dalam meningkatkan produksi air susu adalah 5 kelompok senyawa polyunsaturate fatty acids termasuk kelompok senyawa eicosanoid, yaitu octadecanoic acid, 9-eicosyne, 5,8,11-heptadecatrienoic acid, 9,12,15-octadecatrienoic acid, dan 11,14,17-eicosatrienoic acid. Di samping itu terdapat satu senyawa intermediate-step dari biosintesis steroid hormon yaitu Androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5alpha. Kedua kelompok senyawa ini mampu meningkatkan sekresi air susu melalui aksi hormonal maupun aksi metaboliknya dalam tingkat seluler. Senyawa Androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5alpha yang memiliki rumus kimia C21H34O2 merupakan 17-ketosteroid (kelompok keto pada

C 17). Senyawa ini berperan langsung sebagai prekursor hormon steroid. Biosintesis hormon steroid ini dapat terjadi pada semua kelenjar steroid hormon (ovarium, testes, dan kortek adrenal). Di dalam sel endokrin, senyawa ini akan dihidrosilasi oleh bantuan enzim hidroksilase (Suprayogi 2000). Kelompok-kelompok senyawa tersebut sangat mudah untuk dipisahkan (diekstrak) dengan pelarut nonpolar yaitu heksan. Selain itu, menurut Sprayogi (2000), terdapat tujuh senyawa aktif utama di dalam daun katuk yang berpengaruh terhadap fungsi fisiologis tubuh. Senyawa-senyawa tersebut bekerja secara langsung maupun tidak langsung di dalam jaringan (Tabel 2).


(24)

Tabel 2 Senyawa aktif utama tanaman katuk dan pengaruhnya terhadap fungsi fisiologis di dalam jaringan

Senyawa Aktif Pengaruhnya Pada Fungsi Fisiologis

Octadecanoic acid 9-Eicosyne

5,8,11-heptadecatrinoic acid 9,12,15-octadecatrinoic acid 11,14,17-eicosatrienoic acid

Sebagai prekursor dan terlibat dalam biosintesis senyawa eicosanoids

(prostaglandin, prostacyclin, tromboxane, lipoxin, dan leukotrines)

Androstan-17-one,3,-ethyl-3-hydroxy-5alpha

Sebagai prekursor atau intermediate-step dalam sintesis senyawa hormon-hormon steroid (progesteron, oestradiol, testosterone, dan glucocorticoid)

Senyawa 1-6 secara bersamaan Memodulasi hormon-hormon

laktogenesis dan laktasi serta aktifitas fisiologi yang lain

3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetatic acid

Sebagai eksogenous asam acetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus krebs

Sumber : Suprayogi 2000

Beberapa senyawa aktif daun katuk juga dapat ditemukan dengan menggunakan pelarut yang lebih polar (etanol, EtOH). Senyawa-senyawa aktif tersebut adalah 3 senyawa flavonol yang meliputi 3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β -D-glucosyl-kaempferol, 3-O-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol, dan 3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-7-O-α-rhamnosyl-kaempferol, senyawa 5’deoxy-5”methylsulphinyl-adenosine dan uridine (Wang dan Lee 1997). Temuan tersebut dikuatkan oleh Suprayogi (2004) yang menggunakan pelarut semipolar etil asetat (EtOAc) dan menemukan senyawa-senyawa yang bersifat antioksidan kuat yaitu 3-O-β-Dglucosyl-kaempferol, 3-O-β-D-glocosyl-7-O-α-Lrhamnosyl-kaempferol, dan kaempferol. Dari penelitian tersebut dapat diperkirakan bahwa dengan menggunakan pelarut organik semipolar maupun polar maka senyawa utama daun katuk yaitu kaempferol dapat dipisahkan dengan mudah.

2.2 Ekstraksi

Ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan menarik zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai. Metode penarikan zat aktif tersebut disebut dengan ekstraksi yaitu suatu metode pemisahan dimana komponen-komponen terlarut dari suatu campuran dipisahkan dari komponen yang tidak larut dengan pelarut yang sesuai, sedangkan proses


(25)

perpindahan massa zat aktif yang semula berada dalam sel yang ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam cairan penyari disebut dengan penyarian. Pembuatan ekstrak dimaksudkan agar zat berkhasiat yang terdapat di dalam simplisia terdapat dalam bentuk yang mempunyai kadar yang tinggi dan hal ini memudahkan zat berkhasiat tersebut dapat diatur dosisnya (Anonim 2010).

Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami perubahan, biasanya bahan yang dikeringkan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam ekstraksi yaitu jumlah simplisia, penambahan air ekstrak, derajat kehalusan, cara pemanasan, cara penyaringan, dan perhitungan dosis pemakaian. Pada dasarnya metode ekstraksi ada beberapa macam diantaranya yaitu maserasi (perendaman), perkolasi, digesti, infusi, dan dekoksi (Wientarsih & Prasetyo 2006). Menurut Rusdi (1988), ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut-pelarut organik dengan kepolaran yang semakin meningkat secara berurutan. Pelarut yang digunakan pada saat ekstraksi harus memenuhi syarat tertentu yaitu tidak toksik, tidak meninggalkan residu, harganya murah, tidak korosif, aman, dan tidak mudah meledak (Swem 1982).

Pelarut adalah suatu cairan yang digunakan dalam proses pemecahan ikatan suatu persenyawaan untuk selanjutnya membentuk suatu larutan. Untuk memecahkan ikatan persenyawaan dibutuhkan energi yang cukup besar. Oleh karena itu maka pada umumnya, persenyawaan yang berikatan ion hanya larut di dalam air atau pelarut sangat polar lainnya. Begitu juga persenyawaan kovalen polar hanya larut di dalam pelarut polar, dan persenyawaan kovalen nonpolar hanya larut di dalam persenyawaan nonpolar (Winarno et al. 1973). Jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi akan mempengaruhi jenis bahan yang akan terekstrak. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tergantung dari gugus-gugus yang terikat pada pelarut tersebut. Pelarut yang mempunyai gugus-gugus hidroksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk pelarut polar, sedangkan hidrokarbon termasuk kedalam pelarut nonpolar (Marcus 1992).

Beberapa contoh pelarut adalah etanol, heksan, etil asetat, dan air. Air dalam farmakope Indonesia ditetapkan sebagai salah satu cairan penyari yang merupakan pelarut polar. Air dapat melarutkan garam alkaloid, minyak menguap, glikosida, tanin, dan gula. Air dipertimbangkan sebagai penyari karena murah,


(26)

mudah diperoleh, stabil, tidak beracun, alamiah, tidak mudah menguap, dan tidak mudah terbakar. Di samping itu, penggunaan air sebagai bahan penyari juga mempunyai kerugian yaitu tidak selektif, tempat tumbuhnya mikroba, kapang dan kamir, sehingga dalam penggunaannya perlu ditambahkan pengawet. Air juga dapat melarutkan enzim sehingga menyebabkan reaksi enzimatis yang mengakibatkan penurunan mutu bahan obat terlarut (Depkes RI 1995).

Etanol merupakan penyari yang bersifat universal yaitu dapat melarutkan senyawa polar maupun senyawa nonpolar. Etanol adalah senyawa yang mudah menguap, jernih (tidak berwarna), berbau khas, dan meyebabkan rasa terbakar pada lidah. Etanol mudah menguap baik pada suhu rendah maupun pada suhu mendidih (78oC), mudah terbakar, serta larut dalam air, dan semua pelarut organik. Bobot jenis etanol tidak lebih dari 0,7964. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif dibandingkan air. Selain itu, kapang dan mikroba sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas. Etanol juga memiliki beberapa keuntungan lain yaitu tidak beracun, netral, absorbsi baik, dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, dapat memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut, dan tidak memerlukan panas yang tinggi untuk pemekatan (Depkes RI 1995). Penggunaan etanol sebagai cairan pengekstraksi biasanya dicampur dengan pelarut lain, terutama campuran etanol dan air. Etanol yang paling baik untuk menghasilkan senyawa aktif yang optimal adalah etanol 70% (Voight 1994).

Heksan merupakan pelarut yang bersifat nonpolar sehingga hanya mampu melarutkan senyawa nonpolar juga (Winarno et al. 1973). Senyawa ini berwarna putih agak coklat dan agak berbau fenol. Senyawa ini tidak larut dalam air, namun mudah larut dalam aseton, etanol, kloroform, eter, dan larutan encer alkali hidroksida tertentu (DepKes RI 1995).

Etil asetat merupakan cairan tidak berwarna dengan bau khas, rasa aneh, seperti aseton dan membakar. Pelarut ini didapat secara destilasi lambat campuran etil alkohol, asam asetat, dan asam sulfat. Etil asetat bersifat semipolar yang berarti bisa melarutkan senyawa polar maupun nonpolar tetapi lebih cenderung melarutkan senyawa polar. Berdasarkan kelarutannya, etil asetat dapat larut dalam eter, alkohol, minyak lemak, dan minyak atsiri (Depkes RI 1995).


(27)

2.3 Biologi dan Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) 2.3.1 Klasifikasi dan Deskripsi Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Arrington (1972) menyatakan, bahwa tikus laboratorium merupakan omnivora alami dan bersifat prolifik. Tikus sering digunakan untuk penelitian karena harganya murah dan mudah dipelihara. Dari segi biologi reproduksi, tikus sebagai hewan percobaan sangat menguntungkan karena tikus merupakan hewan multipara yang mampu menghasilkan beberapa sel telur dalam satu siklus birahi serta dapat berkembangbiak dalam waktu singkat (Ungerer et al. 1985). Sistem klasifikasi tikus putih menurut Ruedas (2008) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Sciurognathi

Famili : Muridae

Subfamili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Tikus putih (Albino Normay rat, Rattus norvegicus) yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan di laboratorium terdiri atas lima macam “basic stock” yaitu Long Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague Dawley, dan Wistar. Sprague Dawley memiliki ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil, dan ekor lebih panjang daripada badannya. Long Evans memiliki ukuran badan lebih kecil daripada Sprague Dawley dengan warna yang gelap pada bagian atas kepala dan bagian depan tubuh. Wistar memiliki kepala yang besar dan ekornya lebih pendek (Baker et al. 1979).

Dibandingkan dengan tikus liar, tikus laboratorium lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih mudah berkembangbiak. Jika tikus liar dapat hidup 4-5 tahun, tikus laboratorium jarang hidup lebih dari 3 tahun. Umumnya berat badan tikus laboratorium lebih ringan daripada tikus liar. Biasanya pada umur empat minggu, berat badan tikus liar mencapai 40-50 g dan setelah dewasa sampai 300 g atau lebih, sedangkan tikus


(28)

laboratorium pada umur empat minggu, beratnya hanya 35-40 g dan berat dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Tikus jantan tua dapat mencapai 500 g tetapi tikus betina jarang yang lebih dari 350 g. Galur yang paling besar ukuran tubuhnya adalah galur Sprague Dawley yang hampir sebesar tikus liar. Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatominya yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tikus tidak mempunyai kantung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

2.3.2 Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Pubertas pada tikus betina tergantung dari tingkat pertumbuhan dan kematangan oosit pada ovarium, sedangkan pada jantan ditandai dengan turunnya testes ke dalam scrotum dan terjadinya siklus spermatogenik. Biasanya tikus betina mencapai dewasa kelamin pada umur 50-72 hari dan tikus jantan sekitar umur 40 hari (Hafez 1970). Data parameter normal fisiologi reproduksi dan biologi tikus disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Parameter normal fisiologi reproduksi dan biologi tikus

Kriteria Nilai Lama/panjang siklus :

Fase 1 diestrus

Fase 2 proestrus (awal) Fase 3 proestrus (akhir)

Fase 4 estrus

Fase 5 metestrus

Durasi total siklus

Lama estrus

Waktu ovulasi

Lama kebuntingan

Jumlah anak perinduk

Usia lepas sapih

Usia pubertas

Plasenta Uterus

Kawin sesudah beranak

Berat organ :

(berat basah dalam g/100 g bobot badan)

Testis (single)

Ovary (single)

Lain-lain :

Berat dewas jantan

Berat dewasa betina

Konsumsi makan per berat badan per hari

60 jam 60 jam 12 jam 10-20 jam 8 jam 4-5 hari 9-20 jam

8-11 jam sesudah estrus 21-23 hari

6-10 ekor 21 hari 6-8 minggu

Diskoidal hemokorial 2 kornua, bermuara sebelum cervik 1-24 jam 0,05 0,005 300-400 g 250-300 g 10 g/100g/hari


(29)

Siklus birahi tikus berlangsung selama 4-5 hari dengan lama birahi 12 jam setiap siklus dan birahi terjadi pada malam hari. Birahi pada tikus betina banyak dipengaruhi oleh bau pejantan (Malole dan Pramono 1989). Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan, bahwa pada umumnya tikus mulai kawin pada umur 8-9 minggu, tetapi disarankan mengawinkan hewan tersebut pada umur 10-12 minggu. Masa birahi terbagi empat periode yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Masa kebuntingan tikus berlangsung 21-23 hari dan sejak 14 hari sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar ambing. Kebuntingan tikus dapat diketahui pada saat berumur 10-14 hari dengan meraba perut tikus.

2.4 Involusi Uterus

Involusi uterus adalah perbaikan uterus ke ukuran dan fungsi normal tidak bunting setelah partus (Hafez and Hafez 2000). Lamanya involusi uterus tergantung pada kemampuan kontraksi miometrium, eliminasi infeksi bakteri, dan regenerasi endometrium. Involusi uterus ini mengakibatkan lapisan luar dari desidua yang mengelilingi situs plasenta akan necrotic (layu/mati) (Sulistyawati 2009).

Perubahan uterus selama involusi uterus dapat dideteksi dengan melakukan palpasi daerah abdomen untuk meraba tinggi fundus uterus (TFU). Pada saat bayi lahir, fundus uterus setinggi pusat dengan berat 1000 gram. Hari ke-7 postpartus, TFU teraba pada pertengahan antara pusat dan simpisis pubis dengan berat 500 gram (Gambar 2). Setelah 2 minggu postpartus, TFU teraba di atas simpisis dengan berat 350 gram, dan 6 minggu postpartus fundus uterus mengecil (tidak teraba) dengan berat 50 gram.

Gambar 2 Tinggi fundus uterus selama proses involusi uterus (Sumber : Garrey dan Govan 1974 dalam Sulistyawati 2009).

Simpisis pubis


(30)

Perubahan yang terjadi pada uterus ini berhubungan erat dengan perubahan miometrium yang bersifat proteolitik. Perubahan normal uterus selama involusi pada wanita dapat dilihat pada Tabel 4. Involusi uterus terjadi melalui 3 proses yang bersamaan yaitu autolisis, atropi jaringan, dan kontraksi (efek oksitosin). Autolisis merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam otot uterus. Selama kehamilan, uterus akan membesar hingga 10 kali panjangnya dan 5 kali lebarnya dari ukuran normal. Setelah partus, enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot uterus tersebut hingga kembali ke ukuran normalnya (Sulistyawati 2009).

Tabel 4 Perubahan normal pada uterus selama involusi uterus

Involusi Uterus Tinggi Fundus Berat

Uterus

Diameter Uterus

Palpasi cervik

Plasenta lahir Setinggi pusat 1000

gram

12,5 cm Lembut/lunak

7 hari Pertengahan antara

pusat dan simpisis

500 gram 7,5 cm 2 cm

14 hari Tidak teraba 350 gram 5 cm 1 cm

6 minggu Normal 50 gram 2,5 cm menyempit

Sumber : Pusdiknakes 2003 dalam Sulistyawati 2009

Selama kehamilan jaringan uterus berproliferasi karena adanya estrogen dalam jumlah yang besar dan setelah partus jaringan uterus mengalami atropi sebagai reaksi terhadap penghentian produksi estrogen yang menyertai pelepasan plasenta. Selain perubahan atropi pada otot-otot uterus, lapisan desidua akan mengalami atropi dan terlepas dengan meninggalkan lapisan basal yang akan beregenerasi menjadi endometrium yang baru (Sulistyawati 2009).

Intensitas kontraksi uterus meningkat segera setelah bayi lahir. Hal tersebut diduga terjadi sebagai respon terhadap penurunan volume intrauterin yang sangat besar. Hormon oksitosin yang dilepas dari kelenjar hypofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus, mengecilkan pembuluh darah, dan membantu proses homoestasis. Kontraksi dan retraksi otot uterus akan mengurangi suplai darah ke uterus. Proses ini akan membantu mengurangi bekas luka tempat implantasi plasenta dan mengurangi perdarahan. Luka bekas perlekatan plasenta memerlukan waktu 8 minggu untuk sembuh total (Sulistyawati 2009).

Selama 1-2 jam pertama postpartus, intensitas kontraksi uterus dapat berkurang dan menjadi teratur. Biasanya untuk mempertahankan kontraksi uterus


(31)

ini, disuntikan oksitosin secara intravena atau intramuskuler segera setelah kepala bayi lahir. Pemberian ASI segera setelah bayi lahir juga akan merangsang pelepasan oksitosin karena isapan bayi pada payudara (Sulistyawati 2009). Setelah beberapa bulan laktasi adenohipofisa kembali mengeluarkan hormon yang akan menstimulasi pematangan folikel di ovarium, menghasikan estrogen, dan kembali menginisiasi siklus reproduksi (Guyton 1961).

Selama periode involusi, uterus akan mengekskresikan cairan yang disebut dengan lokia. Lokia terdiri atas mukus, darah, sisa membran fetus, dan jaringan induk, serta cairan fetus. Pengeluaran lokia dan pengecilan ukuran uterus disebabkan oleh kontraksi miometrium yang terus menerus akibat hadirnya prostaglandin. Lokia dapat dibagi berdasarkan warna dan waktu keluarnya yaitu (1) lokia rubra/merah muncul pada hari pertama sampai hari ketiga postpartus. Lokia berwarna merah dan mengandung darah, jaringan sisa-sisa plasenta, serabut dari endometrium, dan korion, (2) lokia serosa muncul pada hari ketujuh sampai keempat belas postpartus. Lokia berwarna kekuningan atau kecoklatan dan terdiri dari sedikit darah dan lebih banyak serum dan juga leukosit, (3) lokia alba muncul setelah hari keempat belas postpartus. Lokia berwarna putih kekuningan dan lebih banyak mengandung leukosit, selaput lendir, sel epitel, dan serabut jaringan yang mati (Sulistyawati 2009; Suparyanto 2011). Setelah pengeluaran lokia selesai, permukaan endometrium akan mengalami re-epitelisasi dan siap untuk kembali ke siklus reproduksi normal (Guyton dan Hall 1997).

Bila uterus mengalami kegagalan dalam involusi disebut subinvolusi. Subinvolusi sering disebabkan oleh infeksi atau tertinggalnya sisa plasenta dalam uterus sehingga proses involusi uterus tidak berjalan dengan normal atau terhambat dan bila tidak ditangani dengan baik maka akan mengakibatkan perdarahan yang berlanjut (postpartus hemorage). Ciri-ciri subinvolusi diantaranya adalah pengembalian ukuran uterus tidak progresif, uterus teraba lunak, kontraksi uterus yang buruk, sakit pada punggung, nyeri pada pelvis yang persisten, perdarahan pervagina abnormal meliputi perdarahan segar, lokia rubra yang banyak dan terus menerus serta berbau busuk (Anonim 2004).

Pada tikus, involusi uterus hampir selesai pada hari ke-4 postpartus. Selama involusi normal, berat basah uterus pada hari ke-3 postpartus berkurang dari 3.1 g


(32)

menjadi 0.68 g dan total kolagen uterus berkurang dari 8.8 menjadi 1.8 (Woessner 1969b). Selama involusi postpartus, uterus kehilangan kolagen sebesar 85% dalam jangka waktu 4 hari (Harknes 1956; Woessner 1962). Ryan dan Woessner (1974) menyatakan bahwa hormon estradiol dapat mengurangi kolagenase pada uterus sehingga dapat menghambat kerusakan kolagen postpartus. Studi laboratorium menunjukan bahwa pemberian estradiol dalam dosis 1µg/hari secara nyata mengahambat proses perusakan kolagen uterus tikus pada saat involusi postpartus (Woessner 1969a), sedangkan pemberian progestron dengan dosis sebesar 20-40mg/hari hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap penghambatan kerusakan kolagen uterus postpartus (Woessner 1969b).

Tikus mengalami estrus pertama dalam waktu 48 jam postpartus, namun demikian, sebaiknya tikus tidak dikawinkan dalam masa tersebut supaya anak-anak yang sedang disusui tidak terlantar. Apabila estrus postpartus pertama tersebut tidak dimanfaatkan, tikus betina akan akan kembali birahi antara 2-4 hari sesudah penyapihan. Penyapihan anak tikus dilakukan pada umur 21 hari yaitu saat kira-kira berat anak tikus sudah mencapai 40-50 gram. Bila tikus betina bunting saat menyusui, maka masa kebuntingannya akan lebih lama 3-7 hari. (Malole dan Pramono1989).

Ovulasi pertama postpartus pada tikus akan menghasilkan corpora lutea (CL) dan akan dipertahankan sepanjang masa laktasi. CL tersebut akan menghasilkan progesteron. Jumlah progesteron yang dihasilkan oleh CL berkolerasi secara tidak langsung dengan peningkatan konsentrasi prolaktin. Peningkatan prolaktin ini merupakan dampak positif dari suckling effect (efek menyusui). Selain itu, prolaktin juga menyebabkan penghambatan pengeluaran gonadotropin sehingga mencegah pertumbuhan folikel dan ovulasi, akibatnya folikel akan mengalami degenerasi. Secara tidak langsung, penghambatan pertumbuhan folikel tersebut ditentukan oleh kekuatan efek menyusui. Setelah hari ke 16 laktasi, folikel yang sehat mulai tumbuh sejalan dengan penurunan isapan anak (McNeilly 1988).


(33)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi dan Kandang Unit Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010.

3.2 Hewan Coba dan Pemeliharaannya

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) betina bunting 1 hari, galur Sprague Dawley. Tikus dikandangkan secara individu dalam bak plastik yang berukuran (40x30x15) cm3 dengan penutup kawat di atas kandang. Kandang dialasi dengan sekam yang diganti 3 hari sekali untuk menjaga kebersihan dan kesehatan. Pemberian minum pada tikus dilakukan ad libitum dan pemberian pakan sesuai perlakuan.

3.3Metode Penelitian

3.3.1 Pembuatan Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk

Pembuatan simplisia, ekstraksi, dan fraksinasi daun katuk dilakukan seperti cara yang dilakukan oleh Suprayogi et al. (2009) yang dapat dilihat pada Gambar 3.

3.3.1.1Pembuatan Simplisia

Daun katuk segar yang digunakan diperoleh di daerah sekitar Cinangneng, Ciampea Kabupaten Bogor. Daun tersebut dicuci dengan air bersih, kemudian dijemur di bawah sinar matahari sampai layu. Pengeringan dilanjutkan dengan menggunakan oven pada suhu 60ºC selama 12 jam, sehingga dari pengeringan ini diperoleh daun katuk kering.

3.3.1.2 Pembuatan Ekstrak Etanol

Ekstraksi daun katuk dilakukan dengan metode maserasi. Sebanyak 2 kg simplisia dilarutkan dengan 13 L pelarut etanol (EtOH) di dalam panci stenliss. Campuran tersebut diaduk secara manual dengan pengaduk selama 30 menit dan kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan menggunakan kain flanel dan kertas saring. Filtrat hasil penyaringan ini


(34)

merupakan ekstrak etanol daun katuk. Kemudian metode yang sama diulang sampai diperoleh larutan ekstrak etanol yang relatif jernih. Ekstrak etanol yang diperoleh dievaporasi menggunakan rotary-evaporator dengan pengaturan temperatur 40ºC. Hasil dari evaporasi ini berupa ekstrak etanol yang kental. 3.3.1.3 Pembuatan Fraksi Heksan

Ekstraksi dilanjutkan untuk memisahkan senyawa nonpolar menggunakan pelarut heksan. Sebanyak 20 g ekstrak etanol dilarutkan dalam 500 mL pelarut etanol, lalu dimasukkan ke dalam gelas separasi. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan pelarut heksan sebanyak 500 mL. Setelah itu, campuran larutan tersebut dikocok hingga tercampur sempurna, lalu didiamkan beberapa menit sampai terjadi pemisahan antara kedua larutan yaitu larutan heksan pada bagian atas dan larutan etanol pada bagian bawah. Kedua larutan tersebut dikeluarkan dan ditempatkan pada gelas erlenmeyer yang berbeda. Pencampuran dan pengocokan dilakukan berulang hingga larutan yang menggunakan pelarut heksan tampak jernih. Filtrat yang didapat merupakan larutan ekstrak etanol yang telah bebas senyawa nonpolarnya dan larutan fraksi heksan. Kedua larutan yang diperoleh kemudian dievaporasi sehingga diperoleh fraksi etanol yang telah bebas dari senyawa nonpolarnya dan fraksi heksan dalam bentuk kental.

3.3.1.4 Pembuatan Fraksi Air dan Fraksi Etil asetat

Sebanyak 20 g fraksi etanol yang diperoleh dari fraksinasi sebelumnya dilarutkan dengan air sedikit demi sedikit hingga membentuk larutan fraksi etanol sebanyak 500 mL. Larutan ini dimasukkan ke dalam gelas separasi dan kemudian dicampurkan dengan 500 mL pelarut etil asetat. Larutan tersebut kemudian dikocok hingga tercampur sempurna, kemudian didiamkan selama beberapa menit sampai terjadi pemisahan antara kedua larutan yaitu larutan etil asetat pada bagian atas dan larutan air pada bagian bawah. Kedua larutan tersebut dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer yang berbeda. Pencampuran dan pengocokan dilakukan berulang hingga didapat larutan dengan pelarut etil asetat yang jernih. Filtrat yang didapat kemudian dievaporasikan sehingga didapat fraksi etil asetat dan fraksi air yang kental.


(35)

EtOH 13 L Evaporasi

Heksan 500 ml EtOH 500 ml

Evaporasi Evaporasi

Aquades 500 ml Etil asetat 500 ml Evaporasi Evaporasi

Gambar 3 Prosedur fraksinasi ekstrak daun katuk (Suprayogi et al. 2009).

3.3.2Pembuatan Bubuk Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk

Ekstrak kental yang diperoleh dari ekstraksi dan fraksinasi dibuat menjadi bentuk bubuk menurut prosedur Suprayogi et al. (2009). Pembuatan bubuk ekstrak dan fraksi dilakukan dengan menambahkan tepung pada masing-masing ekstrak dan fraksi daun katuk. Pencampuran dilakukan secara merata, sehingga diperoleh konsistensi bubuk ekstrak dan fraksi yang sama. Pencampuran ini menghasilkan persentase ekstrak dan fraksi daun katuk sebagai berikut E-EtOH 25%, F-H 13%, F-H2O 25%, dan F-EtAc 25%. Bubuk ini penting sebagai

persiapan pembuatan pakan.

3.3.3 Pembuatan dan Pemberian Pakan

Pembuatan pakan perlakuan dilakukan menurut prosedur Suprayogi et al. (2009). Pakan yang diberikan berbentuk pelet yang dibuat secara manual dengan bahan utama terdiri atas tepung jagung, tepung ikan, bungkil kedelai, premiks, garam, CaCO3, minyak kelapa dan terigu. Hasil pencampuran bahan-bahan utama

ini merupakan pakan kontrol. Untuk pakan perlakuan, bahan utama ini ditambahkan dengan bubuk ekstrak dan fraksi daun katuk yang telah disiapkan sebelumnya. Komposisi nutrisi pakan terdiri dari protein kasar, lemak kasar, dan

Daun Katuk Kering Giling

Ekstrak Etanol (E-EtOH)

Fraksi Hexan (F-H) Fraksi Etanol

Fraksi Etil Asetat (F-EtAc) Fraksi Air


(36)

energi. Persentase ekstrak dan fraksi yang ada di dalam pakan, hasil analisis proksimat pakan serta dosis ekstrak dan fraksi daun katuk yang dikonsumsi tikus disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Konsentrasi ekstrak daun katuk dalam pakan, dosis yang dikonsumsi, dan komposisi nutrisi dalam pakan

Kelompok Konsentrasi Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk dalam Pakan (%)

Analisa Proksimat Dosis Ekstrak

dan Fraksi Daun Katuk (mg/hari/ekor) Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Energi (Kal/100 g)

Kontrol 0 20,01 6,55 3499 0

E-EtOH 4,53 20,06 6,54 3497 297,5

F-H 0,87 20,03 6,55 3498 57,5

F-H2O 3,22 20,04 6,54 3498 209

F-EtAc 0,45 20,02 6,55 3499 40

Suprayogi et al. 2009

3.3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.3.4.1 Pengelompokan Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan adalah 33 ekor tikus betina yang terdiri dari 30 ekor betina bunting umur 1 hari kebuntingan (H1) dan 3 ekor betina normal yang pernah bunting dan sudah lepas sapih untuk kelompok normal (N). Sebanyak 30 ekor tikus betina bunting dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol (K), kelompok ekstrak etanol (E-EtOH), kelompok fraksi heksan (F-H), kelompok fraksi air (F-H2O), dan kelompok fraksi etil asetat (F-EtAc) dengan

masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus betina bunting. Tiap kelompok perlakuan dibagi lagi menjadi 2 waktu pengambilan sampel yaitu pada 5 hari postpartus dan 10 hari postpartus.

3.3.4.2Pemberian Pakan Perlakuan dan Pengambilan Sampel

Perlakuan diberikan sejak kebuntingan hari pertama sampai hari ke-10 postpartus. Agar jumlah ekstrak dan fraksi daun katuk yang masuk ke dalam tubuh hewan sesuai dengan yang diinginkan maka tikus diberi makan 2 kali sehari (pagi dan sore). Pada pagi hari, tikus diberi pakan kontrol ad libitum, sedangkan sore hari diberi pakan perlakuan sebanyak 5% dari bobot badan.

Selama kebuntingan hewan coba dibiarkan tidak terusik hingga hari kelahiran. Bila pada kandang ditemukan anak, maka dilakukan perhitungan jumlah anak yang lahir dan hari tersebut dinyatakan sebagai hari 1 postpartus.


(37)

Pengambilan sampel uterus dilakukan pada hari ke-5 dan ke-10 postpartus (Gambar 4). Pengambilan sampel uterus dilakukan dengan pembedahan. Sebelum dibedah, tikus dianestesi dengan menggunakan eter. Setelah tikus tersebut mati, bagian abdomen tikus dibuka sampai uterusnya ditemukan. Kemudian uterus tikus diambil dan dibersihkan dari lemak-lemak yang menempel. Setelah itu uterus ditimbang menggunakan timbangan digital.

Keterangan : BU= bobot uterus BI =bobot induk

Gambar 4 Diagram pengambilan data.

3.4 Parameter yang Diukur

Parameter yang diukur meliputi bobot induk yang diukur pada hari pertama kebuntingan (H1), jumlah anak yang dilahirkan, bobot induk setelah melahirkan, bobot induk sebelum dibedah pada hari ke-5 dan ke-10 postpartus, serta bobot uterus pada hari ke-5 dan ke-10 postpartus.

3.5 Pengolahan Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Uji Sidik Ragam (ANOVA) dengan Rancangan Acak Lengkap, dan jika terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji lanjut (Duncan Test).

Pemberian pakan perlakuan

Masa kebuntingan 21-22 hari

Penimbangan BI

Masa laktasi

Pembedahan: pengukuran BI, BU Hewan masuk,

ditimbang

H1 H20-H21 Hari ke-10

laktasi Hari ke-5

laktasi

Pembedahan: pengukuran  BI, BU 


(38)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rata-rata bobot badan tikus hari pertama kebuntingan, bobot badan induk hari pertama postpartus, dan jumlah anak disajikan pada Tabel 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot badan induk hari pertama kebuntingan tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan dengan rata-rata 211 g. Hal ini berarti bahwa bobot badan tikus yang digunakan dalam penelitian ini bersifat homogen untuk semua kelompok perlakuan.

Tabel 6 Rata-rata bobot badan induk tikus, bobot badan induk hari pertama postpartus, dan jumlah anak

Kelompok perlakuan

BBI H1 kebuntingan (g) BBI PP1 (g) Σ anak

K 211,71 ± 4,30 237,26 ± 4,99 9,16 ± 1,17

E-EtOH 211,70 ± 4,03 235,33 ± 3,78 9,50 ± 1,05

F-H 211,28 ± 3,46 233,97 ± 6,88 9,16 ± 1,33

F-H2O 211,31 ± 3,10 236,48 ± 4,67 9,00 ± 1,27

F-EtAc 211,53 ± 4,13 235,33 ± 5,65 9,33 ± 1,37

Disajikan dalam rata-rata ± SD. BBI: Bobot badan induk, H1: hari pertama bunting, PP1: hari pertama postpartus K: kontrol, E-EtOH: ekstrak etanol, H: fraksi heksan, H2O: fraksi air, F-EtAc: fraksi etil asetat.

Data-data menunjukkan pula bahwa bobot badan induk tikus hari pertama postpartus tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk tidak menyebabkan peningkatan maupun penurunan bobot badan induk postpartus. Begitu juga dengan jumlah anak tikus yang dilahirkan juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan. Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan pada setiap kelompok perlakuan adalah 9 ekor. Jumlah anak yang dilahirkan ini masih berada dalam kisaran normal, karena menurut Malole dan Pramono (1989), jumlah normal anak tikus per induk adalah 6-10 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif dari daun katuk yang diberikan pada induk tidak memberikan pengaruh pada induk selama kebuntingan hingga postpartus.

Rata-rata bobot badan tikus dan bobot uterus pada hari ke-5 dan ke-10 postpartus disajikan pada Tabel 7. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa bobot induk tikus pada hari ke-5 maupun hari ke-10 postpartus tidak berbeda


(39)

nyata antar kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif dari daun katuk yang diberikan pada induk tidak memberikan pengaruh pada bobot badan induk postpartus, sedangkan bobot uterus pada hari ke-5 postpartus berbeda nyata antar kelompok perlakuan (p<0,05), namun pada hari ke-10 postpartus tidak menunjukkan perbedaan nyata.

Tabel 7 Rata-rata bobot badan induk, bobot uterus, dan persentase bobot uterus terhadap bobot induk pada hari ke-5 dan ke-10 postpartus

Kelompok Perlakuan

Rata-Rata Bobot badan induk

(g)

Bobot uterus (g)

Hari ke-5 postpartus

N 213,37 ± 4,94 0,47 ± 0,03ab

K 211,63 ± 13,35 0,48 ± 0,18ab

E-EtOH 210,93 ± 11,51 0,63 ± 0,01b

F-H 211,83 ± 14,29 0,66 ± 0,11b

F-H2O 211,60 ± 18,03 0,35 ± 0,05a

F-EtAc 210,43 ± 13,88 0,47 ± 0,03ab

Hari ke-10 postpartus

N 213,37 ± 4,94 0,47 ± 0,03

K 213,00 ± 5,85 0,47 ± 0,17

E-EtOH 211,87 ± 13,17 0,53 ± 0,19

F-H 211,50 ± 11,99 0,49 ± 0,24

F-H2O 210,07 ± 10,96 0,29 ± 0,11

F-EtAc 210,53 ± 10,10 0,31 ± 0,06

Disajikan dalam rata-rata ± SD. Superkrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda pada taraf uji (p<0.05). N: normal, K: kontrol, E-EtOH: ekstrak etanol, F-H: fraksi heksan, F-H2O: fraksi air, F-EtAc: fraksi etil asetat.

Pada penelitian ini dilakukan penghitungan bobot uterus kelompok normal yang berasal dari tikus yang sudah pernah bunting dan sudah lepas sapih. Bobot uterus kelompok normal ini menjadi acuan dari bobot normal uterus, sehingga involusi uterus dikatakan sudah selesai bila bobot uterus yang diperoleh sudah sama dengan bobot uterus kelompok normal. Data pada Tabel 7 ini menunjukkan bahwa rata-rata bobot uterus kelompok kontrol pada hari ke-5 dan ke-10 postpartus tidak berbeda nyata dengan kelompok normal. Bila dilihat dari data yang diperoleh, rata-rata bobot uterus kelompok kontrol pada hari ke-5 postpartus tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan rata-rata bobot uterus pada hari ke-10 postpartus. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol, involusi uterus secara fisiologis sudah terjadi dengan sempurna pada hari ke-5 postpartus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Woessner (1969b) yang menyatakan


(40)

bahwa involusi uterus pada tikus hampir selesai pada hari ke-4 postpartus. Bihariddin (2004) juga melaporkan bahwa involusi uterus pada mencit secara normal terjadi pada hari ke-5 postpartus.

Bobot uterus pada kelompok ekstrak etanol dan fraksi heksan pada hari ke-5 postpartus cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Namun pada hari ke-10 postpartus bobot uterus kedua kelompok ini hampir mendekati bobot uterus kelompok kontrol (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa masa involusi uterus pada kelompok ekstrak etanol dan fraksi heksan cenderung lebih panjang dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini mungkin disebabkan adanya kandungan senyawa aktif tertentu dalam ekstrak etanol dan fraksi heksan tersebut. Menurut Suprayogi (2000), fraksi heksan dapat melarutkan senyawa Androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5alpha. Senyawa ini merupakan prekursor hormon-hormon steroid di ovarium yang menghasilkan estradiol. Kandungan zat aktif yang sama juga dimiliki oleh kelompok ekstrak etanol karena etanol merupakan pelarut yang bersifat universal sehingga dapat melarutkan semua senyawa aktif daun katuk. Adanya prekursor sintesis hormon steroid ini kemungkinan menyebabkan kadar estradiol pada tikus yang diberi perlakuan fraksi heksan dan ekstrak etanol lebih tinggi dibanding kelompok perlakuan lain. Nalbandov (1990) menyatakan estrogen menyebabkan peningkatan vaskularisasi, peningkatan aktivitas mitosis uterus, menyebabkan akumulasi air pada lumen uterus serta hiperplasia dan hipertrofi otot polos miometrium sehingga mengakibatkan organ bertambah berat. Hal tersebut diduga menyebabkan uterus pada kelompok ekstrak etanol dan fraksi heksan pada masa kebuntingan lebih besar dibandingkan kelompok perlakuan lain, akibatnya proses autolisis dan degradasi jaringan uterus postpartus pada kedua kelompok ini cenderung lebih lama dibandingkan dengan kelompok lain.

Selain itu, Woessner (1969a) serta Ryan dan Woessner (1972) juga menyatakan bahwa estrogen dapat menghambat proses involusi uterus dan kolagenolisis selama periode postpartus. Ryan dan Woessner (1974) menyatakan bahwa hormon estradiol dapat mengurangi kolagenase pada uterus sehingga dapat menghambat kerusakan kolagen postpartus. Studi laboratorium menunjukan bahwa pemberian estradiol pada dosis 1µg/hari secara signifikan menghambat


(41)

proses perusakan kolagen uterus tikus pada saat involusi postpartus (Woessner 1969a). Penghambatan perusakan kolagen postpartus ini diduga menyebabkan terhambatnya involusi uterus. Menurut Woesneer (1962) selama involusi uterus, uterus akan kehilangan jaringan kolagen sebesar 85% dalam waktu 4 hari.

Tabel 7 menunjukkan bahwa bobot uterus kelompok fraksi air cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol baik pada hari ke-5 maupun hari ke-10 postpartus. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kemungkinan involusi uterus kelompok ini cenderung lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Terjadinya penyusutan bobot uterus yang lebih cepat ini mungkin karena adanya senyawa alkaloid papaverin dalam fraksi air. Bender dan Ismail (1975 dalam Suprayogi 2000) telah menemukan adanya kandungan senyawa alkaloid papaverin dalam daun katuk. Menurut Rahayu (1999) alkaloid papaverin tersebut dapat larut dalam pelarut air. Alkaloid papaverin dapat mengkontraksikan uterus dan usus, serta menurunkan tekanan darah (Padmavathi 1990 dalam Hartini 1995). Kemampuan alkaloid papaverin ini dalam mengkontraksikan uterus mungkin menyebabkan kontraksi uterus postpartus pada kelompok air lebih sering dibandingkan kelompok lain, sehingga proses pengeluaran lokia dan penyusutan uterus pada kelompok ini lebih cepat, akibatnya involusi uterus terjadi lebih cepat dibandingkan dengan kelompok lain. Alkaloid papaverin ini juga diduga dapat menyebakan efek toksik terhadap uterus. Hal ini terlihat dari bobot uterus pada kelompok ini cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok normal walaupun perbedaan tersebut tidak nyata. Akan tetapi sampai saat ini belum diketahui secara pasti bagaimana mekanisme toksisitas alkaloid papaverin ini.

Data kelompok fraksi etil asetat memperlihatkan bobot uterus pada hari ke-5 postpartus hampir sama dengan kelompok kontrol dan kelompok normal, namun pada hari ke-10 postpartus bobot uterus cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok normal (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa involusi uterus pada kelompok ini telah terjadi secara sempurna pada hari ke-5 postpartus, namun apabila perlakuan terus diberikan uterus akan terus mengalami penyusutan sampai bobotnya lebih rendah dari bobot uterus normal. Hal ini diduga juga disebabkan adanya senyawa alkaloid papaverin dalam fraksi etil asetat. Menurut Rahayu (1999) selain pelarut air, pelarut etil asetat juga


(42)

dapat melarutkan senyawa alkaloid papaverin. Padmavathi (1990 dalam Hartini 1995) menyatakan bahwa alkaloid papaverin dapat mengkontraksikan uterus dan usus, serta menurunkan tekanan darah. Kemampuan alkaloid papaverin dalam mengkontraksikan uterus ini diduga menyebabkan terjadinya perubahan uterus yang abnormal setelah hari ke-10 postpartus. Hal ini terlihat dari bobot uterus kelompok ini yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok normal pada hari ke-10 postpartus walaupun perbedaan ini tidak nyata.

Data bobot uterus kelompok fraksi air dan fraksi etil asetat (Tabel 7) menunjukkan bahwa pemberian kedua fraksi tersebut sampai hari ke-5 postpartus sangat bermanfaat dalam mempercepat involusi uterus, namun pemberian kedua fraksi tersebut sampai hari ke-10 postpartus cenderung tidak menguntungkan bagi uterus karena bobot uterus cenderung mengarah ke ukuran abnormal yang ditandai dengan ukuran uterus yang lebih kecil dari ukuran normal. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena kandungan senyawa alkaloid papaverin dalam daun katuk. Namun sampai saat ini belum diketahui secara pasti bagaimana mekanisme toksisitas dari senyawa tersebut.

Kontraksi uterus memiliki peranan yang sangat penting dalam involusi uterus. Oleh karena itu, menjaga dan mempertahankan kontraksi uterus selama periode postpartus sangat penting agar involusi uterus berjalan dengan cepat dan sempurna. Kontraksi dan retraksi otot uterus akan mengurangi suplai darah ke uterus sehingga akan membantu mengurangi bekas luka tempat implantasi plasenta dan mengurangi perdarahan serta mempercepat pengeluaran lokia (Sulistyawati 2009).


(43)

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Pemberian ekstrak dan fraksi ekstrak daun katuk selama kebuntingan sampai masa laktasi mempengaruhi involusi uterus. Masa involusi uterus kelompok ekstrak etanol dan fraksi heksan cenderung diperpanjang dibandingkan dengan kelompok kontrol, sedangkan masa involusi uterus kelompok fraksi air dan fraksi etil asetat cenderung lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Di antara kelompok perlakuan, kelompok fraksi etil asetat paling baik dalam mempercepat involusi uterus, namun dalam pemberiannya diperlukan kehati-hatian pada pemberian melebihi 5 hari postpartus.

5.2Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dosis pemberian fraksi daun katuk dalam membantu percepatan involusi uterus serta penelitian lebih lanjut mengenai kadar hormon-hormon reproduksi akibat pemberian fraksi daun katuk selama kebuntingan dan laktasi.


(44)

BAB 6

DAFTAR PUSTAKA

Agusta A, Harapin M, Chairul. 1997. Analisis kandungan kimia ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) dengan GCMS. J Ind Med Plants 3(3): 31-33.

Anonim. 2004. Konsep teori involusi uteri. [terhubung berkala]. http://www.scribd.com/doc/48414666/jtptunimus-gdl-idadianani-5194-3-bab2 [18 Agustus 2011].

Anonim. 2010. Tinjauan tentang ekstrak. [terhubung berkala]. http://dprayetno.wordpress.com/2010/11/16/tinjauan-tentang-ekstrak/ [10 Juni 2011].

Arrington LR. 1972. Introductory laboratory animal science. The Interstate Printer and Publiser, Inc. Davinlle, Illinois.

Backer CA, Brink RCB. 1963. Flora of Java (Spermatopytes Only). Groningen. The Netherlands: P.Noordhoof.

Baker HJ, Linsey JR, Weisbroth SH. 1979. Laboratory Rat. New york: Academic Press.

Bihariddin A. 2004. Pengaruh minuman ekstrak daun katuk kering & katuk hijau (Sauropus androgynus (L.) Merr) terhadap involusi uterus mencit putih (Mus musculus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Dahlianti R, Nasoetion A, Roosita K. 2005. Keragaan perawatan kesehatan masa nifas, pola konsumsi jamu tradisional dan pengaruhnya pada ibu nifas di desa Sukajadi, kecamatan Tamansari, Bogor. Media Gizi dan Keluarga 29 (2):55-65.

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta.

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Rencana Kegiatan Penurunan Angka Kematian Ibu. Jakarta.

Guyton AC. 1961. Texbook of medical physiology. Second edition. Illustrated. WB Saaunders Company, Phyladelphia.

Guyton C, Hall JE. 1997. Buku ajar fisiologi kedokteran. Setiawan I, Tengadi LMA KA, Santoso, penerjemah. EGC, Jakarta.

Ger LP, Chiang AA, Lai RS, Chen SM, Tseng CJ. 1997. Association of Sauropus androgynus and bronchiolitis obliterans syndrome: a hospital-based case-kontrol study. Am J Epidemiol 145(9): 842-849.


(45)

Hafez ESE. 1970. Reproduction and breeding techniques for laboratory animals. Lea & Febinger: Philaddelphia.

Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals 7Th edition. Kawah Island. South California, USA.

Harknes RD, Moralee BE. 1956. The time course and route of loss of collagen from the rat’s uterus during postpartus involution. J Physiol 132: 502-508.

Hartini. 1995. Mempelajari cara ekstraksi dan fraksinasi komponen aktif alkaloid daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) [skripsi]. Bogor: Fakultas teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Terjemahan Balitbang Kehutanan. Jakarta.

Malole MB, Pramono CSU. 1989. Penggunaan hewan-hewan percobaan di laboratorium. Bogor: PAU Biotek IPB.

Marcus Y. 1992. Principles of Solubility and Sollution. New York: Marcel Dekker. Inc.

McNeilly AS. 1988. Suckling and the kontrol of gonadotropin secretion. Di dalam: Knobil E, Neill JD, Greenwald JS, Market CL, Pfaaff DW, editor. The Physiology of reproduction. New York: Raven Press. hlm 2323-2341.

Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Jakarta: UI Press.

[PATH] Program of Appropriate Technology in Health. Mencegah perdarahan pasca persalinan: menangani persalinan kala tiga. Out Look 2002 edisi khusus 19: 1-8.

Rahayu EP. 1999. Kajian Aktifitas Antimikroba Ekstrak dan Fraksi Rimpang Lengkuas (Alpina galanga) Terhadap Mikroba Patogen dan Perusak Pangan [Disertasi

].

Bogor: Program Pasca Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Ruedas L. 2008. IUCN red List of thretened species 2011. [terhubung berkala]. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/19353/0 [10 Maret 2011]. Rusdi. 1988. Tetumbuhan Sebagai Bahan Obat. Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Pusat Penelitian Universitas Andalas Padang.

Ryan JN, Woesner JF Jr. 1972. Oestradiol inhibits collagen breakdown in the involuting rat uterus. Biochem J 127: 705-713.

Ryan JN, Woesner JF Jr. 1974. Oestradiol inhibition collagenase role in the uterine involution. Nature 248: 526-528.


(46)

Saifuddin AB. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: YBPSP.

Sa’roni, Tonny S, Mochammad S, Zulaela. 2004. Effectiveness of the Sauropus androgynus (L.) Merr leaf extract in increasing mother’s breast milk production. Media Litbang Kesehatann 14(3).

Subekti S. 2003. Kualitas telur dan ayam lokal yang diberi tepung daun katuk dalam ransum [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Subekti S, Sumarti SS, Murdiarti TB. 2008. Pengaruh daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dalam ransum terhadap fungsi reproduksi pada puyuh. JITV 13(3): 167-173.

Sukendar. 1997. Pengenalan morfologi katuk (Sauropus androgynus (L.)Merr.). urnal Tumbuhan Obat Indonesia. 3: 53.

Sulistyawati A. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Yogyakarta : Andi.

Suparyanto. 2011. Konsep nifas/postpartus/Puerpurium 2. [terhubung berkala]. file:///D:/SKRIPSI/involusi/dr.%20Suparyanto,%20M.Kes%20%20KON SEP%20NIFAS%20%20%20POST%20PARTUM%20%20%20PUERP URIUM%202.htm [5 Mei 2011].

Sutedja L, Kardono LBS, Agustina H. 1997. Sifat Anti Protozoa Daun Katuk. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3(3): 47-49.

Suprayogi A, Kusumorini N, Achmadi P, Astuti DA. 1992. Effect of katuk leaves (Sauropus androgynus) on the metabolism, milk yield and milk composition in mamaria gland of lactating goat. Grand of Resach. Bogor Agriculture University.

Suprayogi A. 1995. The effect of Sauropus androgynus (L.)Merr. Leaves on the feed digestibiliti, glucose absorption and glucose metabolism in the liver (a study on a tropical medical plant). Master-Thesis of Gottingen University, Germany, August, 1995.

Suprayogi A. 2000. Studies of the biologycal effect of Sauropus androgynus (L)Merr. : Effect of milk production and the possibilities of induced pulmonary Disorder in lactating sheep. Cuvillier Verlag Gottingen. Germany.

Suprayogi A. 2004. Identification of active compounds in Sauropus androgynus leaves. Research study report, Re-Invitation Program DAAD Germany: Institut fur Pharmazeutische Biologie, Heinrich Heine Universitat Dusseldorf, Germany.

Suprayogi A, Kusumorini N, Setiadi MA, Murti YB. 2009. Produksi fraksi daun katuk terstandar sebagai bahan baku obat perbaikan gizi, fungsi


(47)

reproduksi, dan laktasi. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, IPB.

Supriati Y, Yulia Y, Nurlaeda I. 2008. Tanaman Sayur. Jakarta: Penebar Swadaya.

Setyowati F. M. 1997. Arti katuk bagi masyarakat Dayak Kenyah, Kalimantan Timur,. Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 3. Hlm. 54. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmakologi. Jakarta.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, pembiakkan dan penggunaan hewan percobaan di daerah tropis. Jakarta: UI-Press.

Soeseno S. 1984. Kebun sayur di pekarangan anda. Jakarta: Kinta

Swem D. 1982. Balay’s Industrial Oil and Fats Product Vol. New York: Jhon Wiley and Son.

Ungerer T, Juhara S, Lukman R, Ita D, Aman WKM, Reviany W, Komar S, Suparman, Majestika. 1985. Biologi reproduksi hewan percobaan laboratorium dalam rangka pengadaan dan pengembangan sarana penelitian serta pendayagunaan scanning electron microskop. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Wang PH, Lee SS. 1997. Active chemical constituents from Sauropus androgynus. J Chin Chem Soc 44(2): 145-149.

Waynforth HB, Flecknell PA. 1992. Experimental and Surgical Technique in the Rat. New York: Academic Press.

Wientarsih I, Prasetyo BF. 2006. Diktat Farmasi dan Ilmu Reseptir. Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor.

Winarno FG, Fardiaz D, Ansori R, Ketaren S. 1973. Kimia Organik 1. Departemen Teknologi Hasil Pertanian IPB. Bogor.

Woessner JF Jr. 1962. Catabolism of collagen and non collagen breakdown in the involuting rat uterus. Biochem J 83: 304-314.

Woesner JF Jr. 1969a. Inhibition by oestrogen of collagen breakdown in the involuting rat uterus. Biochem J 112: 637-645.

Woesner JF Jr. 1969b. Lysosomal enzymes and connective tissue breakdown. Biochem J 93: 440-447.


(48)

                   

LAMPIRAN

 


(49)

Lampiran 1 Rataan Bobot Badan Induk pada Hari Pertama Kebuntingan

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:H1

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 1.342E6a 10 134211.909 9.053E3 .000

perlakuan 1.003 4 .251 .017 .999

ulangan 70.215 5 14.043 .947 .473

Error 296.497 20 14.825

Total 1342415.586 30


(50)

Lampiran 2 Rataan Jumlah Anak tikus pada Setiap Kelompok Perlakuan

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Jmlah_anak

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2569.467a 10 256.947 186.644 .000

Perlakuan .867 4 .217 .157 .957

Ulangan 10.967 5 2.193 1.593 .208

Error 27.533 20 1.377

Total 2597.000 30


(51)

Lampiran 3 Rataan Bobot Induk pada Hari Pertama Postpartus

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent

Variable:H1pp

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 1.666E6a 10 166634.332 5.214E3 .000

Perlakuan 37.859 4 9.465 .296 .877

Ulangan 61.999 5 12.400 .388 .851

Error 639.238 20 31.962

Total 1666982.557 30

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999)  


(52)

Lampiran 4 Rataan Bobot Badan Induk pada Hari ke-5 Postpartus

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:BI_lak5

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 805090.210a 8 100636.276 514.061 .000

Perlakuan 7.027 5 1.405 .007 1.000

Ulangan 156.463 2 78.232 .400 .681

Error 1957.670 10 195.767

Total 807047.880 18

a. R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,996)  


(53)

Lampiran 5 Rataan Bobot Uterus pada Hari ke-5 Postpartus

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:BU_lak5

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 4.860a 8 .608 64.729 .000

Perlakuan .197 5 .039 4.196 .026

Ulangan .002 2 .001 .096 .909

Error .094 10 .009

Total 4.954 18

a. R Squared = ,981 (Adjusted R Squared = ,966)

DUNCAN

BU_lak5 Duncan

Perlakuan N

Subset

1 2

air 3 .34667

Berat normal 3 .47000 .47000

etilasetat 3 .47333 .47333

kontrol 3 .48000 .48000

etanol 3 .62667

hexan 3 .65667

Sig. .147 .055

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,009.


(54)

Lampiran 6 Rataan Bobot Badan Induk pada Laktasi Hari ke-10

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:BI_Lak10

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 806185.814a 8 100773.227 1.595E3 .000

Perlakuan 18.318 5 3.664 .058 .997

Ulangan 563.941 2 281.971 4.463 .041

Error 631.866 10 63.187

Total 806817.680 18

a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,999)  


(55)

Lampiran 7 Rataan Bobot Uterus pada Hari ke-10 Postpartus

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:BU_lak10

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3.504a 8 .438 24.694 .000

Perlakuan .156 5 .031 1.760 .209

Ulangan .097 2 .048 2.724 .114

Error .177 10 .018

Total 3.681 18

a. R Squared = ,952 (Adjusted R Squared = ,913)  


(56)

PENGA

KATUK (

INVO

ARUH PEM

(Sauropus

OLUSI UT

FAKU

INS

MBERIAN

s androgyn

TERUS TI

RUSYDA

ULTAS KE

STITUT P

N EKSTR

nus (L.) M

IKUS PUT

A MULYA

EDOKTE

ERTANIA

BOGOR

2011

RAK DAN

Merr) TER

TIH (Rattu

A SARI

RAN HEW

AN BOGO

FRAKSI

RHADAP P

us norvegi

WAN

OR

DAUN

PROSES

icus)


(57)

ABSTRACT

RUSYDA MULYA SARI. The Influence of Sauropus androgynus Leaf Extract and Fraction Administration on Rat’s Uterine Involution. Under supervision of NASTITI KUSUMORINI and AGIK SUPRAYOGI.

This study was aimed to analyses the efficacy leaft extract and fractions of katuk (Sauropus androgynus) on the rat’s uterine involution. Fifteen pregnant female rats divided in to 5 treatment groups; control (K), ethanol extract (E-EtOH), hexane fraction (F-H), ethyl acetate fraction (F-EtAc), and water fraction (F-H2O). The effect of treatment on uterine involution seen by measuring the

weight of uterus at 5 days postpartum and 10 days postpartum. Data obtained from measurements were analyzed using analysis of variance test (ANOVA) and continued by advance tests (Duncan Test). The results were indicated that uterine involution of the group hexane fraction and ethanol extract at 5 days postpartum going slow down, but at 10 days postpartum the uterus of both groups had reached normal size. Uterine involution in ethyl acetate fraction and water fraction groups, run faster than the other groups. Uterine’s weight of both groups have reached normal weight at 5 days postpartum, but the weight of the uterus was decreased at 10 days postpartum. Conclusion of this study was by giving extract and fraction of katuk leaves is able to influence uterine involution in rats.


(58)

ABSTRAK

RUSYDA MULYA SARI. Pengaruh Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) terhadap Involusi Uterus Tikus (Rattus norvegicus). Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan AGIK SUPRAYOGI.

Penelitian ini dilakukan untuk menguji khasiat ekstrak dan fraksi daun katuk (Sauropus androgynus) terhadap involusi uterus dengan menggunakan tikus sebagai hewan percobaan. Sebanyak 15 ekor tikus betina bunting di bagi menjadi 5 kelompok perlakuan: kontrol (K), ekstrak etanol (E-EtOH), fraksi heksan (F-H), fraksi air (F-H2O), dan fraksi etil asetat (F-EtAc). Pengaruh perlakuan terhadap

involusi uterus dilihat dengan mengukur berat uterus pada 5 hari postpartus dan 10 hari postpartus. Data yang diperoleh dari pengukuran dianalisis dengan menggunakan Uji Sidik Ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji lanjut (Duncan Test). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok fraksi heksan dan ekstrak etanol pada 5 hari postpartus mengalami perlambatan involusi uterus, namun bobot uterus kedua kelompok ini sudah mencapai ukuran normal pada 10 hari postpartus. Involusi uterus pada kelompok fraksi etil asetat dan fraksi air terjadi lebih cepat dibanding kelompok lain. Bobot uterus kedua kelompok ini sudah mencapai bobot normal pada 5 hari postpartus, namun berat uterus semakin mengecil pada 10 hari postpartus. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk dapat mempengaruhi involusi uterus tikus.

Kata kunci: ekstraksi, fraksinasi, involusi uterus, Sauropus androgynus.

                                   


(59)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAN FRAKSI DAUN

KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr) TERHADAP

INVOLUSI UTERUS TIKUS (Rattus norvegicus)

RUSYDA MULYA SARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(60)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Pemberian Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) terhadap Involusi Uterus Tikus (Rattus norvegicus) adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011 Rusyda Mulya Sari NIM B04070015


(1)

Lampiran 2 Rataan Jumlah Anak tikus pada Setiap Kelompok Perlakuan

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Jmlah_anak

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Model 2569.467a 10 256.947 186.644 .000

Perlakuan .867 4 .217 .157 .957

Ulangan 10.967 5 2.193 1.593 .208

Error 27.533 20 1.377

Total 2597.000 30


(2)

Lampiran 3 Rataan Bobot Induk pada Hari Pertama Postpartus

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent

Variable:H1pp

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Model 1.666E6a 10 166634.332 5.214E3 .000 Perlakuan 37.859 4 9.465 .296 .877

Ulangan 61.999 5 12.400 .388 .851

Error 639.238 20 31.962 Total 1666982.557 30

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999)


(3)

Lampiran 4 Rataan Bobot Badan Induk pada Hari ke-5 Postpartus

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:BI_lak5

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Model 805090.210a 8 100636.276 514.061 .000 Perlakuan 7.027 5 1.405 .007 1.000 Ulangan 156.463 2 78.232 .400 .681 Error 1957.670 10 195.767

Total 807047.880 18

a. R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,996)


(4)

Lampiran 5 Rataan Bobot Uterus pada Hari ke-5 Postpartus

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:BU_lak5

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 4.860a 8 .608 64.729 .000

Perlakuan .197 5 .039 4.196 .026

Ulangan .002 2 .001 .096 .909

Error .094 10 .009

Total 4.954 18

a. R Squared = ,981 (Adjusted R Squared = ,966)

DUNCAN

BU_lak5 Duncan

Perlakuan N

Subset

1 2

air 3 .34667

Berat normal 3 .47000 .47000 etilasetat 3 .47333 .47333 kontrol 3 .48000 .48000

etanol 3 .62667

hexan 3 .65667

Sig. .147 .055

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,009.


(5)

Lampiran 6 Rataan Bobot Badan Induk pada Laktasi Hari ke-10

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:BI_Lak10

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Model 806185.814a 8 100773.227 1.595E3 .000 Perlakuan 18.318 5 3.664 .058 .997 Ulangan 563.941 2 281.971 4.463 .041 Error 631.866 10 63.187

Total 806817.680 18

a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,999)


(6)

Lampiran 7 Rataan Bobot Uterus pada Hari ke-10 Postpartus

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:BU_lak10

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3.504a 8 .438 24.694 .000

Perlakuan .156 5 .031 1.760 .209

Ulangan .097 2 .048 2.724 .114

Error .177 10 .018

Total 3.681 18

a. R Squared = ,952 (Adjusted R Squared = ,913)