Dari memanen ”bastar” hingga menyemai

Dari memanen ”bastar” hingga menyemai

Adanya malai-malai padi pada rumpun tanaman yang diberi pembungkus amplop atau kertas minyak dengan tulisan kode-kode nama bakal benih (betina x jantan), tanggal, dan nama penyilang merupakan hal yang semula tidak lazim (lihat Winarto dan Ardhianto, Bab 9). Kini, hal itu menjadi pemandangan yang banyak ditemukan di halaman rumah atau di lahan petani. Pembungkus itu tidak hanya menjadi penanda atas malai yang diserbukkan dengan tulisan nama varietas yang disilangkan dan tanggal penyilangan, tetapi juga berfungsi untuk menghindari gangguan alam, seperti angin dan hewan termasuk semut, serangga lain, dan tikus (lihat Film Bisa Dèwèk, 2007, dalam buku ini; lihat Gambar 7.1). Terlepas dari perlindungan itu, pengamatan tetap dilakukan petani untuk menghindari beragam gangguan itu hingga saat panen tiba.

Gambar 7.1 Kertas minyak untuk membungkus gabah (Mitro). (Foto oleh Tim Bisa Dèwèk)

Memanen gabah bastar Dalam waktu 20—30 hari setelah penyerbukan, hasil persilangan (bastar) itu pun siap

dipanen. Agar bulir tidak rusak, pemanenan harus dilakukan secara hati-hati dengan cara menggunting bagian bawah malai yang masih terbungkus oleh amplop/kertas minyak itu. Inilah salah satu praktik yang menuntut ketrampilan motorik, namun yang menyimpan pula skema pemanenan bastar hasil persilangan yang sepatutnya dilakukan. Setelah pengguntingan malai, hasil persilangan itu perlu dijemur bersama pembungkusnya selama tiga hari dengan lama penjemuran dari jam 9.00—11.00 setiap harinya (Wartono, 2004:18). Kegiatan dipanen. Agar bulir tidak rusak, pemanenan harus dilakukan secara hati-hati dengan cara menggunting bagian bawah malai yang masih terbungkus oleh amplop/kertas minyak itu. Inilah salah satu praktik yang menuntut ketrampilan motorik, namun yang menyimpan pula skema pemanenan bastar hasil persilangan yang sepatutnya dilakukan. Setelah pengguntingan malai, hasil persilangan itu perlu dijemur bersama pembungkusnya selama tiga hari dengan lama penjemuran dari jam 9.00—11.00 setiap harinya (Wartono, 2004:18). Kegiatan

Mitro menjemur hasil persilangan dengan cara menggantung masing-masing bastar yang telah dimasukkannya dalam kantong-kantong plastik itu di teras bagian rumahnya yang

dinamainya: Bunga Padi, Bengkel Padi dan Sayuran. 1 Bastar-bastar itu digantungnya

bersama dengan ikatan runggaian malai-malai padi bakal benih. Proses pengeringan bastar dilakukannya selama 2 hari bukan tiga hari. Kar pernah menjemur bastar hasil persilangannya di atap rumah. Ia menitipkan gabah tersebut kepada anaknya untuk dijaga karena ia harus ke Jakarta. Ia menjemur benih tersebut di atap rumahnya. Ia sangat kecewa ketika gabah tersebut ternyata habis dimakan ayam. Setelah itu ia menjemur gabah di dalam rumah untuk menghindari kegagalan akibat dimakan ayam.

Kegagalan yang dialami Kar dan upaya Mitro melindungi bastar itu mencerminkan situasi lingkungan hidup petani yang terbuka, tidak terlindungi seperti dalam ruang laboratorium ilmuwan pemulia-tanaman.

Mengecambahkan Sebagaimana benih-benih padi yang akan disemai, bastar itu pun dikecambahkan. Dalam

istilah petani, kegiatan itu disebut: mengetim benih. Berbeda dengan benih padi yang akan disemai di lahan, yakni berjumlah 20 kg untuk satu hektar lahan, benih bastar hanya terdiri dari beberapa bulir padi dalam satu malai. Oleh karena itu, perlakuan dalam pengecambahan bastar tentulah berbeda dari yang lazim dilakukan petani. Dalam pelatihan, petani disarankan untuk menggunakan busa basah sebagai tempat mengetim. Setelah bulir padi diletakkan di atas busa basah itu, selapis busa basah yang lain ditutupkan di atasnya. Kedua busa itu diikat agar bulir tidak jatuh. Pengetiman itu dilakukan selama tiga hari dengan penjemuran seiap harinya selama satu jam. Pengamatan perlu dilakukan selama tiga hari itu agar busa tetap stabil dan tidak mengering. Bila benih berkecambah, benih itu pun siap untuk disemai (lihat Wartono, 2004:18—19). Apa yang dipraktikkan petani pun beragam sesuai dengan kreativitas dan materi yang dimiliki.

Mitro yang melakukan persilangan dalam jumlah besar, membuat garis kotak-kotak dengan spidol di atas kain yang ditutupkan di atas lembaran busa yang disiapkannya. Dalam masing-masing kotak itu dituliskan nomor-nomor yang merujuk ke nomor-nomor persilangan. Di atas masing-masing kotak itulah diletakkannya bulir-bulir bastar sesuai dengan nomor-nomor persilangan masing-masing (Lihat Gambar 7.2).

1 Istilah ”Bunga Padi” itu ternyata merupakan singkatan dari: Bareng Usaha ning Galeng Petani asal Daerah Indramayu. Ia menggunakan istilah “bengkel benih” sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya, yakni

memperbaiki kerusakan benih yang tidak adaptif lagi pada kondisi ekologi lokal dan kebutuhan petani melalui bengkel benih miliknya itu. Istilah “bengkel” juga terkait dengan ketrampilan dan usaha bengkel motor di

Gambar 7.2 Pengecambahan di atas media kain kasa (Foto oleh tim Bisa Dèwèk)

War menggunakan juga busa basah bila jumlah gabah tidak banyak. Busa itu mengandung air, dan gabah tidak terendam. Tetapi bila gabah berjumlah banyak, dimasukkannya gabah itu ke dalam kantong-kantong plastik. Semula, kantong plastik itu berupa gulungan plastik panjang yang kemudian dipotong kecil-kecil dan di”pres” sendiri. Apabila gabah itu hasil seleksi dengan metode Bulk, dalam satu kantong plastik dapat berisi gabah lebih dari 1 malai. Bila gabah itu hasil seleksi dengan metode Pedigree, dimasukkannya gabah dari 1 malai dalam 1 kantong plastik. Setelah gabah dimasukkan, kantong plastik itu pun di”pres” lagi, direkat dengan alat perekat plastik. Kantong plastik itu pun dilubangi dengan tusuk gigi dan direndam dalam air selama 2 malam hingga berkecambah.

Busa tidak selalu dapat diperoleh petani. Oleh karena itu, ada yang menggunakan kapas sebagai tempat untuk mengetim bulir bastar. Ada pula yang menggunakan tissue. Media itu pun selalu diupayakan dalam kondisi basah selama tiga hari pengetiman. Penyiraman air dilakukan setiap hari sesuai kondisi kering tidaknya media yang digunakan itu. Kurangnya penyiraman air pada media dapat menyebabkan gagalnya perkecambahan seperti yang dialami Min dari Sukadana. Saat mengetim di awal musim rendeng 2008 itu, salah seorang anaknya harus dirawat di rumah sakit. Selama menunggui anaknya itulah ia tidak menyirami tissue tempat meletakkan gabah hasil persilangan itu setiap hari. Alhasil, hanya sebagian saja dari gabah yang ditimnya itu berkecambah.

Kar pernah menggunakan gelas plastik air mineral untuk meletakkan bulir-bulir bastarnya. Cara itu mengalami kegagalan karena gelas plastiknya diacak-acak oleh ayam. Ia pun mencari cara lain untuk menghindari gangguan. Dimasukkannya bulir-bulir bastar itu ke dalam plastik yang dilubangi, kemudian plastik-plastik terisi bulir-bulir bastar itu Kar pernah menggunakan gelas plastik air mineral untuk meletakkan bulir-bulir bastarnya. Cara itu mengalami kegagalan karena gelas plastiknya diacak-acak oleh ayam. Ia pun mencari cara lain untuk menghindari gangguan. Dimasukkannya bulir-bulir bastar itu ke dalam plastik yang dilubangi, kemudian plastik-plastik terisi bulir-bulir bastar itu

Idi, Ketua Kelompok Tani di Kroya, dan anggota kelompoknya, langsung ngipuk (menyebar) benih bastar ataupun benih induk di lahan yang disiapkan untuk persemaian. Penyemaian kering itu dilakukan tanpa melakukan perendaman lebih dulu dengan pertimbangan kondisi temperatur yang panas di lahan sehingga dikhawatirkan bahwa benih yang berkecambah tidak bisa bertahan hidup. Menurutnya, lahan yang kering akan mempersulit tumbuhnya benih yang disemai terlebih dahulu di lahan basah. Perkecambahan diharapkan terjadi setelah hujan turun. Sekalipun cara ini tidak secepat pengetiman atau perendaman benih, diharapkan bahwa benih yang tumbuh melalui cara demikian menjadi lebih kuat menghadapi cuaca panas dari ekosistem lahan tadah hujan. Pak Idi mengistilahkan kemampuan adaptasi padi itu dengan kakon atau lemeker (lihat Gambar 7.4).

Gambar 7.3 Pengecambahan oleh Kar (Foto oleh Ardhianto)

Gambar 7.4 Ngipuk, pengecambahan di lahan (Foto oleh Adityasari)

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa kreativitas petani dalam melakukan pengecambahan itu terwujud oleh sejumlah faktor, yakni: ada tidaknya materi yang diperlukan, penyesuaian dengan materi yang dapat diperoleh, akomodasi pada besarnya jumlah bulir bastar, upaya mencari cara menghindari kegagalan berdasarkan pengalaman, kondisi ekologi lahan tadah hujan, keinginan menumbuhkembangkan benih yang teradaptasi pada kondisi itu, serta situasi personal yang dihadapi masing-masing.

Menyemai bastar Praktik menyemai bastar atau benih hasil seleksi yang dilakukan sejumlah petani juga

menunjukkan adanya variasi.

Mitro, War, dan Dar menyemai bastar yang telah berkecambah itu dalam keranjang bambu tempat meletakkan makanan yang disebut bèsèk. Mitro mengisi keranjang bambu itu dengan tanah dan abu. Menurut Mitro, abu itu digunakan untuk menghindari semut atau serangga lain yang sering merusak persemaian bastarnya. War menggunakan media tanah dan kompos.

Seperti kasus Kar yang memperlihatkan variasi praktik penyerbukan dalam situasi yang berbeda, terdapat pula perubahan dalam praktik menyemai bastar yang dilakukan Mitro dalam kurun waktu yang berbeda. Jika pada tahun 2007 Mitro menggunakan bèsèk-bèsèk bambu tanpa alas (lihat Gambar 7.5; lihat pula Film Bisa Dèwèk 2007), pada musim rendeng 2007/08 digunakannya pelepah pisang yang disemainya di depan ”bengkel benih”-nya dengan alas plastik atau stereofoam. Menurutnya, penggunaan alas itu lebih efektif karena mengurangi keluarnya air secara cepat, sehingga dapat lebih menghemat air Praktik itu berubah lagi pada kurun musim gaduh 2008 dengan perubahan lokasi semai yang langsung Seperti kasus Kar yang memperlihatkan variasi praktik penyerbukan dalam situasi yang berbeda, terdapat pula perubahan dalam praktik menyemai bastar yang dilakukan Mitro dalam kurun waktu yang berbeda. Jika pada tahun 2007 Mitro menggunakan bèsèk-bèsèk bambu tanpa alas (lihat Gambar 7.5; lihat pula Film Bisa Dèwèk 2007), pada musim rendeng 2007/08 digunakannya pelepah pisang yang disemainya di depan ”bengkel benih”-nya dengan alas plastik atau stereofoam. Menurutnya, penggunaan alas itu lebih efektif karena mengurangi keluarnya air secara cepat, sehingga dapat lebih menghemat air Praktik itu berubah lagi pada kurun musim gaduh 2008 dengan perubahan lokasi semai yang langsung

Gambar 7.5 Perubahan cara penyemaian Mitro (Foto oleh Tim Bisa Dèwèk)

Gambar 7.6 Penyemaian langsung di lahan oleh Kar (Foto oleh Ardhianto)

Perubahan praktik melalui pengalaman dan penyempurnaan didasarkan oleh olah pikir untuk mencari strategi paling efektif dialami War. Biasanya, War memindahkan gabah yang telah berkecambah itu langsung ke bèsèk, atau didiamkan dulu selama 24 jam baru disemai di bèsèk. Tetapi, ia pernah pula mengetim gabah kering yang diambil dari malai langsung di bèsèk dengan media tanah dan kompos. Pada tahun 2007, digunakannya bèsèk anyaman bambu yang berlubang-lubang. Bèsèk itu diberinya alas plastik atau daun pisang untuk menahan air agar tidak bocor. Akan tetapi, air tetap saja cepat hilang dan media tanah dan kompos itu menjadi kering. Oleh karena itu ia hanya melakukan hal itu satu kali saja. Ia pernah mencoba pula menggunakan plastik yang bulat seperti ”ayakan”. Untuk setiap piring plastik diberinya alas plastik atau daun pisang. Setelah 2--3 kali digunakan, piring plastik itu rusak. Kini, dalam dua tahun terakhir ia menggunakan kotak-kotak plastik untuk tempat penganan/kue-kue yang banyak dijual di toko-toko. Ukuran kotak plastik kue itu dinilainya ”pas” untuk menyemaikan gabah dari satu malai. Digunakannya media semai berupa sekam busuk (kompos) yang diberinya tanah. Dibandingkan dengan keranjang bambu atau besek, kantong plastik itu lebih rinngan, tahan, tidak bocor, dan bisa digunakan berulang kali (lihat Gambar 7.7) Kotak-kotak plastik kue itu juga digunakan oleh penyilang pemula di Anjatan. Pak Abi di Sukra menggunakan tempat membuat es yang berkotak-kotak. Dalam setiap kotak itu disemainya gabah dari varietas yang berbeda-beda.

Variasi dan dinamika itu menunjukkan kreativitas sekaligus proses belajar masing- masing petani dalam memanfaatkan materi yang dimilikinya.

Gambar 7.7 Media semai War: plastik pembungkus kue (Foto oleh Winarto)

Dokumen yang terkait

ANALISIS USAHA TANI TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) KELAS Foundation Seed (FS) UNTUK MENGHASILKAN BENIH BERSERTIFIKAT (Studi Kasus di Balai Benih Induk BBI Palawija Kecamatan Singgosari Kabupaten Malang)

0 26 2

Evaluasi Pelaksanaan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) Pada Kelompok Tani Desa Jatiroto Kecamatan Sumberbaru Kabupaten Jember (Studi Program Sekolah Lapangan Penyuluhan Tanaman Terpadu)

0 16 18

Evaluasi saluran distribusi pada Perusahaan Kembang Gula PT. Sin "A" di Kabupaten Pasuruan

0 6 95

HUBUNGAN ANTARA INOVASI PRODUK D AN M UTU PELAYANAN DENGAN TINGKAT KUNJUNGAN ( VISIT RATE ) (Studi pada Poli Akupuntur, Tumbuh Kembang, Fisioterapi, dan Pelayanan Pijat Bayi di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Jember Klinik tahun 2013)

0 20 20

Inovasi Benih Unggul Tebu Bebas dan Tahan Sugarcane Mosaic Virus melalui Penerapan Teknologi Pathogen-Derived Resistance

0 25 22

Karakterisasi Ekstrak ETANOL Tanaman Rumput Israel (Asystasia gangetica) dari Tiga Tempat Tumbuh di Indonesia

0 5 114

Tumbuh kembang motorik kasar pada anak down syndrome usia golden aage dalam bentuk buku ilustrasi

3 34 33

Pengaruh Kepercayaan dan Kenyamanan Terhadap Keputusan Pembelian Ikan Hias Secara Online Di Facebook Sebagai Media Promosi (Studi pada konsumen Tan Aquarium Bandung)

11 67 75

Pengaruh Padat Tebar Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Dan Sintasan Benih Clownfish Jenis Amphiprion percula Dalam Sistem Flow Through

5 28 50

Pengaruh Perlakuan Fisik dan Kalium Nitrat (KNO3)Pada Kinerja Perkecambahan Benih dan Vigor Bibit Tanaman Srikaya (Annona squamosa Linn.)

6 55 43