Memilih benih: dari “mbibiti” ke ”menyeleksi”

Memilih benih: dari “mbibiti” ke ”menyeleksi”

Semenjak pemuliaan berbagai benih unggul, petani memperoleh kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan pemuliaan itu. Akan tetapi, petani lazimnya disertakan pada tahap seleksi terakhir untuk menguji sejauhmanakah benih yang dimuliakan ilmuwan pemulia- tanaman itu mampu beradaptasi pada kondisi ekologi lahan yang bervariasi. Sejumlah petani yang memperoleh kesempatan itu dikenal oleh sesama petani sebagai “penangkar benih”. Program pelibatan petani dalam tahap seleksi akhir itu dikenal dengan Participatory Variety Selection (PVS). Almekinders dan Louwaars (1999:39) menyatakan bahwa dalam aktivitas PVS, ”...farmers evaluate and select from among released or pre-released or advanced (i.e. nearly finished) varieties.” Participatory Plant Breeding (PBB) berbeda dari PVS dalam hal keterlibatan petani dalam menyeleksi benih persilangan. Almekinders dan Louwaars (1999:39) menjelaskan program PBB sebagai berikut:

Participatory Plant Breeding (PBB) usually refers to the activities in which farmers select plants or seeds from and within a genetically variable population or variety. In the Participatory Plant Breeding (PBB) usually refers to the activities in which farmers select plants or seeds from and within a genetically variable population or variety. In the

Dalam kasus padi sebagai tanaman yang melakukan self-fertilizing atau self-pollinating, petani melakukan kegiatan penyeleksian itu seperti yang lazim dilaksanakannya pada jaman bengèn, yakni mbibiti. Petani melakukan penyeleksian dari suatu populasi tanaman yang secara genetik bervariasi. Sekalipun tidak dinyatakan dalam penjelasan di atas perihal keterlibatan petani dalam kegiatan penyilangan benih itu sendiri, Almekinders dan Louwaars (1999:39) juga menyatakan adanya wujud partisipasi yang dinamakan: collaborative participation. Jenis partisipasi itu berbeda dari consultative participation. Dalam hal terakhir, petani hanya dimintai informasi dan saran, tetapi tidak terlibat dalam pengambilan keputusan seperti halnya dalam collaborative participation.

Di sisi lain, petani-pemulia di Indramayu tidaklah berkolaborasi dengan ilmuwan dalam pemuliaan. Mereka justru melakukan kegiatan itu sendiri. Berarti, kegiatan penyeleksian yang dilakukan petani pun merupakan aktivitas mandiri yang dilakukan para pemulia- tanaman itu sejak generasi kedua (F2), bukan sebagai pihak kolaborator para ilmuwan. Kegiatan menyeleksi benih yang dilakukan sendiri sejak tahap dini itu disadari mereka sebagai suatu kemandirian yang membedakan posisi dan peran mereka dari para “penangkar benih”. Mereka bukanlah penangkar, melainkan pemulia. Mereka menyadari apa beda penangkar dan pemulia. Dalam hal pertama, petani hanya menanam dan melipatgandakan kultivar yang dihasilkan oleh ilmuwan pemulia pada tahap akhir seleksi (tahap uji-coba adaptasi). Dalam hal kedua, petanilah yang menjadi pemulia dan mereka melakukan kegiatan seleksi benih itu sebagai bagian integral dari aktivitasnya sendiri. Menyilangkan dan menyeleksi merupakan unsur-unsur skema pengetahuan pemuliaan tanaman yang tidak terpisah satu sama lain seperti pada kegiatan penangkaran benih itu.

Sekalipun demikian, dalam proses pelaksanaan, terdapat pula sejumlah petani—yang semula berpartisipasi dalam SLPT—yang tidak melakukan kegiatan persilangan benih karena sejumlah faktor penyebab. Misalnya, ketiadaan waktu, keterbatasan lahan, kesibukan di luar

pertanian, minat yang tidak terarah pada kegiatan persilangan, dan lain-lain. Di sisi lain, terdapat pula kendala penyediaan lahan untuk dijadikan galur-galur penyeleksian benih di antara sejumlah petani-pemulia. Selama penelitian dijumpai kasus sejumlah petani yang menitipkan penanaman hasil seleksi persilangan pada petani lain. Sebaliknya, ada petani yang tidak melakukan penyilangan, tetapi menanam hasil seleksi bastar di lahannya melalui negosiasi dengan sang pemulia. Dalam hal ini, terdapat sejumlah variasi hubungan kerja sama yang dikembangkan oleh petani-pemulia dengan penyeleksi. Misalnya, War menitipkan hasil seleksi beberapa persilangan untuk ditanam di lahan Abi di Sukra pada bulan Agustus 2008 karena pada periode itu, lahan-lahan sawah di desanya, Kalensari, sedang bero (tidak ditanami padi), padahal ia ingin dapat merampungkan ”pemurnian” dari hasil seleksinya yang telah mencapai F12 (lihat Ansori, Bab 10). Dalam kasus ini, War hanya menitipkan penanaman benih di lahan Abi, sedangkan kegiatan penyeleksian tetap dilakukannya sendiri. War menyatakan bahwa ia tidak akan menyerahkan benih hasil silangannya pada sembarang petani untuk aktivitas penanaman dan penyeleksian. Ia hanya akan menyerahkan kegiatan itu pada mereka yang juga mengikuti SLPT, sehingga mereka pun memahami kriteria dan pertanian, minat yang tidak terarah pada kegiatan persilangan, dan lain-lain. Di sisi lain, terdapat pula kendala penyediaan lahan untuk dijadikan galur-galur penyeleksian benih di antara sejumlah petani-pemulia. Selama penelitian dijumpai kasus sejumlah petani yang menitipkan penanaman hasil seleksi persilangan pada petani lain. Sebaliknya, ada petani yang tidak melakukan penyilangan, tetapi menanam hasil seleksi bastar di lahannya melalui negosiasi dengan sang pemulia. Dalam hal ini, terdapat sejumlah variasi hubungan kerja sama yang dikembangkan oleh petani-pemulia dengan penyeleksi. Misalnya, War menitipkan hasil seleksi beberapa persilangan untuk ditanam di lahan Abi di Sukra pada bulan Agustus 2008 karena pada periode itu, lahan-lahan sawah di desanya, Kalensari, sedang bero (tidak ditanami padi), padahal ia ingin dapat merampungkan ”pemurnian” dari hasil seleksinya yang telah mencapai F12 (lihat Ansori, Bab 10). Dalam kasus ini, War hanya menitipkan penanaman benih di lahan Abi, sedangkan kegiatan penyeleksian tetap dilakukannya sendiri. War menyatakan bahwa ia tidak akan menyerahkan benih hasil silangannya pada sembarang petani untuk aktivitas penanaman dan penyeleksian. Ia hanya akan menyerahkan kegiatan itu pada mereka yang juga mengikuti SLPT, sehingga mereka pun memahami kriteria dan

Kasus lain memperlihatkan kerja sama di antara pemulia dan penyeleksi, sekalipun pihak penyeleksi belum pernah mengikuti SLPT sebelumnya di saat menerima permintaan pemulia.

Dar di Gabus Wetan hanya dapat menanam padi satu musim sepanjang tahun karena lahannya tidak teraliri air irigasi. Lahannya merupakan lahan tadah hujan. Untuk salah satu kultivar yang disilangkan dan diseleksinya hingga F5 (yang diberinya nama Rangbo, hasil persilangan Ciherang dan Kebo), dititipkannya penanaman dan penyeleksian ke Oki di Anjatan yang dapat menanam hingga tiga kali setahun guna mempercepat pemurnian atau pencapaian kondisi homozygote (rata) (lihat Ansori, Bab 10). Selama penyeleksian yang dititipkan di Anjatan, Dar sesekali datang untuk mengamati pertumbuhan tanaman dan mencatat laporan hasil pengamatan Oki. Saat Winarto datang di Anjatan di akhir bulan Agustus 2008, Oki sedang mencatat karakteristik pertumbuhan tanaman dalam lembar isian yang telah disiapkan Dar dipandu oleh Dar yang sengaja datang ke Anjatan untuk memantau hasil seleksi Oki. Selama musim gaduh 2008 itu, Oki menjadi pemandu dalam SLPT di wilayahnya. Oleh karena itu, bersama-sama Dar, Oki dan sejumlah petani peserta SLPT mengenali 3 macam varian yang muncul dari F11 Rangbo yang kemudian ditandai dengan Rangbo A, B, dan C.

Kasus Dar dan Oki menunjukkan kerja sama di antara kedua pihak, penyilang dan penyeleksi, dengan adanya pengalihan pengetahuan dari pemulia ke penyeleksi pada awal mula penitipan. Alih pengetahuan itu kemudian diperkaya oleh pengetahuan penyeleksi atas skema pemuliaan tanaman itu melalui SLPT yang diikuti penyeleksi; serta pemantauan yang dilakukan bersama.

Pengetahuan tentang penyeleksian yang diperkenalkan pada petani dalam SLPT dilandasi oleh pertimbangan bahwa ada faktor ketidaktahuan petani tentang “pemurnian benih” dan “cara memilih benih yang baik” (Wartono, 2004:24). Beragam metode seleksi pun diintroduksikan pada petani mengacu pada metode yang dikembangkan oleh ilmuwan pemulia-tanaman (Lihat ragam metode seleksi dalam sub-bab tentang Menyeleksi Hasil Persilangan; lihat Smolders dan Caballeda, 2006:101—104). Benarkah petani tidak memiliki pengetahuan tentang kedua hal itu? Dalam penelitian, terungkaplah kisah-kisah petani- pemulia itu tentang pengetahuan baru yang mereka kini miliki. Dalam kisahnya itu, acapkali dijumpai acuan petani-pemulia pada kegiatan serupa yang mereka lakukan pada masa sebelum Revolusi Hijau, atau yang lazim dilakukan orang-orang tua pada jaman bengèn. Kegiatan menyeleksi itu diidentikkan dengan kegiatan ”mbibiti”, menyeleksi benih yang akan ditanam pada musim tanam berikutnya (lihat Ansori, Bab 10). Ingatan atas masa lalu pun muncul saat mereka mempelajari dan mempraktikkan pengetahuan baru tentang seleksi benih itu ((lihat film Bisa Dèwèk 2007, dalam buku ini; Prahara 2008). Akan tetapi, dalam mengaitkan ingatan itu dengan unsur pengetahuan baru yang kini mereka kenal dengan sebutan ”menyeleksi”, mereka juga melakukan pembedaan. Dalam mbibiti konsentrasi petani tertuju pada kriteria dan kualitas penampilan padi yang menyerupai induknya seperti dikemukakan Mitro:

Kalau jaman dulu mbibiti itu yang penting rata. Kalau orang dulu: kelihatan malai panjang, tingginya rata, dipilih yang sama. Kalau orang dulu yang dipilih yang panjangnya sama. Lain dengan seleksi sekarang. Kalau dulu menyeleksi untuk satu varietas umpamanya saya tanem Ciherang, itu untuk mempertahankan Ciherangnya itu. Itu dulu, kalau sekarang kita seleksi untuk mencari keragaman, makanya dari satu persilangan, kalau seleksinya teliti itu, bisa ratusan.

Untuk memperoleh kriteria yang sama dengan induknya, terdapat aturan bahwa mereka tidak boleh menyeleksi benih-benih dari rumpun yang tumbuh 1—2 meter dari pematang. Hal itu untuk menghindari terjadinya penyerbukan dengan varietas-varietas lain yang tumbuh di lahan-lahan sekitarnya dalam situasi ditanamnya beragam varietas dalam satu hamparan (lihat Winarto dan Ardhianto, 2007). Jika kriteria petani dalam mbibiti tertuju pada karakteristik yang sama dengan induknya, bukankah hal itu tidak berbeda dari pengertian “memurnikan” atau “merehabilitasi” benih seperti diperkenalkan dalam SLPT? Dirumuskan dalam Panduan Lapangan SLPT itu bahwa bila ditemukan ketidakmurnian benih karena berbagai sebab, diperlukan rehabilitasi. ”Cara merehabilitasinya adalah dengan proses seleksi sesuai dengan sifat awal varietas yang direhabilitasi.” (Wartono, 2004:26). Dalam bahasa Mitro: menyeleksi varietas Ciherang untuk mempertahankan ke-Ciherangan-nya itu. Dalam upaya itu pun sebenarnya petani jaman bengèn telah memiliki kemampuan memilih benih yang baik. Kemampuan itulah yang kini seakan “dipulihkan” kembali (lihat pernyataan Kar dan Mitro dalam Film Bisa Dèwèk, 2007, dalam buku ini). Tetapi, tujuan dan cara memperoleh kualitas yang baik dalam konteks pemuliaan tanaman itu yang membedakan kegiatan “menyeleksi” dari “mbibiti”.

Fokus perhatian petani dalam “menyeleksi” tertuju pada pencarian kriteria benih idaman yang justru diharapkan berbeda dari karakteristik yang dimiliki oleh bakal benih betina atau bakal benih jantan, bukan yang “sama” dengan benih tetuanya. Pencarian itu dilakukan melalui seleksi dari beragam penampilan hasil segregasi sesudah generasi F2 hingga menghasilkan penampilan yang “seragam”. Penampilan yang seragam itu juga diharapkan berbeda dari kedua induknya melalui perolehan sifat-sifat unggul keduanya, dan penghilangan sifat-sifat lemah yang dimiliki. Penajaman pemahaman itu diperoleh petani- pemulia melalui perbandingannya dengan praktik-praktik masa lalu. Praktik masa lalu itu diaktifkan kembali saat mereka menerima unsur-unsur pengetahuan baru yang memiliki kemiripan. Namun, pengaktifan pengetahuan itu disertai dengan pemahaman tentang apa yang membedakan unsur pengetahuan yang lama itu dari yang kini diketahui dan dilakukan. Sekaligus, hal itu memperkuat harapan mereka atas masa depan, yakni menghasilkan benih idaman yang unggul. Inilah salah satu contoh pembentukan skema pengetahuan baru dalam hal pemuliaan tanaman.

Bagaimanakah skema pengetahuan baru itu diacu dalam praktik-praktik pemuliaan tanaman itu?

Menyilangkan Benih dalam Praktik : Antara Techne dan Mètis Sejalan dengan tujuan SLPT, yakni pemberdayaan petani, petanilah yang menjadi pelaku

yang memimpin dan mengambil keputusan dalam seluruh proses pemuliaan tanaman itu

(farmer-led), bukan sang ahli pemulia tanaman (breeder-led) (lihat Almekinders dan Louwaars 1999:38). Hal itu jelas menunjukkan perubahan posisi petani dalam pemuliaan tanaman partisipatoris di lingkungan komunitinya. Posisi petani itu menunjukkan peranannya lebih sebagai agen—alih-alih sebagai aktor—dengan kewenangan pengambilan keputusan yang dimilikinya yang dapat menghasilkan perubahan (lihat Bab 1; Karp 1986 dalam Ahearn 2001:112; Ortner 2006). Dalam konteks pemuliaan tanaman di Indramayu, sekalipun pelatihan tentang pemuliaan tanaman itu diawali dalam lingkup kelompok-kelompok tani, tindak lanjut dari kegiatan itu tidak hanya terpulang pada keputusan kolektif, tetapi juga pada masing-masing individu. Apakah seseorang berminat menjadi pemulia tanaman, atau menjadi penyeleksi saja, atau tidak melakukan keduanya, tergantung pada keputusan individual. Terbuka peluang dan kesempatan bagi masing-masing individu untuk menentukan pilihan, mengambil keputusan, dan mengembangkan kreativitasnya. Motivasi, minat, olah pikir, dan daya cipta individu bertumbuh kembang sesuai pula dengan sumber daya dan kondisi lahan masing-masing. Oleh karena itu, jajaran variasi yang besar dijumpai dalam praktik persilangan.

Mengingat bahwa kegiatan persilangan tidak hanya mengandung dimensi pengetahuan ilmiah, tetapi juga dimensi “seni” dan “praktik” (Vavilov 1951 dalam Berg, 1993), melakukan penyilangan dan penyeleksian juga merupakan embodied knowledge (lihat Bourdieu, 1977), atau dalam istilah lain: mètis (Scott1998). Mètis adalah pengetahuan yang muncul dalam aktivitas tertentu dengan tujuan praktis, yang diperoleh melalui kemampuan dan pengalaman yang dibutuhkan demi hasil yang diharapkan individu pada momen tertentu (Scott, 1998:318). Skema pengetahuan itu menyatu dengan fisik manusia dan terwujud dalam perilaku. Melakukan persilangan dengan kegiatan memotong, mengeluarkan benih jantan atau mengebiri, menyerbuki kepala putik dengan benang sari, memerlukan gerakan yang diselaraskan dengan visualisasi, ketrampilan motorik, perasaan, dan lain-lain yang tidak sederhana. Melalui pelatihanlah praktik memotong, mengebiri, dan menyerbuk itu menjadi semakin terbiasa, atau “...sudah reflek itu tangannya,” kata Arifin saat direkam gambarnya dalam melakukan pengebirian (lihat Film Bisa Dèwèk, 2007, dalam buku ini). Bentuk pengetahuan ini terkadang begitu implisit dan quasi-automatic, sehingga individu yang mempraktikkan sulit untuk menjelaskannya (Scott, 1998:329). Melakukan kegiatan-kegiatan itu dan juga menyeleksi gabah dan bentuk tanaman yang sesuai dengan “idaman” masing- masing petani tidak terungkap dalam ujaran. Visualisasi dan estetika menjadi penting dalam skema praktik persilangan dan penyeleksian itu. Oleh karena kemampuan visualisasi dan estetika satu petani dengan petani lain bisa beragam, bervariasi pulalah wujud praktik dan

hasil-hasil praktik di antara petani-pemulia. Sejauhmanakah kesamaan dan keseragaman terwujud dalam praktik-praktik penyilangan benih, penyeleksian, dan pembudidayaan tanaman di antara mereka?

Dokumen yang terkait

ANALISIS USAHA TANI TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) KELAS Foundation Seed (FS) UNTUK MENGHASILKAN BENIH BERSERTIFIKAT (Studi Kasus di Balai Benih Induk BBI Palawija Kecamatan Singgosari Kabupaten Malang)

0 26 2

Evaluasi Pelaksanaan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) Pada Kelompok Tani Desa Jatiroto Kecamatan Sumberbaru Kabupaten Jember (Studi Program Sekolah Lapangan Penyuluhan Tanaman Terpadu)

0 16 18

Evaluasi saluran distribusi pada Perusahaan Kembang Gula PT. Sin "A" di Kabupaten Pasuruan

0 6 95

HUBUNGAN ANTARA INOVASI PRODUK D AN M UTU PELAYANAN DENGAN TINGKAT KUNJUNGAN ( VISIT RATE ) (Studi pada Poli Akupuntur, Tumbuh Kembang, Fisioterapi, dan Pelayanan Pijat Bayi di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Jember Klinik tahun 2013)

0 20 20

Inovasi Benih Unggul Tebu Bebas dan Tahan Sugarcane Mosaic Virus melalui Penerapan Teknologi Pathogen-Derived Resistance

0 25 22

Karakterisasi Ekstrak ETANOL Tanaman Rumput Israel (Asystasia gangetica) dari Tiga Tempat Tumbuh di Indonesia

0 5 114

Tumbuh kembang motorik kasar pada anak down syndrome usia golden aage dalam bentuk buku ilustrasi

3 34 33

Pengaruh Kepercayaan dan Kenyamanan Terhadap Keputusan Pembelian Ikan Hias Secara Online Di Facebook Sebagai Media Promosi (Studi pada konsumen Tan Aquarium Bandung)

11 67 75

Pengaruh Padat Tebar Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Dan Sintasan Benih Clownfish Jenis Amphiprion percula Dalam Sistem Flow Through

5 28 50

Pengaruh Perlakuan Fisik dan Kalium Nitrat (KNO3)Pada Kinerja Perkecambahan Benih dan Vigor Bibit Tanaman Srikaya (Annona squamosa Linn.)

6 55 43