Tumbuh Kembang Benih benih Pemuliaan Tan

Bab 7 Tumbuh Kembang Benih-benih Pemuliaan Tanaman Padi

di Ladang Petani Yunita T. Winarto dan Imam Ardhianto

Menjadi Petani-pemulia: Suatu Pendahuluan

Menjadi seorang petani-ilmuwan dengan beragam sebutan: ”petani yang sekolah”; ”petani peneliti”, “pakar petani”, atau “petani profesor”, merupakan buah dari program nasional Pengendalian Hama Terpadu yang diperkenalkan di akhir tahun 1980-an. Perpaduan antara ilmu dan praktik tercermin dari berbagai sebutan itu. Itulah yang terjadi dalam alam pikir dan tindakan petani alumni “sekolah-sekolah tanpa dinding” yang dikenal dengan sebutan Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) (lihat Dilts dan Hate, 1996; Pontius dkk., 2002; Gallagher, 2003; Winarto, 2004a). Dengan pengayaan pengetahuan itu serta dilandasi oleh keingintahuan petani yang besar untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi sehari-hari, bertumbuhkembanglah berbagai praktik uji coba oleh petani secara lebih tersistematisasi (lihat Busyairi, 2000; Tabloid Media Tani Indonesia, 2000—2002; Winarto, 2004a; 2007). Istilah ”Sains Petani” pun dilontarkan oleh para petani alumni SLPHT itu sendiri (lihat Untung, 2007; Suprapto, 2007; Winarto, 2007). Sebutan ‘Sains Petani’ itu menunjukkan perpaduan antara keilmiahan dan ke’lokal’an, yakni praktik-praktik yang dilakukan petani—para praktisi—dalam relung kehidupannya, dalam kondisi habitatnya, dengan memerhatikan prinsip-prinsip “sains”. Bahwa petani itu sendiri menampilkan berbagai praktik dan hasil penelitian mereka dalam beragam kesempatan, merupakan hal yang semakin lazim.

Pada 30 Februari 2007, Ardhianto, Hendrik, dan Prahara—anggota tim peneliti antropologi UI di Indramayu—mengunjungi Desa Kalensari untuk menghadiri pertemuan antara petani-pemulia tanaman dari sebelas kecamatan di Kabupaten Indramayu dengan tim Departemen Pertanian yang dikepalai oleh Direktur PVT (Perlindungan Varietas Tanaman), Departemen Pertanian, dan salah satu ilmuwan pemulia tanaman dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada pertemuan itu dipamerkan diagram-diagram persilangan dan bentuk lahan seleksi oleh sejumlah petani-pemulia. Staf Deptan (Departemen Pertanian) mengomentari apa yang dipresentasikan oleh petani-pemulia itu. Pak Mitro, salah seorang petani-pemulia dari Desa Kalensari, dengan serunya menceritakan tentang metode seleksi benih hasil persilangan dalam sebuah lahan yang sempit. Ia pun mengajak ilmuwan IPB memeriksa lahan studinya. Saat kami berjalan menuju lahan studi Mitro, di belakang kami, War, seorang petani-pemulia dari Kalensari, berjalan mendampingi Direktur PVT. War menengok ke arah kami sambil berbisik kecil, “Gaya temen wong tani iki (Bergaya sekali petani ini)”. (Catatan Lapanganan, Ardhianto, 30 Februari 2007).

Apa yang dipamerkan petani berupa produk-produk hasil “studi”nya merupakan buah dari perjalanan petani melakukan olah pikir dengan skema pengetahuan yang diperkaya oleh berbagai unsur pengetahuan baru dalam menanggapi masalah budi daya tanaman dan sumber daya yang dimiliki. Melalui umpan balik dari studi-studi itu, terjadilah perkembangan pengetahuan dan praktik-praktik cocok tanam.

Pengenalan pengetahuan dan praktik pemuliaan tanaman oleh Yayasan FIELD Indonesia bekerja sama dengan ilmuwan Belanda, Indonesia, dan staf dinas pertanian semenjak awal tahun 2000-an di Kabupaten Indramayu itu semakin memperkaya skema pengetahuan petani (lihat Smolders and Caballeda, 2006). Suatu perubahan “evolusioner” pun tengah terjadi (lihat Winarto, 2004b). Melalui pelatihan yang diterima petani dalam Sekolah Lapanganan Pemuliaan Tanaman Partisipatoris (SLPT, Participatory Plant Breeding in Farmer Field Schools ), mereka ditempa untuk tidak hanya menjadi petani peneliti, tetapi juga “petani produsen” yang mampu menghasilkan varietas tanaman baru hasil rekayasa genetika. Rekayasa genetika merupakan seperangkat pengetahuan ilmiah yang tidak semata- mata dilandasi oleh pengetahuan empiris yang teramati melalui panca indera manusia. Diperlukan seperangkat konsep, teori, metode, dan peralatan yang mendukung rekayasa genetika melalui beragam kegiatan pemuliaan. Petani, di sisi lain, merupakan “pengamat” atas penampilan tanaman dalam kondisi lahan yang dikenalinya berdasarkan panca inderanya (lihat Ellen, 2004; Winarto, 2004a). Pelatihan dalam SLPHT mempertajam kemampuan pengamatan petani itu melalui metode yang lebih cermat, teliti, dan tersistematisasi. Namun, pemuliaan tanaman memerlukan seperangkat pengetahuan yang lebih kompleks dan abstrak. Dalam bahasa petani, memerlukan “…peralatan yang canggih”, sedangkan petani, menurut War “…dalam kondisi serba terbatas”, sehingga dia pun semula meragukan dan mempertanyakan: “Apakah kami bisa?” “Setelah dicoba dan dipraktikkan, ternyata… gampang-gampang aja,” tutur War selanjutnya (lihat film Bisa Dèwèk 2007, dalam buku ini). Bahwa ternyata mereka bisa melakukannya, sekalipun semula meragukan, merupakan suatu indikasi bahwa pengetahuan ilmiah yang canggih itu dapat diadopsi dan diadaptasi oleh petani dalam kondisi serba terbatas alih-alih kondisi dan peralatan yang dimiliki para ilmuwan pemulia-tanaman.

Dalam kunjungan ke Balai Penelitian Tanaman Pangan (BALITPA) Sukamandi oleh empat petani-pemulia dan tim UI di bulan Juli 2007, seorang ilmuwan pemulia-tanaman menyatakan bahwa pemuliaan tanaman itu merupakan ”ilmu” dan “seni”, bukan “ilmu semata”. Seninya terletak pada praktik penyeleksian benih yang tidak bisa dilandasi hanya oleh logika dan premis-premis ilmiah. Pilihan atas benih yang diamati, kejelian dan kecermatan dalam mengamati, serta kemampuan menentukan benih untuk diseleksi, terpulang pada diri masing-masing. Di situlah letak “seninya”. Dari hasil pengamatannya di Afrika (Selatan Sudan dan Tigray), Berg (1993) menemukan suatu kebudayaan bercocok tanam dengan seleksi benih yang didukung oleh pengetahuan yang luas, aturan-aturan, peran dan tugas masing-masing anggota keluarga, minat, diskusi, dan alokasi waktu yang besar dalam budi daya tanaman. Realita itu mendukung pernyataan Vavilov (1951 dalam Berg, 1993:72) bahwa: “Plant breeding is a science, an art, and a branch of agricultural practice.” Dengan diperkenalkannya kegiatan pemuliaan tanaman secara ilmiah, ditindaklanjuti oleh Dalam kunjungan ke Balai Penelitian Tanaman Pangan (BALITPA) Sukamandi oleh empat petani-pemulia dan tim UI di bulan Juli 2007, seorang ilmuwan pemulia-tanaman menyatakan bahwa pemuliaan tanaman itu merupakan ”ilmu” dan “seni”, bukan “ilmu semata”. Seninya terletak pada praktik penyeleksian benih yang tidak bisa dilandasi hanya oleh logika dan premis-premis ilmiah. Pilihan atas benih yang diamati, kejelian dan kecermatan dalam mengamati, serta kemampuan menentukan benih untuk diseleksi, terpulang pada diri masing-masing. Di situlah letak “seninya”. Dari hasil pengamatannya di Afrika (Selatan Sudan dan Tigray), Berg (1993) menemukan suatu kebudayaan bercocok tanam dengan seleksi benih yang didukung oleh pengetahuan yang luas, aturan-aturan, peran dan tugas masing-masing anggota keluarga, minat, diskusi, dan alokasi waktu yang besar dalam budi daya tanaman. Realita itu mendukung pernyataan Vavilov (1951 dalam Berg, 1993:72) bahwa: “Plant breeding is a science, an art, and a branch of agricultural practice.” Dengan diperkenalkannya kegiatan pemuliaan tanaman secara ilmiah, ditindaklanjuti oleh

Pernyataan Vavilov bahwa pemuliaan tanaman merupakan ilmu, seni, dan cabang dari praktik pertanian itu mengawali tulisannya “…on how an old practice could become a science through the application of the newly discovered principles of genetics” (dalam Berg, 1993:72). Sayangnya, sebagaimana dikemukakan oleh Berg (1993), aktivitas pemuliaan tanaman oleh petani dipandang oleh banyak agen pembangunan dan pemerintahan sebagai sistem yang tidak efisien. Komuniti-komuniti yang melaksanakan kegiatan pemuliaan tanaman itu justru menjadi target introduksi sistem pembenihan formal. Di sisi lain, pemuliaan tanaman yang dilakukan komuniti-komuniti petani itu menunjang adaptasi bahan baku pemuliaan dalam habitat mereka yang amat beragam. Lingkungan yang marjinal, heterogen, dan terpencil tentulah sulit terjangkau oleh program pemuliaan tanaman yang tersentralisasi. Almekinders dan Louwaars (1999:40) menyatakan bahwa varietas untuk lingkungan semacam itu memerlukan adaptasi pada: suatu kombinasi khusus dari tekanan- tekanan lingkungan, kondisi sosial-ekonomi, pilihan-pilihan atas citarasa tertentu, dan karakteristik-karakteristik lain. Selain adaptasi pada kondisi yang beragam itu, keragaman genetika yang besar juga merupakan produk kegiatan pemuliaan tanaman komuniti-komuniti petani. Berg (1993) menegaskan bahwa kedua hal itu, yakni adaptasi dan keragaman genetika berbeda dari tujuan pemuliaan tanaman oleh agen-agen pemroduksi benih guna menghasilkan benih yang seluas mungkin dapat digunakan oleh petani melintasi keragaman ekologis. Keseragaman atau uniformitas benih, itulah yang diutamakan.

Menyimak kasus Indramayu, adaptasi dan keragaman itu nampaknya juga menjadi fenomena menarik yang menandai perkembangan kegiatan pemuliaan tanaman padi di wilayah itu, sekalipun sumber pengetahuan memuliakan tanaman itu berasal dari ranah ilmiah. Seperangkat faktor kontekstual tentunya memengaruhi adopsi pengetahuan dan praktik ilmiah itu oleh para petani-pemulia. Oleh karena itu, kami berasumsi bahwa apa yang tengah terjadi di Indramayu tidak hanya seperti yang dikatakan Vavilov (dalam Berg, 1993) di atas, yakni proses pengubahan pengetahuan dan praktik petani menjadi bagian dari ranah “ilmiah”, tetapi juga sebaliknya, pengubahan pengetahuan dan praktik ilmiah sebagai bagian dari ranah “lokal”. Di ranah “lokal” itulah petani mengembangkan budi daya cocok tanamnya dengan kompleksitas pengetahuan serta berbagai strategi dan praktik yang sesuai dengan kondisi habitat dan sumber daya yang dimilikinya. Ditegaskan oleh Scott (1998:316) bahwa mengetahui cara-cara dan kapan menerapkan pengetahuan-pengetahuan baku akan selalu muncul dalam situasi nyata dan konkrit. Scott (1996) menyebutnya sebagai métis, sedangkan bentuk pengetahuan yang lain adalah techne/episteme yang menunjukkan cara pengetahuan dikodifikasi dalam prinsip-prinsip umum yang terlepas dari konteksnya (Scott,1998:320). Dalam konteks pemuliaan tanaman di Indramayu, dialektika dan dinamika pengayaan skema pengetahuan dari techne ke mètis dan sebaliknya itulah yang terwujud melalui praktik-praktik

pemuliaan tanaman oleh petani-pemulia. Bagaimanakah dialektika itu terwujud? Bagaimanakah peran para agen petani-pemulia dalam proses dialektika itu? Faktor-faktor kontekstual apa sajakah yang memungkinkan hal itu berlangsung?

Bab ini akan mengulas pertanyaan-pertanyaan di atas dengan menggunakan pendekatan connectionism dalam mengaji proses pengayaan skema pengetahuan petani (lihat Strauss dan Quinn, 1997) serta memfokus pada aktivitas para agen (lihat agency dalam Ahearn, 2001; Ortner, 2006) dengan memerhatikan pula variasi dan dinamika yang terwujud. Dalam bagian pertama bab ini akan dikaji unsur-unsur pengetahuan baru yang diperkenalkan pada petani dan sejauhmana unsur-unsur itu membentuk skema pengetahuan baru mengenai pemuliaan tanaman. Sejauhmanakah skema pengetahuan ilmiah itu diperkaya dan diwujudkan oleh petani dalam ranah pengetahuan dan mekanisme belajar yang dimilikinya, dan dalam konteks lokal yang melingkupinya? Bagian kedua bab ini akan mencermati praktik-praktik yang dilakukan petani dalam menyilangkan, membudidayakan, dan menyeleksi benih dalam lingkup habitatnya, di lahan dan di rumah, dengan kondisi dan peralatan yang ada serta beragam faktor yang memengaruhi.

Memuliakan Tanaman Padi: Membangun Skema Pengetahuan Baru

“Varietas apakah yang akan saya tanam pada musim yang akan datang? Dari manakah benih varietas itu akan saya peroleh?” Pertanyaan-pertanyaan semacam itu merupakan hal yang lazim dilontarkan petani di saat panen usai, menjelang musim tanam berikutnya (lihat Winarto, 2004a). Akan tetapi, pertanyaan seperti: “Varietas apakah yang akan saya hasilkan?” merupakan hal yang berada di luar skema pengetahuan petani sepanjang hidupnya semenjak periode sebelum dan selama empat dekade terakhir masa Revolusi Hijau (lihat Winarto, Bab 1). Menghasilkan kultivar baru atas jerih payah sendiri dapat dikatakan merupakan suatu perubahan yang “revolusioner” (lihat Winarto dan Ardhianto, 2007). Program PEDIGREA itu memang baru diperkenalkan pada petani di Indramayu pada tahun 2002. Pada saat penelitian dilangsungkan (2006—08), para petani-pemulia masih bergiat dalam proses penyilangan dan penyeleksian benih, sekalipun ada sekelompok petani-pemulia dan penyeleksi di Kecamatan Kertasemaya dan Anjatan yang telah menyebarluaskan hasil persilangannya. Namun, apa yang dilakukan mereka dalam ”menyilang-nyilangkan benih” merupakan sesuatu hal yang tidak lazim dijumpai. Praktik-praktik itu tentunya dilandasi oleh seperangkat pengetahuan baru mengenai pemuliaan tanaman yang membentuk suatu ”skema”. Skema-skema (schemas) menurut Strauss dan Quinn (1997:49):

...are not distinct things but rather collections of elements that work together to process information at a given time. Cognitive scientists have traditionally used the term “schema” to refer to generic knowledge of any sort, from parts to wholes, simple to complex, concrete to abstract. …A great many schemas are cultural schemas—you share them with people who have had some experiences like yours, but not with everybody. Schemas sometimes reconstruct our memories of past events, determine the meanings we impart to ongoing experience, and give us expectations for the future.

Kumpulan dari unsur-unsur pengetahuan apa sajakah yang secara bersama-sama diolah untuk memproses informasi pada suatu waktu tertentu apabila petani akan memuliakan tanaman? Melalui Sekolah Lapanganan Pemuliaan Tanaman Partisipatoris (SLPT) yang lazim disingkat sebagai SLPT (Sekolah Lapangan Pemuliaan Tanaman), petani memperoleh masukan tentang unsur-unsur baru seperti: keragaman hayati, keragaman ekosistem, dan genetik; analisis bahan baku; morfologi dan bagian-bagian tanaman padi serta fase-fase pertumbuhannya; Kumpulan dari unsur-unsur pengetahuan apa sajakah yang secara bersama-sama diolah untuk memproses informasi pada suatu waktu tertentu apabila petani akan memuliakan tanaman? Melalui Sekolah Lapanganan Pemuliaan Tanaman Partisipatoris (SLPT) yang lazim disingkat sebagai SLPT (Sekolah Lapangan Pemuliaan Tanaman), petani memperoleh masukan tentang unsur-unsur baru seperti: keragaman hayati, keragaman ekosistem, dan genetik; analisis bahan baku; morfologi dan bagian-bagian tanaman padi serta fase-fase pertumbuhannya;

Masalah masa kini, harapan masa depan

Dalam penuntun untuk mengelola suatu SLPT, Smolders dan Caballeda (2006) menyatakan bahwa Sekolah Lapangan itu merupakan suatu proses pemberdayaan (a process of empowerment ) yang berjalan seiringan dengan:

”...a process of improving local capacities, teaching farmers breeding technologies to develop locally adapted varieties that are better fitting the farmers’ local environments. Increased skills and knowledge of farmers are needed to start a process of preserving the genetic resources, varieties that may be cultivated by only a few or many farmers, containing valuable traits, which may be useful in future to increase resilience and food security (Smolders dan Caballeda, 2006:4).”

Bertolak dari tujuan itu, terdapat tiga pilar utama yang diperlukan untuk keberhasilan suatu SLPT, yakni: pemberdayaan petani, penciptaan varietas lokal, dan peningkatan konservasi in- situ. Melalui kegiatan pemuliaan tanaman diharapkan petani mampu untuk melestarikan sumber-sumber genetika yang antara lain berasal dari varietas lokal.

Menarik kiranya disimak bahwa petani sendiri, bertolak dari berbagai permasalahan yang dihadapi selama periode Revolusi Hijau, mengaitkan tujuan Sekolah Lapangan itu tidak semata-mata untuk pelestarian keragaman genetika, tetapi juga untuk mengurangi ketergantungan mereka ke pihak lain. Wartono, seorang Pemandu Lapangan dari Desa Segeran Kidul, Kecamatan Juntinyuat, menyatakan dalam bagian pendahuluan dari Panduan Lapangan yang disusunnya bahwa:

Paket pendidikan/pembelajaran ini, pada intinya adalah memberikan pengetahuan ke petani untuk bisa menyilangkan atau mengawinkan varietas tanaman, sehingga petani bisa menghasilkan sendiri benih yang unggul yang otomatis bisa mengurangi ketergantungan petani ke pihak lain dalam hal pengadaan benih sendiri sehingga petani bisa menghemat pengeluaran mereka (Wartono, 2004:3).

Dalam latar belakang dilaksanakannya Sekolah Lapangan itu, Wartono (2004:3) menyatakan bahwa tidak hanya ketergantungan pada pihak lain yang menjadi masalah, tetapi juga perihal akan diberlakukannya pasar bebas. Dikatakannya:

Dengan mempelajari ilmu di atas, diharapkan petani bisa mengurangi ketergantungan pada pihak lain, menciptakan petani yang sehat serta ramah lingkungan, dan juga mampu bersaing di pasar bebas nanti (Wartono, 2004: 3).

Keinginan untuk “mandiri” itu memang diwacanakan petani selama kegiatan memproduksi dan menayangkan film Bisa Dèwèk berlangsung (lihat Bab 1, Bab5, dan 6). War, petani- pemulia dan pemandu dari Kalensari menjelaskan makna “petani mandiri” dalam berbagai aspek kegiatan cocok tanam. Ia menyebutkan, kemandirian petani itu bukan hanya dalam hal modal, melainkan juga dalam kebebasan merencanakan strategi cocok tanam pada musim yang akan datang meliputi pengendalian hama, penggunaan pupuk, dan pengadaan benih. Ungkapnya:

Jika kita sudah bisa membuat sendiri, memproses sendiri dan sesuai dengan keinginan kita, apa yang diinginkan, benih-benih kayak apa yang mau ditanam, itu mandiri dalam hal kebutuhan benih. Jadi sebenarnya, kemandirian itu bukan dalam arti punya modal aja, tapi agak luas. Baik dari perencanaannya sendiri, tidak harus diatur-atur oleh pihak lain yang tidak tahu kondisi lapangannya, harus tanam tanggal sekian, tanamnya varietas anu, itu tidak cocok menurut saya. Yang paling pas adalah perencanaan yang disusun oleh petani sendiri yang tahu persis dengan kondisi lapangannya. Apa yang mau ditanam varietasnya, petani mungkin lebih hapal daripada para petugas dari luar. ....Ada istilah slogannya yang sangat mendasar: Jika petani tidak punya lahan seumurnya akan jadi buruh tani... Tetapi, petani jika tidak punya ilmu, akan jadi permainan orang yang punya ilmu. [tekanan oleh penulis]. Petani yang tidak bisa menjual, jadi incaran tengkulak.

Kalimat terakhir mencerminkan harapan petani untuk tidak lagi dipermainkan mereka yang berilmu melalui pembekalan diri dengan ilmu pula.

Secara tersurat, seorang petani dari Desa Jengkok, Kecamatan Kertasemaya, Arifin, menuliskan dalam laporan berjudul ”Pemuliaan Benih oleh Petani” (Joharipin t.t.) tentang harapan dan cita-citanya setelah mengulas delapan butir permasalahan yang dihadapi petani.

...saya bertekad mendapatkan benih padi ”Idaman” yang dapat sesuai dengan kondisi di lingkungan desa dan memiliki keunggulan sehingga produksi dapat meningkat dan kebutuhan akan sarana produksi (terutama pupuk kimia dan pestisida) dapat menurun bahkan dihilangkan. Saya juga melakukan penyebarluasan ilmu pengetahuan dan wawasan yang saya peroleh kepada para petani lainnya baik di desa maupun di luar desa sehingga diharapkan pada akhirnya kesejahteraan petani di desa Jengkok khususnya dan para petani di Indramayu serta seluruh Indonesia pada umumnya dapat meningkat (Joharipin t.t.:2).

Peningkatan produksi dan kesejahteraan petani, itulah yang juga menjadi harapan Arifin, selain penurunan kebutuhan akan asupan produksi yang tinggi. Di antara masalah yang ditulis Arifin sebagai titik tolak keprihatinannya adalah: kualitas varietas padi yang tidak memuaskan, dan hilangnya pengetahuan/ketrampilan para petani mengenai: ”...benih dan mbibiti benih (teknik menyeleksi benih), sehingga petani selalu membeli benih saat akan menanam.”

Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan interpretasi petani atas tujuan kegiatan SLPT itu dalam konteks permasalahan yang dihadapi dan harapan yang ingin dicapainya. Dampak dari intensifikasi pertanian pada biaya produksi yang tinggi, ketergantungan atas asupan kimia yang tidak menyejahterakan petani dan merusak kualitas ekologi lahan, kualitas Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan interpretasi petani atas tujuan kegiatan SLPT itu dalam konteks permasalahan yang dihadapi dan harapan yang ingin dicapainya. Dampak dari intensifikasi pertanian pada biaya produksi yang tinggi, ketergantungan atas asupan kimia yang tidak menyejahterakan petani dan merusak kualitas ekologi lahan, kualitas

Genetika, sifat-sifat tanaman, dan varietas: dari abstrak ke konkrit

Keragaman genetika dan komponen-komponen genetika, itulah unsur pengetahuan dasar dari pemuliaan tanaman yang juga merupakan pengetahuan baru bagi petani. Konsep itu pertama kali diperkenalkan dalam sesi mengenai keragaman hayati yang mencakup pula keragaman ekosistem, genetik, dan varietas (lihat Wartono, 2004). Dalam panduan yang disusun oleh Wartono (2004:5) disebutkan bahwa:

Genetik adalah faktor yang menentukan sifat dari makhluk hidup. Contohnya adanya keragaman genetik pada manusia adalah dengan adanya ciri manusia yang berbeda-beda, seperti adanya kumis, jenggot, perbedaan warna kulit, tipe rambut, dan ciri yang lainnya. Adapun susunan/struktur dari gen adalah: Sel—Inti Sel—Kromosom—Gen.

Dalam panduan itu, contoh yang diberikan adalah keragaman ciri fisik manusia yang amat dikenali petani. Pak Nur, seorang petani pemandu dari Kecamatan Lelea, mengumpamakannya dengan perkawinan antarmanusia dengan karakteristik berbeda.

Kalo gen itu kita jelaskan aja [dengan] cerita persilangan. Kita kasih contoh, petani itu mau menyilangkan itu punya khayalan seperti apa. Misalnya, ada profesor dengan otak pinter jenius, tapi wajahnya itu jelek. Ada yang artis: cantik tapi bodoh. Nah... nanti kira- kira apa yang muncul nanti. Harapannya kan dari kedua [orang] itu muncul gen-gen yang baik... cantik dan juga cerdas. Tapi, kenyataannya tuh muncul: udah jelek, bodoh lagi. Itulah gen yang muncul. Apabila yang muncul seperti itu, berarti persilangan kita gagal.

Keragaman genetik itu kemudian dikaitkan dengan keragaman varietas. ”Keragaman ini [varietas] bisa terjadi karena adanya keragaman genetik. Walaupun masih dalam satu tanaman, tetapi bisa terjadi adanya bermacam-macam varietas, ini disebabkan fakor gen/sifat yang menentukan berbeda.” Itulah pernyataan dalam panduan lapangan SLPT (Wartono, 2004:6). Para pemandu mengaitkan unsur-unsur gen yang menentukan sifat pertumbuhan dan penampilan tanaman itu dengan varietas. Dengan adanya keragaman gen, terjadi pula keragaman sifat padi dan varietas. Saat tim UI melaksanakan penelitian, istilah gen itu acapkali diucapkan oleh petani-pemulia dalam kaitannya dengan sifat-sifat tertentu penampilan tanaman padi. Keragaman sifat serta varietas padi itu dijelaskan dalam kaitan dengan keragaman gen.

Dalam sesi yang lain khusus tentang gen, sel, dan sifat keturunan, diperjelas susunan sel-inti sel-kromosom-gen. Dinyatakan bahwa gen terdapat dalam kromosom dan gen inilah yang menentukan faktor sifat pada makhluk hidup termasuk padi. Dalam kaitan dengan persilangan, diperkenalkan istilah: segregasi atau perpecahan gen, yaitu munculnya berbagai macam sifat dari hasil persilangan dua gen yang berbeda. Ada yang mirip bahan baku betina Dalam sesi yang lain khusus tentang gen, sel, dan sifat keturunan, diperjelas susunan sel-inti sel-kromosom-gen. Dinyatakan bahwa gen terdapat dalam kromosom dan gen inilah yang menentukan faktor sifat pada makhluk hidup termasuk padi. Dalam kaitan dengan persilangan, diperkenalkan istilah: segregasi atau perpecahan gen, yaitu munculnya berbagai macam sifat dari hasil persilangan dua gen yang berbeda. Ada yang mirip bahan baku betina

Gen atau genetika memang merupakan konsep yang abstrak, sehingga tidak mudah bagi petani untuk menjelaskannya bila terlepas dari keterkaitannya dengan unsur lain. Oleh karena itu, kombinasi unsur gen itu dengan ciri-ciri atau sifat-sifat tanaman yang diturunkan melalui persilangan varietas itu memudahkan petani untuk memahaminya. Dalam pembahasan di SLPT, gen itu dikaitkan pula dengan morfologi padi, khususnya dengan bagian dari morfologi bunga padi, yakni benang sari dan putik sari. Dalam keduanya itulah tersimpan gen seperti diutarakan Dar:

....bingung untuk tahu masalah itu; gen, benang sari, putik sari, DNK atau DNA itu, tempatnya di sini. Aduh, kayaknya otak pecah kalau petani, tetapi Pak Darmin belajar dulu sedikit demi sedikit, ngerti. Kalau gak ngerti ya udah, tapi alhamdulillah sedikit demi sedikit ngerti.... Gen itu, pemecahan gen itu kalau artinya kan keturunan. Jadi, gen padi ini dibuang jantannya, dikasih gen jantan padi lain, di dalam gen itu ada ini ada serbuk sari, eh, di dalam serbuk sari ada gen, terus DNA, terus ada macem-macem lupa. Yang penting kalau Pak Darmin: padi ini disilang dengan padi ini menciptakan varietas baru....

Pemahaman awal tentang gen, tempat gen itu tersimpan dan dapat diturunkan melalui persilangan yang memunculkan beragam sifat-sifat itu diperkuat melalui hasil pengamatan mengenai beragamnya ciri tanaman yang muncul setelah generasi F2. Terutama, bila dalam salah satu bahan baku persilangan itu digunakan benih lokal (lihat Bab 8 tentang Kembalinya Benih Lokal).

Ditemukannya malai dan bulir-bulir padi yang berbulu (ber-songot) dari turunan persilangan benih lokal sebagai salah satu bahan baku merupakan contoh munculnya sifat- sifat keturunan yang tidak dijumpai selama mereka menanam benih unggul. Tidak ada benih unggul yang berbulu. Fox (1991, 1993) menelusuri genealogi benih unggul dan menemukan bahwa sebagian besar benih unggul yang direkayasa itu (diawali dengan PB8 dan PB5) memiliki bahan tetua Peta, hasil persilangan benih induk dari Cina dan benih jantan Latisail (dari Bengal/India) (lihat Fox, 1991, 1993). Benih-benih unggul merupakan turunan dari jenis padi yang dikategorikan sebagai indica (Fox, 1991; Fox, komunikasi pribadi, 2008). Munculnya ciri-ciri malai berbulu itu kemungkinan berasal dari gen jenis padi yang berbulu (awned), turunan dari padi javanica (lihat Grist, 1959; Fox, 1991, 1993). Kini, dengan persilangan yang mereka lakukan antara beragam varietas (unggul dan lokal, lokal dan lokal, unggul dan asa, dan lain-lain, lihat Winarto, Bab... Kembalinya Benih Lokal), tersajikan beraneka sifat dalam generasi F2 dan seterusnya. Sebagai contoh, Arifin menunjukkan perpecahan gen yang terjadi pada generasi F2 hasil persilangan antara Kebo (varietas kerabat liar atau penyimpangan dari varietas benih unggul) dan Longong yang disebut petani sebagai benih lokal sebagai berikut:

Sambil menunjukkan bagan yang dibuatnya, yakni contoh-contoh malai padi dalam diagram genealogi persilangan di atas sehelai karton manila, Arifin menjelaskan bahwa dari bastar hasil persilangan Kebo dan Longong, ditanam sebanyak 13 rumpun. Dari 11 Sambil menunjukkan bagan yang dibuatnya, yakni contoh-contoh malai padi dalam diagram genealogi persilangan di atas sehelai karton manila, Arifin menjelaskan bahwa dari bastar hasil persilangan Kebo dan Longong, ditanam sebanyak 13 rumpun. Dari 11

Pengalihan pengetahuan tentang gen dan segregasi gen yang abstrak itu ke fenomena konkrit penampilan tanaman hasil persilangan di lahan mereka menunjukkan pengalihan techne ke mètis. Prinsip-prinsip universal yang diperoleh dari SLPT mengenai pengetahuan genetik (rumus Mendel dan karakter homozygot dan heterozygot dari gen varietas) mewujud dalam pengetahuan empirik, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui praktik mengamati segregasi dalam ciri fenotype (ciri tampak) suatu persilangan antarvarietas. Pengetahuan tentang konsep genetika itu termantabkan dalam situasi konkrit, saat mata yang memandang

penampilan karakteristik tanaman itu menangkap keragaman yang amat kaya. Keragaman yang kaya dari benih hasil persilangan melalui “perpecahan gen” pada generasi F2 dan seterusnya (sebelum tercapai segeregasi 0) itu mengumpan balik pada skema pengetahuan petani. Manakah penampilan yang sama, mana yang berbeda menuntun mereka untuk memilah-milah tanaman. Pemilahan dalam sejumlah tipe karakteristik itu memperkuat pemahaman tentang apa yang disebut sebagai “segregasi” atau “penyimpangan”. Apakah yang mereka amati? Tidak hanya bentuk gabah, tinggi pendeknya batang padi, berbulu tidaknya malai dan bulir padi, warna gabah, warna beras, warna daun padi seperti yang dicermati orang tua di jaman bengèn, tetapi juga warna bagian bawah batang padi atau yang disebut petani sebagai “kaki padi”, bentuk, panjang, dan lebar daun bendera, dan lain-lain kriteria yang baru dipelajari di SLPT.

Karena kegiatan seleksi hasil persilangan itu dilaksanakan hingga beberapa F (Filial), yakni minimal mencapai F8 (kecuali yang telah menanam secara luas sebelum F8), terjadilah pengamatan yang berlangsung dari musim ke musim tentang fenomena itu. Melalui pengulangan dalam mengamati realita keragaman terjadi pemantaban tentang hubungan antara unsur-unsur: gen, keragaman gen, keragaman sifat tanaman, dan perpecahan gen. Melalui pemunculan berbagai sifat padi yang berlangsung dari musim ke musim hingga tanaman menjadi homogen, atau menurut petani “sudah rata” (sama tinggi dan sama penampilan sifat-sifatnya), terjadi pengayaan pengetahuan masing-masing pemulia-tanaman mengenai beragam karakteristik padi yang acapkali tidak diduga sebelumnya. Di sinilah mètis memperkaya skema pengetahuan mereka tentang unsur pengetahuan techne asal dari ranah ilmiah.

Morfologi tanaman dan bunga padi: yang nampak dan yang tersembunyi

Bentuk tanaman padi serta bagian-bagiannya merupakan hal yang teramati dan yang secara khusus dicermati petani setiap hari dan setiap musim. ”Apakah tanaman padiku sehat atau sakit?” Itulah pertanyaan yang menuntun petani untuk setiap saat melakukan pengamatan hal pertumbuhan padinya, terutama di antara petani yang tidak pernah mengikuti pelatihan dalam Sekolah-sekolah Lapangan. Itulah kriteria yang memengaruhi pengambilan keputusan petani tentang strategi apa yang harus dilakukannya untuk menjaga agar pertumbuhan padinya tetap “sehat”. Jika tanaman padi tidak tumbuh secara “rata” (memiliki kesamaan tinggi), atau daun berwarna kuning, kemerahan, dan layu, itulah pertanda bahwa pertumbuhan tanaman padi tidak “sehat” (lihat Winarto, 2004a). Pengamatan dengan panca indera merupakan mekanisme yang penting dalam mengenali kondisi tanaman dan mengambil keputusan. Sekalipun demikian, sejauhmanakah petani mengenali fungsi, ciri-ciri tanaman, dan fase pertumbuhan padi secara detail? Sudahkah petani memahami pula bagian-bagian dari bunga padi dan fungsinya? Dengan asumsi bahwa ada bagian-bagian padi yang tidak teramati secara cermat, dan ada fungsi-fungsinya yang tidak dikenali, dikembangkan sesi khusus dalam SLPT untuk memahami apa yang disebut ilmuwan sebagai “morfologi” tanaman. Morfologi bunga padi mutlak perlu diketahui petani untuk dapat melakukan kegiatan pengebirian dan penyerbukan.

Seperti halnya ”gen, genetika, atau segregasi”, kata “morfologi” juga merupakan istilah baru bagi petani sekalipun kata itu mengacu pada hal-hal yang setiap hari diamati petani. Dalam panduan lapangan, morfologi didefinisikan sebagai: ”...ciri-ciri luar yang tampak pada tanaman padi”. Dengan mengenali ciri-ciri luar itu, petani diharapkan dapat membedakan tanaman padi dari bukan padi (Wartono, 2004:10). Padi sebenarnya merupakan bagian dari tanaman rerumputan (lihat Grist, 1959), tetapi padi berbeda dari tanaman yang dikenal sebagai ”rumput”. Pembedaan antara padi dan rumput itulah yang mengawali bahasan mengenai ciri-ciri luar tanaman padi serta fungsinya.

Saat H. Roni mengawali kegiatan SLPT di Bogor, Kecamatan Kroya di bulan Januari 2006, pembedaan antara tanaman padi dan rumput menjadi sesi pertama pelatihan pagi itu. Setelah menggambarkan kedua macam tanaman (padi dan rumput) itu di papan tulis,

H. Roni menanyakan pada peserta apa yang membedakan keduanya. Sambil memperlihatkan sebatang tanaman padi dan sebatang tanaman rumput pada para peserta, ditunjukkannya perbedaan pokok di antara kedua tanaman itu, yaitu adanya lidah daun padi pada percabangan daun pada padi, dan tidak adanya lidah daun pada tanaman rumput. Hal yang sama juga diperlihatkan oleh Mitro pada Ardhianto saat keduanya berjalan di tepi saluran irigasi di Kalensari dan menemukan tanaman mirip padi yang dipertanyakan Ardhianto. Mitro membuka bagian bawah dua buah daun yang bercabang dari tanaman itu, dan tidak menemukan lidah daun. Berarti, tanaman itu bukan padi, melainkan rumput.

Lidah daun hanya salah satu ciri tanaman padi. Dua ciri lain yang disebutkan dalam panduan lapangan ialah kolar dan telinga daun. Mengapa mengenali pembedaan itu penting? Penjelasan tentang pembedaan itu dikaitkan dengan pengertian bahwa ”...setiap makhluk hidup pasti mempunyai ciri yang membedakan makhluk hidup itu dengan makhluk hidup yang lainnya...” (Wartono, 2004:10). Pembedaan ciri makhluk hidup seperti halnya sifat tanaman yang ditentukan oleh gen itu yang kembali ditekankan dalam pelatihan.

Berdasarkan pengamatan dan pengalamannya, petani telah memiliki pengetahuan tentang bagian-bagian tanaman padi seperti akar, batang, daun, daun bendera, malai, dan bunga padi. Oleh sebab itu, pelatihan menggiring petani untuk mengartikulasikan apa saja bagian tanaman padi yang kini dikategorikan dalam satu konsep, yakni “morfologi” padi. Selain konsep yang baru dalam mengategorisasikan bagian-bagian tanaman itu, tidak seluruh detail morfologi padi itu merupakan bagian dari fenomena yang teramati secara kasat mata seperti halnya bunga padi. Padahal, pemahaman tentang morfologi bunga padi itu justru menjadi unsur pengetahuan penting dalam skema pemuliaan tanaman. Untuk pertama kalinya pula petani memahami bahwa bagian penting dari bunga padi itu, yakni benang sari dan kepala putik yang akan menjadi cikal bakal benih-benih padi, terletak dalam satu “biji padi”. Bahwa padi merupakan tanaman yang melakukan penyerbukan sendiri dalam satu tanaman (self-pollinating) juga merupakan unsur pengetahuan baru yang terkait dengan pentingnya mengenali bakal betina dan jantan dalam satu bunga padi. “Bunga serumah atau bunga sempurna,”, itulah sebutan yang baru bagi petani guna membedakannya dengan bunga yang tidak serumah dalam tanaman lain seperti sayuran. Yang manakah bakal induk betina dan yang manakah bakal induk jantan dalam bunga serumah itu, menjadi unsur yang signifikan untuk dikenali secara tepat oleh petani. Untuk itulah, gambar tentang morfologi bunga padi dan mengamati langsung bagian-bagian bunga padi menjadi bagian penting dalam pelatihan. Tanpa mengenali pembedaan di antara keduanya, seorang petani-pemulia tidak akan dapat melakukan kegiatan pemuliaan dalam hal pengebirian dan penyerbukan.

Saat Prahara berada di Desa Sukadana dalam rangka pengumpulan data, Min dan Sum menanyakan pada Prahara yang manakah jantan dan yang manakah betina dalam bunga padi itu. Min dan Sum tidak pernah mengikuti pelatihan SLPT sebelum menyaksikan film Bisa Dèwèk . Setelah menonton film itu, mereka berdua tergugah untuk mencoba melakukan penyilangan benih. Namun, adegan dalam film hanya memperlihatkan Arifin yang menunjukkan adanya bunga betina dan jantan itu dalam satu bulir padi, tanpa tayangan yang memperlihatkan yang manakah bunga betina dan jantan itu (lihat film Bisa Dèwèk 2007, dalam buku ini). Bagi Min dan Sum, tanpa mengenali keduanya, bagaimana mereka dapat mewujudkan keinginan untuk melakukan kegiatan penyilangan? (lihat Prahara, Bab 3; Prahara, 2008).

Kasus yang dihadapi Min dan Sum itu menunjukkan adanya bagian dari skema pengetahuan petani tentang bagian-bagian tanaman padi yang selama ini tidak ada. Pemahaman tentang morfologi dan fungsi bagian-bagian dari bunga padi itu pun mengisi informasi yang selama ini “hilang”, atau tidak menjadi bagian “penting” dari skema pengetahuan petani tentang tanaman padi, pertumbuhan, dan pembudidayaannya. Seperti dikatakan oleh Strauss dan Quinn (1997:49): ”Schemas also fill in missing or ambiguous information.” Skema pemuliaan tanaman itu mengisi informasi-informasi yang selama ini tidak menjadi bagian dari skema budi daya padi, termasuk fungsi dari bagian-bagian padi.

Mengenai fungsi masing-masing bagian padi itu, tidak seluruh peserta mampu memberikan penjelasan secara tersurat, atau bahkan ada yang baru mengenali fungsi salah satu bagian itu dalam pelatihan. Misalnya, fungsi daun sebagai tempat berlangsungnya proses yang disebut pemandu sebagai proses ”fotosintesis”, yakni pemrosesan unsur hara menjadi makanan yang diperlukan padi. Atau, daun bendera yang berfungsi sebagai tempat keluarnya malai dan berpengaruh terhadap kualitas malai. Tersurat dalam panduan lapangan bahwa

”Apabila daun bendera baik, maka malai pun baik, dan begitu sebaliknya” (Wartono, 2004:10). Keterkaitan antara kualitas daun bendera dan malai yang akan memengaruhi kualitas gabah yang dihasilkan itu pun memperkaya pengetahuan petani. Pengetahuan itu diperkaya lagi melalui pengamatan yang dilakukan masing-masing petani saat melakukan penyeleksian hasil persilangan di lahan. Bagi petani yang melakukan pengamatan secara cermat seperti Mitro dan Arifin, hubungan secara lebih detail dapat dirumuskan keduanya. Misalnya, kaitan antara panjang dan lebar daun bendera dengan jumlah bulir padi per malai dan kepadatan isi bulir. Dari hasil pengamatan musim ke musim selama melakukan penyilangan dan penyeleksian, Mitro dapat menyimpulkan hubungan antara sifat-sifat daun bendera dengan malai padi seperti diceritakannya pada Ardhianto:

...daun bendera itu biasanya bisa menentukan jumlah bulirnya. Kalau daun benderanya lebar panjang itu di bulir dan malainya panjang, tapi isinya gak padat, jarang-jarang. Kalau yang daun benderanya besar tapi pendek, itu malainya pendek, tapi isinya padat. Bisa jadi lebih banyak yang pendek isinya ketimbang yang panjang tadi. Jumlah bulirnya lebih berisi dan berat perseribunya itu 3 gram atau lebih. Gak ada yang kosong itu gabahnya itu.

Seperti telah dikisahkan di atas, pengayaan pengetahuan itu muncul selama petani melakukan pengamatan. Dengan bervariasinya karakteristik padi yang bermunculan dari hasil perpecahan gen serta beragamnya cara pengamatan, kejelian, dan ketertarikan masing-masing individu, termasuk pencatatan hasil pengamatan (lihat Winarto dan Ardhianto, Bab 9), apa yang menjadi perhatian masing-masing petani-pemulia dalam mencermati morfologi padi dan kaitan antara satu bagian dan bagian lain pun bervariasi. War dan Mitro merupakan contoh petani-pemulia yang amat cermat dan jeli mengamati pertumbuhan tanaman dan kaitan sifat- sifat antarbagian padi. Misalnya, berdasarkan pengamatannya, Mitro menyimpulkan adanya kaitan antara warna “kaki” batang padi dan warna bulir padi. Atau, kaitan antara lebar daun dan dampak serangan ulat seperti dijelaskan Idin dari Kecamatan Bangodua. Tidak demikian halnya dengan petani-pemulia lain seperti Yus dari kecamatan yang sama yang menyatakan bahwa pengamatan rinci mengenai karakteristik bagian-bagian padi tidak menjadi prioritas perhatiannya, sekalipun pengamatan untuk memperoleh rumpun atau malai dengan penampilan terbaik tetap menjadi acuan dalam melakukan seleksi. Hal itu terkait dengan motivasi Yus yang menempatkan produksi benih berkualitas idaman dalam waktu yang tidak terlalu lama sebagai tujuan utama pemuliaan. Sebaliknya, pemahaman tentang sifat-sifat tanaman dan morfologi padi bagi petani-pemulia tanaman seperti War dan Mitro itu dianggap amat penting sebagai unsur-unsur utama bagi pengambilan keputusan pemilihan bahan baku persilangan atau penyeleksian hasil persilangan guna memperoleh varietas idaman. Keterkaitan morfologi dengan varietas idaman, persilangan, dan seleksi juga merupakan kombinasi unsur-unsur baru dalam skema pengetahuan pemuliaan tanaman.

Pemetaan bahan baku dan varietas idaman: mencari yang unggul dan yang cocok?

Almekinders dan Louwaars (1999:4) menyatakan bahwa dalam pemuliaan tanaman yang melibatkan petani, tipe dan karakteristik tanaman untuk diseleksi merupakan hal yang sangat penting dalam perencanaan dan desain dari pemuliaan tanaman partisipatoris. Pengetahuan tentang hal itu akan memudahkan petani dalam menentukan bahan baku persilangan.

Dinyatakan dalam Panduan Lapangan SLPT: ”Begitu pentingnya bahan baku, sehingga kualitasnya harus diperhatikan. Keanekaragaman varietas yang ada bisa petani jadikan pilihan untuk memilih bibit yang baik” (Wartono, 2004:8). Sebagai langkah pertama dalam memilih suatu varietas sebagai bahan persilangan, petani dituntun untuk mengenali adanya penggolongan bahan baku dalam tiga bagian, yakni: 1) varietas lokal, 2) varietas baru, dan 3) varietas kerabat liar. Atas dasar apakah penggolongan bahan baku ke dalam tiga bagian tersebut? Dalam Panduan Lapangan SLPT dirumuskan definisi ketiga bagian itu sebagai berikut:

Varietas lokal adalah varietas yang ada pada suatu daerah. Kelebihan varietas lokal adalah sudah beradaptasi dengan lingkungan setempat dan gennya asli dan belum diotak- atik, sehingga varietas ini pada umumnya berumur panjang dan batangnya tinggi. Varietas baru adalah varietas hasil persilangan, sedangkan varietas kerabat liar adalah varietas yang tumbuh di hutan dan tidak dibudidaya manusia. Kelebihan varietas baru adalah pada umumnya mempunyai keunggulan di bidang produksi tinggi, tetapi mempunyai kekurangan yaitu terhadap kemampuan adaptasi yang kadang cocok di daerah B, tapi belum tentu cocok di daerah A (Wartono, 2004:8).

Dalam definisi di atas, ada tidaknya rekayasa genetika menjadi salah satu kriteria pembeda ketiga macam varietas itu. Jika yang “lokal” dinyatakan memiliki gen yang “asli” dan tidak direkayasa pemulia, yang “baru” dicirikan dengan varietas yang telah direkayasa. Kriteria lain yang menjadi salah satu karakteristik varietas lokal adalah adaptasinya pada kondisi ekologi setempat, sehingga varietas lokal diasosiasikan dengan suatu “daerah” tertentu (lihat Berg, 1993 mengenai karakteristik pemuliaan tanaman oleh komuniti petani; lihat pula Winarto dalam Bab 8). Varietas liar digolongkan sebagai varietas yang bertumbuh kembang secara “alamiah” tanpa campur tangan manusia. Dalam istilah setempat, varietas ini disebut sebagai: “asa”, yang diartikan juga sebagai hasil penyimpangan dari sesuatu varietas. Dari upaya petani untuk menemukan varietas idaman bagi penyilangan, ditemukan sejumlah asa, misalnya: Kebo yang merupakan asa, atau segregasi/mutasi genetik dari benih unggul IR64; Sabo yang merupakan asa dari Kebo; atau Sandil sebagai asa dari Gundil. Sebutan Sandil diciptakan oleh War yang menemukan adanya penampilan tanaman yang berbeda dari induknya (Gundil), yang juga berbeda dari varietas lain. Ada yang juga menyebut Jonggol sebagai padi asa, bukan varietas lokal. Bagi sejumlah petani, varietas Kebo atau Jonggol itu tidak lagi dipandang sebagai varietas liar, karena sudah bertumbuh kembang di lahan-lahan petani dan beradaptasi dengan lingkungan setempat. Varietas itu juga tidak dapat digolongkan sebagai varietas lokal atau tradisional dalam persepsi Mitro, karena sudah mengalami rekayasa (sudah diutak-atik) dan perpecahan gen.

Semenjak program PEDIGREA berlangsung, terdapat sejumlah kesempatan bagi beberapa petani-pemulia untuk mengikuti kegiatan seminar, lokakarya, atau studi banding ke luar negeri dengan dampingan dari Yayasan FIELD Indonesia. Misalnya, War dan Dar pernah berkunjung ke Filipina; Arifin ke Laos; Amad ke Kamboja, dan War ke Mali. Dalam setiap kesempatan melaksanakan kunjungan, mereka tidak menyia-nyiakan ksempatan untuk mendapatkan bulir-bulir gabah varietas setempat. Hasil dari perolehan itu dapat disimak dari tulisan-tulisan yang terpampang di ”plang-plang” (terbuat dari seng atau aluminium dan ditancapkan pada bambu) di lahan petani-pemulia yang menunjukkan julukan varietas itu oleh petani. Misalnya:

Tkyo, Japan kuning, Japan red, Pulo Dano, Bordagol, Gifts. Melalui inisiatif sejumlah petani-pemulia itu, varietas asal luar negeri itu pun menjadi salah

satu alternatif bagi bahan baku persilangan (lihat Winarto, Bab 8). Terkait dengan unsur pengetahuan mengenai bahan baku itu adalah penentuan varietas

sebagai “tetua”. Istilah ”tetua” yang menjadi lazim diujarkan oleh petani dengan istilah “induk” yang akan disilangkan (Wartono, 2004:9), juga menjadi bagian dari perbendaharaan kata baru bagi petani. Dalam menentukan “tetua” itulah petani perlu mengaitkannya dengan keunggulan dan kekurangan masing-masing varietas dalam hal sifat-sifatnya. Sifat unggul apakah yang ingin diperoleh, dan sifat apakah yang ingin dihindari? Untuk menjawab pertanyaan itu, melakukan analisis atas kriteria varietas idaman merupakan langkah yang harus ditempuh petani-pemulia sebelum melakukan penyilangan. Sekalipun pemandu dalam SLPT memberikan kesempatan pada petani untuk mengutarakan karakteristik varietas yang diidamkannya (lihat Winarto, Bab 8), terdapat sejumlah kriteria yang telah dituangkan dalam Panduan Lapangan. Kriteria tersebut antara lain:

jumlah anakan, umur tanaman, ketahanan terhadap rebah-hama-penyakit-kekeringan, panjang malai, warna beras, bentuk bulir, rasa nasi, hemat pupuk, tinggi tanaman, saat keluar malai, rendemen, tingkat kerontokan gabah, aroma, dan ketahanan beras untuk disimpan (lihat karakteristik atas masing-masing kriteria itu dalam Panduan Lapangan SLPT, Wartono, 2004).

Dokumen yang terkait

ANALISIS USAHA TANI TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) KELAS Foundation Seed (FS) UNTUK MENGHASILKAN BENIH BERSERTIFIKAT (Studi Kasus di Balai Benih Induk BBI Palawija Kecamatan Singgosari Kabupaten Malang)

0 26 2

Evaluasi Pelaksanaan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) Pada Kelompok Tani Desa Jatiroto Kecamatan Sumberbaru Kabupaten Jember (Studi Program Sekolah Lapangan Penyuluhan Tanaman Terpadu)

0 16 18

Evaluasi saluran distribusi pada Perusahaan Kembang Gula PT. Sin "A" di Kabupaten Pasuruan

0 6 95

HUBUNGAN ANTARA INOVASI PRODUK D AN M UTU PELAYANAN DENGAN TINGKAT KUNJUNGAN ( VISIT RATE ) (Studi pada Poli Akupuntur, Tumbuh Kembang, Fisioterapi, dan Pelayanan Pijat Bayi di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Jember Klinik tahun 2013)

0 20 20

Inovasi Benih Unggul Tebu Bebas dan Tahan Sugarcane Mosaic Virus melalui Penerapan Teknologi Pathogen-Derived Resistance

0 25 22

Karakterisasi Ekstrak ETANOL Tanaman Rumput Israel (Asystasia gangetica) dari Tiga Tempat Tumbuh di Indonesia

0 5 114

Tumbuh kembang motorik kasar pada anak down syndrome usia golden aage dalam bentuk buku ilustrasi

3 34 33

Pengaruh Kepercayaan dan Kenyamanan Terhadap Keputusan Pembelian Ikan Hias Secara Online Di Facebook Sebagai Media Promosi (Studi pada konsumen Tan Aquarium Bandung)

11 67 75

Pengaruh Padat Tebar Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Dan Sintasan Benih Clownfish Jenis Amphiprion percula Dalam Sistem Flow Through

5 28 50

Pengaruh Perlakuan Fisik dan Kalium Nitrat (KNO3)Pada Kinerja Perkecambahan Benih dan Vigor Bibit Tanaman Srikaya (Annona squamosa Linn.)

6 55 43