PENCEGAHAN KEKERASAN TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI LAPAS KELAS I MAKASSAR

PENCEGAHAN KEKERASAN TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI LAPAS KELAS I MAKASSAR

Darmawati

Fakultas Hukum Univeritas Ichsan Gorontalo [email protected]

Abstract Personal revenge, theft, competition, and bad feeling. In addition, education background, over crowded situation, imbalanced number of officers and

penal institution inhabitants, and environment are also influential in this case. The officers of the penal institution have conducted some preventive efforts through the socialization of human right values to penal institution officers and inhabitants, leave before being released, leave with certain conditions, family-visit leave, and conditional release with specific requirements. There are also some repressive actions conducted by moving inhabitants to exile units, and reducing inhabitant rights.

Keywords: Personal revenge, preventive efforts, repressive actions.

I. PENDAHULUAN

Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) sebagai salah satu institusi penegakan hukum merupakan muara dari peradilan pidana yang menjatuhkan pidana penjara kepada para terpidana. Pelaksanaan hukuman penjara bagi narapidana tidak dilakukan semata-mata sebagai sebuah upaya balas dendam dan menjauhkan narapidana dari masyarakat. Pemenjaraan terhadap narapidana dilakukan berdasarkan sebuah sistem pemasyarakatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 2 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, dinyatakan bahwa :

Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Penghukuman melalui mekanisme pemenjaraan dinilai tidak memberikan nilai tambah bagi seorang narapidana guna memperbaiki hidupnya. Pemenjaraan menurut sistem pemasyarakatan tidak ditujukan untuk membuat seorang narapidana merasakan pembalasan akibat perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Sistem pemasyarakatan dikembangkan dengan maksud agar terpidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif

Fakultas Hukum - UNISAN 83

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

dalam pembangunan, dan dapat hidup wajar sebagai masyarakat yang baik dan bertanggung jawab.

Sistem pemasyarakatan yang dijalankan berdasarkan Undang-undang tersebut menempatkan para narapidana sebagai seorang manusia yang melakukan kesalahan dan harus dibina untuk kembali ke jalan yang lurus. Hal itu ditunjukkan dengan penyebutan narapidana menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lapas dilaksanakan secara intra mural (di dalam Lapas) dan ekstra mural (di luar Lapas).

Pembinaan secara ekstra mural yang dilakukan di Lapas disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Pembinaan secara ekstra mural juga dilakukan oleh BAPAS yang disebut integrasi, yaitu proses pembimbingan warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan BAPAS (Pasal 6 Ayat 1 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan).

Perlakuan terhadap pelanggar hukum yang berdasarkan keputusan hakim dinyatakan bersalah dan harus menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) juga mendapat perhatian dari negara. Berdasarkan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya (Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 33 Ayat 8). Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemasyarakatan harus dilandasi oleh bunyi angka 31 Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoners yaitu:

Hukuman badan, hukuman dengan menempatkan dalam sel yang gelap dan semua hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, harus benar- benar dilarang sebagai hukuman untuk pelanggaran-pelanggaran disiplin di dalam lembaga.

Pembinaan yang dilakukan oleh Lapas maupun Bapas tersebut pada kenyataanya nampaknya tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan saat ini masih belum didukung dengan prasarana dan sarana yang memadai sehingga menimbulkan berbagai permasalahan. Pada umumnya permasalahan timbul karena adanya pengabaian terhadap asas-asas pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Permasalahan yang sering kali mengemuka adalah tidak adanya persamaan perlakuan kepada warga binaan, seringkali terjadi pungli, adanya kesulitan warga binaan untuk bertemu dengan pihak keluarga, adanya kesan bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan ajang sekolah bagi pengembangan kemampuan kriminalitas seseorang, minimnya standar pelayanan kesehatan yang diberikan, dan masih banyak permasalahan lain yang harus diperhatikan untuk segera dibenahi. Berbagai permasalahan yang timbul merupakan imbas dari kurangnya perhatian masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan.

84 Fakultas Hukum - UNISAN

Pencegahan Kekerasan

Karakteristik diantara penghuni dan petugas pemasyarakatan sangat berbeda. Disatu sisi, para penghuni adalah kelompok yang latar belakang keberadaannya dalam Lapas bukan karena kehendaknya sendiri melainkan melaksanakan keputusan dari yang berwenang yakni menjalankan hukuman atau penahanan. Mereka dalam keadaan serba dibatasi. Sementara disisi lain, kelompok petugas diberi wewenang untuk mengawasi dan mengatur segala kehidupan kelompok penghuni. Perilaku warga binaan merupakan dampak dari adanya kebutuhan-kebutuhan individual yang harus disalurkan pemenuhannya dengan situasi dan kondisi lapas yang tidak memberikan keleluasan kepada mereka untuk melaksanakan pemenuhan kebutuhannya.

Hal tersebut menimbulkan dampak psikologis berupa frustasi, menarik diri, melamun dan lain sebagainya. Sedangkan dampak sosiologis akan mengakibatkan situasi dan kondisi Lapas selalu berpotensi dalam keadaan bergejolak dalam arti sering terjadi huru-hara, pemberontakan, pelarian, perkelahian penganiayaan dan lain-lain. Oleh karena itu permasalahan yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lapas Klas

I Makassar ? dan Bagaimanakah upaya yang dilakukan petugas untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lapas Klas I Makassar ?

II. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian kriminologi, karena

meneliti tentang metode pencegahan kekerasaan terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lapas Klas I Makassar (Suatu Analisis Kriminologi).

2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kota Makassar pada Lembaga Pemasyarakatan

(LAPAS) Klas I Makassar yang berada dibawah naungan/kordinasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Sulawesi Selatan.

3. Jenis dan Sumber Data Di dalam suatu penelitian kriminologi, data utama yang diperlukan adalah data primer

yang diperoleh di lapangan dari hasil wawancara langsung dengan petugas pemasyarakatan dan warga binaan pemasyarakatan yang terlibat kejahatan kekerasan di lembaga pemasyarakatan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan yang bertujuan mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian baik berupa peraturan perUndang-undangan maupun karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penulisan tesis ini dimana penggunaan data primer

berupa studi lapangan ( field research). Hal ini menunjukkan bahwa studi lapangan dalam

Fakultas Hukum - UNISAN 85

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

penelitian ini sebagai suatu cara untuk mengumpulkan data yang dijadikan bahan dalam merumuskan suatu permasalahan untuk mewujudkan suatu tujuan. Studi lapangan dilakukan untuk menggali dan memahami secara mendalam mengenai pendapat responden tentang pendekatan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam pencegahan tindak kekerasan (studi kasus di Lapas Klas I Makassar), sehingga dapat dijadikan bahan untuk menganalisis permasalahan dalam tesis ini. Untuk itulah studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) kepada para informan. Sedangkan data sekunder akan dicari dari berbagai sumber seperti media cetak dan arsip pemerintah. Untuk memperoleh informasi semaksimal mungkin maka pengumpulan data dilakukan dengan cara pencatatan peristiwa yang terekam dalam berbagai tulisan, arsip, dan dokumen yang telah ada.

5. Teknik Analisis Data Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan menggunakan

analisis kualitatif dengan maksud bahwa data yang telah dikumpulkan dianalisis dan hasil analisis tersebut tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan angka-angka melainkan data yang dianalisis digambarkan dalam bentuk kalimat-kalimat bebas dari bahan-bahan yang bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier, untuk selanjutnya disajikan untuk menjawab permasalahan yang ada.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas Klas I Makassar.

Berbeda dengan pendekatan psikologi yang melihat penyimpangan perilaku manusia itu diakibatkan oleh faktor-faktor yang melekat secara individual misalnya lemahnya kepribadian, sosiologi menganggap bahwa perilaku itu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial. Memang benar jika seseorang atau beberapa orang mengubah sikap dan perilakunya, maka alasan dibalik itu bisa saja semata-mata bersifat individual. Namun, bilamana sejumlah besar orang mengalami perubahan sikap dan perilaku secara bersamaan, maka kemungkinan penyebabnya ialah adanya perubahan pengaruh sosial dan budaya terhadap perilaku. Oleh sebab itu Horton dan Hunt menyatakan bahwa: Perilaku seseorang pada suatu situasi tertentu biasanya merupakan akibat dari adanya kebutuhan, tekanan dan rangsangan dari situasi tersebut (Didin Sudirman, 2007:193).

Pendapat tersebut sesuai juga dengan pendapat Talcot Parsons yang menyatakan bahwa tindakan sosial seseorang didasarkan atas pengambilan keputusan secara subyektif akan tetapi dalam pengambilan keputusan tersebut dipengaruhi oleh berbagai kendala baik yang bersifat normatif maupun situasional. Orang-orang dianggap mampu untuk melakukan pilihan-pilihan cara bertindak, tetapi tindakannya ini dibatasi dan dimungkinkan oleh keadaan lingkungan dan keadaan biologis pelaku dan yang lebih penting dibatasi oleh nilai-nilai dan

86 Fakultas Hukum - UNISAN

Pencegahan Kekerasan

norma-norma masyarakat yang mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia. Dari penjelasan diatas dapat disebutkan bahwa salah satu faktor yang dapat menjadi

pemicu terjadinya perkelahian antar warga binaan adalah karena kebiasaan para remaja mendapat rintangan di masa kecilnya, sehingga tindak kekerasan bukan merupakan hal yang aneh bagi mereka. Para remaja ini terbiasa dengan tindak kekerasan yang pernah diterima pada masa kecilnya, sehingga setiap ada perbuatan yang tidak disenanginya, maka si remaja akan meresponnya dengan tindak kekerasan juga yang pada akhirnya akan berujung pada perkelahian.

Kenyataan menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) belum sepenuhnya mampu menunjukkan fungsi yang ideal. Adapun faktor penyebab terjadinya kekerasan di Lembaga Pemasyarakatan dari hasil penelitian yang dilakukan adalah:

1. Faktor Intern Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di lapangan bahwa kekerasan

terhadap warga binaan pemasyarakatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu adanya dendam pribadi atau dendam lama yang dibawa oleh warga binaan pemasyarakatan masuk ke lembaga pemasyarakatan, faktor dendam pribadi mempengaruhi mereka melakukan kekerasan, faktor lain warga binaan pemasyarakatan melakukan kekerasan karena adanya keinginan warga binaan untuk memiliki barang milik orang lain, selain itu adanya persaingan hidup di antara sesama penghuni lapas yang biasanya terjadi karena warga binaan yang kalah dalam pertandingan olah raga tidak menerima kekalahannya, serta adanya faktor ketersinggungan, ketersinggungan antar warga binaan terjadi karena tutur kata warga binaan kadang kala membuat warga binaan yang lain tersinggung.

2. Faktor ekstern yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan di lapas klas I Makassar, yaitu :

a. Faktor pendidikan;

b. Faktor padatnya jumlah hunian di lembaga pemasyarakatan;

c. Faktor tidak seimbangnya jumlah petugas dengan penghuni lapas Adapun pelaksanaan tugas bagi anggota regu pengamanan di Lapas Klas I Makassar

adalah:

a. Dinas pagi, dimulai pukul 07.00 sampai dengan pukul 13.00.

b. Dinas siang, dimulai pukul 13.00 sampai dengan pukul 19.00.

c. Dinas malam, dimulai pukul 19.00 sampai dengan pukul 07.00. Bagi regu yang telah menjalankan tugas jaga malam langsung libur sehari dan

dilanjutkan masuk siang keesokan harinya. Padatnya tingkat hunian di Lapas cenderung berimplikasi negatif terhadap beberapa hal antara lain rendahnya tingkat pengamanan/ pengawasan. Jumlah narapidana dan tahanan yang terdapat di Lapas Klas I Makassar mencapai 613 orang, sementara petugas keamanan yang tersedia hanya berjumlah 43orang. Konsekuensinya 1 orang petugas Lapas harus mengawasi 14 orang. Jumlah petugas lapas

Fakultas Hukum - UNISAN 87

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

yang tidak seimbang dengan jumlah narapidana yang diawasi, telah membuat petugas Lapas menggunakan pendekatan yang keras.

Pendekatan tersebut dimaksudkan agar para narapidana tidak berani melakukan perlawanan terhadap petugas lapas dan memudahkan tugas-tugas mereka. Namun tindakan petugas lapas yang cenderung keras tersebut, disinyalir seringkali melampaui batas hingga mengarah kepada tindakan penyiksaan. Asumsi inilah yang sering menjadi dasar setiap kejadian, yang mengemuka dalam berbagai pemberitaan mengenai masih terjadinya berbagai

penyiksaan di Lapas. Konflik dalam suatu kondisi lembaga pemasyarakatan yang padat hunian dengan sulitnya penanggulangan pemindahan warga binaan ke tempat lainnya, maka

langkah terbaik yang dapat dilakukan ialah dengan melakukan pendekatan-pendekatan personal, memberi empati kepada para penghuni dan tidak lupa memberikan dorongan agar mereka merasa aman, nyaman dan tentram berada di dalam lembaga pemasyarakatan.

Upaya tersebut memang sangat tidak mudah untuk dilakukan, sebab petugas dengan jumlah yang berbanding terbalik dengan jumlah penghuni sulit menjangkau keseluruhan penghuni secara personal, sehingga tidak mengherankan jika dalam kondisi lapas yang padat hunian ini aksi-aksi keributan kerap terjadi meskipun tidak sampai menyebabkan kerusuhan massal. Keributan ini terkadang hanya berasal dari masalah kecil yang sepele saja, namun karena masing-masing penghuni kelihatannya sarat dengan beban atau tekanan psikis membuat mereka sangat mudah terbangkitkan oleh situasi emosional sesaat. Kondisi inilah yang menyebabkan munculnya pergesekan-pergesekan sosial yang dapat mengarah pada suatu pertikaian massal. Sebagaimana yang terjadi di Lapas Kerobokan, Denpasar Bali belum lama berselang. Kasus tersebut diawali dengan kasus perkelahian antar narapidana dimana seorang narapidana ditusuk, kemudian pada saat dari pihak korban mencari barang bukti pisau yang digunakan saat penusukan, petugas jaga di Lapas tidak mengetahuinya. Akibat ketidakpuasan terhadap jawaban dari pihak Lapas, akhirnya narapidana yang menjadi korban penusukan tersebut memprovokasi penghuni Lapas yang lain sehingga terjadilah bentrokan tersebut.

Manusia sebagai makhluk individu tidak akan terlepas dari pengaruh lingkungan sosial dimana ia hidup bermasyarakat karena setiap orang akan selalu berproses pada lingkungan dimana ia berada, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat sekitar. Lingkungan sosial yang buruk akan mempengaruhi perilau seseorang dalam bertingkah laku. Dalam kaitannya dengan masyarakat penghuni pemasyarakatan, pembatasan lingkungan terhadap kebutuhan individu sangat ketat sekali karena pada hakikatnya pemasyarakatan adalah suatu upaya pembatasan kebebasan bergerak seseorang termasuk pembatasan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya.

Faktor penyebab kekerasan menurut aliran sosiologis adalah suatu aliran yang berpendapat bahwa kejahatan disebabkan oleh faktor lingkungan sosial (Soerjono Dirdjosisworo, 1985:81). Salah seorang tokoh aliran lingkungan adalah Sutherland. Hal yang senada oleh Kinberg bahwa (Arif Gosita, 1993:381) :

88 Fakultas Hukum - UNISAN

Pencegahan Kekerasan

Pengaruh lingkungan yang dahulu sedikit banyak ada dalam kepribadian seseorang. Sekarang dalam batas-batas tertentu kebalikannya jika benar, yaitu lingkungan yang telah mengelilingi seseorang untuk suatu waktu tertentu akan memberi pengaruh pada

pribadinya. Hilangnya kebebasan seorang penghuni Lapas mempengaruhi proses penyesuaian

dirinya dalam lingkungan yang serba terbatas termasuk dalam proses pemenuhan kebutuhan hidupnya. Keterbatasan inilah yang kemudian menyebabkan sistem nilai pelaku tindak kejahatan mengalami pergeseran dan sekaligus mempengaruhi sikap perilaku dirinya selama menjalani proses masa pidananya. Perubahan dalam sistem nilai tersebut kelihatannya dapat menyebabkan individu yang bersangkutan rentan terhadap gangguan keamanan dan ketertiban. Meskipun lingkungan Lapas saat ini sudah padat hunian, namun bukan berarti keamanan dan ketertiban harus luput dari pemantauan dan atau pengawasan. Hal ini dikarenakan proses kehidupan warga binaan di Lapas harus dapat berlangsung secara aman dan tertib sebagaimana dalam lingkungan masyarakat luas karena lingkungan warga binaan di Lapas adalah bagian integral dari kehidupan masyarakat bebas.

Dapat dikatakan bahwa sebenarnya lingkungan Lapas adalah suatu bentuk miniatur masyarakat di luar, maka apa yang terjadi pada masyarakat bebas juga dapat terjadi dalam lingkungan lapas tesebut. Oleh sebab itu, tugas pengawasan penghuni Lapas menjadi bertambah berat karena kehidupan dalam Lapas yang terdiri dari beragam karakter, suku bangsa baik dalam negeri maupun dari luar negeri, berbagai macam bahasa, berbagai macam agama, dan berbagai macam perbedaan lainnya yang mempermudah terjadinya gangguan ketertiban dan keamanan.

Berbagai kasus perkelahian yang terjadi di Lapas tentu saja patut untuk disayangkan, mengingat hal tersebut terjadi di dalam sebuah rumah yang digunakan untuk membina warganya agar menjadi baik. Hal ini telah menunjukkan bahwa pembinaan yang dilakukan disana tidak dapat maksimal, karena warga binaan justru menunjukkan perilaku yang menyimpang. Kenyataan dalam praktek yang terjadi adalah pembinaan narapidana kadangkala masih berada diluar acuan pada sepuluh prinsip pemasyarakatan yang termuat dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995.

Hal tersebut menyebabkan kegagalan pada pembinaan narapidana karena tidak berorientasi pada kebaikan bagi diri warga binaan itu sendiri. Bagi petugas pemasyarakatan pembinaan yang dilakukan hanya sebagai formalitas semata dan kurang memperhatikan pada kualitas kepribadian dan kemajuan kemandirian warga binaan. Tujuan pemidanaan tidak terlepas dari dua hal, pertama mengapa dijatuhkan hukuman pidana terhadap orang yang melanggar peraturan. Kedua, apa yang diharapkan dengan memidana seseorang. Kenyataannya di bidang pemidanaan ini secara umum masih menganut memperbaiki terpidana di dalam lembaga pemasyarakatan sehingga memberikan gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti selama menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan dan setelah selesai menjalani pidana, pelaku akan kembali melakukan perbuatan melanggar hukum dalam kehidupan

Fakultas Hukum - UNISAN 89

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

masyarakat (Muladi, 2002:180). Menurut Penulis, fenomena perkelahian yang terjadi di lapas menunjukkan bahwa

tujuan pemidanaan semata-mata sebagai upaya balas dendam sebagaimana tujuan pemidanaan absolut. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pemasyarakatan, dimana dalam melakukan pembinaan di lembaga pemasyarakatan diupayakan untuk menyadarkan warga binaan agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan. Terjadinya kekerasan di Lembaga Pemasyarakatan membuktikan bahwa sistem pembinaan yang dilakukan gagal. Hal tersebut lebih diperjelas oleh Luchman bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk mengembalikan kekeadaan semula, dimana warga binaan dapat diterima kembali dimasyarakat. Untuk kejahatan-kejahatan tertentu menurut teori Luchman tidak perlu harus berakhir dengan pemenjaraan, tapi cukup dengan konpensasi dan diterima baik oleh pihak korban.

Sejalan dengan kekerasan yang terjadi di Lapas, Hulsman yang menganut paham abisionis sangat memperhatikan aspek kemanusiaan yang dipandangnya dapat dikikis oleh keadilan yang dicapai melalui pelaksanaan hukum pidana. Pendekatan yang digunakan Hulsman adalah pendekatan kemanusiaan dan rasionalistik. Melalui pendekatannya tersebut ia selalu yakin bahwa sistem peradilan pidana dapat dan harus dimanusiawikan serta dirasionalkan. Lebih jauh bahkan Hulsman menyimpulkan bahwa sistem peradilan pidana harus dihapuskan seluruhnya karena ia merasakan bahwa secara logika sistem ini tidak akan dapat sarana yang manusiawi dan peka dalam menghadapai kejahatan.

Menurut Hulsman sebagaimana dikutip oleh Romli (Muladi, 2002:109). sistem peradilan pidana dipandang sebagai masalah sosial dengan beberapa pertimbangan, yang pertama bahwa sistem peradilan pidana memberikan penderitaan yang berarti terjadi pembatasan kemerdekaan terhadap pelaku dan diasingkan dari masyarakat, yang menyebabkan pelaku dan keluarganya dikenai stigma negatif, serta direndahkan martabatnya sehingga kedudukan mereka menjadi marjinal dalam masyarakat. Pertimbangan yang kedua adalah sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan, yang dimaksud disini adalah semua tujuan sistem peradilan pidana tidak pernah dapat dicapai secara optimal karena masing-masing tujuan memiliki kelemahan yang ternyata lebih menonjol dan selalu mendapat kritik tajam dibandingkan hasil yang telah dicapai.

Alasan ketiga adalah sistem peradilan pidana tidak terkendalikan yang berarti bahwa setiap menghadapi kebijakan sistem ini sering rentan dan berubah-ubah, apalagi setiap lembaga penegak hukum memiliki kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan masing- masing yang terkadang berbeda satu sama lain dalam menangani mekanisme kerja sistem peradilan pidana yang sering merugikan hak asasi pelaku kejahatan. Alasan keempat dalam pendapat Hulsman ini adalah pendekatan yang digunakan sistem peradilan pidana memiliki cacat mendasar, yang dimaksud cacat mendasar disini adalah dalam sistem peradilan pidana kita selalu berpatok dan berpresepsi bahwa jika ada kejahatan, maka harus ada pidana, ada

90 Fakultas Hukum - UNISAN

Pencegahan Kekerasan

yang salah dan benar, serta ada yang menang dan yang kalah. Dari persepsi itulah sistem peradilan pidana mempunyai cacat mendasar yang

menjadikannya tidak luwes dan tidak kreatif dalam menemukan bentuk lain dari pengendalian sosial (social control). Berbagai pendapat yang mendukung dan mengkritisi konsep sistem peradilan pidana tersebut sesungguhnya mempunyai muara yang sama yaitu penegakan hukum guna menanggulangi kejahatan dengan tetap menjamin ketertiban kehidupan masyarakat. Menurut pendapat Penulis, kekerasan yang terjadi di Lapas merupakan proses yang bekerja bukan pada tingkat individual (baik petugas sebagai pribadi maupun penghuni selaku pribadi pula) yang cara mengatasinya relatif tidak sulit. Akan tetapi masalah kekerasan yang terjadi di Lapas merupakan masalah struktural karena masalahnya terkait satu sama lain dan kesemuanya bertumpu kepada kebutuhan asasi manusia. Adanya proses manusiawi yang menurut akal sehat dapat dibenarkan, seperti halnya sebuah balon apabila mendapat tekanan dari udara yang dipompakan maka akan meletus.

Masalah kekerasan yang terjadi di Lapas menurut hemat saya bekerja pada tiga tataran yaitu tataran individu, tataran lingkungan, baik sosial maupun non sosial, dan tataran kesisteman atau struktural. Pada tataran individu, warga binaan pemasyarakatan harus diberikan pembinaan yang intensif supaya mereka mempunyai tingkat moral yang dapat dipertanggungjawabkan, misalnya melalui program-program pembinaan yang sesuai. Disisi lain, pihak petugas juga harus mendapat perhatian yang khusus karena petugas pemasyarakatan

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap timbulnya proses akomodasi (kerjasama). Oleh sebab itu sesuai dengan point 46 dan 47 yang diatur dalam Standard Minimum Rules

for The Treatment of Prisoners terhadap petugas pemasyarakatan harus dilakukan kebijakan- kebijakan sebagai berikut (Didin Sudirman, 2007:193) :

Mengadakan seleksi yang teliti terhadap tingkatan pegawai sebab kelancaran pekerjaan pemasyarakatan tergantung dari integritasnya, rasa kemanusiaan, kemampuan dalam jabatan dan cocok bagi pribadi-pribadi pegawai serta hendaknya memiliki dasar pendidikan dan kecerdasan yang cukup dan sesuai.

Dengan kata lain, petugas harus mempunyai integritas moral dan professional. Tidak kalah pentingnya adalah adanya jaminan terhadap kesejahtraan petugas yang cukup karena proses akomodasi yang negatif seringkali terjadi karena adanya iming-iming uang dari para penghuni. Pada tataran lingkungan, tingkat kepadatan hunian, sistem penempatan kamar, strategi pengamanan dan lain-lain adalah variabel yang dapat mempengaruhi

secara signifikan terhadap kekerasan yang terjadi didalam Lapas. Dalam kaitannya dengan masyarakat penghuni penjara, maka pembatasan lingkungan terhadap kebutuhan individu

sangat ketat sekali, karena pada hakikatnya lembaga pemasyarakatan adalah suatu upaya pembatasan kebebasan bergerak seseorang termasuk pembatasan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya.

Berbicara mengenai tataran struktural berarti berbicara melalui pendekatan kesisteman, pendekatan yang menyeluruh dan bukan pendekatan parsial. Dalam tataran ini

Fakultas Hukum - UNISAN 91

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

proses berjalan saling terkait antara sub sistem ekonomi, politik, sosial, budaya dan termasuk hukum. Dalam sub sistem hukum dan politik, kita telah memiliki Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, hanya diimplementasi dari Undang-undang tersebut harus diatur sedemikian rupa agar ada kemungkinan memberi alternatif solusi untuk dapat diberikan akses terhadap kebutuhan-kebutuhan asasi penghuni. Juga harus diciptakan suatu infrastruktur jabatan fungsional yang memungkinkan semua penghuni mendapat haknya secara adil.

Hal ini hanya dapat dipenuhi melalui pengaturan pekerjaan pejabat melalui kredit point. Karena melalui sistem kredit point seorang pejabat mau tidak mau harus mencari pekerjaan atau melayani penghuni agar melalui pelayanannya itu ia memperoleh kredit point. Yang pada gilirannya hal ini akan menambah tingkat kesejahtraannya. Jadi melalui regulasi

ini keuntungan finansial tidak diperoleh secara langsung dari warga binaan pemasyarakatan tersebut. Dan yang lebih penting model regulasi ini dapat menutup kemungkinan adanya

warga binaan yang diperlakukan secara khusus, sehingga perasaan diperlakukan tidak adil bagi penghuni lainnya oleh petugas dapat dihindari seminimal mungkin.

Dalam sub sistem ekonomi harus dapat dijamin bahwa kebutuhan fisik minimum warga binaan (misalnya kebutuhan makanan, minuman, obat-obatan, dan lain-lain) dapat

dipeuhi secara optimal baik kualitasnya maupun kuantitasnya. Juga harus ada jaminan bahwa kebutuhan akan sarana penunjang pembinaan dapat diusahakan sedemikian rupa sehingga Lapas benar-benar dapat dijadikan tempat sebagai lembaga pendidikan yang ideal. Dalam bidang sosial budaya, harus dapat ditumbuhkan sedemikian rupa partisipasi aktif masyarakat melalui kerjasama dukungan dan kontrol sosial, agar tujuan re-integrasi sosial dapat dilaksanakan secara sehat dan transparan, sehingga para pelanggar hukum dapat kembali ke masyarakat dengan baik dan taat hukum serta dapat berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat.

Teori Sistem dapat menjelaskan faktor penyebab terjadinya kekerasan di Lembaga Pemasyarakatan. Dalam kaitannya dengan masyarakat penghuni penjara, keberadaan yang

bersangkutan di dalam Lapas untuk pertama kalinya akan mengalami konflik dengan lingkungannya. Oleh sebab itu ia akan berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungannya

melalui penyesuaian-penyesuaian. Perilaku penyesuaian inilah yang menimbulkan berbagai penyimpangan-penyimpangan terhadap nilai, norma dan peraturan yang berlaku dengan melakukan proses sosial yang berupa perilaku akomodasi dengan petugas yang mempunyai kendali terhadap efektif atau tidaknya proses regulasi dari suatu peraturan.

Proses akomodasi pada hakikatnya adalah proses saling memberi dan menerima antara penghuni Lapas dengan petugas yang dilandasi oleh kepentingan-kepentingan dari kedua belah pihak. Disatu sisi petugas berkepentingan agar setiap penghuni dapat berperilaku yang baik dan patuh, sehingga tidak mengancam kedudukannnya sebagai pegawai. Sedangkan di sisi lain penghuni berkepentingan agar semua kebutuhannya dapat terpenuhi sehingga dapat meringankan penderitaannya selama berada di dalam Lapas.

92 Fakultas Hukum - UNISAN

Pencegahan Kekerasan

Dikaitkan dengan hal tersebut, penyimpangan perilaku penghuni lapas merupakan dampak dari adanya kebutuhan-kebutuhan individual yang harus disalurkan pemenuhannya dengan situasi dan kondisi Lapas yang tidak memberikan keleluasan kepada mereka untuk melaksanakan pemenuhan kebutuhannya. Sehubungan dengan hal itu, maka secara asumtif dapat dikatakan bahwa seluruh fenomena tersebut terjadi karena kebutuhan sistem dalam rangka mempertahankan integrasinya. Dimana diperkirakan jika hal tersebut diupayakan untuk dihilangkan, apalagi dengan upaya-upaya represif maka akan menimbulkan berbagai dampak baik secara psikologi maupun secara sosilogis. Dampak psikologis adalah berupa frustasi, menarik diri, melamun dan lain-lain. Sedangkan dampak sosiologis akan mengakibatkan situasi dan kondisi Lapas selalu berpotensi dalam keadaan bergejolak dalam arti sering terjadi huru-hara, pemberontakan, pelarian, perkelahian, dan lain-lain. Jika sudah terjadi demikian maka kelompok petugas, Karena kejadian tersebut cenderung merugikan dirinya, akan menimbang-nimbang kembali strategi yang digunakannya.

Dalam keadaan demikian, maka kelompok petugas, baik secara sah maupun illegal, melakukan negoisasi dengan penghuni Lapas dengan hasilnya berupa toleransi-toleransi untuk tidak melaksanakan peraturan secara ketat. Dalam arti petugas melakukan perilaku akomodasi antara peraturan dengan kebutuhan para penghuni. Sehingga hal ini secara kasat mata dinilai oleh masyarakat umum sebagai penyimpangan-penyimpangan di dalam melaksanakan tugas. Sementara itu, hal tersebut mereka lakukan dalam rangka mempertahankan keseimbangan di dalam Lapas.

B. Upaya Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas Klas I Makassar

Salah satu teori yang sesuai dengan tujuan sistem pemasyarakatan adalah teori utilitarian. Teori utilitarian bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini sering disebut dengan teori tujuan (utilitarian theory). Teori utilitarian digambarkan sebagai landasan moral untuk mencapai sesuatu yang lebih bermanfaat di masa mendatang. Manfaat ini mempunyai jangkauan pencegahan kejahatan. Jangkauan pencegahan kejahatan paling tidak mengacu kepada pencegahan umum, disini ancaman sesungguhnya dari hukuman harus dapat mempengaruhi pandangan orang akan resiko dari suatu perbuatan jahat, sedangkan pada pencegahan khusus, mengacu pada bagaimana hukuman dapat membentuk pandangan orang sebagai objek hukuman. Begitupula halnya dengan incapacitation, mengacu kepada kemampuan hukuman untuk membatasi pelaku dengan cara pemindahan pelaku kejahatan dari masyarakat.

Teori Utilitarian menganggap bahwa nilai terpenting dari suatu hukuman terletak pada fungsi preventif yang dimainkannya. Dalam sistem pemasyarakatan terlihat adanya suatu upaya pengintegrasian narapidana, petugas pemasyarakatan dan masyarakat. Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan sosialisasi narapidana tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial narapidana dengan masyarakat pasca menjalani pidana, setelah narapidana

Fakultas Hukum - UNISAN 93

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

kembali ke masyarakat. Oleh karena itu pembinaan dengan sistem pemasyarakatan dapat memenuhi tujuan pemidanaan dapat dikaji berdasarkan teori relatif. Menurut teori relatif, pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana.

Sahardjo menginginkan dari prinsip pemasyarakatan tersebut, terlihat bahwa adanya pengintegrasian narapidana, petugas dan masyarakat. Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan sosialisasi narapidana tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial narapidana dengan masyarakat pasca menjalani pidana, yaitu penerimaan kembali mantan narapidana setelah di masyarakat. Oleh Sahardjo mengemukakan hal ini sebagai syarat pemasyarakatan menjadi pembinaan selama menjalani hukuman dipandang tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaan diri narapidana, karena itu harus ada kesediaan dan tanggung jawab masyarakat.

Adapun pertimbangan lain yang dilihat Sahardjo akan perlunya peranan masyarakat disebabkan terpidana telah menjalani pidana dan pembinaan sehingga tidak boleh ada hukuman tambahan dari pihak manapun. Dalam hal ini Sahardjo ingin memberikan pemahaman bahwa tanggung jawab lembaga pemasyarakatan tidak boleh dicampur adukkan dengan proses penjatuhan pidana. Gagasan pemasyarakatan sebagai sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia pada dasarnya menganut pola reintegrasi yang dianut oleh sebagian besar bangsa- bangsa di dunia yang dalam prinsip dasar perlakuannya lebih berorientasi pada pembinaan di tengah-tengah masyarakat.

Walaupun tujuan pidana penjara mengalami perubahan, namun dalam kenyataannya tidak pernah terjadi bahwa tujuan yang lama terjadilah akumulasi dari tujuan-tujuan tersebut yang terhimpun di atas kepentingan individual maupun sosial yang berbeda-beda yang tidak jarang bertentangan antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Teori yang bersifat utilitarian ini lebih memandang ke depan daripada memandang ke belakang. Hukuman digambarkan sebagai landasan moral untuk mencapai sesuatu yang lebih bermanfaat di masa mendatang. Manfaat-manfaat itu mempunya jangkauan pencegahan kejahatan. Jangkauan pencegahan kejahatan paling tidak mengacu kepada pencegahan umum, ancaman sebagai hukuman harus dapat mempengaruhi pandangan orang akan resiko dari suatu perbuatan jahat, sedangkan pada pencegahan khusus mengacu pada bagaimana hukuman dapat membentuk pandangan orang sebagai objek hukuman. Begitupula dengan incapacitation, mengacu kepada kemampuan hukuman untuk membatasi pelaku ada tujuan lebih jauh dari hanya pidana saja, sehingga teori ini mengharapkan hukuman dapat memperbaiki pelaku kejahatan.

Teori utilitarian hendak mencari keseimbangan akan perlunya hukuman. Jika seandainya efek jera dari hukuman itu tidak ada, maka hukuman itu tidak perlu lebih jauh. Pemahaman teori utilitarian dalam pemidanaan mengatakan bahwa tidak mutlak suatu kejahatan itu harus diikuti dengan suatu pemidanaan melainkan harus dipersoalkan manfaat dari suatu pidana bagi narapidana itu sendiri maupun bagi masyarakat. Sehingga pemidanaan inipun dapat mengarah agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan oleh seseorang tidak

94 Fakultas Hukum - UNISAN

Pencegahan Kekerasan

diulangi kembali baik oleh sipelaku maupun orang lain. Upaya penanggulangan kejahatan telah dan terus dilakukan oleh semua pihak, baik

pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Berbagai program dan kegiatan terus mencari cara yang tepat dan efektif untuk mengatasi masalah kejahatan tersebut. Edwin Sutherland dan Cressey mengemukakan bahwa crime prevention dalam pelaksanaannya ada dua metode yang dipakai, yaitu: (Romli Atmasasmita, 1975:66)

1. Metode untuk mengurangi kejahatan. Merupakan suatu cara yang ditujukan kepada usaha untuk mencegah terjadinya

kejahatan yang pertama kali ( the first crime) yang akan dilakukan oleh seseorang.

2. Metode untuk mengurangi pengulangan dari kejahatan. Merupakan suatu cara yang dilakukan untuk pengurangan jumlah residivis

(kejahatan ulang) dengan suatu pembinaan yang dilakukan secara konseptual. Kejahatan kekerasan merupakan fenomena sosial bahwa kekerasan merupakan fenomena sosial yang sangat merugikan masyarakat. Beberapa ahli kriminologi dan filosof mengemukakan bahwa kejahatan akan selalu ada dalam masyarakat manapun seperti

penyakit dan kematian selalu berulang, seperti halnya dengan musim yang selalu berganti- ganti dari tahun ke tahun. Kejahatan tidak dikehendaki oleh masyarakat malah sebaliknya menjengkelkan masyarakat, tetapi justru kekerasan selalu ada dalam masyarakat dan dilakukan oleh anggota masyarakat.

1. Upaya Preventif (Pencegahan) Upaya preventif adalah upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan, dalam hal ini

kekerasan. Kegunaan upaya preventif ini ialah tidak jatuhnya korban akibat kejahatan sekaligus juga dapat mengurangi intensitas kejahatan. Tindakan preventif dilakukan juga sebagai cara untuk menekan, mengatasi dan mengurangi jumlah kejahatan yang terjadi. Tindakan preventif di banyak negara telah terbukti cukup efektif, oleh karena itu penulis berpandangan bahwa tindakan yang demikian tepat untuk diterapkan dalam masalah kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Usaha yang dilakukan untuk menjaga dan memelihara ketertiban dalam lembaga pemasyarakatan menurut Kasi Bimbingan Pemasyarakatan (Wawancara, 28 Desember 2011) adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan bimbingan kepada wargabinaan pemasyarakatan.

2. Melakukan sosialisasi nilai-nilai HAM terhadap warga binaan pemasyarakatan

3. Meningkatkan pendidikan dalam menunjang para remaja pada pemikiran yang lebih positif.

4. Menyediakan sarana olah raga dan sarana-sarana lain yang memadai agar warga binaan pemasyarakatan tidak merasa bosan selama menjalani masa pidananya.

5. Memberikan penyuluhan hukum, agama, moral dan etika kepada para narapidana yang menjalani hukumannya.

6. Memberikan pembinaan dan latihan kepada para narapidana selama dalam lembaga pemasyarakatan dengan berbagai bekal keterampilan yang memberi kemungkinan

Fakultas Hukum - UNISAN 95

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

terhadap narapidana dalam menempuh kehidupan secara mandiri, sesuai menjalani hukumannya.

Tindakan preventif dapat ditempuh dengan berbagai cara dan bentuk oleh para penegak hukum, kalangan intelektual, agamawan, tokoh-tokoh masyarakat dan para pejabat yang berwenang. Dalam bentuk nyata hal ini dapat berupa penyuluhan hukum dan sosialisasi nilai-nilai HAM. Pelaksanaan tindakan preventif berupa sosialisasi HAM dilaksanakan secara bersama-sama oleh para pihak di lembaga pemasyarakatan. Lebih lanjut, salah seorang petugas pengamanan (Wawancara, 28 Desember 2011) menyatakan bahwa:

Upaya pencegahan yang dilakukan oleh pihak lembaga pemasyarakatan dalam menanggulangi masalah kekerasan yang terjadi adalah dengan mengadakan kegiatan sosialisasi nilai-nilai hak asasi manusia terhadap petugas dan warga binaan. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya kekerasan antar warga binaan adalah padatnya jumlah hunian di lembaga pemasyarakatan, untuk mengurangi jumlah hunian maka pemerintah memberikan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti mengunjungi keluarga, cuti bersyarat terhadap warga binaan yang memenuhi syarat

tertentu.

2. Upaya Represif (Penindakan) Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mengupayakan agar seseorang tidak

mengulangi lagi kejahatan yang pernah dilakukannya. Dengan demikian sifat dari tindakan ini ialah upaya untuk menekan fisik terhadap pelaku atau pembuat, bahwa kejahatan yang

dilakukannya bilamana diulangi lagi akan menyebabkan kerugian yang lebih besar terhadap dirinya sendiri, selain itu juga kerugian masyarakat pada umumnya. Hakekat dari tujuan ini sebenarnya cukup efektif, yaitu untuk memberikan efek penjeraan kepada para pelaku tindak kejahatan kekerasan agar tidak memiliki pikiran untuk melakukan lagi kejahatan yang telah dilakukan, dalam hal ini ia sendiri telah menderita kerugian dengan kehilangan kebebasan akibat perbuatannya sendiri.

Usaha represif ini dikatakan efektif jika dilaksanakan dengan benar dan sesuai dengan kepentingan hukum yang berlaku dengan menghukum sesuai dengan ancaman hukuman seperti yang telah ditentukan dan menindak siapa saja tanpa terkecuali. Dari hasil wawancara dengan salah seorang petugas pengamanan di Lapas Klas I Makassar (Wawancara, 28 Desember 2011) menyatakan bahwa:

Adapun langkah-langkah yang ditempuh apabila terjadi kekerasan di lembaga pemasyarakatan adalah dengan memindahkan narapidana atau tahanan yang melakukan kekerasan ke sel yang biasa disebut dengan sel pengasingan, selain itu terhadap warga binaan yang melakukan tindakan kekerasan (pelanggaran) akan dikurangi haknya.

Pengasingan yaitu hukuman bagi narapidana yang tertangkap melakukan perbuatan atau tindakan yang melanggar tata tertib, misalnya melakukan penganiayaan terhadap sesama narapidana atau melarikan diri dan tertangkap kembali. Biasanya ditempatkan di

96 Fakultas Hukum - UNISAN

Pencegahan Kekerasan

tempat pengasingan yang lazim disebut “sel”. Adapun pengurangan hak bagi narapidana yang dimaksud antara lain tidak boleh menerima kunjungan, tidak mendapat pengurangan masa hukuman (remisi), maupun kesempatan cuti untuk mengunjungi keluarga (CMK) dan sebagainya. Apabila di dalam lapas terjadi keributan yang ditimbulkan oleh narapidana, maka regu pengamanan menyampaikan laporan kepada Kepala Regu Pengamanan yang kemudian disampaikan kepada Kepala KPLP yang akan membuat laporan kepada Kalapas tentang narapidana yang akan diberikan tindakan disiplin.

Tindakan disiplin adalah tindakan tata tertib berdasarkan keputusan Kalapas sebagai upaya pengamanan terhadap narapidana berupa penempatan sementara pada kamar terasing dari yang lainnya (sel pengasingan) karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan pada buki permulaan patut diduga sebagai pelanggaran / gangguan kamtib sehingga perlu dilakukan pemeriksaan. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya tindakan disiplin apabila seorang narapidana berhubungan dengan narapidana lainnya maka narapidana yang berdasarkan pertimbangan tertentu terancam jiwanya ditempatkan pada kamar pengasingan. Perintah tindakan disiplin yang diberikan oleh Kalapas berlaku paling lama sepuluh hari dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan Kalapas untuk paling lama sepuluh hari dan dalam hal masih diperlukan dapat diperpanjang lagi untuk paling lama sepuluh hari.

Apabila narapidana melakukan tindakan disiplin, Kepala KPLP meminta bagian administrasi keamanan dan ketertiban melakukan pemeriksaan dan membuat berita acara pemeriksaan pelanggaran kamtib dan menyampaikan kepada Kalapas yang selanjutnya diserahkan kepada Ketua Tim Pengawas Pengamat (TPP) untuk segera disidangkan. TPP kemudian melakukan persidangan khusus membahas hasil berita acara pemeriksaan yang telah dibuat, bila dipandang perlu menghadirkan saksi-saksi dan pelaku untuk memberikan keterangan tambahan yang diberikan.

Hasil sidang TPP merupakan rekomendasi kepada Kalapas sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman disiplin. Selanjutnya Kalapas menyerahkan kepada Kepala KPLP untuk melaksanakan hukuman disiplin kemudian Kepala KPLP menyerahkan salinan keputusan hukuman disiplin yang telah diberi catatan pelaksanaannya kepada unit pembinaan untuk dicatat dalam daftar register F. Hasil pemeriksaan yang dilakukan pada saat narapidana dalam proses tindakan disiplin dibahas oleh TPP untuk selanjutnya dijadikan bahan pertimbangan Kalapas dalam menjatuhkan hukuman disiplin. Hukuman disiplin dapat berupa: a) Tutupan sunyi paling lama 6 hari; dan atau b) Menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik dari dua pokok permasalahan adalah:

1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap warga binaan pemasya- rakatan di Lapas Klas I Makassar adalah faktor dendam pribadi, faktor pencurian, faktor persaingan antar penghuni dan adanya faktor ketersinggungan. Selain itu, faktor

Fakultas Hukum - UNISAN 97

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

pendidikan, faktor padatnya jumlah penghuni di lembaga pemasyarakatan dan faktor tidak seimbangnya perbandingan antara jumlah petugas dan penghuni lapas, faktor lingkungan juga mempengaruhi warga binaan melakukan kekerasan.

2. Upaya yang dilakukan petugas untuk mencegah kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lapas Klas I Makassar adalah melakukan upaya preventif (upaya pencegahan) melalui kegiatan sosialisasi nilai-nilai hak asasi manusia terhadap petugas pemasyarakatan dan warga binaan pemasyarakatan dan program pemberian Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Bersyarat (CB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), dan pembebasan bersyarat (PB) dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan upaya represif (upaya penindakan) yang dilakukan adalah pemindahan WBP ke sel pengasingan dan pengurangan hak terhadap WBP.

V. SARAN

Peneliti mengajukan saran-saran sebagai berikut :

1. Perlunya kebijakan dari pemerintah untuk memperluas bangunan lapas untuk mengatasi masalah padatnya hunian sehingga dapat mencegah atau mengurangi kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan.

2. Perlunya penambahan personil pengamanan di lembaga pemasyarakatan untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap warga binaan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 1997. Sosiologi Kriminalitas. Remadja Karya, Bandung. Abdul Wahid dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan

Seksual. Pt. Refika Aditama, Bandung. Achmad Ali, 1998. Menguak Tabir Hukum, Edisi Pertama. Pustaka Prima, Jakarta. Adawi Chazami. 2008. Hukum Pidana Bagian I . Raja Grafindo, Jakarta. Afni Carolina. 2005. Perlindungan Hukum Bagi Anak Sebagai Korban Kekerasan

Seksual Dalam Proses Peradilan Pidana. Fakutas Hukum UI, Jakarta. Tesis tidak dipublikasikan.

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2010. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta. A.S. Alam, 2010. Pengantar Kriminologi. Pustaka Refleksi. Makassar.

Arif Gosita. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo, Jakarta. Bambang Purnomo. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan.

Liberty, Yogyakarta. Barda Nawawi Arif. 1991. Upaya Non Penal dalam Kebijakan Penanggulangan

98 Fakultas Hukum - UNISAN

Pencegahan Kekerasan

Didin Sudirman. 2007. Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Depkumham RI, Jakarta.

Dwidja Priyatno. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Refika Aditama, Bandung.

Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Djambatan, Jakarta. Lamintang. 1986. Hukum Penitensier Indonesia. Armico, Bandung. Made Darma Weda. 1996. Kriminologi . PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Muhadar. 2006. Viktimisasi Kejahatan di Bidang Kejahatan Pertanahan. Laksbang Presindo,

Yogyakarta. Mohammad Kamal Darmawan. 1994. Strategi Pencegahan Kejahatan. Citra Aditya Bakti,

Bandung. Muladi. 2002. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Universitas Diponegoro, Semarang. Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga. 1987. Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya. PT.

Pradnya Paramita, Jakarta. Petrus Irwa Pandjaitan. 2008. Pembaharuan Pemikiran Sahardjo Mengenai Pemasyarakatan

Narapidana. Indhill CO, Jakarta. R. Soesilo. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komenter. Politeia,

Bogor. Romli Atmasasmita. 1975. Dari Pemenjaraan ke Pembinaan Narapidana. Alumni, Bandung. Soerjono Dirdjosisworo. 1985. Ruang Lingkup Kriminologi. Remaja Karya, Bandung. Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa. 2007. Kriminologi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Fakultas Hukum - UNISAN 99

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

100 Fakultas Hukum - UNISAN

Perlindungan Hak Masyarakat

PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT NELAYAN DI PULAU KAPOPOSANG KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN

Muh. Nasir

Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo [email protected]

Abstract Customary law communities in Kapoposang Island was not accommodated in

the regulations governing the Regulations Invitation Kapoposan Garden Island and this shows lack of respect and appreciation for indigenous communities. Stipulation Kapoposan Island as a natural park does not provide a sense of fairness and benefits to the community as well as legal certainty means the right of fishing communities do not get protection.

Keywords: Kapoposang island, the right of fishing, protection.

I. PENDAHULUAN

Negara Republik Idonesia yang membentang dari sabang sampai marauke merupakan negara kepulauan yang terdiri atas 17.508 pulau dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer persegi. Menurut Manuputty (1995:69) mengemukakan bahwa dengan konsep wawasan nusantara maka luas daratan mencapai 1,9 juta kilometer persegi sedangkan lautan (termasuk zona ekonomi eklsklusif) sebagaimana diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 diperkirakan luasnya 7,9 kilometer persegi dengan demikian luas kawasan perairan adalah 81 % dari seluruh wilayah tanah air kita. Dengaan luasan kawasan laut dan pesisir yang sedemikian besar dibarengi dengan kekayaan sumberdaya laut yang besar merupakan sumberdaya alam yang perlu dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat manusia. Kekayaan sumber daya alam tersebut sebagaimana deksrsipsi yang dikemukakan oleh Ramadhani (1999 : 151) bahwa beragam jenis biota dan satwa yang hidup dipesisir dan laur antara lain : 800 spesies burung laut, 75 golongan coral reef, 5 species kura- kura, 155 spesies burung laut dan 25 spesies ikan paus dan lumba-lumba jenis dan ragam binatang laut yang tak terhitung serta lahan basa yang sangat produktif. Dan lain-lain oleh karena itu upaya pemberdayaan masyarakat desa pesisir dalam rangka pemanfaatan sumber daya pesisir laut merupakan suatu kemutlakan guna guna mensejahterakan masyarakat bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.

Tanah air Indonesia yang sebagian besar terdiri dari perairan sebagaimana telah dikemukakan mengandung sumber daya laut yang sangat tinggi dan meruapakan karunia Tuhan Yang Maha Esa sejak dahulu kala dimanfaatkan oleh rakyat indonesia secara turun temurun. Dewasa ini sumber daya petani/Nelayan yang sangat besar jumlahnya merupakan modal dasar pembangunan nasional yang sangat penting artinya dalam mencapai tujuan

Fakultas Hukum - UNISAN 101

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

pembangunan asional berdasarkan wawasan nusantara dibidang perikanan harus mampu melindungi hak-hak masyarakat .kegiatan nelayan yang sudah merupakan kultur dari nenek moyang mereka secara turun temurun guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sejalan hal tersebut di atas, keadialn kemamfaatan dan kepastian hukum perlu ditegakkan sehingga masyarakat tidak terpinggirkan yang selama ini menimbulkan kesengsaraan dan kemiskinan, seyogyanya implementasi penggunaan sumber daya alam diperlukan adanya suatu keserasian, hubungan antara manusia dengan manusia ,hubungan manusia dengan alam maupun manusia dengan tuhan yang maha esa.

Landasan konstitusional pemanfaatan sumber daya alam termasuk pengelolaan Taman wisata Alam berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yakni bumi air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Dalam Tap MPR No.IV /MPR/1999 tentang garis-garis besar haluan Negara menghendaki bumi air dan ruang angkasa dan kekayaan alam sehingga terkadung isinya dalam digunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan antara kemakmuran lahiriya dan kemakmuran bathinia. Oleh karena itu dalam Penetapan Taman Wisata Alam Pulau Kapoposan dan Operasionalisasinya wajib melibatkan masyarakaat yang ada dan di sekitar lokasi tersebut,sehingga menghasilkan persepsi yang sama antara pemerintah dan masyarakat tentang tujuan dan manfaat Taman Wisata Alam.

Selain itu, dalam pelaksanaan Taman Wisata Alam perlu diperhatikan hak-hak masyarakat Nelayan harus dilindungi sehingga diperlukan adanya kesamaan dan kerjasama yang baik antara Masyarakat dan Pemewrintah oleh karena itu dalam rangka penetapan kawasan Taman Nasional diperlukan komunikasi yang efektif antara keduanya melalui penyuluhan sehingga menghasilkan persepsi yang sama tentang kawasan taman Wisata Alam serta manfaatnya bagi masyarakat. Hal-Hal yang dikemukakan diatas merupakan manifestasi perlindungan hak-hak masyarakat Nelayan dalam rangka penetapan kawasan Taman wisata alam sebagaimna yang diautr dalam UUD 1945 dan Tap MPR/No.XVII/MPR/1998 tentang hak-hak asasi manusia dan UU Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hal ini ternyata kondisi ideal tersebut belum dapat direalaisasikan dalam pelaksanaan perlindungan hak Ulayat masyarakat tentang penetapan kawasan Taman Wisata Alam.ternyata masyarakat nelayang tidak akan menerima lokasi tersebut sebagai taman wisata alam karena sosialisasi masyarakat belum demokratis sehingga belum adanya kesamaan persepsi mengenaai manfaat dan tujuan dijadikan kawasan Taman Wisata Alam serta kurangnya kontribusi keadaan masyarakat nelayang baik ditinjau dari aspek hukum, sosial dan ekonomi yang mengakibatkan penetapan lokasi taman wisata alam.

Ditinjau dari aspek hukum rencana pelaksanaan penetapan lokasi Taman wisata alam akan terjadi pemindahan warga oleh pemerintah ke tempat yang baruv ,sehingga sebagian penduduk jelas akan menolak dengan pertimbanagan bahwa sudah menjadi kultur mereka hidup sebagai nelayan. Dari aspek Ekonomi bahwa salah satu manfaat kawasan Taman Wisata Alam adalah masuknya investor/Wisatawan asing yang merup;akan pemasukan incam yang

102 Fakultas Hukum - UNISAN

Perlindungan Hak Masyarakat

paling tinggi bagi Pemasukan Anggaran Daerah (PAD) setempat oleh karena itu penelitian melahirkan isu kurangnya perlindungan terhadap hak-hak nelayan yang akan menimbulkan perpindahan penduduk diwilayah tersebut sehingga manfaat dari rencana kawasan Taman wisata Alam tidak dirasakan oleh msyarakat Nelayan di Wilayah Pulau Kapoposang Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Oleh karena itu permasalahn yang hendak dibahas dalam penelitian ini adalah Sejauhmana Hukum Masyarakat adat diakomodasikan dalam Penetapan Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Kapoposang ? dan Sejauhmana Penetapan Tamana Wisata Akam Pulau kapoposang memberikan perlindungan terhadap Hak masyarakat Adat ?

II. METODE PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Pulau Kapoposan Desa Mattiro Ujung Kecamatan

Mattiro Ujung Tupabbiring Kabupaten Pangkajene Kepulauan Propisan Sulawesi Selatan.

2. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah Masyarakat yang berada dalam wilayah pulau

Kapoposang Kabupaten Pangkajene kepulauan dengan jumlah Penduduk 500 Kepala Keluarga. Menurut sanggaribuan dan efendi (1989:149) bahwa dalam suatu penelitian tidak selalu perlu untuk meneliti semua individu dalam populasi, karena disamping menelan biaya yang sangat besar juga membutuhkan waktu lama, dengan penelitian sebagian dari populasi kita mengharapkan bahwa hasil yang diperoleh akan mendapatkan menggambarkan sifat populasi, dan tehnik penarikan sampel secara acak sebesar 10 % dari populasu sebanyak 500 orang. Ditambah imforman dari instansi pemerintah yaitu dinas perikanan dan kelautan kabupaten Pangkep,camat liukang tupabbiring, sebanyak 50 orang

3. Jenis dan Sumber Data Adapun dan jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri sebagai

berikut:

a. Data primer, yakni data dan imformasi yang diperoleh dari resfonden melalui kuesioner;

b. Data sekunder berupa data yang diperoleh dari bahan-bahan dokumentasi yang diperoleh atau bahan tertulis lainyya yang berhubungan dengan materi yang penulis kaji, dan imformassi dari tokoh masyarakaat dan pejabat yang berwenang.

4. Teknik Pengumpulan Data Guna mendapatkan data dipergunakan teknik pengumpulan data yang digunakan

sebagai berikut :

a. Kuesioner suatu alat pengumpulan data,yang berisi daftar pertanyaan secara tertulis yang ditujukan kepada respondeen ,pertanyaan pertanyaan adalah berstruktur dan tak berstruktur.

Fakultas Hukum - UNISAN 103

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

b. Wawancara tehnik pengumpulan data dilakukan secara bebas dalam bentuk tanya jawab dengan responden maupun imforman dengan menggunakan pedoman wawancara yang merupakan instrumen.

5. Analisa Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kuwaltatif dan kwantitatif.

Analisis kualitatif normatif dimaksukkan mendeskripsikan tentang hak-hak masyarakat nelayan terakomodasi dalam peraturan penetapan Taman wisata alam Pulau Kapoposang. sedangkan Analisis Kwantitatif guna menaganalisis hubungan pekasanaan taman wisata nasional dengan perlindungan hak-hak masyarakat. Analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriftif dan inferensial nonfarametrisds analisis statistik deksriptif yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif presentase.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hukum Adat Masyarakat dalam Pengaturan Taman Wisata Alam Pulau Kapoposang Pulau Kapoposang dan Perairan lainnya seluar 50.000 Ha ditetapakab erdasarkan

Surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 588/KPTS/Vi/1996. sebagaai taman wisat alam Pulau Kapoposang. Dasar pertimbangan pulau Kapoposang dijadikan Taman wisata Alam bahwa kupulaun ini dan laut sekitarnya memiliki keanekaragaman sumber daya alam laut yang cukup tinggi ,antara lain berbai jenis terumbu karang, ikan hias ikan karang, penyu dan moluska,sertas panorama bawah laut yang sangat indah .bebrbagai daya tarik tersebut harus dipertahankan ketuhan kelestariannbya agar mampu memberikan peranan dan manfaat bagi kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian dan kebudayaan. Berdasarkan Keputusan menteri stersebut ternyata bahwa penetapan Taman Wisata Alam (TWA) pulau Kapoposang lebih ditipberatkan pada kepentingan ilmu pengetahuan ,penelitian dan kebudayaan seyognya penetapan TWA berpiah kpada masyarakat terutama yang berada dalam kawasan .yang kehidupannya selama ini diatur oleh berbagai pranata hukum adat yang berlaku.

Menurut Jentoft yang dielaborasi oleh saad (2000:60) bahwa dari persfektif hukum dan kelembagaan ,keterlibatan staholders dapat dengan dua cara yakni: 1. Pemerintah secara formal mengakui peraturan informal yang hidup di tengah-tengah masyarakat,baik yang secara tradisional maupun yang dibentuk oleh masyarakat pada zaman sekarang Neotradisonal. 2. Pemerintah menyerahkanebagian wewenangnya dalam implementasi peraturan yang dibuat oleh pemerintah kepada masyarakat.

B. Pelaksanaan Taman Wisata Alam dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Manifestasi perlindungan masyarakat hak-hak adat dalam penelitian ini berfokus pada

sosialisasi dan partisifasi masyarakat dalam rencana serta pelaksanaan Taman Wisata Alam pulaua Kapoposang sebagai perwujudan keadilan dalam masyarakat serta manfaat yang diperoleh sebagaimana teruangkap dalam hasil penelitian dan analisis berikut ini :

104 Fakultas Hukum - UNISAN

Perlindungan Hak Masyarakat

1. Keadilan manifestasi hak menguasai negara dalam menata mengatur peruntukan bumi air dan ruang angkasa wajib dihormati dan dihargai hak-hak masyarakat adat yang memiliki dan menguasai sumber daya alan turun temurun beradab abad lamanya.

2. Kemanfataan peningkatan kesejahteraan dan terpeliharanya hak- hak adat masyarakat pulau kapoposang seyogyanya memberikan mafaat dalam arti dapat meningkatkan kesejahtaeraan masyarakat setempat sebagai weujud perlindungan atas hak-hak masyarakat adat .oleh karena itu diwajibkan adanya sosialisasi secara baik serta pelaksanaan musyawarah sebagai salah satu bentuk partisipasi dalam penetapan wasawan Taman Wisata alam Pulaua Kapoposang.

IV. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Hukum adat masyarakat Pulau Kapoposang tidak diakomodasikan dalam peraturan Menteri Kehutanan Taman Wisata Pulau kapoposang sehingga kondisi ini menunjukkan tidak adanya penghormatan dan penghargaan terhadap hukum adat masyarakat.

2. Penetapan Pulau Kapoposan sebagai taman Wisata Alam tidak memberikan srasa keadilan dan manfaat serta kepastian Hukum bagi masyarakat berarti hak-hak masyarakat nelayang tidak mendapat perlindungan.

V. SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Dalam penyusuan perasturan perundang-undangan sebaiknya pemerintah mengikutsertakan masyarakat dimana sumber daya alam berada, bentuk partisipasi mislanya: membuat rancangan, kemudian minta masukan tanggapan, hal ini perwujudan penghormatan dan penghargaan kepada masyarakat adat.

2. Guna memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat maka dalam penetapan suatu kawasan misalanya kawasan taman nasional, taman wisata alam, sungguh-sungguh memperhatikan pluralisme adat istiadat termasuk hak ulayatnya (hak ulayat laut) dan mensosialisasikan rencana program serta mengikutsertakan masyarakat sejak perencanaan hingga implementasi dalam keseimbangan hak tanpa teror dan intimidasi dan peningkatan kesejahteraan warga masyarakat setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ali. 1998, Menjelajahi Kajian emfiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone, Jakarta. Butar-Buta. 1999, Pengelolaan Pengembangan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan di

daerah Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan lautan, Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Fakultas Hukum - UNISAN 105

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

Dahuri dkk. 1996, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan lautan secara terpady, Pradnya Paramita: Jakarta.

Efenddy, B. 1992, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni: Bandung. H.M.G. Ohorella. 1993. Huikum adat mengenai tanah dan air dipulau Ambon dan

sumbangsinya terhadap Pembangunan Hukum Agraria Nasional. Disertasi: Pacasarjana Unhas.

Kaimuddin Salle, 1999, Kearifan Lingkungan menurut Pasang, Kajian Hukum Lingkungan Adat pada Masyarakat Ammatoa Kajang Kab. Bulukumba. Disertasi: PPS Unhan Makassar.

N.S.Pendit, 1999, Ilmu Pariwisata sebuah Pengantar Perdata PT. Pradya Paramitha: Jakarta. J.P.Rahail 1993, Larwal Ngabai Hukum Adat Kei bertahan menghadapi arus perubahaan

sejati, Jakarta. R.D. Sitepu, 1996, Pengelolaan Sumber Daya wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu,

PT. Pradnya Paramitha: Jakarta. S.Raharjo, 1983, Hukum dan Peruabahan Sosial, Alumni: Bandung. S.Wingjodipuro, 1995, Pengantar dan Azas Hukum Adat, PT. Toko Gunung Mulia: Jakarta. Ter Haar, 1983, Azas-Azas dan Susunan Hukum adat Indonesia Sumur, Bandung. Wahyono dkk, 2000, Hak Ulayat Laut di Kwasan Timut Indonesia, Media Pressindo: Jakarta.

106 Fakultas Hukum - UNISAN

Okupasi Areal Tanah HGU

ANALISIS HUKUM OKUPASI AREAL TANAH HGU PT. BUMI SUMALATA INDAH DI KABUPATEN GORONTALO UTARA

Sumiyati Beddu

Fakultas Hukum Univeritas Ichsan Gorontalo [email protected]

Abstract Causes of occupational communities against land concession area of PT.

Bumi Sumalata Indah in North Gorontalo caused by several factors, namely: Inequality mastery the land between the communities surrounding the plantation land PT. Bumi Sumalata Indah; Derelict by the concession holder with the surrounding community. Furthermore, efforts have been taken the problem of land occupation HGU PT. Bumi Sumalata Indah has yet to achieve

a satisfactory outcome both parties. Keywords: Occupation, land concession, problem of land.

I. PENDAHULUAN

Tanah di seluruh wilayah Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat Indonesia merupakan salah satu unsur utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa Indonesia sepanjang masa, dengan tujuan untuk dipergunakan bagi tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yakni “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal 2 ayat (2) Undang−Undang No. 5 Tahun 1960, yakni memberi wewenang kepada negara untuk:

(1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeli- haraan bumi, air, dan ruang angkasa;

(2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum atau orang-orang dengan bumi air dan ruang angkasa; dan

(3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum atau orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Salah satu Hak Negara atas tanah adalah Hak Guna Usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat 1 UUPA, Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. HGU diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dengan luas minimal 5 hektar dan apabila luasnya lebih dari 25 hektar harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman.

Fakultas Hukum - UNISAN 107

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

Sehubungan dengan Hak Guna Usaha tersebut, maka Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa didaftarkannya sebidang tanah HGU telah memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemilik dan atau pemegang dari hak tersebut. Namun, Pada umumnya masyarakat mengokupasi tanah-tanah hutan belukar yang seringkali mereka tidak tahu menahu tentang adanya hak perkebunan atas tanah yang mereka buka ini. Dalam hal yang demikian itu, mereka bertindak dengan dalih itikad baik (“Tergoeder trouw”), sehingga dalam hal pembukaan semacam itu, sebidang tanah belukar tersebut menjadi hak milik petani yang bersangkutan.

Kenyataan di lapangan bahwa Di Kecamatan Sumalata Kabupaten Gorontalo Utara juga terjadi okupasi oleh masyarakat sekitar terhadap areal Hak Guna Usaha PT. Bumi Sumalata Indah (Persero), didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri cq. Direktur Jenderal Agraria tanggal 06 September 1988 Nomor SK.17/HGU/DA/88 diberikan HGU kepada PTBSI (Persero). Okupasi terhadap PTBSI (Persero), semakin Aktif dilakukan oleh masyarakat pada saat runtuhnya Orde Baru dan memasuki era reformasi sampai sekarang dan masa waktu HGU PTBSI (Persero) akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2013, menunjukkan bidang-bidang tanah HGU tersebut menimbulkan permasalahan oleh berbagai pihak atau masyarakat yang menguasai Hak Guna Usaha disekitar perkebunan.

Terjadinya okupasi tanah secara illegal, termasuk terhadap tanah-tanah perkebunan, pasti akan menimbulkan masalah yang akan merepotkan dan merugikan banyak pihak, sehingga dapat menyebabkan kerugian terhadap perusahaan PT.Sumalata Indah Permai, dikhawatirkan dapat menimbulkan tertundanya proses perpanjangan dan pembaharuan HGU serta dapat melemahkan jaminan keamanan dan kepastian hak bagi pemilik HGU, yang pada gilirannya dapat menimbulkan kerugian secara kolektif bagi pihak-pihak pemilik HGU, investor, dan okupan.

II. PEMBAHASAN

A. Penyebab Terjadinya Okupasi Masyarakat terhadap Areal Tanah HGU PT. Bumi Sumalata Indah (Persero) di Kecamatan Sumalata Kabupaten Gorontalo Utara

Untuk mendefinisikan pengertian okupasi tanah perkebunan, perlu disampaikan pengertian okupasi terlebih dahulu agar didapat pemahaman yang memadai. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 624), okupasi adalah pendudukan, penggunaan atau penempatan tanah-tanah kosong. Menurut Black’s Law Dictionary (dalam Yudi Irwanda, 2006:15), okupasi diartikan: tindakan atau proses di mana benda riil (misalnya tanah) dikuasai dan dinikmati. (Dapat juga dimaknai sebagai suatu tindakan) di mana seseorang menggunakan kendali fisik atas tanah yang pada prinsipnya menyita waktu, pikiran dan energi orang tersebut, terutama (dalam rangka) menjalankan usaha atau pekerjaan rutinnya atau pekerjaan apapun dalam rangka mendapatkan mata pencaharian”.

Pada perkembangan selanjutnya dikatakan bahwa okupasi adalah penguasaan fisik secara liar. Okupasi/pendudukan tanah bertahun-tahun dan terus menerus dapat dijadikan

108 Fakultas Hukum - UNISAN

Okupasi Areal Tanah HGU

sebagai alas hak/bukti hak materiel untuk mendapatkan sesuatu hak atas tanah sejauh hukum yang berlaku dapat mengakui pemilikan atas tanah. Hal itu dikemukakan oleh Corneluys J Moynihan (dalam Yudi Irwanda, 2006:16): “Seisin (dipersamakan artinya dengan okupasi) adalah penguasaan fisik tetapi penguasaan fisik secara liar, yaitu penguasaan fisik (terhadap tanah) oleh freehold estate. Kendati demikian, (seisin) ini lebih dari sekedar possession (penguasaan fisik atas tanah). Karena ini merupakan dasar dari pemilikan sepanjang common law mengakui pemilikan atas tanah”.

Adanya ketimpangan antara keterbatasan sumber daya tanah dengan peningkatan kebutuhan manusia akan tanah merupakan penyebab yang alami terjadinya masalah pertanahan mengenai okupasi di atas lahan HGU PT. Bumi Sumalata Indah (Persero). Selain ketimpangan keadaan tersebut di atas masalah pertanahan mengenai okupasi di atas lahan HGU tersebut juga disebabkan oleh ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dengan tanah non-pertanian, kurangnya keberpihakan kepada masyarakat ekonomi lemah, kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat (hak ulayat) dan lemahnya posisi masyarakat pemegang hak dalam pembebasan tanah.

Okupasi Tanah lahan HGU PT. Bumi Sumalata Indah (Persero) oleh masyarakat disekitar lahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1. Reclaiming Reclaiming adalah adanya penuntutan kembali dari masyarakat dikarenakan tanah-

tanah garapan (areal Tanah HGU) yang pengambil-alihannya tidak memperhatikan sisi- sisi keadilan dan prosedur pemberian ganti kerugian yang tidak jelas. Penuntutan kembali dari masyarakat tersebut didasarkan karena adanya ketimpangan kepemilikan tanah yang dimiliki oleh masyarakat seperti yang dikemukakan oleh para Okupan di perkebunan tersebut menyatakan: “Seluruh lapisan masyarakat termasuk karyawan kebun ikut menggarap seperti di Desa Btulontio Timur Kecamamatan Sumalata dimulai tahun 2002 disebabkan karena kondisi ekonomi yang sangat sulit, rasio lahan pertanian dengan jumlah penduduk sangatlah senjang sebagian besar petani tidak mempunyai lahan garapan untuk bertani dan adanya peluang kondisi perkebunan yang tidak terurus” (Wawancara, 25 November 2012).

Hal ini ditunjukkan dengan kepemilikan tanah oleh masyarakat dengan hanya sebatas untuk tempat tinggal, sedangkan sebagai tempat usaha bertani sangatlah kecil. Jika dibandingkan dengan kepemilikan tanah yang dikuasai oleh PT. Bumi Sumalata Indah + 600 hektar yang terletak di (tiga) Desa yang ada di Kecamatan Sumalata, yaitu Desaa Hutokalo, Desa Bulontio Timur dan Desa Mebongo. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada masyarakat bahwa ”Sebagian besar atau hampir 90 % masyarakat petani penggarap tidak mempunyai lahan garapan di tempat lain”. Hal ini dapat ditinjau bahwa lahan perkebunan yang ada di tiga desa (Hutokalo, Bulontio Timur, dan Mebongo) telah dikuasai oleh pihak pemegang HGU yaitu PT. Bumi Sumalata Indah.

Fakultas Hukum - UNISAN 109

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

2. Ditelantarkan oleh Pemegang HGU Okupasi yang dilakukan masyarakat terhadap tanah lahan HGU PT. Bumi Sumalata

Indah (Persero) salah satu alasannya adalah karena tanah ditelantarkan oleh pemegang HGU. Hal ini didasarkan pada hasil wawancara dengan beberapa orang okupan yang sama-sama mengatakan bahwa meraka menggarap tanah tersebut karena tanah tersebut hanya ditanami pohon kelapa yang jarak tanamnya sekitar 7 sampai dengan 10 meter, sementara diantara tanaman-tanaman pohon kelapa banyak ditumbuhi semak belukar, yang kemudian oleh mereka digarap dan ditamini jagung. Selanjutnya kata mereka bahwa sebagain lahan HGU tidak diurus lagi oleh pemegang HGU dan tidak ada peremajaan terhadap tanaman kelapa yang diperjanjikan pada saat keluar izin HGU, bahkan tidak dikelola lagi dan dibiarkan terlantar tanpa ada tanaman satupun (kelapa) tumbuh diatas tanah tersebut (wawancara, 25 November 2012).

Berdasarkan hasil penelitian diatas bahwa terlantarnya tanah lahan HGU menyebabkan masyarakat disekitar lahan perkebunan PT. Bumi Sumalata Indah (persero) mengokupasi tanah tersebut dengan tujuan memenuhi kebutuhannya. Okupasi yang demikian terjadi karena rakyat butuh akan tanah dan ingin memiliki tanah untuk hak hidupnya maka selama itu pulalah akan terjadi okupasi tanah yang tidak dijaga atau diusahakan dengan baik. Keberadaan PT. Bumi Sumalata Indah tersebut belum keseluruhan mengelola tanah yang dikuasainya, sehingga memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengelola tanah- tanah yang secara yuridis telah mempunyai kekuatan hukum tetap (dikuasai dengan HGU) berdasarkan Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997.

Menurut seorang okupan bahwa areal tanah yang dikelola adalah tanah hak miilik yang dikelola berpuluh-puluh tahun tapi pihak pemegang HGU mengklaim bahwa tanah tersebut masuk sebagai areal lahan HGU (wawancara, 25 November 2012). Selain itu mereka juga menegaskan bahwa tidak ada kejelasan terhadap batas tanah lahan HGU, hal ini dikatakan oleh para okupan tidak ada tanda batas yang terpasang, sehingga kejelasan terhadap penguasaan tanah diklaim oleh masyarakat sekitar adalah tanah dibawah penguasaan mereka.

Kesenjangan penguasaan tanah antara pihak pemegang HGU dan masyarakat sekitar dapat berimbas pada pendudukan tanah secara paksa, hal dapat disimpulkan karena rakyat meyakini bahwa tanah yang digarap dan dikelola adalah milik mereka karena telah diduduki bertahun-tahun lamanya bahkan sudah turun-temurun disamping itu tidak ada kejelasan batas luas lahan HGU yang ditetapkan meyakinkan mereka bahwa tanah itu milik masyarakat. Tanah yang diokupasi oleh masyarakat sekitar merupakan tanah perkebunan milik PT. Bumi Sumalata Indah (Persero). Adapun lokasi yang diokupasi oleh masyarakat sekitar terletak di areal tanaman Kelapa dengan di tanami jagung. Masyarakat sekitar mengokupasi di areal tanaman kelapa karena pada areal kelapa tersebut terdapat lahan yang kosong diantara sela- sela pohon kelapa tersebut.

Meskipun masyarakat melakukan okupasi dengan menanami jagung di areal perkebunan tapi masyarakat pada dasarnya tidak merusak tanaman kelapa tersebut. Bahkan

110 Fakultas Hukum - UNISAN

Okupasi Areal Tanah HGU

dapat dikatakan masyarakat memelihara tanaman kelapa dengan cara membersihkan rumput- rumput yang ada sekitar pohon kelapa dan sekaligus memberikan pupuk serta penyemprotan peptisida, meskipun tujuan utama masyarakat bukan dalam rangka memelihara tanaman kelapa tetapi dalam pemeliharaan tanaman Jagung. Berdasarkan fakta tersebut secara langsung tanaman kelapa terkena dampak pemeliharaan yang dilakukan masyarakat.

B. Upaya Penyelesaian Masalah Okupasi Masyarakat di Areal Tanah HGU PT. Bumi Sumalata Indah (Persero) di Kecamatan Sumalata Kabupaten Gorontalo Utara

Pertambahan jumlah penduduk yang cukup pesat akan mengakibatkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat sedangkan persediaan tanah terbatas. Hal ini dapat menyebabkan rakyat melakukan okupasi terhadap tanah perkebunan. Sehingga mendorong pemerintah untuk segera mengambil kebijaksanaan dengan diberlakukannya UU Nomor 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya, menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana (Pasal 2 dan 6), tetapi tidaklah selalu harus dilakukan tuntutan pidana. Menurut Pasal 3 dan 5 dapat diadakan penyelesaian secara lain dengan mengingat kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan rencana peruntukan serta penggunaan tanah yang bersangkutan. Untuk mengatasi dan menyelesaikan soal okupasi ilegal tersebut harus disesuaikan dengan keadaan dan keperluannya, serta mengingat faktor tempat, waktu, keadaan tanah dan pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya rakyat yang mendudukinya dapat dipindahkan ke tempat lain atau jika dipandang perlu dapat pula diadakan pengosongan dengan paksa (Boedi Hasono, 2003: 114).

Selanjutnya, Sudargo Gautama (dalam Yudi Irwanda, 2005: 28) mengatakan bahwa pengosongan hanya dapat diminta apabila tanah yang bersangkutan telah dibuka atau dipakai bertentangan dengan ketentuan yang dikenal dalam hukum adat atau peraturan tentang pembukaan dan pemakaian tanah. Pihak perkebunan tidak dapat sesuka hatinya saja mengadakan pengosongan terhadap mereka kecuali dapat membuktikan bahwa pihak okupan telah melakukan pembukaan tanah yang bertentangan dengan ketentuan hukum adat atau peraturan tentang pembukaan dan pemakaian tanah atau para okupan mengetahui sejak semula tanah yang dipakai itu adalah termasuk persil perkebunan, misalnya terdapat tanda batas.

Pemerintah sangat berhati-hati dalam menetapkan suatu pemilikan atas tanah termasuk tanah-tanah perkebunan. Kesulitan timbul karena pada umumnya tanah-tanah perkebunan yang luas tidak dipagari atau lain-lain yang menunjukkan batas yang nyata. Seperti diketahui bahwa perkebunan besar di Indonesia umumnya dilakukan atas tanah-tanah bekas erpacht atau konsesi oleh pemerintah Hindia Belanda yang sangat luas. Jadi, untuk membuat pagar sekeliling areal perkebunan adalah hal yang sangat sukar dilaksanakan mengingat biaya yang sangat besar. Ahmad Sodiki (1994:282) mengatakan bahwa perintah pengosongan dapat diambil sebagai bentuk penyelesaian pemakaian tanah yang bukan perkebunan/kehutanan

Fakultas Hukum - UNISAN 111

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

tanpa ijin yang berhak atau kuasanya tanpa keputusan pengadilan. Namun tidaklah dapat berlaku demikian untuk tanah perkebunan/kehutanan, jalan damai tetap digunakan pada UU No. 51/Prp/1960 yaitu upaya perdamaian yang harus ditempuh terlebih dahulu sebelum diterapkan ketentuan yang sebenarnya.

Penggarapan tanah secara tidak sah (okupasi illegal) akan menjadi masalah yang rumit bila terjadi dalam waktu yang cukup lama. Upaya menyelesaikan okupasi harus

memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi penggunaan tanah dan keadilan serta tidak dapat dilakukan melalui jalur hukum atau pendekatan keamanan semata, melainkan juga harus

diusahakan adanya perdamaian. Upaya-upaya lain untuk menangani masalah okupasi tanah- tanah perkebunan sebaiknya dilakukan melalui program landreform (redistribusi/ konsolidasi tanah). Menurut Parlindungan, A.P. (1981: 164) yang mengatakan:

Sengketa mengenai tanah perkebunan tidak akan berakhir selama tidak dikaitkan dengan ketentuan landreform serta ditiadakannya kemungkinan spekulasi dengan administrasi dan pendaftaran yang mantap bukan hanya dengan SIM (Surat Ijin Menggarap) saja tetapi dengan pemberian sertipikat tanah sehingga benar-benar diukur dan didaftar oleh kantor pendaftaran tanah selaku instansi yang berwenang bukan instansi lain.

Hal yang sama menurut Sumardjono, Maria S.W (2007: 51); Program landreform sebagai strategi untuk menyelesaikan masalah okupasi. Karena

pelaksanaan landreform bertujuan untuk mencapai keadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah, serta memberdayakan petani dengan mewujudkan akses terhadap lapangan kerja, yang dijamin dengan akses terhadap modal dan pasar produksi.

Sedangkan menurut Arie Sukanti Hutagalung (1985: 3) yang mengatakan: Landreform dipandang sebagai penyelesaian yang baik untuk menyelesaikan masalah

okupasi. Karena pelaksanaan landreform bertujuan untuk mencapai pemerataan distribusi sumber-sumber kehidupan diantara para petani, terutama tanah, dalam rangka mencapai pemerataan pembagian hasil produksi nasional guna terciptanya keadilan sosial dan kenaikan hasil produksi di bidang pertanian.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa upaya penyelesaian permasalahan tanah-tanah perkebunan sebaiknya diarahkan melalui program landreform. Pelaksanaan landreform bertujuan untuk mencapai pemerataan distribusi sumber-sumber kehidupan diantara para petani, terutama tanah, dalam rangka mencapai pemerataan pembagian hasil produksi nasional guna terciptanya keadilan sosial dan kenaikan hasil produksi nasional di bidang pertanian.

Upaya yang dilakukan dalam penyelesaian di areal PT. Bumi Sumalata Indah (Persero) dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Pelarangan Secara Lisan Di areal PT. Bumi Sumalata Indah (Persero) bahwa okupasi besar-besaran tanpa

ijin atas area ini terjadi mulai tahun 2000. Untuk mengatasi okupasi pada tahap ini, Pihak perkebunan melakukan pelarangan secara lisan kepada masyarakat yang melakukan okupasi.

112 Fakultas Hukum - UNISAN

Okupasi Areal Tanah HGU

Pelarangan tersebut dilakukan dengan cara memerintahkan karyawan perkebunan untuk datang ke lokasi okupasi, kemudian melarang okupan melanjutkan okupasi yang dilakukannya. Okupan menanggapi dingin larangan yang disampaikan karyawan perkebunan. Ketika karyawan tersebut sedang berada di lokasi okupasi, memang kegiatan okupasi dihentikan. Namun ketika karyawan tersebut telah meninggalkan lokasi, okupasi tetap dilakukan. Setelah usaha pelarangan secara lisan melalui karyawan perkebunan tidak berhasil, ditempuh upaya pelarangan lisan dengan bantuan aparat polisi, yakni dari Kepolisian Sektor Sumalata. Sama saja dengan karyawan perkebunan, aparat dari kepolisian inipun secara lisan melarang okupasi yang dilakukan masyarakat. Pelarangan oleh aparat kepolisian ini tidak dapat dilakukan setiap waktu, Pada perkembangan berikutnya, okupasi liar ini semakin intensif dilakukan oleh masyarakat karena tidak ada tindak lanjut dari upaya pelarangan lisan tersebut sampai dengan tahun 2009. Pada tahun 2009, upaya penyelesaian okupasi ini mengalami babak baru, yang secara rinci akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini.

2. Musyawarah Intern antara Pihak PT. Bumi Sumalata Indah dengan Okupan Difasilitasi oleh Camat Sumalata

Setelah pelarangan secara lisan tidak berhasil, pihak perkebunan menempuh upaya musyawarah secara langsung dengan perwakilan okupan liar dengan difasilitasi Camat Sumalata untuk menghentikan okupasi tersebut. Musyawarah tersebut dilakukan pada tanggal

13 Desember 2009, bertempat di Aula BPU Desa Bulontio Timur Kecamatan Sumalata. Pada musyawarah ini, pihak perkebunan diwakili oleh Manajer PT. Bumi Sumalata Indah (Persero) Drs. Baharudin La Mohamad, sementara pihak okupan diwakili oleh 50 (Lima Puluh) orang perwakilan. Musyawarah ini difasilitasi oleh Camat Sumalata, Agus Maliki, S.Pd. Pada musyawarah ini, okupan secara tegas menolak untut menghentikan okupasi tersebut dengan alasan desakan ekonomi. Menanggapi sikap okupan ini, secara lisan perwakilan PT. Bumi Sumalata Indah (Persero) menyatakan bahwa okupasi tersebut akan dilegalkan melalui sistem pinjam pakai lahan, meliputi area seluas ± 300 Ha. Hal ini berarti area okupasi akan ditertibkan dan luasan okupasi akan dibatasi. Musyawarah ini berakhir tanpa ada kesepakatan di antara kedua pihak. Pada perkembangan berikutnya, rencana legalisasi okupasi tersebut tidak pernah direalisasikan sehingga okupan terus membuka area perkebunan tanpa kontrol sampai tahun 2012. Upaya kedua ini dianggap tidak berhasil.

3. Musyawarah Lanjutan Antara PT. Bumi Sumalata Indah dengan Okupan Difasilitasi oleh Camat Sumalata.

Musyawarah kedua ini dilaksanakan di BPU Desa Bulontio Timur pada tanggal 8 April 2012. Musyawarah ini dihadiri oleh para okupan, perwakilan dari DPRD Kabupataen Gorontalo Utara yaitu Komisi A, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Gorontalo Utara, Manajer PT. Bumi Sumalata Indah, Perwakilan dari Dinas Perkebunan Kabupaten Gorontalo Utara. Pada musyawarah ini, okupan meminta pihak perkebunan segera melegalkan okupasi yang telah dilakukan dengan menerbitkan hak guna pakai. Pihak perkebunan berkeberatan

Fakultas Hukum - UNISAN 113

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013

dengan permintaan okupan ini, dan meminta okupan segera meninggalkan areal perkebunan yang diokupasi. Musyawarah ini berakhir tanpa ada kesepakatan di antara kedua pihak. Upaya penyelesaian permasalahan okupasi tersebut hanya sampai pada langkah ini. Belum pernah diadakan upaya penyelesaian melalui jalur hukum.

III. PENUTUP

Berdasarkan analisis pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Penyebab terjadinya okupasi masyarakat terhadap areal tanah HGU PT. Bumi Sumalata Indah (Persero) di Kecamatan Sumalata Kabupaten Gorontalo Utara disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1). Ketimpangan penguasaan (Reclaiming) tanah antara masyarakat sekitar dengan tanah Perkebunan PT. Bumi Sumalata Indah (Persero); (2). Ditelentarkan oleh Pemegang HGU.

2. Upaya yang telah dilakukan dalam penyelesaian permasalahan okupasi tanah HGU PT. Bumi Sumalata Indah (Persero) yakni : (1). pelarangan secara lisan, (2). musyawarah intern serta musyawarah lanjutan antara pihak PT. Bumi Sumalata indah dengan Okupan dengan difasilitasi oleh Camat Sumalata, sampai saat ini belum mencapai hasil yang memuaskan kedua belak pihak.

DAFTAR PUSTAKA

A.A. Oka Mahendra. Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat yang Berkeadilan Sosial Dalam Kebijaksanaan Pembangunan Pertanahan. disampaikan pada Simposium Bidang Pertanahan, DPP Golkar 11-14 September 1990

Ahmad Sodiki. 1994. Penataan Pemilikan Hak Atas Tanah di Daerah Perkebunan Kabupaten Malang. Disertasi Universitas Airlangga, Surabaya.

Arie Sukanti Hutagalung. 1985. Program Redistribusi Tanah di Indonesia Suatu Sarana Ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan dan Pemilikan Tanah. Penerbit CV. Rajawali, Jakarta.

Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia :Sejarah pembentukan Undang-Undang pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Djambatan, Jakarta.

Budi Agustono, dkk. 1997. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia vs PTPN, Penerbit Wahana Informasi Masyarakat-Medan bekerjasama dengan AKA TIGA-Bandung.

Boedi Harsono. 1994. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta.

Chadidjah Dalimunthe. 1994. Suatu Tinjauan Tentang Pemberian Hak Guna Usaha Dalam Rangka Penanaman Modal Asing, Medan. Masri Singarimbun dan Soffian Efendi. 1995. Metode Penelitian Survey. Penerbit LP3S,

Jakarta.

114 Fakultas Hukum - UNISAN

Okupasi Areal Tanah HGU

Mubyarto, dkk. 1991. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan, Kajian Sosial Ekonomi. Penerbit Aditya Media, Yogyakarta.

Oloan Sitorus. 2004. Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah. Mitra Kebijakan Tanah, Yogyakarta.

Parlindungan, AP. 1981. Kapita Selekta Hukum Agraria. Penerbit Alumni, Bandung. Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiarto. 1997. Komentar atas Peraturan-Peraturan

Undang-Undang Pokok Agraria (1996) tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, Hak Tanggungan, Rumah Tinggal untuk Orang Asing dan Rumah Susun. Citra Aditya, Bandung.

Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi V, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Sumardjono, Maria S.W. 1982. Tinjauan Kasus Beberapa Masalah Tanah. Penerbit Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

Syamsuddin Pasamai. 2007. Metodologi Penelitian Dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum, Suatu Pengetahuan Praktis . PT. Umitoha Ukhuwah Grafika, Makassar.

Tampil Anshari Siregar. 2005. Mempertahankan Hak Atas Tanah. FH. USU Medan. Yudi Irwanda. 2006, Okupasi Areal Hak Guna Usaha PT. Perkebunan Nusantara (PTPN)

III (Persero) Kebun Bangun di Kota Pematangsiantar, Skripsi STPN, Yogyakarta.

Fakultas Hukum - UNISAN 115

Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013