PERSONA NON GRATA DALAM PRAKTIK HUKUM IN
JURNAL HUKUM JUSTITIA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO
Penasehat : Dekan Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo
Penanggung Jawab
: Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Ichsan
Gorontalo
Pemimpin Redaksi
: Rafika Nur
Dewan Redaksi
: Marwan Djafar
Asdar Arti Muh. Nasir
Alamsyah Djamaris Machmud
Redaktur Pelaksana : Kingdom Makkulawusar Sekretaris Redaktur : Hijrah Lahaling
Darmawati
Mitra Bestari
: Johan Jassin (Universitas Negeri Gorontalo)
Iin Karita Sakharina (Universitas Hasanuddin) Samsul Halim (Universitas Muhammadiyah Palu)
Desain Grafis & Layout : Ahsan Yunus Distribusi & Pemasaran : Nur Insani
Zubair S. Mooduto
Alamat Redaksi
: Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo
Jl. Raden Saleh No. 17, Kota Gorontalo, 96115 Telp/Fax : (0435) 829975 / (0435) 829976 E-mail
Website
: http://www.fakultashukumunisan.ac.id
JURNAL HUKUM JUSTITIA
Jurnal ilmiah yang diterbitkan secara berkala oleh Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. Terbit tiap bulan Maret dan September. Harga Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah),
ii Fakultas Hukum - UNISAN
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013
E DITORIAL
Pembaca yang budiman, Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa dan yang telah memberikan kami
kekuatan, kesempatan, dan karunia yang begitu besar sehingga penerbitan jurnal hukum “JUSTITIA” Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. Volume I Nomor
1 September 2013 dapat terlaksana dengan baik, merupakan suatu langkah progresif yang digagas oleh Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo untuk melahirkan suatu jurnal ilmiah yang sekaligus dimaksudkan untuk mengisi kekosongan ruang ekspresi ilmiah khususnya isu-isu yang berhubungan dengan perkembangan ilmu hukum secara umum, baik itu dalam aspek perdata, pidana, tata negara, administrasi negara, maupun isu-isu internasional.
Volume I Nomor 1 September 2013 menghadirkan beberapa penulis yang memiliki kepakaran di bidang masing-masing. Kadarudin menulis tentang isu hukum internasional yang baru-baru ini terjadi pada tahun 2013, khususnya dibidang hukum diplomatik dan konsuler, yaitu masalah persona non grata yang sering terjadi pada praktik di banyak negara anggota PBB.
Selanjutnya Muslim Lobubun, Iryana Anwar, Rafika Nur, Albert Pede, Zubair S. Mooduto, dan Darmawati menguraikan isu-isu hukum yang saat ini sedang terjadi di Indonesia khususnya di area hukum pidana, yang terkait dengan pelacuran / prostitusi anak, penyalahgnaan izin keimigrasian, penyitaan minuman beralkohol, pemanfaatan teknologi informasi dalam proses pembuktian pidana, dan pencegahan kekerasan terhadap warga binaan di lembaga pemasyarakatan.
Kemudian Muh. Nasir dan Sumiyati Beddu menguraikan isu hukum tentang perlindungan hak masyarakat nelayan dan okupasi areal tanah HGU. Kedua isu dimaksud memiliki concern yang sama penting di bidang hukum tata negara, apalagi kedua topik tersebut dilengkapi dengan uraian kasus.
Semoga berbagai isu-isu ilmu hukum yang tersaji baik itu isu hukum internasional, hukum pidana, dan hukum tata negara dalam Volume pertama ini, akan memberikan sebuah bentuk pencerahan baru yang bermanfaat bagi semua kalangan yang intens dan fokus mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan ilmu hukum yang terus berkembang dewasa ini.
Selamat membaca.
Redaksi
iv Fakultas Hukum - UNISAN
Persona Non Grata
PERSONA NON GRATA DALAM PRAKTIK HUKUM INTERNASIONAL
Kadarudin
Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin [email protected]
Abstract Persona non grata literally meaning “an unwelcome person”, refers to
a foreign person whose entering or remaining in a particular country is prohibited by that country’s government. It is the most serious form of censure which one country can apply to foreign diplomats, who are otherwise protected by diplomatic immunity from arrest and other normal kinds of prosecution.
Keywords: persona non grata, diplomats, immunity
I. PENDAHULUAN
Setiap negara dalam melakukan hubungan antara satu sama lain (negara dengan negara) salah satunya dapat dilakukan dengan saling menukar perwakilan diplomatik dari masing-masing negara, hubungan dengan saling menukar perwakilan (utusan) diplomatik tersebut dinamakan hubungan diplomati. Para wakil negara dalam menjalankan tugasnya mengemban misi-misi diplomatik dari negara yang ia wakili. Oleh karena itu, wakil-wakil dari suatu negara di negara tempatnya dikirim mendapatkan hak-hak istimewa karena ia bukanlah orang biasa, namun sebagai representasi dari negara dimana tempat ia wakili. Jadi penting kiranya bagi suatu negara dalam melakukan hubungan diplomatik mendapatkan pengakuan dari negara lain dimana ia akan melakukan kerjasama tersebut.
Pengakuan merupakan pernyataan dari suatu negara yang mengakui suatu negara lain sebagai subjek hukum internasional. Pengakuan berarti bahwa selanjutnya antara negara yang mengakui dan negara yang diakui terdapat hubungan sederajat dan dapat mengadakan segala macam hubungan kerja antar satu sama lain untuk mencapai tujuan nasional masing- masing yang diatur oleh ketentuan-ketentuan Hukum Internasional. Pengakuan juga berarti menerima suatu negara baru ke dalam masyarakat Internasional (Boer Mauna, 2005:65). Oleh karenanya, pengakuan merupakan hal yang mutlak bagi syarat berdirinya suatu negara, selain itu juga negara-negara dapat melakukan hubungan antara satu sama lain dengan baik jika antar negara tersebut saling mengakui.
Suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai subyek hukum tanpa adanya pengakuan. Pengakuan ini memungkinkan negara baru untuk mengadakan hubungan-hubungan resmi dengan negara-negara lain, dan dengan subyek Hukum Internasional lainnya. Sebuah negara menggunakan media diplomasi sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Setiap negara memiliki kepentingan nasional yang berbeda-beda, dalam pencapaian kepentingan
Fakultas Hukum - UNISAN 1
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013
tersebut terkadang menimbulkan konflik antara dua negara. Media diplomasi dapat digunakan untuk meredakan konflik yang terjadi antara negara-negara yang sedang berselisih, yakni
dengan menggunakan sarana lobbying dan bargaining. Namun apabila cara tersebut tidak berhasil maka dibutuhkan manajemen perubahan, melalui alternatif-alternatif lain yang tujuannya untuk mencapai kepentingan nasional (Huala Adolf, 2002:49). Jadi pengakuan adalah sangat penting adanya sebelum melakukan hubungan antar sesama subjek hukum internasional khususnya hubungan antara negara dengan negara.
Selain pengakuan, juga dibutuhkan sebuah wilayah, pemerintahan, dan kumpulan dari orang-orang yang merasa sebagai suatu kesatuan, kesatuan inilah yang kemudian disebut masyarakat atau negara (Soehino, 1980:17). Dari pengertian yang disampaikan, dapat diketahui bahwa suatu negara ada karena hubungan manusia dengan sesamanya karena manusia menyadari tidak dapat hidup secara sendiri-sendiri dalam pemenuhan kebutuhannya, atau berdasarkan doktrin yang diajarkan oleh Aristoteles biasa kita kenal dengan istilah zoon political. Menurut Thomas Hobbes bahwa negara adalah suatu tubuh yang dibuat oleh orang banyak beramai-ramai, yang masing-masing berjanji akan memakainya menjadi alat untuk keamanan dan pelindungan mereka (Samidjo, 1996:29). Negara sebagai salah satu subjek hukum internasional (I Wayan Parthiana, 1990:59), selain organisasi internasional, palang merah internasional, vatikan, kaum belegerensi, dan individu (F. Sugeng Istanto, 1998:17) menjadi sangat penting keberadaannya dalam tatanan pergaulan masyarakat dunia. Jadi secara historis lahirnya suatu negara merupakan sebuah kebutuhan yang dipahami oleh setiap seorang, salah satunya adalah sebagai wadah untuk bersosialisasi dan perlindungan bagi dirinya, keluarganya, dan sesamanya.
Hal terpenting dalam hubungan suatu negara dengan negara lain tergantung pada tatanan dunia yang selalu berubah. Oleh karena itu, sarana diplomasi yang digunakan negara juga ikut mengalami transformasi untuk mewujudkan kepentingan nasional. Berdasarkan kondisi nyata dan globalisasi, pelaksanaan diplomasi disesuaikan dengan tuntutan Internasional merupakan keharusan sebagai upaya agar dapat menyesuaikan diri dengan segala perubahan baik perubahan politik dan isu-isu Internasional. Dengan adanya kepiawaian seorang diplomat dalam mengelola dan memahami perubahan situasi global secara kekinian, maka akan memudahkan pencapaian tujuan dan kepentingan nasional negaranya (S.L. Roy, 1995:3). Pelaksanaan diplomasi yang semakin kompleks menjadikan negara dituntut untuk mengirimkan orang-orang terbaiknya sebagai wakil dari negaranya di negara lain, Karena tanpa orang atau wakil terbaiknya yang dijadikan diplomat negaranya di negara lain maka niscaya misi-misi diplomatik negaranya sukar untuk tercapai sesuai dengan tujuan dari negara tersebut.
Dari pernyataan tersebut menggambarkan bahwa media diplomasi dapat mengalami perubahan yang disesuaikan oleh kebutuhan suatu negara, yakni dari diplomasi dengan cara damai dapat berubah menggunakan kekerasan, seperti halnya ancaman dan tindakan tegas untuk menekan negara lain. Adanya perubahan sarana diplomasi dikarenakan antara dua
2 Fakultas Hukum - UNISAN
Persona Non Grata
negara yang berselisih tidak memiliki trust (kepercayaan), respect (rasa saling menghormati) dan keselarasan, sehingga sarana diplomasi melalui alternatif tindakan tegas dan ancaman dapat dipakai untuk membuat kesepahaman bersama (Eric, 2013:3). Rasa tidak saling percaya
dan saling menghormati itulah yang kemudian menjadi cikal-bakal terjadinya konflik, baik itu konflik kecil maupun konflik besar yang dapat merusak keharmonisan hubungan diplomatik
antar negara-negara di dunia Salah satu bentuk dari penggunaan tindakan tegas dan ancaman yaitu dengan
melakukan penangguhan hubungan diplomatik antara negara satu dengan negara lain. Itu dilakukan karena dua negara bersikeras untuk mempertahankan argumennya. Penangguhan hubungan diplomatik biasanya terjadi akibat penolakan untuk memberikan pengakuan yang sah terhadap wilayah suatu negara (Sukawarsini Djelantik, 2008:86). Wilayah suatu negara merupakan salah satu unsur penting dari suatu negara, oleh karena itu tanpa wilayah maka tidak ada yang namanya negara, karena tidak mungkin ada negara tanpa adanya wilayah. Wilayah dari suatu negara awalnya memang tidak ada masalah, namun batas-batas wilayah
dari suatu negara yang sangat berpotensi terjadinya konflik, konflik tersebut terjadi di wilayah perbatasan dari masing-masing Negara, khususnya wilayah lautan yang penjagaannya relatif
lebih lengang dibandingkan penjagaan yang ada di wilayah perbatasan bagian darat. Negara sebagai pribadi hukum internasional harus memiliki syarat-syarat berikut :
penduduk tetap, wilayah yang tertentu; pemerintah; kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain (J.G. Starke, 2003:127). Unsur wilayah adalah merupakan unsur negara dengan syarat bahwa kekuasaan negara yang bersangkutan harus secara efektif diseluruh wilayah negara yang bersangkutan. Hal ini berarti didalam wilayah tersebut tidak boleh ada kekuasaan lain selain kekusaan negara yang bersangkutan (Max Boli Sobun, 1994:16). Dalam sengketa-sengketa wilayah perbatasan, maka peran seorang diplomat sangat dibutuhkan
bagi negara-negara yang sedang bersengketa (berkonflik), karena peran diplomatlah yang diperankan sebagai representasi (perpanjangan tangan) dari negara yang diwakilinya,
sehingga sengketa tersebut dapat selesai. Oleh karena itu peran diplomat menjadi semakin sentral ketika suatu negara yang di wakilinya berkonflik dengan negara tempat dimana ia bertugas, jadi diplomat haruslah orang-orang pilihan (terbaik) dari setiap negara, agar misi-
misi diplomatik negara yang ia emban dapat dilaksanakan secara baik. Keterwakilan negara yang dianggap suci (sancti habentur legati) tersebut memang
sudah merupakan ungkapan yang sudah lama sekali yang kemudian menjiwai prinsip tidak diganggu gugatnya misi diplomatik (L. Dembinski, 1988:163). Pemberian hak-hak tersebut di dasarkan atas asas timbale balik (the principle of reciprocity) antarnegara dan mutlak diperlukan dalam rangka mengembangkan permasalahan antarnegara tanpa mempertimbangkan system ketatanegaraan dan sistem sosial mereka yang berbeda. Disamping itu, pemberian kekebalan dan keistimewaan itu bukanlah untuk kepentingan perseorangan melainkan guna menjamin
terlaksananya tugas para pejabat diplomatic secara efisien terutama tugas dari negara yang di wakilinya. Kekebalan dan keistimewaan diplomatik ini dinikmati tidak saja oleh kepala-
Fakultas Hukum - UNISAN 3
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013
kepala perwkilan (termasuk para staf perwakilannya), tetapi juga para keluarganya yang tinggal bersama mereka. Kemudian pada pertengahan abad ke-18 aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai diperluas terhadap gedung perwakilan, segala miliknya termasuk bebas berkomunikasi bagi para diplomatnya (Sumaryo Suryokusumo, 2005:101-102).
Gedung yang dipakai oleh suatu perwakilan baik milik negara penerima maupun yang di sewa dari perorangan biasanya di anggap tidak dapat diganggu gugat oleh para penguasa negara penerima serta dibebaskan dari perpajakan, kecuali pajak-pajak dalam bentuk biaya pelayanan khusus seperti tarif air (Dehaussy, 1956:597). Demikian juga arsip perwakilan dan sejenisnya di anggap tidak dapat diganggu gugat. Dalam pertengahan abad ke-18, hukum kebiasaan internasional telah menggariskan secara luas mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi para diplomatnya, milik-miliknya, gedung perwakilan, termasuk komunikasinya. Menurut ketentuan di dalam Konvensi Wina 1961, kekebalan dan keistimewaan itu diberi bukan saja kepada duta besar, tetapi juga anggota staf diplomatik. Bahkan dalam beberapa hal dapat diberikan pada anggota staf administrasi dan tekhnis, yaitu yang dipekerjakan sebagai pelayanan administrasi dan tekhnis serta anggota staf pelayanan yang mengerjakan pelayanan domestik dari perwakilan asing tersebut, termasuk kepada pembantu pribadi, yaitu seorang yang mengerjakan pelayanan-pelayanan domestik pada anggota perwakilan tetapi bukan pegawai dari negara penerima. Kekebalan yang diberikan kepada staf teknik dan administratif, staf pelayanan dan pembantu pribadi bergantung kepada apakah mereka itu warga negara pengirim atau negara penerima. Jika warga negara dari negara penerima kekebalan mereka sangat dibatasi (Grant V. Mc. Clanahan, 1989:55). Baik duta besar maupun anggota staf diplomatic tidak dapat diganggu gugat dalam arti mereka tidak dapat dikenakan penahanan dalam bentuk apapun (Sumaryo Suryokusumo, 2005:102-104).
Negara penerima haruslah memperlakukan mereka “dengan segala hormat” dan “mengambil langkah-langkah seperlunya guna mencegah timbulnya setiap serangan baik terhadap orang-perorangan, kemerdekaan maupun kehormatannya”. Rumah tempat tinggal para diplomat yang kedudukannya juga sebagai gedung perwakilan sesuatu negara tidak dapat diganggu gugat dan harus di lindungi. Ini berarti bahwa rumah kediaman maupun gedung perwakilannya tidak dapat dimasuki oleh pegawai maupun alat negara-negara setempat, kecuali dengan izin dari duta besar atau kepala perwakilan (Pasal 29 dan 30 Konvensi Wina 1961). Para diplomat juga menikmati sepenuhnya kekebalan terhadap yurisdiksi pidana (kriminal) dari negara penerima. Dengan beberapa pengecualian, kekebalan terhadap yurisdiksi perdata dan administrasi juga diberikan oleh negara penerima, tetapi bukan kekebalan dari yurisdiksi negara pengirim (Pasal 31 dan 32 ayat 3 Konvensi Wina 1961).
Kekebalan juga diberikan kepada anggota keluarga para diplomat yang tinggal bersama kecuali mereka yang berwarga setempat. Bagi anggota staf teknik dan administratif, termasuk keluarga yang tinggal bersama dengan mereka walaupun menikmati kekebalan, tidak diberikan kekebalan terhadap yurisdiksi perdata maupun administrasi seperti tersebut
4 Fakultas Hukum - UNISAN
Persona Non Grata
dalam Pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina 1961. Disamping itu, mereka ini tidak sebagaimana para diplomat lainnya, hanya diberikan satu kali kemudahan untuk mengimpor barang-barang keperluan pribadi dan rumah tangga pada waktu tiba di negara penerima untuk memulai tugasnya di perwakilan negaranya sebagaimana termuat dalam Pasal 36 ayat 1 Konvensi Wina 1961 (Sumaryo Suryokusumo, 2005:104-105).
Namun dalam praktiknya, banyak diplomat yang kemudian diusir (Persona Non Grata) oleh negara tempat dimana ia bertugas, karena alasan-alasan tertentu yang sudah diatur dalam aturan hukum internasional sebenarnya sah-sah saja seorang diplomat diusir, namun yang kemudian menjadi masalah apabila negara tempat dimana diplomat itu diutus kemudian tidak menerima secara baik aksi pengusiran yang dilakukan oleh negara mitranya
dalam berdiplomasi. Bahkan bisa menjadi konflik yang sangat rumit ketika negara tempat pengirim diplomat tersebut melakukan aksi balasan tanpa adanya alasan yang sah menurut
hukum internasional maupun nasional yang dilanggar oleh diplomat negara lain yang bertugas di negaranya. Jadi diplomat memegang peranan sentral bagi negara yang mengirimnya dalam menjaga hubungan baik dalam berdiplomasi antar negara, ketika seorang diplomat diusir, maka seketika itu pula kewibawaan negara tempat diplomat tersebut ditugaskan menjadi terusik. Permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Apakah yang dimaksud dengan persona non grata dalam praktek hukum internasional? Bagaimanakah gambaran kasus persona non grata dalam praktek hukum internasional?
II. PEMBAHASAN
A. Persona Non Grata dalam Praktik Hukum Internasional Kerjasama antar negara saat ini sudah tidak dapat lagi dihindarkan. Bentuk kehidupan
yang kompleks sangat rentan untuk terjadi perselisihan. Untuk menghindari agar perselisihan tidak terjadi, maka masyarakat internasional harus senantiasa bertumpu pada norma atau aturan. Aturan tersebut tidak hanya dibuat untuk menghindari perselisihan, akan tetapi juga untuk menertibkan, mengatur, dan memelihara hubungan antar negara. Perwujudan kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional (Birkah Latif dan Kadarudin, 2013:61). Perjanjian internasional inilah yang kemudian disepakati oleh negara-negara untuk dijadikan dasar atau aturan dalam melakukan hubungan antar negara.
Hukum Diplomatik, secara tradisional digunakan untuk merujuk norma-norma dalam Hukum Intemasional yang mengatur tentang kedudukan dan fungsi misi diplomatik yang ditentukan oleh negara-negara yang telah membina Hubungan Diplomatik (L. Dembinski, 1988:1). Salah satu dari sekian sumber Hukum Diplomatik yang dikenal, adalah Perjanjian Internasional, dalam hal ini Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Pasal 3 konvensi tersebut menyatakan bahwa salah satu tugas perwakilan diplomatik adalah, mengumpulkan informasi keadaan negara penerima secara akurat dan dengan cara yang sah (I Gst Ngr Hady Purnama Putera dan Ida Bagus Putu Sutama, Tanpa Tahun:3-4) untuk kemudian dilaporkan kepada negara pengirim (Syahmin AK, 2008:93). Membuat laporan
Fakultas Hukum - UNISAN 5
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013
tentang keadaan disebut juga sebagai kewajiban paling mendasar dari perwakilan diplomatik kepada negara pengirimnya. Asalkan laporan tersebut didapat dengan cara yang sah, sehingga laporan dari hasil memata-matai atau praktik spionase akan dianggap sebagai informasi yang didapat dengan cara yang tidak sah menurut Hukum dan Kebiasaan Internasional (Syahmin AK, 2008:93). Oleh karena itu praktik spionase tidaklah dibenarkan dalam praktik diplomasi antar negara, bahkan praktik spionase bisa dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap keamanan suatu Negara dimana diplomat tersebut bertugas.
Dalam Konvensi Wina tahun 1961 Mengenai Hubungan Diplomati, khusunya Pasal 2 mengatur bahwa jika suatu negara telah menyetujui pembukaan hubungan diplomatik dengan negara lain melalui suatu instrument atas dasar asas timbal balik (principle of resiprocity) dan asas saling menyetujui (principle of mutual consent), negara-negara tersebut sudah harus memikirkan pembukaan suatu perwakilan diplomati dan penyusunan keanggotaan perwakilan tersebut, baik dalam tingkatannya maupun jumlah anggota staf perwakilan yang telah di setujui bersama atas dasar asas yang wajar dan pantas “principle reasonable and normal” (Pasal 11 Konvensi Wina tahun 1961). Pengangkatan anggota staf perwakilan diplomatik oleh negara pengirim pada umumnya tidak memerlukan persetujuan dari negara penerima, karena negara pengirim dapat secara bebas mengangkatnya dan cukup hanya memberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri negara penerima melalui nota diplomatik mengenai nama, kedudukan, pangkat diplomatiknya, anggota keluarganya, dan tanggal kedatangannya (Pasal
7 jo Pasal 10 Konvensi Wina tahun 1961). Dikecualikan hanya kepada pengangkatan duta besar dan atase pertahanan yang memerlukan persetujuan terlebih dahulu sebagai orang- orang yang dapat diterima untuk memangku jabatan-jabatan tersebut / Persona Grata (dalam hal negara penerima memberikan persetujuan terhadap seseorang yang disarankan untuk di angkat sebagai dita besar dari negara pengirim, seseorang itu dikatakan dapat diterima atau Persona Grata, persetujuan itu secara resmi akan di sampaikan sebelum pengangkatan orang tersebut di umumkan). Pengangkatan seorang duta besar di suatu negara penerima oleh negara pengirim terlebih dahulu harus dimintakan persetujuan (agreement) dari negara penerima (Pasal 4 ayat 1 Konvensi Wina tahun 1961). Untuk memperoleh agreement semacam itu negara pengirim harus memintakan terlebih dahulu dengan disertai hal-ihwal yang berkaitan dengan latar belakang calon duta besar (curriculum vitae) yang memang diperlukan oleh negara penerima untuk mempertimbangkan dalam memberikan agreement atau dinyatakan sebagai Persona Grata (Sumaryo Suryokusumo, 2005:108-109).
Negara pengirim haruslah memperoleh bahwa agreement dari negara penerima telah diberikan kepada seseorang yang telah dicalonkan sebagai duta besar di negara tersebut. Jawaban mengenai pemberian agreement tersebut dari pemerintah negara penerima dapat disampaikan secara tertulis atau secara lisan atau mungkin mengalami penundaan yang begitu lama yang pada hakikatnya dapat diartikan secara diam-diam dimintakan penggantinya yang lain. Sedangkan pengangkatan-pengangkatan atase militer, laut dan udara oleh negara pengirim haruslah terlebih dahulu dimajukan nama-namanya untuk memperoleh persetujuan
6 Fakultas Hukum - UNISAN
Persona Non Grata
atau dinyatakan dapat diterima (Persona Grata) oleh negara penerima (Pasal 7 Konvensi Wina tahun 1961) kini banyak negara mengangkat bukan sebagai atase-atase militer, laut atau udara, melainkan sebagai atase pertahanan / Defence Attache (Sumaryo Suryokusumo, 2005:109-110).
Jika negara pengirim tetap dengan pendiriannya untuk mengangkat seseorang yang tidak dapat diterima oleh negara penerima, hal itu bukan saja akan dapat merugikan sendiri terhadap maksud dan tujuan yang akan dicapai tetapi juga dapat menciptakan situasi yang bisa mempengaruhi hubungan baik kedua negara tersebut. Disatu pihak, seperti di uraikan sebelumnya bahwa jika negara penerima menyatakan penerimaan terhadap pengangkatan seseorang calon duta besar (ambassador designed) dari negara pengirim, hal itu dinyatakan sebagai Persona Grata. Dilain pihak jika negara penerima menganggap bahwa seseorang itu tidak dapat diterima karena kegiatan-kegiatan dan kecenderungan politiknya di masa lampau atau latar belakang lainnya, negara penerima dapat memberitahukan kepada negara pengirim ketidaksetujuannya untuk menerima pengangkatan ambassador designed melalui sebuah nota diplomatik yang menyatakn calon tersebut sebagai Persona Non-Grata (Sumaryo Suryokusumo, 2005:117-118).
Setiap negara mempunyai hak menolak untuk menerima seseorang pejabat diplomatik, apakah atas dasar sifat pribadinya atau latar belakang sebelumnya, misalnya jika ia dikenal pernah menanamkan rasa sentiment bernada kebencian atau permusuhan terhadap negara tempat ia akan di angkat sebagai kepala perwakilan dari perwakilan diplomatik. Karena itu, ia dapat dinyatakan di tolak karena sifatnya terhadap negara tempat ia akan diangkat, atau di dalam bahasa latin dinyatakan dengan jelas sebagai ex eo ob quod mittitur atau suatu ungkapan diplomatic bagi negara penerima untuk tidak menerimanya atau seperti yang dijelaskan di atas sebagai deklarasi Persona Non-Grata (Sumaryo Suryokusumo, 2005:118).
Penolakan agreement bagi seorang calon duta besar oleh negara penerima tidak perlu diberikan alasan apapun, sebaliknya negara pengirim juga tidak perlu untuk menanyakan alasan penolakan untuk memberikan agreement tersebut. Pasal 4 ayat 1 Konvensi Wina tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomati khusus memberikan kewajiban bagi negara penerima untuk tidak memberikan alasan bagi penolakan persetujuan atau agreement tersebut. Sedangkan dalam Pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina Tahun 1961 lebih luas lagi pengertiannya, bukan saja penolakan itu ditujukan kepada calon duta besar tetapi juga kepada seseorang anggota staf diplomatik, termasuk anggota staf lainnya dari suatu perwakilan diplomatik. Dalam kasus seperti ini, negara pengirim berkewajiban menarik kembali orang yang bersangkutan ke negaranya atau menghentikan tugasnya di perwakilan tersebut.
Ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina Tahun 1961 di atas mempunyai hakikat bahwa deklarasi Persona Non-Grata itu dapat dinyatakan baik sebelum maupun setelah tiba di wilayah negara penrima. Penolakan untuk menerima seseorang calon duta besar atau pejabat diplomatik dari negara pengirim dapat di sebabkan oleh faktor-faktor antara lain, sebagai berikut :
Fakultas Hukum - UNISAN 7
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013
i. Jika calon tersebut dianggap mengganggu hak kedaulatan negara dimana ia akan di akreditasikan, karena sikap pribadinya juga yang di sanksikan;
ii. Jika menunjukkan rasa permusuhan (hostile act) baik terhadap rakyat maupun lembaga di negara tempat dimana ia akan di akreditasikan;
iii. Jika ia menjadi pokok permasalahn di negara penerima dan negara akreditasi tersebut tidak mau memberikan kepada calon tersebut kekebalan-kekebalan sebagai calon duta besar (Sumaryo Suryokusumo, 2005:118-120).
Sebagai aturan umum mengenai spionase dan hasutan atau dukungan terhadap kerusuhan memerlukan suatu deklarasi Persona Non-Grata secara tepat. Mereka yang terlibat dalam kejahatan kekerasan atau lalu lintas obat-obat terlarang juga dinyatakan sebagai Persona Non-Grata kecuali jika kepadanya diberikan penanggalan kekebalan. Deklarasi Persona Non-Grata yang dikenakan kepada sesorang duta besar, termasuk anggota staf perwakilan misi diplomatik lainnya, khususnya terhadap mereka yang sudah tiba atau berada di negara penerima, melibatkan kepada tiga kegiatan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik. Pertama, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para diplomat asing yang dianggap bersifat politis maupun subversif dan bukan saja dapat merugikan kepentingan nasional tetapi juga melanggar kedaulatan suatu negara penerima. Kedua, kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu jelas-jelas melanggar peraturan hukum dan perundang-undangan negara penerima. Ketiga, kegiatan-kegiatan yang dapat digolongkan sebagai kegiatan spionase yang dapat dianggap dapat mengganggu baik stabilitas maupun keamanan nasional negara penerima (Sumaryo Suryokusumo, 2005:120-122).
Persona Non-Grata sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina Tahun 1961, memang merupakan salah satu jawaban yang disediakan ketika terjadi permasalahan diplomatik antara negara penerima dan pengirim. Untuk penggunaannya pernah dilakukan oleh Inggris ketika negara tersebut meminta agar Kedutaan Besar Uni Soviet memulangkan seratus lima anggotanya (Ernest Satow, 1979:21-23), ditambah dengan permintaan pemu- langan atas nama-nama yang dianggap Inggris melakukan praktik spionase yang terang dicantumkan Inggris dalam Aide Memorie yang disampaikan kepada Kuasa Usaha Kedutaan Besar Uni Soviet di London (Ernest Satow, 1979:21-23). Sayangnya praktek Persona Non- Grata semacam ini, pada prakteknya akan menimbulkan reaksi pembalasan dari negara yang perwakilan diplomatiknya di persona non-gratakan (Syahmin AK, 2008:63). Sehingga akan menimbulkan masalah, dan bukan tidak mungkin ketegangan politik, bahkan dapat menjadi
konflik yang berkepanjangan yang menimbulkan hubungan kedua negara menjadi renggang baik dalam pertemuan-pertemuan tingkat tinggi, maupun pertemuan-pertemuan resmi kedua
negara di ajang konferensi-konferensi yang di adakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Namun sekali lagi ditegaskan bahwa untuk menjadi suatu negara yang berdaulat dalam praktiknya memerlukan pengakuan bagi negara lain (Anthony Aust, 2005:17). Karena
8 Fakultas Hukum - UNISAN
Persona Non Grata
di tingkat internasional adalah suatu kelaziman apabila suatu Negara yang terlebih dahulu eksis memberikan pengakuan atas keberadaan Negara atau pemerintahan yang lebih muda usianya (Birkah Latif dan Kadarudin, 2013:74). Oleh karena itu suatu negara agar benar- benar bisa melakukan hubungannya dengan negara lain secara baik (baik hubungan bilateral maupun hubungan multilateral) dalam bidang perdagangan, pendidikan, pertukaran budaya, dan sebagainya, maka terlebih dahulu harus menjadi suatu negara yang sah dengan salah satu syaratnya yaitu diakui oleh negara lain yang terlebih dahulu sudah menjadi suatu negara.
Aturan hukum internasional yang disediakan masyarakat internasional dapat dipastikan berupa aturan tingkah laku yang harus ditaati oleh negara apabila mereka saling mengadakan hubungan kerjasama (Mohd. Burhan Tsani, 1990:12). Oleh karena itu praktek spionase juga harus dipahami sebagai suatu pelanggaran terhadap hubungan diplomatik suatu negara, in dikarenakan praktik spionase dilarang dan pelarangannya tersebut di atur dalam suatu perjanjian internasional yang telah di sepakati bersama-sama yakni Konvensi Wina Tahun 1961.
Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain dimaksudkan dalam pengertian yuridis, maksudnya karena hukumlah baik hukum nasional maupun hukum internasional mengakui adanya kekuasaan dan kewenangan tersebut. Sedangkan mengenai pernyataan yang berkenaan dengan kriteria atau ukuran tentang kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain, tidak ada ketentuan yang jelas dan pasti. Berkaitan dengan pengakuan suatu negara diakui secara de jure sedangkan negara lain mengakuinya secara de facto, hanyalah pengecualian saja dan merupakan hal yang luar biasa (Setyo Widagdo dan Hanif Nur W, 2008:34). Namun dalam studi-studi hubungan internasional pada umumnya, maka diajarkan bahwa pengakuan suatu negara terhadap Negara lain itu harus memenuhi dua criteria, yakni pengakuan secara de jure (hukum) terhadap negara yang diakuinya, dan pengakuan secara de facto (kenyataannya) bahwa negara tersebut memang ada secara jelas dan nyata.
Setelah negara kemudian telah memenuhi unsur-unsur negara dan telah menjadi negara yang sah, suatu negara dalam menyelenggarakan hubungan dengan negara lain pastinya memerlukan penghubung. Penghubung tersebut diwujudkan dengan cara membuka hubungan diplomatik dan menempatkan perwakilan diplomatiknya kepada negara-negara yang ia ajak untuk melakukan hubungan tersebut. Wakil-wakil diplomatik yang dikirim membawa misi-misi diplomati dan harus memahami betul instrumen-instrumen internasional yang berhubungan dengan tugasnya, salah satunya Konvensi Wina Tahun 1961. Karena jika melanggar hal-hal yang sifatnya merugikan negara tempat dimana ia ditugaskan maka diplomat tersebut dapat saja di persona non grata-kan. Persona non grata adalah sebuah istilah dalam bahasa Latin yang dipakai dalam perkancahan politik dan diplomasi internasional. Makna harafiahnya adalah orang yang tidak diinginkan. Orang-orang yang di-persona non grata-kan biasanya tidak boleh hadir di suatu tempat atau negara. Apabila ia sudah berada di negara tersebut, maka ia harus diusir dan dideportasi (id.wikipedia.org). Jadi sebagai wakil
Fakultas Hukum - UNISAN 9
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013
dari negaranya, maka wajib bagi para utusan (diplomat) untuk selalu menjaga nama baiknya, nama baik negaranya, dan tidak hanya berlindung pada atribut yang memberikan kekebalan dan keistimewaan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai seorang diplomat yang mewakili negara yang diwakilinya, terlebih lagi di saat melakukan kegiatan-kegiatan yang berpotensi merugikan negara tempat dimana ia bertugas.
B. Kasus Persona Non Grata dalam Praktik Hukum Internasional
1. Kasus Persona Non Grata Diplomat Amerika Serikat oleh Pemerintah Rusia Rusia telah memerintahkan pengusiran terhadap seorang diplomat Amerika Serikat
di Moskwa karena dicurigai melakukan mata-mata. Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan, diplomat bernama Ryan Fogle diserahkan ke para pejabat Amerika Serikat setelah sempat ditahan pihak berwenang. Ryan kemudian dinyatakan persona non grata dan diperintahkan meningggalkan wilayah Rusia secepatnya. “Tindakan-tindakan provokatif dengan semangat Perang Dingin sama sekali tidak akan mendukung upaya memperkuat rasa saling percaya,” kata Kementerian Luar Negeri Rusia, Selasa 14 Mei 2013. Sebelumnya Rusia mengatakan pihak berwenang negara itu sempat menahan seorang diplomat Amerika Serikat karena dituduh sebagai agen Badan Intelijen Pusat (CIA). Badan Keamanan Federal Rusia mengatakan Ryan Fogle bekerja sebagai Sekretaris Ketiga Kedutaan Besar Amerika di Moskwa. Ia ditangkap ketika berusaha merekrut seorang agen intelijen Rusia. Dalam operasinya, pihak berwenang menemukan peralatan teknik khusus, uang tunai pecahan 500 euro dalam jumlah besar, dan beberapa perlengkapan untuk menyamar. Barang-barang yang diduga milik Fogle ditempatkan di meja, termasuk rambut palsu, peta, dan pisau. Kementerian Luar Negeri Rusia memanggil Duta Besar AS Michael McFaul untuk membicarakan masalah itu. (kompas.com edisi Rabu, 15 Mei 2013).
Ini bukan kasus skandal mata-mata pertama kedua negara itu pada tahun ini. Namun sejumlah media mengatakan tertangkap tangannya diplomat Amerika akibat aksi mata-mata merupakan yang pertama kali dalam satu dekade hubungan Rusia-Amerika. Rusia menyatakan Fogle di persona non grata, yang artinya harus segera meninggalkan Rusia. Insiden ini dinilai terjadi pada saat yang tak tepat karena beberapa hari sebelumnya Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mencapai kata sepakat untuk menggelar pertemuan guna membahas solusi politik krisis Suriah. Insiden ini juga menghadirkan atmosfer perang dingin lebih dari dua dekade lalu. Saat itu, Rusia bersitegang dengan negara-negara Barat, yang dipimpin Amerika. Pada hari Rabu, tanggal 15 Mei 2013. Duta Besar Amerika untuk Rusia, Michael McFaul, dipanggil Kementerian Luar Negeri Rusia terkait dengan masalah Fogle. McFaul memasuki gedung Kementerian Luar Negeri di pusat Kota Moskow, Rabu pagi. Setengah jam kemudian, ia keluar dari kantor itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada wartawan yang sudah menunggu di luar gedung (tempo.com edisi Kamis, 16 Mei 2013).
Sebagai diplomat, Fogle memiliki kekebalan untuk tak dituntut di Rusia. Seusai penangkapannya, Fogle diserahkan ke Kedutaan Besar Amerika Serikat. “Orang Rusia
10 Fakultas Hukum - UNISAN
Persona Non Grata
yang hendak ia dekati tidak akan dijerat dengan tuduhan tertentu,” kata juru bicara FSB, Nikolai Zakharov. Belum terlalu jelas apa yang dicari agen CIA itu dengan merekrut orang Rusia. Media Rusia, Kommersant, mengatakan ada kemungkinan Fogle sedang mencari informasi tentang Tamerlan Tsarnaev, pelaku pengeboman di Boston, Amerika, 15 April lalu, yang menewaskan tiga orang dan melukai 267 lainnya. Kommersant menduga aksi Fogle ini berhubungan dengan perjalanan delegasi Amerika ke Dagestan oada April lalu untuk menyelidiki kasus ledakan tersebut. Pengebom di Boston, Tamerlan Tsarnaev, pernah mengunjungi wilayah Dagestan pada tahun lalu dan Amerika ingin mengetahui apakah ia menjalin kontak dengan kelompok militan Islam di sana. “Sangat mungkin bahwa selama perjalanan pada bulan April itu, pihak Amerika mendapatkan nomor telepon agen Dinas Rahasia Rusia,” demikian ditulis Kommersant, yang memiliki kontak dengan FSB dan Kementerian Luar Negeri Rusia. Amerika, menurut Kommesant, kemudian menggunakan kontak pribadi dengan agen anti-teror Rusia itu. Sebab, pertukaran informasi antara dinas rahasia kedua negara tidak selalu cepat dan mudah (tempo.com edisi Kamis, 16 Mei 2013).
Dilihat dari kasus di atas, maka dapat dijelaskan bahwa deklarasi Persona Non- Grata yang dikenakan kepada sesorang duta besar, termasuk anggota staf perwakilan misi diplomatik lainnya, dalam hal ini adalah Diplomat Amerika Serikat yang di Persona Non- Grata-kan oleh Pemerintah Federasi Rusia sudah tepat, karena alasan-alasan suatu negara dalam mendeklarasikan Persona Non-Grata kepada sesorang duta besar, termasuk anggota staf perwakilan misi diplomatik negara lain yang berada di negaranya berdasarkan apa yang di atur di dalam Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik yaitu : Pertama, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para diplomat asing yang dianggap bersifat politis maupun subversif dan bukan saja dapat merugikan kepentingan nasional tetapi juga melanggar kedaulatan suatu negara penerima. Kedua, kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu jelas-jelas melanggar peraturan hukum dan perundang-undangan negara penerima. Ketiga, kegiatan-kegiatan yang dapat digolongkan sebagai kegiatan spionase yang dapat dianggap dapat mengganggu baik stabilitas maupun keamanan nasional negara penerima. Dan dalam kasus ini maka pejabat Diplomat Amerika Serikat yang di Persona Non-Grata-kan oleh Pemerintah Federasi Rusia adalah berdasarkan kegiatan spionase.
2. Kasus Persona Non Grata Duta Besar Vatikan oleh Pemerintah Malaysia Uskup Joseph Marino adalah duta besar persona non grata di Malaysia. Ia tidak dinginkan di Malaysia, karena pernyataannya yang tidak bijaksana dan tidak dapat diterima, yang menyebabkan kemarahan dari komunitas Muslim di Malaysia, Uskup Joseph Marino mengatakan Federasi Kristiani Malaysia mengajukan alasan “logis dan dapat diterima” terkait argumen untuk penggunaan kata Allah dalam Kitab Injil berbahasa Melayu dan dalam literatur lain. Akibat pernyataannya memicu protes dari komunitas Muslim di Malaysia ini, kemudian Uskup Joseph Marino mengajukan permintaan maaf melalui Menteri Luar Negeri Vatikan Seri Anifah Aman (news.detik.com edisi ).
Dilihat dari kasus di atas, maka dapat dijelaskan bahwa deklarasi Persona Non-
Fakultas Hukum - UNISAN 11
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013
Grata yang dikenakan kepada sesorang duta besar, termasuk anggota staf perwakilan misi diplomatik lainnya, dalam hal ini adalah Duta Besar Vatikan yang di Persona Non- Grata-kan oleh Pemerintah Malaysia sudah tepat, karena alasan-alasan suatu negara dalam mendeklarasikan Persona Non-Grata kepada sesorang duta besar, termasuk anggota staf perwakilan misi diplomatik negara lain yang berada di negaranya berdasarkan apa yang di atur di dalam Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik. Dan dalam kasus ini maka Duta Besar Vatikan yang di Persona Non-Grata-kan oleh Pemerintah Malaysia adalah berdasarkan kegiatan yang memicu protes dari komunitas Muslim di Malaysia dan dapat merugikan kepentingan nasional negara Malaysia.
3. Kasus Persona Non Grata Staf Kedutaan 17 Negara oleh Pemerintah Suriah Houla, kota kecil di daerah pedesaan pertanian miskin di provinsi Homs Suriah
menjadi perhatian dunia, setelah terjadi tragedi pembantaian lebih dari 100 orang penduduk sipil oleh militer pada Jumat 25 Mei di tahun 2012. Kemarahan dunia muncul karena mayoritas korban adalah wanita dan anak-anak yang dibunuh dengan cara sangat kejam. Ada bukti kuat milisi shabbiha yang pro pemerintah terlibat dalam pembantaian tersebut. Pemantau PBB menemukan bukti-bukti keterlibatan militer berupa peluru artileri, tank, termasuk bangunan yang hancur oleh senjata berat dalam tragedi Houla. Kecaman dan kemarahan dunia atas tragedi Houla diikuti dengan pengusiran negara-negara Barat terhadap para diplomat Suriah. Suriah membalas tindakan tersebut dengan pengusiran duta besar dan staf kedutaan 17 negara, termasuk AS dengan persona non grata (Adirini Pujayanti, 2012:5).
Dilihat dari kasus di atas, maka dapat dijelaskan bahwa deklarasi Persona Non-Grata yang dikenakan kepada sesorang duta besar, termasuk anggota staf perwakilan misi diplomatik lainnya, dalam hal ini adalah staf pejabat diplomat 17 negara (termasuk pejabat diplomat Amerika Serikat) yang di Persona Non-Grata-kan oleh Pemerintah Suriah kurang tepat, karena alasan-alasan suatu negara dalam mendeklarasikan Persona Non-Grata kepada sesorang duta besar, termasuk anggota staf perwakilan misi diplomatik negara lain yang berada di negaranya berdasarkan apa yang di atur di dalam Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik yaitu : Pertama, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para diplomat asing yang dianggap bersifat politis maupun subversif dan bukan saja dapat merugikan kepentingan nasional tetapi juga melanggar kedaulatan suatu negara penerima. Kedua, kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu jelas-jelas melanggar peraturan hukum dan perundang-undangan negara penerima. Ketiga, kegiatan-kegiatan yang dapat digolongkan sebagai kegiatan spionase yang dapat dianggap dapat mengganggu baik stabilitas maupun keamanan nasional negara penerima. Dan dalam kasus ini staf pejabat diplomat 17 negara (termasuk pejabat diplomat Amerika Serikat) yang di Persona Non-Grata-kan oleh Pemerintah Suriah tidak ada yang melanggar ketiga aturan tersebut. Oleh karena itu, menurut analisis penulis, pendeklarasian Persona Non-Grata terhadap staf pejabat diplomat 17 negara oleh Pemerintah Suriah adalah tidak berdasar (sesuai dengan apa yang diatur dalam Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik) dan juga bertentangan dengan kepatutan terhadap hukum kebiasaan
12 Fakultas Hukum - UNISAN
Persona Non Grata
dalam praktik negara-negara terhadap aturan hukum internasional.
III. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua pokok permasalahan adalah :
1. Wakil-wakil diplomatik yang dikirim membawa misi-misi diplomatik dan harus memahami betul instrumen-instrumen internasional yang berhubungan dengan tugasnya, salah satunya Konvensi Wina Tahun 1961. Karena jika melanggar hal-hal yang sifatnya merugikan negara tempat dimana ia ditugaskan maka diplomat tersebut dapat saja di persona non grata-kan. Persona non grata adalah sebuah istilah dalam bahasa Latin yang dipakai dalam perkancahan politik dan diplomasi internasional. Makna harfiahnya adalah orang yang tidak diinginkan. Orang-orang yang di-persona non grata-kan biasanya tidak boleh hadir di suatu tempat atau negara. Apabila ia sudah berada di negara tersebut, maka ia harus diusir dan dideportasi. Jadi sebagai wakil dari negaranya, maka wajib bagi para utusan (diplomat) untuk selalu menjaga nama baiknya, nama baik negaranya, dan tidak hanya berlindung pada atribut yang memberikan kekebalan dan keistimewaan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai seorang diplomat yang mewakili negara yang diwakilinya
2. Pernyataan deklarasi Persona Non-Grata yang dikenakan kepada sesorang duta besar, termasuk anggota staf perwakilan misi diplomatik lainnya, khususnya terhadap mereka yang sudah tiba atau berada di negara penerima, melibatkan kepada tiga kegiatan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik. Pertama, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para diplomat asing yang dianggap bersifat politis maupun subversif dan bukan saja dapat merugikan kepentingan nasional tetapi juga melanggar kedaulatan suatu negara penerima. Kedua, kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu jelas-jelas melanggar peraturan hukum dan perundang-undangan negara penerima. Ketiga, kegiatan-kegiatan yang dapat digolongkan sebagai kegiatan spionase yang dapat dianggap dapat mengganggu baik stabilitas maupun keamanan nasional negara penerima. Jika dilihat dari kasus Persona Non Grata diplomat Amerika Serikat oleh Pemerintah Rusia adalah suatu hal yang tepat, karena pejabat diplomat Amerika Serikat yang di Persona Non-Grata-kan oleh Pemerintah Federasi Rusia adalah berdasarkan kegiatan spionase. Dalam kasus lain, deklarasi Persona Non Grata Duta Besar Vatikan oleh Pemerintah Malaysia merupakan hal yang juga tepat, karena Duta Besar Vatikan yang di Persona Non-Grata-kan oleh Pemerintah Malaysia adalah berdasarkan kegiatan yang memicu protes dari komunitas Muslim di Malaysia dan dapat merugikan kepentingan nasional negara Malaysia. Sedangkan pada kasus deklarasi Persona Non Grata staf kedutaan 17 negara oleh Pemerintah Suriah adalah kurang tepat, karena dalam kasus tersebut staf pejabat diplomat 17 negara (termasuk pejabat diplomat Amerika Serikat) yang di Persona Non-Grata-kan oleh Pemerintah Suriah tidak ada yang melanggar ketiga aturan yang di atur dalam Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai
Fakultas Hukum - UNISAN 13
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013
Hubungan Diplomatik. Oleh karena itu menurut pendeklarasian Persona Non-Grata terhadap staf pejabat diplomat 17 negara oleh Pemerintah Suriah adalah tidak berdasar (sesuai dengan apa yang diatur dalam Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik) dan bertentangan dengan kepatutan dalam hukum kebiasaan dalam praktek negara-negara terhadap aturan hukum internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal : Adirini Pujayanti, Kebijakan Luar Negeri Indonesia Dalam Krisis Suriah, Info Singkat
Hubungan Internasional, Jurnal DPR RI, Vol. IV. Nomor 11. Juni 2012. Anthony Aust. Handbook of International Law. United kingdom: Cambridge University
Press, 2005. Birkah Latif dan Kadarudin, Pengantar Hukum Internasional. Makassar: Pustaka Pena Press,
2013. ______________________, Hukum Perjanjian Internasional. Makassar: Pustaka Pena Press,
2013. Boer Mauna. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, Dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global. Edisi Kedua, Bandung: Alumni, 2002. Dehaussy, The Inviolability of Diplomatic Residence, 83 Journal du droit international
(cluent) 1956. Eric. Hubungan Diplomatik Taiwan Dengan Negara Lain Dalam Statusnya Sebagai Subjek
Hukum Internasional. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2013. Ernest Satow. Satow’s Guied To Diplomatic Practice. 5 th Edition. London: Longman Group
Ltd, 1979.
F. Sugeng Istanto. Studi Kasus Hukum Internasional. Jakarta: PT. Tata Nusa, 1998. Grant. V. Mc. Clanahan, Diplomatic Immunities, Principles, Practices, Problems, New York:
St. Martin’s Press, 1989. Huala Adolf. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Edisi Revisi. Jakarta: PT.
RajaGravindo Persada, 2002.
I Wayan Parthiana. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju, 1990.
I Gst Ngr Hady Purnama Putera dan Ida Bagus Putu Sutama. Tinjauan Hukum Diplomatik Tentang Penyelesaian Sengketa Praktik Spionase Yang Dilakukan Melalui Misi Diplomatik Diluar Penggunaan Persona Non-Grata. Bali: Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Tanpa Tahun.
J.G. Starke. Pengantar hukum Internasional. Edisi Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika, 2003. L. Dembinski. The Modern Law of Diplomacy. Netherland: Marthinus Nijhof Publisher, 1988. Max Boli Sobun. Ilmu Negara. Jakarta: Gramedia, 1994.
14 Fakultas Hukum - UNISAN
Persona Non Grata
Mohd. Burhan Tsani. Hukum Dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, 1990. S.L. Roy. Diplomasi. Jakarta: PT. RajaGravindo Persada, 1995. Samidjo. Ilmu Negara. Bandung: Armico, 1996. Setyo Widagdo dan Hanif Nur W. Hukum Diplomatik Dan Konsuler. Malang: Bayu Media,
2008. Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 1980. Sukawarsini Djelantik. Diplomasi Antara Teori Dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008. Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik. Teori dan Kasus, Bandung: PT. Alumni, 2005. Syahmin AK. Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT. RajaGravindo
Persada, 2008. Sumber Lain :
kompas.com tempo.com id.wikipedia.org news.detik.com
Fakultas Hukum - UNISAN 15
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 1 September 2013
16 Fakultas Hukum - UNISAN
Penanggulangan Pelacuran Anak
UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP PELACURAN ANAK DI WILAYAH HUKUM POLRES BIAK NUMFOR
Muslim Lobubun
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak [email protected]
Abstract Sex workers are minors in the jurisdiction of Police Biak Numfor average age
of 15 years they claim to be able to say a lot less than 18 years old, and this is clearly very poor condition. The prostitutes are minors from outside the Biak area i.o. Manado, Makassar, Malang, Surabaya, Jakarta. In tackling child prostitution there are two efforts: (1) through the efforts of penal, and (2) through the efforts of non-penal. Both of these efforts can be distinguished, but in fact are inseparable.
Keyword : Child prostitution, tackling, poor condition.
I. PENDAHULUAN
Untuk mensukseskan dan mencapai tujuan tidaklah mudah sebagaimana yang diharapkan, ini dapat dibuktikan dengan adanya sebagaian masyarakat yang tidak mengindahkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Seperti pelacuran semakin lama semakin menjadi. Kerena pelacuran merupakan tinkah laku manusia yang menyimpang dari norma-norma dan selalu ada dalam kehidupan masyarakat, yang biasa dilakukan oleh wanita dewasa atau usia yang belum dewasa, bahkan ada yang dilakukan oleh kaum laki-laki dan ini merupakan masalah sosial yang selalu ada dalam masyarakat.