Kewenangan menurut Undang-Undang Terorisme

pada tahun 1997. Korps Reserse Polri berganti nama menjadi Badan Reserse Kriminal Polri Bareskrim Polri pada tanggal 30 Juni 2004. 123 Oleh karena alasan tersebut di atas, keberadaan Densus 88 AT Polri harus menjadi kesatuan professional yang mampu menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagaimana ditegaskan pada awal pembentukan. Bila merujuk pada Skep Kapolri Nomor 30VI2003 tertanggal 30 Juni 2003 maka tugas dan fungsi Densus 88 AT Polri secara spesifik untuk menanggulangi dan memberantas meningkatnya kejahatan terorisme di Indonesia, khususnya aksi terror dengan modus peledakan bom. Densus 88 AT Polri adalah unit pelaksana peran Polri dalam penanggulangan dan pemberantasan terorisme sebagaimana tertuang dalam UUPTPT.

C. Kewenangan menurut Undang-Undang Terorisme

Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme Datasemen Khusus 88 Anti Teror merupakan bagian dari kepolisian yang berwenang bertindak sebagai “penyelidik” maupun “penyidik” atas tindak pidana terorisme. Selebihnya, proses hukumnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri berdasarkan aturan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Menentukan suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana terorisme adalah apabila dalam suatu perbuatan tersebut telah memenuhi suatu perbuatan 123 Densus 88 Anti Teror Polri diresmikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Firman Gani pada tanggal 26 Agustus 2004 yang pada awalnya beranggotakan 75 orang dan dipimpin oleh Ajun Komisaris Besar Polisi Tito Karnavian yang pernah mendapat pelatihan di beberapa negara. Universitas Sumatera Utara tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang termuat dalam regulasi tindak pidana terorisme. 124 Proses pembuktian atas kesalahan pelaku tindak pidana terorisme dimulai sejak dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan. Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme menegaskan bahwa : Dengan demikian, apabila suatu perbuatan telah memenuhi unsur pasal-pasal dalam regulasi tersebut, maka seseorang telah melakukan tindak pidana terorisme. Bagaimana unsur atau rumusan suatu tindak pidana itu terpenuhi sehingga seseorang dapat dipidana, maka diperlukan pembuktian melalui Hukum Acara Pidana. 125 “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”. Berkaitan dengan alat bukti yang sah, KUHAP mengatur secara limitative alat-alat bukti yang sah, antara lain, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. 126 Khusus dalam Undang-Undang Terorisme, dikenal alat bukti sah lainnya selain yang diatur dalam KUHAP, yakni : 127 1. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; 124 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah diundangkan berdasarkan Undang- undang Nomor 15 Tahun 2003 selanjutnya disebut dengan UU Terorisme, Pasal 1 Angka 1. 125 UU Terorisme, Pasal 25 Ayat 1. 126 KUHAP, Pasal 184 Ayat 1. 127 UU Terorisme, Pasal 27 Huruf b dan c. Universitas Sumatera Utara 2. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : a. tulisan, suara, atau gambar; b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c. huruf, tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Salah satu kekhususan dalam penanganan tindak pidana terorisme adalah adanya laporan intelijen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti permulaan yang cukup. Prosesnya disebut hearing, dimana untuk menentukan laporan intelijen dapat dijadikan alat bukti permulaan yang cukup adalah dengan melibatkan pihak pengadilan untuk menetapkannya sebagai alat bukti permulaan yang cukup. 128 Terhadap lembaga hearing dimaksud, UU Terorisme tersebut mengemukakan Undang-Undang ini memuat ketentuan khusus tentang perlindungan hak asasi tersangkaterdakwa yang disebut “safe guarding rules”. Ketentuan tersebut antara lain memperkenalkan lembaga hukum baru dalam hukum acara pidana yang disebut dengan “hearing”, dan berfungsi sebagai lembaga yang melakukan “legal audit” terhadap seluruh dokumen atau laporan intelijen yang disampaikan oleh penyelidik untuk menetapkan diteruskan atau tidaknya suatu penyidikan atas dugaan adanya tindakan terorisme. 129 128 Erwin Asmadi, Pembuktian Tindak Pidana TerorisAnalisa Putusan Pengadilan pada Kasus Perampokan Bank Cimb Niaga Medan, Sofmedia, Medan: 2012, hal. 74. 129 Ibid., Penjelasan Umum, Angka 3. Universitas Sumatera Utara Proses hearing dilakukan dimana Penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup. Kemudian, laporan intelijen dimaksud harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri selama 3 tiga hari secara tertutup, untuk ditetapkan apakah sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup dengan suatu penetapan Pengadilan Negeri. Apabila dalam pemeriksaan Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri ditetapkan adnya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan. 130 130 Erwin Asmadi, Op. Cit. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan atas permasalahan yang terjadi dalam penulisan skripsi ini, maka penulis berkesimpulan bahwa : 1. Pengaturan tindak pidana terorisme dalam UUPTPT mengecualikan asas legalitas pasal 1 ayat 1 KUHP yang melarang pemberlakuan hukum secara non retroaktif tidak berlaku surut. Sedangkan UUPTPT diterapkan secara retroaktif berlaku surut terhadap kasus-kasus terorisme yang sudah berlalu sebelum munculnya UUPTPT yang mengaturnya. Pengaturan demikian sebagai konsekuensi bahwa tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa extra ordinary crime, terorisme bersifat internasional dan sangat terorganisir, sehingga banyak pihak yang menjadi korban dari kejahatannya yang sangat profesional, tersembunyi, maupun terampil sehingga pengaturan dan penangannya dilakukan secara luar biasa yakni memberlakukan undang-undang secara surut . 2. Kewenangan Kepolisian Republik Indonesia menyangkut tugas pokok dan fungsi serta wewenangnya dalam menangani dan memberantas teroris dengan berbagai upaya yang ditempuh melalui penerapan peraturan hukum dan sanksi dalam UUPTPT serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Kepolisian dalam menjalankan upaya penanggulangan terorisme bergerak dari dua kebijakan yaitu: kebijakan penal dan non penal. Kebijakan penal adalah kebijakan Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Implementasi Konvensi Kejahatan Penerbangan Dalam Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia

6 101 97

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN ASAS RETROAKTIF DALAM UNDANG-UNDANG NO 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME.

0 5 16

PENDAHULUAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN ASAS RETROAKTIF DALAM UNDANG-UNDANG NO 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME.

0 12 13

PENUTUP TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN ASAS RETROAKTIF DALAM UNDANG-UNDANG NO 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME.

0 12 6

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Dalam Perspektif HAM.

0 1 17

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP AKTIVITAS CYBERTERRORISM DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO.15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME.

1 2 1

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME - Repositori Universitas Andalas

0 0 1

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME - Repositori Universitas Andalas

0 0 10

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME - Repositori Universitas Andalas

0 0 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kewenangan Pihak Kepolisian Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang No 15 Tahun 2003

0 1 25