Pola Makan dan Status Gizi

6.2 Pola Makan dan Status Gizi

Status gizi dengan ketiga indikator (IMT/U, LILA, dan LP) memiliki hubungan yang signifikan dengan karakteristik pelajar putri SMA kelas 1 yaitu status tinggal pada uji bivariat, yaitu bila pelajar putri SMA kelas 1 tinggal Status gizi dengan ketiga indikator (IMT/U, LILA, dan LP) memiliki hubungan yang signifikan dengan karakteristik pelajar putri SMA kelas 1 yaitu status tinggal pada uji bivariat, yaitu bila pelajar putri SMA kelas 1 tinggal

Pola makan dalam penelitian ini yang memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan status gizi pelajar putri SMA kelas 1 adalah pengontrolan berat badan. Variabel ini berhubungan signifikan secara negatif saat diuji secara independen tanpa mengontrol faktor lain, sehingga ketika pelajar putri SMA kelas

1 melakukan pengontrolan berat badan maka akan menurunkan status gizinya. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gouado dkk di Kamerun yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola makan dengan status gizi (Gouado et al., 2010). Pola makan merupakan cara makan baik di rumah maupun di luar rumah, yang meliputi frekuensi dan waktu makan, jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi, termasuk makanan yang disukai dan makanan pantangan (Suhardjo et al.,1998).

Pertumbuhan pada usia remaja juga dipengaruhi oleh asupan zat gizi yang dikonsumsi dalam bentuk makanan. Kekurangan atau kelebihan zat gizi akan menyebabkan pertumbuhan yang menyimpang (Pahlevi, 2012). Gangguan gizi pada usia remaja sering terjadi, seperti KEK dan anemia, serta defisiensi berbagai vitamin. Sebaliknya, masalah gizi lebih (overweight) yang ditandai oleh tingginya obesitas remaja terjadi terutama di kota-kota besar (Sayogo, 2011).

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik pada tingkat kecukupan energi, karbohidrat, protein dan lemak. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Faktor- faktor yang menentukan status gizi remaja putri adalah total energi, citra tubuh, konsumsi karbohidrat, penghasilan ayah, dan kebiasaan makan (Santy, 2006). Pola makan merupakan faktor resiko dari kejadian overweight, dimana anak yang mempunyai pola makan berlebih dan sangat berlebih mempunyai resiko memiliki berat badan lebih (Mujur, 2011). Penelitian lain di Surabaya dan Semarang menunjukkan bahwa seluruh remaja pada kelompok obesitas memiliki tingkat konsumsi energi, karbohidrat, protein dan lemak yang lebih tinggi daripada kelompok non obesitas (Nurfaridah dan Sulistyowati, 2008; Suryaputra dan Rahayu, 2012).

Pada dasarnya status gizi seseorang ditentukan berdasarkan konsumsi gizi dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat-zat gizi tersebut. Status gizi normal menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas makanan yang telah memenuhi kebutuhan tubuh (Indriasari, 2013). Asupan zat gizi (energi, protein, lemak dan karbohidrat) dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari sangat besar dampaknya terhadap status gizi seseorang karena akan berpengaruh kepada keseimbangan energi yang berdampak terhadap terjadinya masalah gizi. Seseorang memerlukan sejumlah zat gizi untuk dapat hidup sehat serta dapat mempertahankan kesehatannya (Almatsier, 2009). Zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus sesuai dan cukup bagi kebutuhan tubuh (Almatsier, 2011). Hasil penelitian di Bukittinggi menunjukkan bahwa asupan protein, asupan lemak, Pada dasarnya status gizi seseorang ditentukan berdasarkan konsumsi gizi dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat-zat gizi tersebut. Status gizi normal menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas makanan yang telah memenuhi kebutuhan tubuh (Indriasari, 2013). Asupan zat gizi (energi, protein, lemak dan karbohidrat) dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari sangat besar dampaknya terhadap status gizi seseorang karena akan berpengaruh kepada keseimbangan energi yang berdampak terhadap terjadinya masalah gizi. Seseorang memerlukan sejumlah zat gizi untuk dapat hidup sehat serta dapat mempertahankan kesehatannya (Almatsier, 2009). Zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus sesuai dan cukup bagi kebutuhan tubuh (Almatsier, 2011). Hasil penelitian di Bukittinggi menunjukkan bahwa asupan protein, asupan lemak,

Hasil penelitian ini tidak menemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara status gizi dan zat gizi makro dalam makanan. Zat gizi makro dalam makanan yang dianalisis dalam penelitian ini diantaranaya karbohidrat, protein, lemak dan energi total makanan. Pola konsumsi tidak bisa menjelaskan hubungannya dengan status gizi karena sebagian besar tingkat konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi makro relatif sama (tidak ada beda) antar kelompok status gizi, sehingga tidak bermakna saat diuji secara statistik. Rerata tingkat kecukupan zat gizi makro telah mencukupi AKG dan berada dalam rentang tingkat kecukupan cukup yaitu di antara rentan 80-120% AKG, hanya rerata tingkat kecukupan lemak melebihi AKG yaitu 145%. Penimbunan lemak berkontribusi pada status gizi lebih pada penelitian ini, yaitu 8% berdasarkan IMT/U dan 29,3% berdasarkan LP.

Dalam penelitian ini pola makan remaja putri, camilan dan fast food berkontribusi 36,83% dari total energi harian. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yaitu camilan berkontribusi 30% atau lebih dari total asupan kalori

remaja setiap hari. Tetapi camilan ini sering mengandung tinggi lemak, gula, dan natrium dan dapat meningkatkan risiko kegemukan dan karies gigi. Tessmer et al. berpendapat bahwa makanan ringan (camilan) hanya mengandalkan kalori, sehingga remaja suka mengemil dan menjadi tidak makan makanan yang mengandung zat gizi lengkap (Tessmer et al., 2006). Camilan memberikan kontribusi lemak yang cukup besar bagi tubuh (Matthys et al., 2006). Pada penelitian ini, camilan yang paling sering dikonsumsi pelajar putri SMA kelas 1 adalah keripik, coklat, dan chiki. Selain itu pelajar putri SMA juga gemar mengkonsumsi fast food dan yang paling sering dikonsumsi adalah mie instan, ice cream, ayam fast food, kentang goreng dan soft drink. Fast food sudah menjadi tren di kalangan remaja perkotaan. Selain menjadi tempat makanan, restoran fast food menjadi tempat kumpul favorit dengan teman (Irianto, 2014). Jenis-jenis makanan fast food seperti pizza, hamburger, fried chicken dan french fries sering dianggap sebagai lambang kehidupan modern oleh para remaja. Padahal berbagai jenis fast food tersebut mengandung kadar lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi disamping kadar garam. Konsumsi fast food bisa meningkatkan risiko bagi para remaja untuk menjadi obesitas, sehingga konsumsinya harus dibatasi (Nurhaedar, 2012). Menurut hasil penelitian Fraser et al. remaja yang sering makan di restoran cepat saji mengkonsumsi lebih banyak makanan yang tidak sehat dan cenderung memiliki IMT lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak secara periodik makan di restoran cepat saji (Fraser et al., 2011). Kebiasaan makan di restoran cepat saji (sedikitnya seminggu sekali) berhubungan positif dengan diet tinggi lemak dan IMT (Jeffery et al., 2006). Dalam penelitian ini, remaja setiap hari. Tetapi camilan ini sering mengandung tinggi lemak, gula, dan natrium dan dapat meningkatkan risiko kegemukan dan karies gigi. Tessmer et al. berpendapat bahwa makanan ringan (camilan) hanya mengandalkan kalori, sehingga remaja suka mengemil dan menjadi tidak makan makanan yang mengandung zat gizi lengkap (Tessmer et al., 2006). Camilan memberikan kontribusi lemak yang cukup besar bagi tubuh (Matthys et al., 2006). Pada penelitian ini, camilan yang paling sering dikonsumsi pelajar putri SMA kelas 1 adalah keripik, coklat, dan chiki. Selain itu pelajar putri SMA juga gemar mengkonsumsi fast food dan yang paling sering dikonsumsi adalah mie instan, ice cream, ayam fast food, kentang goreng dan soft drink. Fast food sudah menjadi tren di kalangan remaja perkotaan. Selain menjadi tempat makanan, restoran fast food menjadi tempat kumpul favorit dengan teman (Irianto, 2014). Jenis-jenis makanan fast food seperti pizza, hamburger, fried chicken dan french fries sering dianggap sebagai lambang kehidupan modern oleh para remaja. Padahal berbagai jenis fast food tersebut mengandung kadar lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi disamping kadar garam. Konsumsi fast food bisa meningkatkan risiko bagi para remaja untuk menjadi obesitas, sehingga konsumsinya harus dibatasi (Nurhaedar, 2012). Menurut hasil penelitian Fraser et al. remaja yang sering makan di restoran cepat saji mengkonsumsi lebih banyak makanan yang tidak sehat dan cenderung memiliki IMT lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak secara periodik makan di restoran cepat saji (Fraser et al., 2011). Kebiasaan makan di restoran cepat saji (sedikitnya seminggu sekali) berhubungan positif dengan diet tinggi lemak dan IMT (Jeffery et al., 2006). Dalam penelitian ini,

Pola makan remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Remaja lebih menyukai makanan dengan kandungan natrium dan lemak yang tinggi tetapi rendah vitamin dan mineral, seperti camilan dan fast food yang sudah dijelaskan sebelumnya. Makanan cemilan tersebut biasanya padat energi, tinggi natrium dan lemak, serta rendah vitamin dan mineral (Antipatis dan Gill, 2001; David R, 2006). Selain itu rasa suka yang berlebihan terhadap makanan tertentu menyebabkan kebutuhan gizi tak terpenuhi dengan optimal (Nurhaedar, 2012). Pola makan remaja sering kali tidak menentu yang merupakan resiko terjadinya masalah nutrisi. Kebiasaan makan yang sering terlihat pada remaja antara lain makan camilan (makanan padat kalori), melewatkan waktu makan terutama sarapan pagi, waktu makan tidak teratur, sering makan fast food, jarang mengkonsumsi sayur, dan buah ataupun produk pertenakan (dairy food) serta pengontrolan berat badan yang salah pada remaja putri. Hal tersebut dapat mengakibatkan asupan makanan tidak sesuai kebutuhan dan gizi seimbang dengan akibatnya gizi kurang atau gizi lebih (Irianto, 2014).