TINJAUAN PUSTAKA

7. Pendapatan Regional

7.1. Konsep dan Definisi Pendapatan Regional Berbagai konsep dan definisi yang biasa dipakai dalam membicarakan

pendapatan regional menurut Tarigan (2005: 18) adalah sebagai berikut:

1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas Dasar Harga Pasar

Produk domestik regional bruto atas dasar harga pasar adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di wilayah itu. Yang dimaksud dengan nilai tambah bruto adalah nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara (intermediate cost). Nilai tambah bruto mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan, dan pajak tidak langsung neto. Jadi, dengan menghitung nilai tambah bruto dari masing-masing sektor dan menjumlahkannya akan menghasilkan produk domestik regional bruto atas dasar harga pasar.

2. Produk Domestik Regional Neto (PDRN) atas Dasar Harga Pasar Produk domestik regional neto atas dasar harga pasar adalah produk domestik regional bruto atas dasar harga pasar dikurangi penyusutan. Penyusutan yang dimaksud adalah nilai susut (aus) atau pengurangan nilai barang-barang modal (mesin-mesin, peralatan, kendaraan dan lainnya) karena barang modal tersebut terpakai dalam proses produksi atau karena faktor waktu. Jika nilai susut barang-barang modal dari seluruh sektor ekonomi dijumlahkan, hasilnya merupakan penyusutan keseluruhan.

3. Produk Domestik Regional Neto (PDRN) atas Dasar Biaya Faktor PDRN atas dasar biaya faktor adalah PDRN atas dasar harga pasar dikurangi pajak tak langsung neto. Pajak tidak langsung meliputi pajak penjualan, bea ekspor, bea cukai dan pajak lain-lain, kecuali pajak pendapatan dan pajak perseroan. Pajak tidak langsung dari unit-unit produksi dibebankan pada pembeli hingga langsung berakibat menaikkan 3. Produk Domestik Regional Neto (PDRN) atas Dasar Biaya Faktor PDRN atas dasar biaya faktor adalah PDRN atas dasar harga pasar dikurangi pajak tak langsung neto. Pajak tidak langsung meliputi pajak penjualan, bea ekspor, bea cukai dan pajak lain-lain, kecuali pajak pendapatan dan pajak perseroan. Pajak tidak langsung dari unit-unit produksi dibebankan pada pembeli hingga langsung berakibat menaikkan

4. Pendapatan Regional Pendapatan regional neto adalah produk domestik regional neto atas dasar biaya faktor dikurangi aliran dana yang mengalir keluar ditambah aliran dana yang mengalir masuk. Produk domestik regional neto atas dasar biaya faktor, merupakan jumlah dari pendapatan berupa upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan yang timbul, atau merupakan pendapatan yang berasal dari kegiatan di wilayah tersebut. Akan tetapi, pendapatan yang dihasilkan tersebut, tidak seluruhnya menjadi pendapatan penduduk daerah setempat. Hal itu disebabkan ada sebagian pendapatan yang diterima oleh penduduk daerah lain, misalnya suatu perusahaan yang modalnya dimiliki orang luar, tetapi perusahaan tadi beroperasi di daerah tersebut. Dengan sendirinya keuntungan perusahaan itu sebagian akan menjadi milik orang luar, yaitu milik orang

yang mempunyai modal. Sebaliknya, kalau ada penduduk daerah menanamkan modalnya di luar daerah maka sebagian keuntungan perusahaan akan mengalir ke daerah tersebut, dan menjadi pendapatan dari pemilik modal. Produk domestik regional neto atas dasar biaya faktor dikurangi pendapatan yang mengalir keluar dan ditambah pendapatan yang mengalir masuk hasilnya merupakan produk regional neto, yaitu merupakan jumlah pendapatan yang benar-benar diterima (income receipt) oleh seluruh penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Akan tetapi, untuk mendapatkan angka-angka tentang pendapatan yang mengalir keluar/masuk suatu daerah (yang secara rasional dapat diperoleh dari neraca pembayaran luar negeri) masih sangat sukar diperoleh pada saat ini. Produk regional neto terpaksa belum dapat dihitung dan untuk sementara produk domestik regional neto atas dasar biaya faktor dianggap sama dengan pendapatan pendapatan regional (tanpa kata neto). Pendapatan regional dibagi jumlah penduduk yang tinggal di daerah itu, hasilnya adalah pendapatan perkapita.

5. Pendapatan Perorangan (Personal Income) dan Pendapatan Siap Dibelanjakan (Disposible Income)

Apabila pendapatan regional (regional income) dikurangi: pajak pendapatan perusahaan (corporate income taxes), keuntungan yang tidak dibagikan (undistributed profit), iuran kesejahteraan sosial (social security contribution ), ditambah transfer yang diterima oleh rumah tnagga pemerintah, bunga neto atau utang pemerintah, sama dengan pendapatan perorangan (personal income). Apabila pendapatan

perorangan dikurangi pajak pendapatan perorangan, pajak rumah tangga/ PBB dan transfer yang dibayarkan oleh rumah tangga akan sama dengan pendapatan yang siap dibelanjakan (Disposible Income). Dengan susunan ini terlihat bahwa pendapatan perorangan merupakan pendapatan yang diterima rumah tangga. Ternyata tidak seluruh pendapatan regional diterima oleh rumah tangga. Pajak pendapatan perusahaan diterima oleh pemerintah, keuntungan yang tidak dibagikan ditahan di perusahaan- perusahaan, dan dana jaminan sosial dibayar kepada instansi yang berwenang. Akan tetapi, sebaliknya rumah tangga masih menerima tambahan berupa transfer payments baik dari pemerintah maupun perusahaan dan bunga neto atas utang pemerintah. Apabila pendapatan perorangan dikurangi dengan pajak yang langsung dibebankan kepada rumah tangga dan hibah yang diberikan oleh rumah tangga, hasilnya merupakan pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income).

6. Pendapatan Regional atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan Seperti telah diuraikan diatas, angka pendapatan regional dalam beberapa tahun menggambarkan kenaikan dan penurunan tingkat pendapatan masyarakat di daerah tersebut. Kenaikan/penurunan dapat dibedakan menjadi dua faktor berikut :

a. Kenaikan/penurunan riil, yaitu kenaikan/penurunan tingkat pendapatan yang tidak dipengaruhi oleh faktor perunbahan harga. Apabila terjadi kenaikan riil pendapatan penduduk berarti daya beli a. Kenaikan/penurunan riil, yaitu kenaikan/penurunan tingkat pendapatan yang tidak dipengaruhi oleh faktor perunbahan harga. Apabila terjadi kenaikan riil pendapatan penduduk berarti daya beli

b. Kenaikan/penurunan pendapatan yang disebabkan adanya faktor perubahan harga. Apabila terjadi kenaikan pendapatan yang hanya disebabkan inflasi (menurunnya nilai beli uang) maka walaupun pendapatan meningkat tetapi jumlah barang yang mampu dibeli belum tentu meningkat. Perlu dilihat mana yang meningkat lebih tajam, tingkat pendapatan atau tingkat harga.

Oleh karena itu, untuk mengetahui kenaikan pendapatan yang sebenarnya (riil), faktor inflasi harus dikeluarkan terlebih dahulu. Pendapatan regional yang di dalamnya masih ada unsur inflasinya dinamakan pendapatan regional atas dasar harga berlaku. Sedangkan pendapatan regional dengan faktor inflasi yang sudah ditiadakan merupakan pendapatan regional atas dasar harga konstan. Untuk mengetahui apakah daya beli masyarakat meningkat atau tidak, pendapatannya harus dibandingkan delam nilai konstan. Dengan alasan inilah maka pendapatan regional perlu disajikan dalam dua bentuk, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan.

Harga konstan artinya harga produk didasarkan atas harga pada tahun tertentu. Tahun yang dijadika patokan harga disebut tahun dasar untuk penentuan harga konstan. Jadi, kenaikan pendapatan hanya disebabkan oleh meningkatnya jumlah fisik produksi, karena harga dianggap tetap (konstan). Akan tetapi, pada sektor jasa yang harus tidak memiliki unit produksi, nilai produksidinyatakan dalam harga jual. Oleh Harga konstan artinya harga produk didasarkan atas harga pada tahun tertentu. Tahun yang dijadika patokan harga disebut tahun dasar untuk penentuan harga konstan. Jadi, kenaikan pendapatan hanya disebabkan oleh meningkatnya jumlah fisik produksi, karena harga dianggap tetap (konstan). Akan tetapi, pada sektor jasa yang harus tidak memiliki unit produksi, nilai produksidinyatakan dalam harga jual. Oleh

7.2. Metode Perhitungan Pendapatan Regional Metode perhitungan pendapatan regional pada tahap pertama dapat dibagi menjadi dua metode, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung adalah perhitungan dengan menggunakan data daerah atau data asli yang menggambarkan kondisi daerah dan digali dari sumber data yang ada di daerah itu sendiri. Hal ini berbeda dengan metode tidak langsung yang menggunakan data dari sumber nasional yang dialokasikan ke masing-masing daerah. Metode langsung dapat dilakukan dengan mempergunakan tiga macam cara, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran.

Metode tidak langsung adalah perhitungan dengan mengalokasikan pendapatan nasional menjadi pendapatan regional memakai berbagai macam indikator, antara lain jumlah produksi, jumlah penduduk, luas dan areal, sebagai alokatornya (Tarigan, 2005:23 ).

1. Metode Langsung

a. Pendekatan produksi Pendekatan produksi adalah perhitungan nilai tambah barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu kegiatan/sektor ekonomi dengan cara mengurangkan biaya antara dari total nilai produksi bruto sektor atau subsektor tersebut. Pendekatan ini banyak digunakan untuk memperkirakan nilai tambah dari sektor/kegiatan yang produksinya a. Pendekatan produksi Pendekatan produksi adalah perhitungan nilai tambah barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu kegiatan/sektor ekonomi dengan cara mengurangkan biaya antara dari total nilai produksi bruto sektor atau subsektor tersebut. Pendekatan ini banyak digunakan untuk memperkirakan nilai tambah dari sektor/kegiatan yang produksinya

b. Pendekatan Pendapatan Dalam pendekatan pendapatan, nilai tambah dari setiap kegiatan ekonomi diperkirakan dengan menjumlahkan semua balas jasa yang diterima faktor produksi, yaitu upah dan gaji dan surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Pada sektor pemerintahan dan usaha yang sifatnya tidak mencari untung, surplus usaha tidak diperhitungkan. Surplus usaha meliputi bunga yang dibayarkan neto, sewa tanah dan keuntungan. Metode pendekatan pendapatan banyak dipakai pada sektor jasa, tetapi tidak dibayar setara harga pasar, misalnya sektor pemerintahan. Hal ini disebabkan kurang lengkapnya data dan tidak adanya metode yang akurat yang dapat dipakai dalam mengukur nilai produksi dan biaya antara dari berbagai kegiatan jasa, b. Pendekatan Pendapatan Dalam pendekatan pendapatan, nilai tambah dari setiap kegiatan ekonomi diperkirakan dengan menjumlahkan semua balas jasa yang diterima faktor produksi, yaitu upah dan gaji dan surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Pada sektor pemerintahan dan usaha yang sifatnya tidak mencari untung, surplus usaha tidak diperhitungkan. Surplus usaha meliputi bunga yang dibayarkan neto, sewa tanah dan keuntungan. Metode pendekatan pendapatan banyak dipakai pada sektor jasa, tetapi tidak dibayar setara harga pasar, misalnya sektor pemerintahan. Hal ini disebabkan kurang lengkapnya data dan tidak adanya metode yang akurat yang dapat dipakai dalam mengukur nilai produksi dan biaya antara dari berbagai kegiatan jasa,

c. Pendekatan Pengeluaran Pendekatan dari segi pengeluaran adalah menjumlahkan nilai pengguanaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Kalau dilihat dari segi penggunaan maka total penyediaan/produksi barang dan jasa itu digunakan untuk:

1) Konsumsi rumah tangga

2) Konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari uang

3) Konsumsi pemerintah

4) Pembentukan modal tetap bruto (investasi)

5) Perubahan stok

6) Ekspor neto Ekspor neto adalah ekspor dikurangi total impor. Total penyediaan (total barang dan jasa yang tersedia) di dalam negeri adalah total yang diproduksi ditambah impor dikurangi ekspor. Karena yang akan dihitung hanya nilai barang dan jasa yang berasal dari produksi dalam negeri saja maka total konsumsi harus dikurangi dengan nilai impor kemudaian ditambah dengan nilai ekspor. Perubahan stok adalah selisih kondisi awal tahun dengan akhir tahun dari barang/bahan yang ada dalam penyimpanan/pergudangan para pedagang/produsen ataupun stok dalam proses produksi. Harus dihitung berapa yang digunakan untuk 6) Ekspor neto Ekspor neto adalah ekspor dikurangi total impor. Total penyediaan (total barang dan jasa yang tersedia) di dalam negeri adalah total yang diproduksi ditambah impor dikurangi ekspor. Karena yang akan dihitung hanya nilai barang dan jasa yang berasal dari produksi dalam negeri saja maka total konsumsi harus dikurangi dengan nilai impor kemudaian ditambah dengan nilai ekspor. Perubahan stok adalah selisih kondisi awal tahun dengan akhir tahun dari barang/bahan yang ada dalam penyimpanan/pergudangan para pedagang/produsen ataupun stok dalam proses produksi. Harus dihitung berapa yang digunakan untuk

2. Metode Tidak Langsung Metode tidak langsung adalah suatu cara mengalokasikan produk domestik bruto dari wilayah yang lebih luas ke masing-masing bagian wilayah, misalnya mengalokasikan PDB Indonesia ke setiap provinsi dengan menggunakan alokasi tertentu, alokator yang dapat digunakan, yaitu

1. Nilai produksi bruto atau neto setiap sektor/subsektor.

2. Jumlah produksi fisik.

3. Tenaga kerja.

4. Penduduk.

5. Alat ukur tidak langsung. Dengan menggunaka salah satu atau kombinasi dari beberapa alokator dapat diprhitugkan persentase bagian masing-masing provinsi terhadap nilai tambah setiap sektor dan subsektor. Metode ini terkadang terpaksa digunakan karena adanya kegiatan usaha yang lokasinya ada di beberapa wilayah, sedangkan pencatatan yang lengkap hanya dilakukan di kantor pusat. Misalnya, laba perusahaan tidak tercatat pada masing- masing wilayah melainkan hanya tercatat di kantor pusat.

B. Penelitian Terdahulu

Kajian terdahulu menyebutkan kecenderungan yang ditemukan beberapa pakar tentang disparitas/ ketimpangan diantaranya.

Agus Eko Prasetyo pada tahun 2007 dalam penelitiannya yang berjudul ”Analisis Ketimpangan Daerah Di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2004”, dengan menggunakan alat analisis Indeks Gini, Indeks Kuznets, Indeks Oshima dan Indeks Williamson. Untuk menguji indeks-indeks tersebut, digunakan Uji Hipotesis Mean dan Uji Hipotesisi Dua Mean. Kemudian untuk menghitung pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat digunakan alat analisis regresi berganda yang dilengkapi dengan Uji t, Uji F dan Koefisien Determinasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam analisis Indeks Gini, Indeks Kuznets dan Indeks Oshima pada era sebelum otonomi daerah dan selama otonomi daerah terdapat ketimpangan pendapatan rendah yaitu rata-rata 0,2555 untuk Indeks Gini, 0,3657 untuk Indeks Kuznets dan 0,3031 untuk Indeks Oshima.Tetapi berdasarkan Indeks Williamson menunjukkan ketimpangan pendapatan daerah yang cukup tinggi yaitu 0,7672 untuk rata-rata ketimpanga sebelum otonomi, dan 0,7693 umtuk rata-rata selama daerah Dari hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa PDRB, PAD, PKP (Pengeluaran Konsumsi Penduduk), IKM (Indeks Kemiskinan Manusia) berpengaruh terhadap Indeks Oshima pada era sebelum otonomi daerah. Sedangkan pada masa otonomi daerah hanya PKP (Pengeluaran Konsumsi Penduduk) saja yang berpengaruh terhadap Indeks Oshima.

I Gusti Agung Rai Jentayu pada tahun 2005 dalam penelitiannya yang berjudul ”Kesenjangan Perekonomian Antar Kabupaten/ Kota di Propinsi Bali” telah disimpulkan bahwa selama tahun tahun 1993 hingga 2003 terdapat

ketimpangan distribusi pendapatan di propinsi Bali. Melalui Indeks Williamson tingkat ketimpangan pendapatan antar daerah berkisar antara 0,4452 hingga 0,4959. Sedangkan ketimpangan distribusi pendapatan perkapita antar daerah melalui Gini Coefficient adalah berkisar antara 0,4689 hingga 0,4823 . Angka ini menunjukkan terjadinya permasalahan ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah. Kemudian dilihat dari tipologi daerah menunjukkan daerah-daerah dengan Indeks Manusia (IPM) yang relatif tinggi dengan pertumbuhan ekonominya diatas rata-rata adalah daerah yang mempunyai pendapatan perkapita yang relatif tinggi dan sebaliknya. Transformasi struktur perekonomian kabupaten/ kota di Bali menunjukkan adanya pergeseran-pergeseran, yaitu pergeseran kearah sektor yang dominan dalam pembentukkan PDRB sehinnga tidak terjadi ketidakseimbangan antar daerah.

Sutarno dan Mudrajad Kuncoro pada tahun 2004 dalam penelitiannya yang berjudul ”Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar Kecamatan di Kabupaten Banyumas, 1993-2000”, dengan menggunakan Tipologi Klassen, Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil telah disimpulkan bahwa menurut tipologi Klassen, daerah/kecamatan di Kabupaten Banyumas dapat diklasifikasikan berdasarkan pertumbuhan dan pendapatan perkapita menjadi empat kelompok yaitu daerah/kecamatan cepat maju dan cepat tumbuh, daerah/kecamatan yang maju tapi tertekan, daerah/kecamatan yang berkembang cepat dan daerah relatif tertinggal. Pada periode 1993-2000, terjadi kecenderungan peningkatan ketimpangan , baik dianalisis dengan Sutarno dan Mudrajad Kuncoro pada tahun 2004 dalam penelitiannya yang berjudul ”Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar Kecamatan di Kabupaten Banyumas, 1993-2000”, dengan menggunakan Tipologi Klassen, Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil telah disimpulkan bahwa menurut tipologi Klassen, daerah/kecamatan di Kabupaten Banyumas dapat diklasifikasikan berdasarkan pertumbuhan dan pendapatan perkapita menjadi empat kelompok yaitu daerah/kecamatan cepat maju dan cepat tumbuh, daerah/kecamatan yang maju tapi tertekan, daerah/kecamatan yang berkembang cepat dan daerah relatif tertinggal. Pada periode 1993-2000, terjadi kecenderungan peningkatan ketimpangan , baik dianalisis dengan

C. Kerangka Pemikiran

Untuk mempermudah dalam kegiatan penelitian, analisis data, agar diperoleh penelitian yang baik, maka didapat kerangka penelitian sebagai berikut :

Pembangunan Ekonomi Regional

PDRB PDRB per kapita

Pertumbuhan Ekonomi Ketimpangan Regional

Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

Pembangunan Ekonomi Daerah

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran

Kinerja pembangunan ekonomi di suatu daerah dapat diamati dengan melihat PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) daerah tersebut beserta pertumbuhannya. Meskipun bukan satu-satunya tolak ukur, namun PDRB merupakan suatu tolak ukur yang penting untuk mengetahui pertumbuhan/ kinerja ekonomi sektoral. Selain itu, dari proses pembangunan yang berjalan dapat pula diketahui PDRB per kapita. Sehingga dapat ditentukan tingkat distribusi pendapatan regional di suatu daerah, yakni dengan melihat penyebaran PDRB per kapita kecamatan terhadap rata-rata PDRB kabupaten. Analisis berikut adalah untuk mengetahui apakah terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan regional antar kecamatan di Kabupaten Karanganyar selama periode pengamatan.

Salah indikator yang dikembangkan oleh para ekonom untuk melihat keberhasilan pembangunan adalah dengan melihat angka ketimpangan pembangunan regional. Dalam hal ini dipakai Indeks Williamson (IW) sebagai alat ukur untuk mengetahui tingkat ketimpangan pembangunan regional di Kabupaten Karanganyar. Dimana IW berkisar diantara 0-1, makin besar angka ketimpangan pembangunan di suatu daerah berarti pembangunan di daerah tersebut semakin timpang. Sebaliknya, makin kecil angka ketimpangan Salah indikator yang dikembangkan oleh para ekonom untuk melihat keberhasilan pembangunan adalah dengan melihat angka ketimpangan pembangunan regional. Dalam hal ini dipakai Indeks Williamson (IW) sebagai alat ukur untuk mengetahui tingkat ketimpangan pembangunan regional di Kabupaten Karanganyar. Dimana IW berkisar diantara 0-1, makin besar angka ketimpangan pembangunan di suatu daerah berarti pembangunan di daerah tersebut semakin timpang. Sebaliknya, makin kecil angka ketimpangan

D. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Diduga ada perbedaan klasifikasi kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Karanganyar berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita menurut Tipologi Klassen.

2. Diduga terdapat tingkat ketimpangan pendapatan antar kecamatan di Kabupaten Karanganyar.

3. Diduga terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar kecamatan di Kabupaten Karanganyar.

4. Diduga terdapat kecamatan yang berada pada kawasan ketimpangan besar, kawasan ketimpangan sedang dan kawasan ketimpangan kecil.