BAB II PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
A. Pengaturan Pengadaan Tanah
Hak dasar dari setiap orang adalah adalah kepemilikan atas tanah. Jaminan mengenai tanah ini, dipertegas dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2005, tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Sosial and Cultural Rights Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya
14
. Tanah pada dasarnya memiliki 2 arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Tanah sebagai
social asset adalah sebagai sarana pengikat kesatuan di kalangan lingkungan sosial untuk kehidupan dan hidup, sedangkan tanah sebagai capital asset adalah
sebagai modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.
15
Tanah merupakan sumber daya alam yang stratrgis bagi bangsa, negara dan rakyat, maka didalam konsitusi kita, yaitu dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
menjelaskan bahwa segala kekayaan alam dikuasai oleh negara. Kewenangan negara ini diatur kembali dalam Pasal 2 UUPA yang mencangkup, antara lain:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi,air dan ruang angkasa.
14
Maria S.W.Sumarjono, Tanah Dalam Prefektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Bukum Kompas, Jakarta, 2008, hal. vii
15
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang, 2007, Hal. 1
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum anatara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. 3.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,air dan
ruang angkasa. Saat ini, kebutuhan tanah sebagai capital asset semakin meningkat, sebab
banyaknya pembangunan dibidang fisik baik dikota maupun didesa. Dan pembangunan seperti itu membutuhkan banyak tanah.Kebutuhan akan tersedianya
tanah untuk keperluan pembangunan tersebut memberi peluang terjadinya pengambilalihan tanah bagi proyek, baik untuk kepentingan negara kepentingan
umum maupun untuk kepentingan bisnis. Keterbatasan tanah dan banyaknya pembangunan menyebabkan
pergesekan. Manakala disatu sisi pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana utamanya, sedangkan di sisi lain sebagian besar dari warga masyarakat
juga memerlukan tanah sebagai tempat permukiman dan tempat mata pencariannya.
16
Untuk itu pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan agar pembangunan tetap terpelihara, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk
kepentingan umum. Dan untuk memperoleh tanah-tanah tersebut terlaksana melalui pengadaan tanah.
17
16
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Edisi Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm 9
17
Bernhard Limbong, Op.Cit, hal.127
Landasan utama pengaturan pengadaan tanah ini ada dalam Pasal 18 UUPA “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan mmberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur Undang-
Undang”. Walaupun didalam Pasal 21, 29, 42, dan 45 UUPA mengandung prinsip penguasaan dan penggunaan tanah secara individu, namun hak-hak atas tanah
yang bersifat pribadi tersebut mengandung unsur kebersamaan. Sifat pribadi hak- hak atas tanah yang sekaligus mengandung unsur-unsur kebersamaan di pertegas
dalam Pasal 6 UUPA yang mana semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ketentuan lebih lanjut, mengenai pengadaan tanah di atur dalam Peraturan
Pemerintah. Pengertian pengadaaan tanah menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanh Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi keapada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaita dengan tanah atau dengan
pencabutran Hak atas Tanah. Selain itu, didalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang menurut ketentuan dalam Pasal 1 pengertian Pengadaan Tanah
adalah setiap kegiatan yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Jika dilakukan
perbandingan dari kedua peraturan presiden tersebut, terdapat perbedaan. Perbedaan itu tampak, dimana didalam Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 disebutkan tentang pencabutan Hak Atas Tanah, sedangkan dalam
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tidak ada menyinggung mengenai Hak Atas Tanah, sehingga dapat disimpulkan bahwa tanah untuk kepentingan umum
adalah suatu kegiatan yang diperbuat untuk mendapatkan tanah melalui pelepasan atau penyerahan Hak Atas Tanah, bangunan, tanaman, aitau benda-benda yang
berkaotan dengan tanah dengan cara memberikan ganti rugi yang layak. Namun setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dalam Pasal 1 butir 2 menjelaskan bahwa pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan
cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Pengadaan tanah pada dasarnya dilakukan demi melakukan pelakasanaa
pembangunan, namun dalam melaksanakannya dibutuhkan tanah, sehingga proses dalam penyediaan tanah dalam rangka pembangunan ini yang disebut proses
pengadaan tanah. Dalam menjalani proses pengadaan tanah, terdapat peraturan- peraturan yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tantang Undang- Undang
Pokok Agraria UUPA. Didalam undang-undang ini, pasal yang terkait dengan pengadaan tanah ada didalam;
a. Pasal 14 ayat 1 dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 2 ayat
2 dan 3, Pasal 9 ayat 2, Pasal 10 ayat 1 dan 2, Pemerintah membuat rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya;
1. Untuk keperluan negara;
2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci
lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; 3.
Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebuadayaan dan lain-lain kesejahteraan;
4. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian,
perternakan, dan perikanan serta sejalan dengan itu; 5.
Untuk keperluan memperkembangakan industri, transmigrasi dan peertambangan.
b. Pasal 18 menyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari selurh rakyat. Hak-Hak Atas Tanah dapat dicabut dengan
memberikan ganti rugi kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan udang-undang,
2. Selain terkandung didalam Undang-Undang, peraturan mengenai
pengadaan tanah juga didatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri, antara lain:
a. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang
Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. b.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan
Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Olehh Pihak Swasta.
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang
Cara pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Di wilayah Kecamatan.
Namun, ketiga perakturan mentri diatas, dinyatakan tidak berlaku, lagi dengan dikeluarkanya.
3. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaaan Tanah
bagi Pelaksanan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkanya:
4. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang telah disempurnakan oleh:
5. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo Nomor 36 Tahun 2006 hanya mengatur mekanisme pengadaaan tanah dan tidak digunakan untuk
melakakukan Hak Atas Tanah yang pada hakikatnya merupakan subtansi undang-undang.
6. Peraturan Menteri AgrariaKepala BBPN Nomor 1 Tahun 1994
tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomr 1 Tahun 1994 ini
masih digunakan sebagai pediman pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembagunan untuk kepentingan umum karena hingga saat ini belum
ada peraturan pelaksana dari Peraturan Presdien Nomor 65 Tahun 2006.
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak
Atas Tanah dan Benda-Benda Ynag Ada Di Atasnya. Jika keadaan mengharuskan dilakukannya pencabutan Hak Atas Tanah maka
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo Nomor 65 Tahun 2006 tida lagi dapat diterapkan dengan langkah berikutnya adalah dengan
menggunakan instrumen Undang-Unddang Nomor 20 Tahun 1961 dan peraturan Pelaksanaannya.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan
Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada
Diatasnya. 9.
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada
diatasnya. 10.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
11. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
12. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012
Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Maka dari sejumlah peraturan yang tersangkut didalam pengadaan tanah, dapat disimpulkan bahwa cara memperoleh tanah dalam pelaksanaan pengadaan
tanah, yakni dengan memberi ganti rugi cara yang paling utama, melepaskan hak atas tanah, dan dengan mencabut hak atas tanah. Secara Normatif, semua hak
tanah mempunyai fungsi sosial, itu artinya hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, penggunaannya tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, terlebih
lagi apabila hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya sehingga
bermanfaat, baik bagi kesejahteraan pemiliknya mapun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara.
Hal ini berarti bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah. Pengadaan
tanah untuk pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak atas tanah mengenai dasar dan bentuk ganti rugi yang diberikan
kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri. Dalam melakukan kegiatan pengadaan tanah, maka untuk memperoleh tanah yang dibutuhka maka harus ada
ganti kerugian kepada pihak yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Maka sehubungan
dengan itu, pengadaan tanah selalu menyangkut dua sisi demensi yang harus ditempatkan secara seimbang, yaitu “kepentingan masyarakat dan kepentingan
pemerintah” Dengan demikian, masalah pokok yang menjadi sorotan atau perhatian
dalam pelaksanaan pengadaan hak atas tanah adalah “menyangkut hak-hak atas
tanah yang status dari hak atas tanah itu akan dicabut atau dibebaskan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa unsur yang paling pokok dalam pengadaan hak atas tanah
adalah ganti rugi yang diberikan sebagai atas hak yang telah dicabut atau dibebaskam”
18
Implemetasi pengadaan tanah perlu memerhatikan beberapa prinsip asas sebagaimana tersirat dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan terkait
yang mengaturnya. Prinsip-prinsip tersebut adalah: . Eksesistensi pemegang hak atas tanah boleh jadi ditelantarkan
demi pembangunan untuk kepentingan umum. Maka perlu adanya perlindungan hukum secara proposional kepada mereka.
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapa pun dan untuk keperluan
apa pun harus ada landasan haknya. 2.
Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa.
3. Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dihaki oleh seseorangbadan
hukum harus melalui kata sepakat antarpihak yang bersangkutan dan 4.
Dalam keadaan yang memaksa, artinya jalan lain yang ditempuh agar maka presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan
hak, tanpa persetujuan subyek hak menurut UU Nomor 20 Tahun 1961.
18
Abdurrahman, Op.Cit.,hal. 23
Penerapan prinsip-prinsip dalam pengadaan tanah, diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam Perpres Nomor 71 Tahun 2012, Pasal 3 ayat 1 dan
Pasal 4 yaitu: 1.
Setiap Instansi yang memerlukan tanah bagi Pembangunan Untuk kepentingan umum membuat rencana Pengadaan Tanah yang didasarkan
pada: a.
Rencana Tata Ruang Wilayah;dan b.
Prioritas Pembangunan yang tercantum dalam 1
Rencana Pembangunan Jangka Menengah; 2
Rencana Strategis;dan 3
Rencana Kerja Pemerintaj Instansi yang bersangkutan. 2.
Rencana Tata Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 huruf a, didasarkan atas:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; danatau
c. Rencana Tata Ruang Wilayah KabupatenKota
Disamping itu, dalam Hukum Tanah Nasional dikemukakan mengenai asas-asas yang berlaku dalam penguasaan tanah dan perlindungan hukum bagi
pemegang hak atas tanah yaitu:
19
1. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk
keperluan siapapun dan utntuk keperluaan apapun, harus dilandasain hak pihak penguasa sekalipun, jika gangguan atas tanah yang
disediakan oleh hukum tanah Nasional. 2.
Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya illegal tidak dibenarkan dan diancam dengan sanksi pidana.
3. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak
yang disediakan oleh hukum tanah nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota
19
Arie.S.Hutagalung, Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta: LPHI,2005, hlm.377
masyaraky maupun oleh pihak penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya.
4. Bahwa oleh hukum disediakan berbagai sarana hukum untuk
menanggulangi gangguan yang ada, yaitu: a
Gangguan oleh sesama anggota masyarakat: gugatan perdata melalui pengadilan Negeri atau meminta perlindungan kepada
BupatiWalikotamadya menurut UU No.51 Prp Tahun 1960. b
Gugatan oleh Penguasa: Gugatan melalui pengadilan Tata Usaha Negara.
5. Bahwa dalam keadaaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk
keperluan apapun juga untuk proyek kepentingan umum perolehan tanah yang dihaki seseorang, harus melalui musyawarah untuk
mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya yang
merupakan hak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk menerimanya.
6. Bahwa hubungan dengan apa yang tersebut diatas, dalam keadaan
biasa, untuk memperoleh tanahyang diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun dan oleh pihak siapapun kepada
pemegang haknya, untuk menyerakan tanah kepunyaanya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujui, termasuk juga penggunaan
lembaga “penawaran pembayaran diikuti dengan konsinyasi pada
Pengadilan Negeri” seperti yang diatur dalam Pasal 1404 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
7. Bahwa dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan
diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum dan tidak mungkin digunakan tanah lain, sedang musyawarah yang diadakan
tidak berhasil memperoleh kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang
haknya, dengan menggunakan acara “pencabutan hak” yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.
8. Bahwa dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas dasar
kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak pemegang haknya berhak memperoleh imbalan atau ganti kerugian yang bukan
hanya meliputi tanahnya, bangunan dan tanaman pemegang hak, melainkan juga kerugian-kerugian lain yang diderita sebagai
penyerahan tanah yang bersangkutan. 9.
Bahwa bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut, juga jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan
pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial
maupun tingkat ekonominya.
B. Aspek Kepentingan Umum