penetapan hak tersebut oleh negara, masyarakat pemohon berkewajiban untuk menunjukan bukti perolehan tanahnya terlebih dahulu juga membayar biaya-biaya
tertentu baik berupa biaya administrasi maupun kewajiban perpajakan. Didalam Pasal 41 ayat 2 UU No.2 Tahun 2012 menyatakan bahwa” Pada
saat pemberian ganti kerugian berhak menerima ganti kerugian wajib, melakukan pelepasan hak; dan menyerahkan buti penguasaan atau kepemilikan Objek
Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan”. Dari pasal diatas, menjelaskan pelepasan hak dilaksanakan ketika
terjadi pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah tersebut. Maka, unsur-unsur yang sangat penting dalam pelepasan hak atas tanah
berdasarkan Perpes No.71 Tahun 2012, terdapat dalam Pasal 97 yaitu: a.
Surat pernyataan pelepasanpenyerahan hak atas tanah atau penyerahan tanah dan atau bangunan danatau tanaman danatau benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah; b.
Menarik bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah dari Pihak yang Berhak
c. Memberikan tanda terima pelepasan; dan
d. Membubuhi tanggal, paraf dan cap pada sertifikat dan buku tanah
kepemilikan yan sudah dilepaskan kepada negara.
C. Prosedur Pencabutan Hak.
Pengadaan tanah sebagai sarana untuk memenuhi pembangunan fasilitas
umum demi kepentingan umum mengacu pada Pasal 18 UUPA yang menyatakan,
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hakk atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.”
Masalah pembebasan tanah sekarang ini dapat di jumpai aturanya di dalam berbagai peraturan, surat edaranatau intruksi yang dio keluarkan oleh Dapertemen
Dalam Negeri. Beberapa di antartaranya: 1.
Peraturan Menteri Dalam Negeri PMDP No. 15 tahun 1975 tanggal 13 Desember 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara
pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah. 2.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1976 tentang penggunaan acara pembebasan tanah untuk swasta.
3. Surat edaran Direktorat jendral agraria tanggal 28 februari 1978 No. BTU
22681979 tentang PMDN No. 15 tahun 1975 tentang ketentuan- ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.
Dalam prakteknya sekarang ini ternyata UU No. 20 tahun 1961 jarang dipergunakan, artinya untuk pengaturan tanah dalam rangka pembangunan dan
kepentingan umum prosedur yang di tempuh lebih banyak prosedur pembebasan tanah PMDN No. 15 tahun 1975. Hal itu disebabkan proses pencabutan UU No.
20 tahun 1961 akan memakan waktu relatif lebih lama dan lebih bersifat memaksa bagi pemilik tanah; sedangakan prosedur pembebasan PMDN No. 15
tahun 1975 adalah lebih cepat dan dirasakan lebih menjamin tidak timbulnya
keresahan masyarakat karena untuk adanya pembebasan itu diharuskan ada musyawarah sehingga ada kata sepakat.
46
Undang-undang No.20 Tahun 1961 secara garis besar memuat 2 macam acaa pencabutan Hak atas tanah danatau benda-benda yang ada di atasnya demi
kepentigan umum, yaitu Acara yang biasa dan acara yang mendesak. 1.
Acara Tata Cara Yang Biasa a.
Pihak yang berkepentingan harus mengajukan permohonan melalui kepala inspeksi agrarian Kakanwil BPN Provinsi
disertai rencana peruntukan dan alasan-alasan dilakukanya pencabutan hak atas tanah tersebut, keterangan orang-orang
yang akan dikenakan pencabutan hak dan luas tanah, juga benda-benda yang ada diatasnya, rencana penampungan orang-
orang yang haknya akan dicabut b.
Kepala Inpeksi Agraria Kankawil BPN Provinsi meminta pertimbangan kepada daerah yang bersangkutan tentang
permohonan kepada daerah yang bersangkutan tentang permohonan tersebut dan penampungannya, kecuali dalam
keadaan yang benar-benar mendesak, pertimbangan tersebut dapat diabaikan.
c. Selanjutnya membentuk Panitia Penaksir untuk menghitung
dan menetapkan ganti kerugian.
46
http:refhie.blogspot.com201211pembebasan-dan-pencabutan-hak-atas-tanah.html
d. Kankanwil BPN Provinsi kemudian meminta rekomendasi dari
kepala BPN, Mentri Hukum dan Ham dan Mentru terkait.\ e.
Berkas Permohonan diteruskan kepada Presiden untuk diterbitkan keputusan pencabutan hak atasn tanah yang
dimaksud. f.
Keputusan tentang pencabutan hak ini dimuat dalam Berita Acara Negara dan isinya dimuat juga dalam surat kabar serta
diberitahukan kepada pemegang hak atas tanah yang dicabut. Penting bagi pihak yang dicabut haknya adalah bahwa mereka tidak dapat
mengajukan gugatan dengan menyatakan tidak bersedia haknya dicabut. Gugatan mereka dibatasi dalam hal penentuan besarnya ganti rugi yang ditawarkan
pemerintah. Selain itu.pihak pengadilan tinggi hanya akan menetapkan apakah tetap pada jumlah yang ditawarkan pemerintah atau menaikkan jumlah uang ganti
rugi tersebut.
47
Walaupun terlihat bahwa prosedur pencabutan hak ini sangat rumit akibat melibatkan instansi lain dan harus dengan keputusan Presiden. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pencbutan hak atas tanah semestinya sulit utuk dilaksanakan. 2.
AcaraTata Cara Yang Mendesak. Dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan
penguasaan tanah danatau benda-benda yang bersangkutan dengan segera, pencabutan hak atas tanah dapat dilakykan dengan
47
A.P.Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung 1993,hal.102
mengabaikan tahapan-tahapan sebagaimana dijalanan pada peosedur normal. Ketentuan ini terdapat dalam pasal 6 UU No.20
Tahun 1961 yaitu: a.
Dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan tanah danatau benda-benda yang bersangkutan
dengan segera, atas permintaan yang berkempentingan, Kankanwil BPN Provinsi menyampaikan permohonan untuk
melakukan pencabutan hak kepada Kepala BPN, tanpa disertai taksiran ganti rugi dari panitia penaksir dan kalau perlu juga
dengan tidak menunggu diterimanya pertimbangan Kepala Daerah.
b. Setelah menerma permohonan pencabutan hak, Kepala BPN
mengeluarkan Surat Keputusan yang memberi izin kepada instansi pemerintah yang berkepentingan untuk menguasai
tanah yang bersangkutan. Keputusan penguasaan itu akan segera diikuti dengan Keputusan Presiden mengenai
dikabulkan atau ditolaknya permintaan untuk melakukan pencabutan hak.
Namun, ada kemungkinan bahwa pemberian izin oleh kepala BPN untuk menguasai tanah oleh pihak yang berkepentingan tidak diikuti dengan Surat
Keputuisan Pencabutan dari Presiden. Hal ini dikarenakan, misalnya pemberian izin dari Kepala BPN tidak didasarkan alasan dan bahan-bahan yang lengkap
sehubngan dengan kemepetan waktu dalam mengeluarkan keputusan. Hal ini didasarkan pada penjelasan Pasal 6 UU No.20 Tahun 1961.
Dalam hal permintaan pencabutan hak tidak dikabulkan oleh Presiden sementara telah dilakkan penguasaan atas tanah oleh yang berkepentingan, naka
pihak yang bekepentingan harus menanggung resiko bahwa tanah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya atau membayar ganti kerugian yang sepadan
kepad pemiliknya. Selain itu, adanya penolakan penerbitan Surat Keputusan Pencabutan dari
Presiden dapat diasumsi bahwa ada batasan yang jelas mengenai keadaan mendesak. Tamabahan pula, UU No.20 Tahun 1961 tidak memberikan penjelasan
yang memadai tentang keadaan mendesak. Tentu saja keadaan mendesak yang dimaksud dapat ditafsir sesuai dengan kepentingan pihak pemerintah dan
berpotensi bagi penyalahgunaan wewenang. Dalam hal pencabutan hak atas tanah ini, terdapat dua kepentingan
seimbang yaitu kepentingan pemegang jak atas tanahnya tentu menginginkan sejumlah ganti rugi dari kepentingan pemerintah, dan di lain pihakm yaitu
melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, pemecahan permasalahan pertanahan harus memperlihatkan dua kepentingan yang berbeda itu sehingga
disamping terlaksananya pembangunan yang diprogramkan, juga terpelihara hubngan yang harmonis antara pemerintah dan rakyat untuk meningkatkan
pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MASYARAKAT