Tarbiyah Partai Keadilan Sejahtera .1. Idiologi dan Asas Partai

46 mensyaratkan pengenalan Alquran dan sunnah, dua sumber otoratif untuk menetapkan peraturan islam untuk setiap keadaan. Kaum muslim mempelajari kitab suci agar dapat mendasarkan keselarasan mereka dengan Islam pada pemahaman, bukannya pada ketaatan kepada otoritas agama. Dia mengakui bahwa orang bisa saja sering berselisih soal hal-hal kecil dalam hukum, namun dia berpendapat bahwa perselisihan seperti itu hendaknya tidak menimbulkan permusuhan di kalangan kaum muslim. Untuk memperkecil perselisihan seperti itu hendaknya tidak menimbulkan permusuhan dikalangan kaum muslim. Untuk memperkecil perselisihan seperti itu hendaknya tidak mendiskusikan soal-soal spekulatif dan hipotesis, karena tak ada nilai praktisnya. 68 Dalam hal ini pemikiran Hasan Al Banna tentang agama erat kaitannya dengan proses tarbiyah pendidikan untuk menghasilkan generasi yang kuat dalam menghadapi keadaan zaman yang ada.

3.1.1. Tarbiyah

Ketika kita berbicara tentang Hasan Al Banna maka kita tidak dapat melepaskan tokoh tersebut dari gerakan yang didirikannya yaitu ikhwanul muslimin. Hasan Al Banna telah banyak mencurahkan pemikirannya untuk mendirikan Ikhwanul Muslimin. Tarbiyah bukan segala-galanya, namun yang segala-galanya tak akan bias diraih tanpa melalui tarbiyah. Ucapan Musthafa Mashur ini sangat terkenal di kalangan aktivis Partai Keadilan Sejahtera. Konsep tarbiyah dalam bentuk aplikatif adalah genuine dari pemikiran Hasan al-Banna, konsep ini bersinggungan dengan para aktivis Partai Keadilan Sejahtera yang sebelumnya lebih dikenal 68. Hasan Al banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 2, terj : anis matta, rofi munawar dan wahid ahmadi, Solo : PT. Era Adicitra Intermedia, 2012 hal 64 Universitas Sumatera Utara 47 dengan aktivis tarbiyah. Melalui proses tarbiyah, aktivis Partai Keadilan Sejahtera membina kadernya sehingga menjadi kader yang istiqamah. Tarbiyah berarti pendidikan. �������ℎ 69 yang dimaksudkan kalangan Hasan al Banna adalah pendidikan dalam artian yang formal maupun informal. Tarbiyah dalam artian pendidikan formal tebukti dengan mendirikannya 2000 sekolah di Mesir. Sedangkan dalam kontek informal berarti pembinaan. Tarbiyah dalam makna pembinaan atau takwin pembentukan, seperti apa yang dilakukan oleh Hasan al- Banna, ketika pertama-tama melakukan gerakan dakwah di Ismailiyah yaitu dengan melakukan pengajian-pengajian kecil dihadiri 5-10 orang di berbagai tempat. Ali Abdul Halim Mahmud dalam kitab Wasailut Tarbiyah ‘Inda Ikhwanil �������� 70 perangkat-perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin mendefenisikan kegiatan tarbiyah sebagai cara ideal berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung berupa kata-kata maupun secara tidak langsung berupa keteladanan dengan system dan perangkat yang khas, untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang “lebih baik”. Dalam konsepsi Partai Keadilan Sejahtera, tarbiyah adalah core inti dari segala aktivitas atau semua kegiatan. Apapun yang dilakukan memiliki nilai pembinaan atau pendidikan atau untuk meningkatkan kualitas keislaman dan harakah gerakan. Karena itu, Partai Keadilan Sejahtera memandang persoalan pembinaan atau tarbiyah ini menjadi sesuatu yang sifatnya inti, bahkan keterlibatan partai ini di parlemen atau yang di kabinet yang konsep dasarnya 69. Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan, hal 191. 70. Irwan Prayitno, Al Tarbiyah al Islaimiyah al Harakiyah, Jakarta:Tarbiyatuna, 2002 hal 2 Universitas Sumatera Utara 48 tidak bisa dilepaskan dari konsep pembinaan dalam artian yang luas kualitas pembinaan seseorang. Maka nyaris mustahil Partai Keadilan Sejahtera meninggalkan aspek tarbiyah sebagai sesuatu yang harus ditekankan. Pedoman di atas berangkat dari pengertian tarbiyah bahwa tarbiyah itu mempunyai proses penumbuhan pembinaan yang sifatnya menyeluruh, artinya seluruh sisi kemanusiaan itu sendiri, baik intelektualitas ataupun juga kemampuan skill juga kualitasnya. Tarbiyah sendiri mempunyai dua kategori, pertama, tarbiyah bashariyah yaitu proses pendidikan yang manusia terlibat langsung, ada tempat, alat, sarana, dalam arti yang formal. Kedua, yang juga selalu ditekankan adalah tarbiyah rabbaniyah, yaitu perekayasanya Allah SWT, misalnya kita dalam melakukan aksi apapun, disitu bisa jadi banyak kita temukan yang sifatnya nilai-nilai tarbiyah yang seseungguhnya itu karunia dari Allah SWT. Dalam Partai Keadilan Sejahtera sangat dipentingkan tentang tarbiyah Bashariyah, karena akan dituntut untuk membuat kurikulum tentang pembinaan keislaman, kemampuan berdakwah dan sebagainya. 71 Dalam pandangan Ihsan Tanjung, aktivis halaqah kumpulan di kampus Universitas Indonesia tahun 1980-an, bahwa inti kegiatan tarbiyah terletak pada cara ideal dalam berinteraksi, karena pihak pertama yang menentukan sukses atau gagalnya kegiatan tarbiyah adalah pengelola tarbiyah, atau sang murabbi Pembina . 72 Seorang Murabbi Pendidik menyadari bahwa dalam men-tarbiyah para 71. Ali Abdul Halim Mahmud, Perangkat-Perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin, Solo:Era Intermedia, 1999, hal 25. 72. Ihsan Arlansyah Tanjung, Tarbiyah Perjalanan dan Harapan, Jakarta : Tarbiyatuna, 2002 hlm 60. Universitas Sumatera Utara 49 mutarabbi anak didik berurusan dengan fitrah manusia secara keseluruhan. Murabbi tidak hanya men-tarbiyah aspek intelektual, emosional, spiritual dan fisik, tapi aspek akhlak yang itu dalam pengajarannya harus dipraktekkan bukan diteorikan. Karena itu sang murabbi perlu memiliki quwwatu al-tatsir daya pengaruh yang membekas sebab murabbi tidak saja dituntut mendidik melalui lisan, tapi juga keteladanan. Murabbi dituntut selalu sadar bahwa setiap gerak- gerik dan penampilan dirinya bernuansa pedagogis tarbawi. Selain itu, agar perubahan mutarabbi ke arah yang lebih baik, dapat berlangsung; seorang murabbi dituntut menguasai manhaj dan wasail dalam proses tarbiyah. Untuk mencapai tarbiyah yang maksimal, maka ada beberapa tujuan tarbiyah yang harus dicapai. Pertama, tarbiyah harus memberikan gambaran yang utuh tentang Syumuliyyatul Islam universalitas Islam. Bahwa Islam yang diturunkan pada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril adalah agama yang sempurna, didalamnya terdapat berbagai macam aturan hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, Islam adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, peradaban, dan undang-undang, ilmu dan peradilan materidan kekayaan alam, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana Islam adalah akidah yanglurus dan ibadah yang benar. 73 Tujuan kedua, adalah membentuk kepribadian Muslim yang mempunyai kekuatan jiwa yang besar yang tercermin dalam keteguhan akidahnya, keluhuran akhlaknya, kebersihan hatinya, kebaikan tingkah lakunya baik dalam ibadah, masyarakat maupun tanzim struktur . 74 73. Irwan Prayitno, Al Tarbiyah al Islaimiyah al Harakiyah, Jakarta:Tarbiyatuna, 2002 hal 4. 74. Ibid, hal 10. Universitas Sumatera Utara 50 Tarbiyah juga mampu memotivasi seseorang untuk siap berkorban demi kepentingan Islam dan dapat membawa kepada kesadaran prinsip Islam, dan mengontrolnya dari berbagai kesalahan. 75 Tujuan ketiga, dari tarbiyah adalah mengantarkan masyarakat kepada penghambaan diri manusia kepada Allah saja, yang diaplikasikan dalam seluruh hidupnya. Penghambaan yang didasarkan pada kesaksian “la ilaha illallah Muhammadur rasulullah” tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah penghambaan yang dicapai melalui tarbiyah ini terwujud dalam bentuk kepercayaan, peribadatan dan pelaksanaan syariat. 76 Dari tujuan-tujuan tersebut bisa disimpulkan bahwa tarbiyah merupakan proses pembelajaran baik formal maupun informal untuk melahirkan seorang yang responsif dan peduli atas situasi kondisi yang terjadi di lingkungannya, yakni seseorang tersebut melihat berbagai persoalan yang terjadi dengan perspektif yang Islami serta turut menyelesaikan persoalan kemasyarakatan tersebut secara akhlaqul karimah, elegan dan rasional. Faktor kunci yang harus dipahami oleh para aktivis tarbiyah adalah bahwa tarbiyah merupakan proses panjang yang tak akan pernah henti. Karena itu, kontinuitas tarbiyah dan peningkatan kualitas kader dalam tarbiyah sangat dipentingkan. Hasan al-Banna mengatakan, jalan yang kita tempuh ini merupakan jalan yang panjang lagi banyak kesulitan, barangsiapa yang ingin memetik buahnya di masa panen hendaklah ia bersabar akan tetapi siapa yang memetiknya sebelum masanya akan merasakan hasil usahanya. 77 75. Ibid, Hal 29. 76. Ibid, Hal 31 77. DH al Yusni, Dasar Kelanggengan Tarbiyah, Jakarta : Tarbiyatuna, 2002 hal 3 Universitas Sumatera Utara 51 Untuk mencapai tujuan tarbiyah, maka diperlukan beberapa sarana yang dapat memfasilitasi sehingga terwujudnya tujuan tarbiyah secara maksimal dijelaskan sifatnya sangat fleksibel dan sangat beragam, tergantung keperluan dan keadaan peserta tarbiyah. Adapun sarana tarbiyah wasail tarbiyah adalah;

1. Halaqah

Halaqah adalah sarana utama tarbiyah imaniyah tsaqafiyah dalam dinamika kelompok dengan jumlah anggota maksimal 12 orang. 78 Adapun fungsi dari halaqah sebagai sarana pembinaan dasar-dasar aqidah, akhlak, ibadah dan tsaqafah. Juga sebagai sarana pelatihan dan pembiasaan beramal jama’I dalam mengaktualisasikan diri dalam mewujudkan nilai-nilai keislaman. 79 Halaqah bisanya diadakan di rumah-rumah anggota halaqah, di masjid, mushalla, sekolah dan bisa juga di taman. Frekuensi halaqah biasanya sekali dalam sepekan dengan lama pertemuan 2 – 3 jam. Aktivitas halaqah biasanya diisi dengan membaca al-Qur’an atau hadis, membahas materi halaqah.

2. Taushiyah

Taushiyah adalah sarana latihan peserta untuk menyampaikan materi dan menumbuhkan kepekaan ruhiyah serta kedalaman fikriyah. Sasaran dari tarbiyah adalah untuk menanamkan nilai-nilai tarbawi dalam diri peserta serta membangkitkan kesadaran dan kerinduan peserta kepada ilmu pengetahuan. Dari taushiyah ini peserta diharapkan akan mampu menyampaikan materi halaqah, taushiyah biasanya dilakukan antara 10 – 20 menit. 80 78. DPP Partai Keadilan Sejahtera, Manajemen Tarbiyah Angkatan Pemula, Jakarta, 2003 hal 29. 79. Ibid, Hal 30. 80. Ibid, Hal 32-33 Universitas Sumatera Utara 52

3. Daurah

Daurah adalah metode sarana untuk membekali peserta dengan metode dan pengalaman penting untuk mengembangkan keahlian menambah pengetahuan yang tidak mungkin dilaksanakan murabbi. Adapun sasaran daurah adalah untuk meningkatkan produktivitas peserta dalam aml dakwah dan tarbiyah, juga untuk menambah efektivitas dan efisiensi pencapaian focus dan muwashafat peserta. 81

4. Rihlah

Rihlah adalah sarana tarbiyah yang dilaksanakn secara jama’I dan lebih terarah pada aspek fisik. Kedudukan rihlah di antara sarana tarbiyah yang lain sangatlah penting untuk menciptakan suasan ukhuwah islamiyah dan kedisiplinan secara fisik. Sasaran yang hendak dicapai dari rihlah agar peserta mempraktekkan nilai-nilai Islam, khususnya dalam mempererat ukhuwah dengan mengenali peserta rihlah lainnya secara mendalam. Dengan aktivitas fisik diharapkan peserta tarbiyah mempunyai fisik yang sehat, serta menghilangkan rasa jenuh dari rutinitas keseharian dan memperbaharui semangat. Dan yang tak kalah pentingnya adalah menanamkan rasa kebersamaan dalam bekerja ‘amal jama’i dalam kepanitiaan rihlah. Rihlah biasanya diadakan di suatu tempat yang jauh dari kebisingan kota dan mempunyai jarak tempuh perjalanan yang jauh. Hal ini dimaksudkan untuk penerapan semua etika perjalanan dan penilaian terhadap kedisiplinan dari persiapan segala keperluan. Adapun cara rihlah biasanya mengadakan olahraga, senam, lari dan berbagai permaninan, kemudian membahas tema tentang 81. Ibid, Hal 33 Universitas Sumatera Utara 53 kedisiplinan, komitmen, ukhuwah, tsiqah atau mencari solusi dari persoalan dakwah yang ada. 82

5. Penugasan

Penugasan adalah sarana pembelajaran dalam bentuk pemberian tugas kepada peserta untuk melakukan aktivitas tarbiyah. Sasaran yang ingin dicapai adalah mengenali potensi diri dan kemampuan peserta, juga untuk meningkatkan kesungguhan pserta dalam melaksanakan tugas, serta peserta diharapkan mendapatkan informasi dan pengetahuan dari tugas yang diberikan. Dalam penugasan ini biasanya murabbi memberikan tugas kepada mutarabbi. 83

6. Seminar

Seminar adalah sarana tarbiyah berupa pertemuan dengan lebih dari satu pembicara pakar untuk membahas permasalahan tertentu. Sasarannya adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta memberikan informasi actual dan objektif dan yang tak kalah pentingnya adalah meningkatkan kemampuan berfikir kritis, logis dan sistematis. 84

7. Mabit

Mabit adalah sarana tarbiyah ruhiyah dengan menginap bersama dan menghidupkan malam dengan beribadah. Sasarannya adalah untuk menguatkan hubungan dengan Allah dan kecintaan kepada Rasulullah, baik secara ruhi fikri maupun ‘amali, serta meneladani hidup Rasulullah dan salafus shalih dan mengeratkan ukhuwah dan nuansa Islami. Pelaksanaan mabit biasanya dilakukan setiap tiga bulan sekali. Dilakukan setelah jam 8 malam, 82. Ibid, hal 35-37 83. Ibid, Hal 38-39. 84. Ibid, Hal 39. Universitas Sumatera Utara 54 acara dimulai dengan mendengarkan dan membaca al-Qur’an lalu menyampaikan nasihat taujih, lalu tidur dan bangun tengah malam untuk tahajjud atau qiyamul lail, kemudian muhasabah introspeksi diri disambung dengan sahur untuk puasa sunat, lalu shalat subuh kemudian berdzikir dengan membaca ma’tsurat. 85

8. Mukhayam

Mukhayam adalah sarana tarbiyah jasadiyah melalui latihan fisik dan simulasi ketaatan agar para peserta siap menjadi prajurit dakwah dan siap menerapkan nilai Islam di tengah masyarakat. Sasarannya adalah untuk membiasakan peserta hidup di alam terbuka deangan sarana dan prasarana yang sederhana, meningkatkan sikap indibath disiplin terhadap peraturan dan membiasakan peserta untuk memperhatikan tarbiyah jasadiyah, shihhiyah kesehatan dan bi’yah menjaga dan melestarikan lingkungan. Acara mukhayam biasanya diadakan 3 kali selama satu tahun. Adapun tempat mukhayyam biasanya di bumi perkemahan atau tempat yang diizinkan untuk berkemah, memenuhi syarat untuk hiking dan camping, tidak jauh dari pemukiman penduduk dan jauh dari tempat berbahaya dan maksiat. 86

9. Taklim Rutin Partai

Taklim Rutin Partai adalah sarana tarbiyah untuk anggota pemula terdaftar dan sarana untuk silaturrahmi bagi seluruh kader dan simpatisan dalam satu DPR atau Dewan Pimpinan Cabang DPC. Kegiatan tersebut biasanya diadakan dalam majelis pekanan, tabligh akbar bulanan, yasinan malam jum’at atau dalam pengajian iqra. Sasarannya adalah untuk meningkatkan kesenangan peserta untuk mengikuti pengajian, sehingga dapat ditingkatkan untuk mengikuti halaqah. 85. Ibid, Hal 40-41, Ma’surat adalah kumpulan do’a-do’a Shaleh yang dikumpulkan Hasan al Banna dalam sebuah buku kecil, biasanya di baca pagi dan sore. 86. Ibid, Hal 42. Universitas Sumatera Utara 55 Juga agar tersampaikannya materi-materi umum tentang Islam dan meningkatkan interaksi dan silaturrahim antara peserta kader dan simpatisan. 87

10. Baca Buku

Baca buku adalah sarana tarbiyah untuk pendalaman pemahaman, penambahan wawasan dan peningkatan intelektualitas melalui media cetak yang berisi informasi. Buku yang perlu dibaca adalah buku-buku yang disesuaikan dengan bidang studi, buku laris yang berkaitan dengan dakwah dan tarbiyah. Biasanya peserta diminta untuk membuat resume buku yang dibaca dan sebulan sekali didiskusikan dengan murabbinya. Sasarannya adalah untuk meningkatkan efektivitas tarbiyah dzatiyah peserta, melatih peserta untuk mengkritisi pemikiran orang lain, meningkatkan minat baca di kalangan peserta untuk menuangkan ide-ide dan gagasan dalam bentuk lisan dan tulisan dan menambah pengetahuan dan pemahaman terhadap topik yang sedang dibahas murabbi. 88 Menurut penulis, apa yang menjadi sarana tarbiyah dari PKS pada dasarnya sama dengan sarana tarbiyah yang digagas Hasan al-Banna, yang terdiri dari tarbiyah pembinaan ruhiyah spiritual, jasadiyah fisik dan akal. Ketiga unsure ini mendapatkan porsi yang seimbang dalam tarbiyah baik yang digagas Hasan al-Banna maupun yang diterapkan PKS. Adapun yang membedakan antara tarbiyah yang digagas Hasan al-Banna dengan konsep tarbiyah PKS terletak pada sarana yang dipakai. Terlihat jelas, hanya ada empat istilah yang sama dengan sarana tarbiyah Ikhwanul Muslimin 87. Ibid, Hal 45 88. Ibid, Hal 49 Universitas Sumatera Utara 56 organisasi yang didirikan oleh Hasan al Banna yaitu rihlah, mukhayam, dauroh dan mabit, selebihnya adalah istilah-istilah yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan tuntuan dakwah di Indonesia. Hal ini terjadi karena menurut Muhammad Hafez 89 pada awalnya semuanya mengaji. Istilah halaqah pun diambil dari tradisi ulama Indonesia. Pendapat Muhammad Hafez sama dengan pemikiran Abu Ridho bahwa tarbiyah merupakan warisan khazanah Islam, di zaman Nabi pun halaqah-halaqah sudah ada. Adapun sarana tarbiyah lainnya itu bukan cangkokan dari Ikhwanul Muslimin lalu diterapkan di Indonesia, namun hal itu terjadi seiring tuntutan kegiatan dengan banyaknya buku terjemahan dari tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa meskipun konsep tarbiyah adalah genuine dari konsep pemikiran Hasan al-Banna, pengaruhnya di Indonesia khususnya bagi aktivis Partai Keadilan Sejahtera hanya menjadi inspirator, di tingkat aplikasi terjadi modifikasi dan reformulasi yang cukup signifikan di Partai Keadilan Sejahtera. 89. Wawancara Pribadi , Muhammad Hafez, Ketua DPW PKS Sumutera Utara, Medan, 19 Mei 2014 Universitas Sumatera Utara 57

3.2. Politik

Hasan Al Banna mengemukakan prinsip islam dapat diterapkan pada keyakinan yang banyak dianut dalam politik dan lembaga politik. Islam memerlukan suatu pemerintah yang mencegah anarki, namun tidak menetapkan bentuk pemerintahan tertentu. Islam hanya meletakkan tiga prinsip pokok. Pertama, penguasa bertanggung jawab kepada Allah SWT dan rakyat, bahkan dianggap sebagai abdi rakyat. Kedua bangsa muslim, harus bertindak secara bersatu, karena persaudaraan Muslim merupakan prinsip iman. Ketiga bangsa muslim berhak memonitor tindakan penguasa, menasehati penguasa, dan mengupayakan agar kehendak bangsa dihormati. Karena ketiganya merupakan prinsip yang sangat luas, maka negara islam bisa memiliki banyak bentuk, termasuk demokrasi parlementer konstitusional. Sebagai tujuan jangka panjangnya, Banna menyerukan dihidupkannya kembali kekhalifahan. Dia berkata bahwa tugas ini memerlukan kerjasama penuh kaum muslim melalui pakta persekutuan, dan pada puncaknya Liga Bangsa-Bangsa Islam. Barang siapa beranggapan bahwa agama terlebih lagi Islam tidak mengungkap masalah politik atau bahwa politik tidak termasuk dalam agenda pembahasannya, maka sungguh ia telah menganiaya diri sendiri dan pengetahuannya. Saya tidak mengatakan bahwa ia “menganiaya islam” karena islam itu syari’at Allah yang sama sekali tidak mengandung kebatilan, baik di depan maupun di belakang. Sungguh indah kata-kata Imam Al-Ghazali, “Ketahuilah bahwa syari’at itu pondasi, dan raja itu penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya pasti akan hancur, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya niscaya akan hilang.” Universitas Sumatera Utara 58 Mesir sebagai background perjuangan Hasan al-Banna merupakan wilayah yang syarat dengan tantangan dakwah Islam waktu itu. Dengan sarana perjuangan yang diwadahi Ikhwanul Muslimin –yang notabene organisasi yang didirikannya-, sangat konsen perhatiannya dalam pergerakan politik. Dimana salah satu sisi Tarbiyah Ikhwanul muslimin yang penting adalah bidang politik. Politik disini, sebagaimana dijelaskan Yusuf al-Qaradhawi, merupakan bidang yang berhubungan dengan urusan hukum, sistem negara, hubungan pemerintah dan rakyat, hubungan antara satu negara dengan yang lainnya dari negara-negara Islam ataupun non Islam, hubungan negara dengan kolonial penjajah, dan hubungan-hubungan yang lainnya dari ketentuan-ketentuan yang sekian banyaknya. Dalam eksistensinya, Mesir menurut Hasan Al- Banna mengalami pembodohan dalam berorganisasi. Hal ini terletak pada klasifikasi organisasi politik dan organisasi agama. Ada dikotomi pemisahan antara agama dan politik dalam organisasi- organisasi di Mesir. Maka terjadi perbedaan konsep, dimana konsep politik bertolak belakang dengan konsep agama. Sehingga organisasi agama, tidak boleh mengurusi politik dan organisasi politik tidak dianjurkan untuk mengurusi agama. Hasan al-Banna menembus pemahaman adanya dikotomi agama dan politik tersebut untuk meniadakannya. Ia menganggap bahwa hal tersebut merupakan pemahaman yang didasari kebodohan dan hawa nafsu yang dilestarikan oleh kolonial peradaban. Maka menjadi keniscayaan dalam memerangi dan meniadakan pemikiran berbahaya tersebut dengan pemikiran yang benar, yakni kesempurnaan Islam untuk setiap bidang kehidupan, termasuk politik, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an, hadits, petunjuk Rasul SAW., sejarah para sahabat, dan amalan umat sepanjang lebih dari 14 abad. Hasan Universitas Sumatera Utara 59 Al Banna mempertegas, “jika kalian ditanya, kepada apa kalian akan menyeru? Maka jawablah: Kami akan menyeru kepada Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW., dan pemerintahan merupakan bagian dari Islam, dan kemerdekaan adalah suatu keniscayaan dari keniscayaan-keniscayaannya.” Selanjutnya ia menjelaskan, “jika dikatakan kepada kalian: Ini adalah politik. Maka jawablah: Ini adalah Islam. Kami tidak mengenal pembagian-pembagian ini” . 90 Dalam pemikiran politiknya, setidaknya ada empat hal yang menjadi perhatian beliau dalam mengawal gerak perjuangannya. Keempat point pemikirannya menjadi sisi penting untuk memahami bagaimana ia menggerakan Ikhwanul Muslimin hingga menjadi organisasi Islam yang menjadi panutan dan rujukan pergerakan ormas Islam lain di beberapa penjuru dunia. Pertama, mengenai konsep Arabisme ‘Urūbah. Kedua, konsep patriotisme Wathaniyyah. Ketiga, konsep nasionalisme Qaumiyyah. Keempat, konsep internasionalisme Ālamiyyah. Mari kita bahas satu persatu konsep tersebut: Arabisme Arabisme memiliki tempat tersendiri dan peran yang berarti dalam dakwah Hasan al-Banna. Bangsa Arab adalah bangsa yang pertama kali menerima kedatangan Islam. Dia juga merupakan bahwa yang terpilih. Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, “Jika bangsa Arab hina, maka hina pulalah Islam.” Arabisme menurut al-Banna adalah kesatuan bahasa. Ia berkata dalam Muktamar Kelima Ikhwan,“…Bahwa Ikhwanul Muslimin memaknai kata 90. http:robimulya.blogspot.com200912politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html, hal 3 3 Mei 2014 . Universitas Sumatera Utara 60 al- ‘Urūbah Arabisme sebagaimana yang diperkenalkan Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dari Mu’adz bin Jabal ra, “Ingatlah, sesungguhnya Arab itu bahasa. Ingatlah, bahwa Arab itu bahasa.” Menurut Al-Banna, Arab adalah umat Islam yang pertama, yang merupakan bangsa pilihan. Islam, menurutnya, tidak pernah bangkit tanpa bersatunya bangsa Arab. Batas-batas geografis dan pemetaan politis tidak pernah mengoyak makna kesatuan Arab dan Islam. Selaras dengan penjelasan tersebut, Abdul Hamid al-Ghazali, dalam bukunya Meretas Jalan Kebangkitan Islam, mengatakan bahwa dapat disimpulkan beberapa unsur dari pemikiran Al-Banna bahwa berbangga dengan Arabisme tidak termasuk fanatisme dan tidak berarti merendahkan pihak lain. Arabisme dengan tujuan untuk membangkitkan Islam demi tersebarnya Islam adalah dibolehkan . 91 Dalam hal ini, kita mencoba untuk menelaah apakah Arabisme sama dengan Chauvivisme Adolf Hitler dalam mempertahankan paham mereka masing- masing. Ternyata, pilihan Arabisme bukanlah sebuah paham, tapi tujuan Hasan Al- Banna yang memilih arab sebagai lokasi dakwahnya guna mempersatukan seluruh negara dan bangsa Arab. Bukan dengan artian menjadikan Arab sebagai ideologi tersendiri dan dianggap paling benar, seperti yang dilakoni Hitler atas bangsa Arya di Jerman. 91. Hasan Al Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 1, Terj : Anismata, Rofi’ Munawar, Wahid Ahmadi, Solo: PT. Era Adicitra Media, cetakan Ketujuh Belas, 2011, hal 167-168 Universitas Sumatera Utara 61 Patriotisme Dalam memaknai Wathaniyah patriotisme, ada tiga arti yang dikemukakan oleh Hasan Al-Banna, yaitu: Pertama, Patriotisme Kerinduan Cinta Tanah Air. Al-Banna berkata: “Jika yang dimaksud dengan patriotisme oleh para penyerunya adalah cinta negeri ini, keterikatan padanya, kerinduan padanya, dan ikatan emosional dengannya, maka hal itu sudah tertanam secara alami dalam fitrah manusia di satu sisi, dan dianjurkan Islam di sisi lainnya. .” Kedua, Patriotisme Kemerdekaan dan Kehormatan Kemerdekaan Negeri. Al-Banna berkata: “Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah keharusan berjuang untuk membebaskan tanah air dari cengkeraman perampok imperialis, menyempurnakan kemerdekaannya, dan menanamkan kehormatan diri dan kebebasan dalam jiwa putra-putra bangsa, maka kami sepakat dengan mereka tentang itu.” Ketiga, Patriotisme Kebangsaan Kesatuan Bangsa. Al-Banna berkata: “Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah mempererat ikatan antara anggota masyarakat suatu Negara dan membimbingnya ke arah memberdayakan ikatan itu untuk kepentingan bersama, maka kami pun sepakat dengan mereka.” Ketiga pandangan patriotisme tersebut nampaknya tidak jauh berbeda dengan ikatan luhur bangsa Indonesia dalam butir- butir Pancasila yang digali oleh Bung Karno. Sejarah mencatat bahwasanya Pancasila sangat dipengaruhi oleh daya dan cara piker Islam yang berasal dari Piagam Madinah. Penulis melihat ada kesamaan arti dan makna bagaimana Hasan Al- Banna menginterpretasikan pancasila dalam binkai Ikhwanul Muslimin dengan Pancasila sebagai kepatriotan Universitas Sumatera Utara 62 bangsa Indonesia. Patriotisme juga memiliki prinsip lainnya di mata Hasan Al- Banna. Ia mengatakan: “Suatu kekeliruan bagi orang-orang yang menyangka bahwa Ikhwanul Muslimin berputus asa terhadap kondisi negeri dan tanah airnya. Sesungguhnya kaum Muslimin adalah orang-orang yang paling ikhlas berkorban bagi negara, habis-habisan berkhidmat untuknya, dan menghormati siapa saja yang mau berjuang dengan ikhlas dalam membelanya. Dan anda tahu sampai batas mana mereka menegakkan prinsip patriotisme mereka, serta kemuliaan macam apa yang mereka inginkan bagi umatnya. Hanya saja, perbedaan prinsip antara kaum muslimin dengan kaum yang lainnya dari para penyeru patriotisme murni adalah bahwa asas patriotisme Islam adalah akidah Islamiyah…Adapun tentang patriotisme Ikhwanul Muslimin, cukuplah bahwa mereka menyakini dengan kukuh bahwa sikap acuh terhadap sejengkal tanah yang ditinggali seorang muslim yang terampas merupakan tindakan kriminal yang tidak terampuni, hingga dapat mengembalikannya atau hancur dalam mempertahankannya. Tidak ada keselamatan bagi mereka dari siksa Allah kecuali dengan itu” . 92 Nasionalisme Dalam pandangan al-Banna, nasionasionalisme dipahami dalam 5 bentuk. Pertama, nasionalisme kebanggaan, yaitu rasa bangga generasi penerus terhadap pendahulunya diiringi adanya tanggung jawab kewajiban untuk mengikuti jejak para pendahulu yang beriman kepada Allah sebagai Tuhan yang mesti disembah dan ditaati, Islam sebagai sistem hidup, Muhammad SAW. sebagai nabi dan rasul, lalu menyebarkan Islam sebagai akidah, syari’at dan pandangan hidup, menerapkan hukum dengan keadilan Islam, serta menyinari pola pikir manusia dengan keimanan. Kedua, nasionalisme kebangsaan, yakni umat suatu bangsa mesti mengorbankan apa yang dimiliknya dari usahanya yang baik untuk menjadikan bangsa yang lebih baik. Nasionalisme ini selaras dengan apa yang ada di dalam Islam, dimana infak hendaknya memperhatikan kebutuhan orang terdekat 92. Hasan Al Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 1, Terj : Anismata, Rofi’ Munawar, Wahid Ahmadi, Solo: PT. Era Adicitra Media, 2008, hal 170-171 Universitas Sumatera Utara 63 dan selanjutnya. Allah berfirman, “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.” . 93 Ketiga, nasionalisme jahiliyyah yang berarti nasinalisme yang dianut oleh kaum jahiliyyah. Dimana para penyeru nasionalisme ini berupaya menghidupkan kembali semangat-semangat jahiliyyah yang telah dibumihanguskan oleh Islam, seperti semangat fanatisme kesukuan, sikap sombong, dan merasa lebih dari orang lain. Prinsip-prinsip nasionalisme seperti ini berusaha dihidukan kembali oleh partai-partai sekuler yang menuduh Islam terbelakang atau kuno, sehingga harus dikikis dari kehidupan. Oleh karena itu, Hasan al-Banna menyatakan bahwa nasionalisme seperti ini amat tercela dan berakibat buruk dan akan meruntuhkan nilai-nilai kemuliaan serta menghilangkan watak-watak terpuji. Keempat, nasionalisme permusuhan, yaitu nasionalisme yang berlandaskan semangat merampas hak-hak orang lain tanpa alasan yang benar. Semangat seperti merupakan semangat jahiliyyah yang terus berkembang dari dulu sampai sekarang. Bahkan era jahiliyyah dulu ada sebuah sya’ir yang mengatakan, “Siapa yang tidak menganiaya orang lain, maka dia yang akan dianiaya.” . 94 93. QS. Al-Baqarah [2]: 215 94. Yusuf Al- Qaradhawi. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2008, hal 25 Universitas Sumatera Utara 64 Kelima, nasionalisme Islam, yakni nasionalisme yang berlandaskan aqidah, bukan darah, keluarga, kepentingan, dan wilayah geografis tertentu. Ia merupakan nasionalisme yang menghapuskan semangat-semangat jahiliyyah yang mengusung kesukuan dan fanatisme buta, nasionalisme yang menyerap dan menampung seluruh jenis manusia dari suku bangsa, warna kulit, dan negara manapun, tanpa membeda-bedakannya. Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menghapuskan arogansi jahiliyyah dan kebanggaan terhadap nenek moyang, karena manusia berasal dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Sehingga orang Arab tidak lebih baik dibanding orang A’jam non Arab, kecuali dengan taqwa.” Internasionalisme Internasionalisme menurut Hasan al-Banna inheren dalam Islam, oleh karena Islam adalah agama yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia. “Adapun dakwah kita disebut internasional, karena ia ditujukan kepada seluruh umat manusia. Manusia pada dasarnya bersaudara; asal mereka satu, bapak mereka satu, dan nasab mereka pun satu. Tidak ada keutamaan selain karena takwa dan karena amal yang dipersembahkannya, meliputi kebaikan dan keutamaan yang dapat dirasakan semuanya,” demikian tulisnya. Konsep internasionalisme merupakan lingkaran terakhir dari proyek politik al- Banna dalam program ishlāhul ummah perbaikan umat. Dunia, tidak bisa tidak, bergerak mengarah ke sana. Persatuan antar bangsa, perhimpunan antar suku dan ras, bersatunya sesama pihak yang lemah untuk memperoleh kekuatan, dan bergabungnya mereka yang terpisah untuk mendapatkan hangatnya persatuan, semua itu merupakan pengantar menuju terwujudnya kepemimpinan prinsip Universitas Sumatera Utara 65 internasionalisme untuk menggantikan pemikiran rasialisme dan kesukuan yang diyakini umat manusia sebelum ini. Dahulu memang harus meyakini ini untuk menghimpun unsur-unsur dasar, lalu harus dilepaskan kemudian untuk menggabungkan berbagai kelompok besar, setelah itu terwujudlah kesatuan total di akhirnya. Langkah ini, menurutnya memang lambat, namun itu harus terjadi. Untuk mewujudkan konsep ini juga Islam telah menyodorkan sebuah penyelesaian yang jelas bagi masyarakat untuk keluar dari lingkaran masalah seperti ini. Langkah pertama kali yang dilakukan adalah dengan mengajak kepada kesatuan akidah, kemudian mewujudkan kesatuan amal. Hal ini sejalan dengan firman Allah SAW., “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Nabi Ibrahim, Musa dan Isa yaitu ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” . 95 Hasan Al- Banna sebagai seorang pemikir Islam memiliki peran yang sangat besar dalam proses meluruskan Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamin. Konsep dirinya yang menyangkut perbaikan individu, perbaikan keluarga, perbaikan masyarakat, perbaikan umat dan perbaikan Negara bertujuan untuk mengembalikan Islam sebagai sebuah peradaban yang harmonis seperti masa- masa keemasan Khoilafah Islamiyah. Metode gerakan yang diserukan oleh Ikhwan adalah bertumpu pada tarbiyah pendidikan secara bertahap. Tahapan tersebut adalah dengan membentuk pribadi muslim, keluarga muslim, masyarakat 95. Universitas Sumatera Utara 66 muslim, pemerintah muslim, Negara Islam, Khalifah Islam dan akhirnya menjadi Ustadziyatul ‘Alam kepeloporan dunia. Tentunya, agenda Hasan Al Banna menjadi terhenti manakala dirinya meninggal dengan cara mengenaskan setelah ditembak secara brutal oleh beberapa orang yang tidak dikenal. Dua jam setelah dirinya ditembak, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Namun paling tidak, hingga hari ini metode dakwahnya dicontoh oleh sebagian besar negara- negara didunia seperti Turki, Mesir dan juga Indonesia. Hasan Al Banna meninggalkan konsep- konsep dakwah nan brilian yang mencoba meluruskan dimana peran agama saat bertemu politik ataupun sebaliknya, karena menurutnya keduanya ialah dua sisi dalam satu keeping mata uang logam, tidak dapat dipisahkan. Dalam hal pemikiran Hasan Al Banna tentang politik maka kita akan membahas dua hal yaitu Kebijakan Politik dan Konsep negara islam.