Analisis Keterkaitan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Agency Problem Serta Pengaruhnya Terhadap Nilai Perusahaan (Studi Kasus Pada Perusahaan Yang Terdaftar di BEI )
ANALISIS KETERKAITAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AGENCY PROBLEM SERTA PENGARUHNYA
TERHADAP NILAI PERUSAHAAN
(STUDI KASUS PADA PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BEI )
Disusun Oleh :
Reyhan Yozard
NIM : 207081000128
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
(2)
(3)
(4)
(5)
SURAT PERNYATAAN
Nama Mahasiswa : Reyhan Yozard
NIM : 207081000128
Jurusan : Manajemen
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri serta bukan merupakan replikasi maupun saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang lain.
Apabila terbukti skripsi ini plagiat atau replikasi, maka skripsi ini dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul dikemudian hari menjadi tanggung jawab saya.
Jakarta, 13 September 2011
(6)
i CURRICULUM VITAE
Data Diri
Nama Lengkap : Reyhan Yozard
TTL : Jakarta, 17 Agustus 1989
Agama : Islam
Alamat Asal : Jl. Aria Putra Perum.Arya Graha Blok F No.14, Ciputat,
Tangerang Selatan, 15415
No. Tlp : 083872944644/ 08989317404
e-mail : [email protected]
Pendidikan 2007-2011 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan
Manajemen Konsentrasi Keuangan.
2004 – 2007 SMA Negeri 87 Jakarta.
2001 – 2004 SMP Negeri 19 Jakarta.
1995 – 2001 SDN Pondok Pinang 10 Pagi Jakarta.
PENGALAMAN ORGANISASI
1. Anggota OSIS SMP Negeri 19 Jakarta.
2. Anggota MPK SMA Negeri 87 Jakarta.
3. Anggota BEM divisi Seni Budaya Periode 2009-2010
(7)
ii
ABSTRACT
The main objective of the study is to analyze the factors that influence the company’s value of the firms. these factors include ownership structure,capital structure, and dividend policy, this study is to examine Agency Theory (Jensen and meckling, 1976).
Population in this study are public company listed in Indonesian Stock Exchange during 2006-2009 periods . With using purposive sampling, the total of sample in this study is 25 of companies. The statistical methods used to test the hypothesis is Structural Equation Modeling (SEM).
The empirical results of this study indicates ownership structure has significant negative influence to capital structure, ownership structure significant negative influence to dividen policy, and ownership structure have no influence to value of the firms. The following test indicates capital structure that significant negative influence to dividend policy, capital structure that significant negative influence to value of the firms. The last test indicates that the policy of dividen significant negative influence to value of the firms.
Keywords : Value of the Firms, Agency Theory, Ownership Structure, Capital Structure, Dividen Policy.
(8)
iii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai perusahaan, faktor-faktor tersebut antara lain struktur kepemilikan, kebijakan dividen, dan kebijakan hutang, penelitian ini untuk menguji kembali Agency Theory (Jensen dan meckling, 1976).
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan publik yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia selama periode 2006-2009. Dengan menggunakan
metode purposive sampling sebanyak 25 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia diambil sebagai sample. Metode statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah dengan menggunakan Structural Equation Model (SEM).
Hasil empiris dari penelitian ini menunjukan bahwa: (a) struktur kepemilikan berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal, (b) struktur kepemilikan berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan hutangdividen, dan (c) struktur kepemilikan tidak merpengaruh terhadap nilai perusahaan. Pengujian selanjutnya menunjukan bahwa, (d) struktur modal berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan dividen, (e) struktur modal berpengaruh negatif signifikan terhadap nilai perusahaan. Pengujian terakhir menunjukan bahwa (f) kebijakan dividen berpengaruh negatif signifikan terhadap nilai perusahaan. Kata Kunci : Nilai Perusahaan, Agency Theory, Struktur Kepemilikan, Struktur Modal, Kebijakan Dividen.
(9)
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr,wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan judul ” ANALISIS KETERKAITAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI AGENCY PROBLEM SERTA
PENGARUHNYA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (STUDI
KASUS PADA PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BEI )”. Skripsi
ini disusun dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna mencapai gelar sarjana ekonomi jenjang pendidikan strata satu program studi manajemen keuangan pada Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah.
Dalam menyelesaikan tugas akhir ini, penulis menyadari bahwa penulis tidak dapat menyelesaikan karya ini tanpa bantuan, dukungan, bimbingan, dan pengarahan yang tak terhingga dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada :
1. Keluarga saya, Ibu yang tak pernah berhenti melimpahkan perhatian dan mencurahkan kasih sayang yang tak dapat dibalas dengan apapun. Ayah yang banyak memberi dukungan, perhatian dan materi, tapi semoga karya kecil ini dapat sedikit membahagiakanmu Ayah dan Ibu.
2. Bpk. Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah .
3. Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM selaku pembimbing I, atas semua bimbingan, arahan dan petunjuknya selama saya menulis dan menyelesaikan skripsi ini.
(10)
v
4. Indo Yama Nasaruddin, SE, MAB selaku pembimbing II, atas bimbingan,arahan petunjuk, kebaikan serta kemurahan hati beliau, yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UIN
Syarif Hidayatullah atas semua curahan ilmu bantuan dan pelayanannya.
6. Sang adik bernama Ryan Hadi yang tampan terima kasih .
7. Seorang hawa yang telah mendampingi dan selalu mendoakan . 8. Sahabat-sahabat IL NOSTRO dan Manajemen 2007, yang telah
memberikan support nya. :D
Penulis menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu, penulis mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca sekalian.
Jakarta, 5 September 2011 Penulis
(11)
vii
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Skripsi
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif Lembar Pengesahan Uji Skripsi
Lembar Pernyataan Bebas Plagiarisme
Riwayat Hidup ... i
Abstract ... ii
Abstrak ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ...……….………...…………....……….. vii
Daftar Gambar ... x
Daftar Tabel ... xi
Daftar Lampiran ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………..…..……… 1
B. Perumusan Masalah ………. 13
C. Tujuan Penelitian ………. 14
D. Manfaat Penelitian ………... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori ....………. 16 1. Agency Theory…...……….. 16 2. Nilai Perusahaan... ...……… 23
3. Kebijakan Dividen ..………... 30
4. Struktur Modal...……….………. 36
5. Struktur Kepemilikan .……..……….. 43
(12)
viii
C. Kerangka Pemikiran ………...……….………. 48
1. Hubungan Struktur Kepemilikan dan Struktur Modal... ... 48
2. Hubungan Struktur Kepemilikan dan kebijakan dividen... ... 49
3. Hubungan Struktur Kepemilikan dan Nilai Perusahaan ... 50
4. Hubungan Struktur Modal dan Kebijakan Dividen... ... 52
5. Hubungan Struktur Modal dan Nilai Perusahaan ... 53
6. Hubungan Kebijakan Dividen dan Nilai Perusahaan ... 54
D. Hipotesis ……… 59
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian ...………... 61
B. Metode Penentuan Sampel ……… 61
C. Metode Pengumpulan Data ……….….. 62
D. Teknik Analisis ………. 62
E. Definisi Operasional Variabel .. …………...……… 76
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ... 83
B. Deskriptif Analisis ... 85
1. Deskriptif Data Sampel ... 85
2. Deskriptif Analisis Data ... 87
C. Pengujian dan Pembahasan ... 103
1. Pengujian Model ... 103
2. Uji Kesesuaian Model ... 106
3. Evaluasi Model Pengukuran ... 114
(13)
ix
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan ... 129
B. Implikasi ... 133
DAFTAR PUSTAKA...135
(14)
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Keterangan Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 55
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran dengan notasi LISREL 56
Gambar 4.1 Path Diagram Tahap Awal 104
Gambar 4.2 Path Diagram Tahap II 105
Gambar 4.3 Path Diagram Midifikasi Model 109
Gambar 4.4 Diagram jalur Unstandardized Estimate ` 115
Gambar 4.5 Diagram Jalur Untuk t-value 116
(15)
xi
DAFTAR TABEL
No. Keterangan Halaman
Tabel 4.1 Daftar Sampel Penelitian 86
Tabel 4.2 Rasio Struktur Kepemilikan Saham 88
Tabel 4.3 Rasio Struktur Modal 92
Tabel 4.4 Rasio Kebijakan Dividen 96
Tabel 4.5 Rasio Nilai Perusahaan 100
Tabel 4.6 uji Kesesuaian Model Tahap I 106
Tabel 4.7 Uji kesesuaian model Modifikasi 111
Tabel 4.8 Evaluasi Model Pengukuran 116
(16)
xii
DATA LAMPIRAN
Nomor Keterangan Halaman
Lampiran 1 Output Awal I 139
Lampiran 2 Output Awal II 144
Lampiran 3 Output Modification Indices I 149
Lampiran 4 Output Modification Indices II 153
(17)
1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan perusahaan yaitu haruslah memaksimalkan kekayaan pemegang saham dengan cara memaksimalkan nilai saham perusahaan. Tujuan ini tidak hanya merupakan kepentingan bagi para pemegang saham semata, tetapi juga akan memberikan manfaat terbaik bagi masyarakat (Keown dkk., 2002: 3-4). Tujuan tersebut dapat dicapai dengan memperbesar laba yang diperoleh perusahaan setiap tahunnya. Dalam kaitannya dengan maksimalisasi kekayaan pemegang saham, keputusan investasi, pendanaan ataupun dividen yang buruk akan mengakibatkan para investor bereaksi dan membuat harga saham menjadi turun. Sebaliknya, mereka bereaksi terhadap kebijakan perusahaan yang dianggap baik dengan membuat harga saham mengalami kenaikan.
(Brigham dan Houston, 2009:19), tujuan utama dari sebuah perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang saham. Kemakmuran pemegang saham tercermin dalam harga saham di pasar modal. Semakin tinggi harga saham menunjukan kesejahteraan pemilik perusahaan semakin meningkat (A.W. Djabid, 2009 : 249). Namun tidak jarang pihak manajemen atau manajer sebagai pengelola perusahaan mempunyai tujuan lain yang mungkin
(18)
2
bertentangan dengan tujuan utama perusahaan tersebut, sehingga mucul konflik kepentingan di antara pihak manajemen dalam hal ini yaitu manajer
(agen) dengan para pemegang saham (principal) sehingga menimbulkan apa yang di sebut dengan masalah keagenan (agency problems). (Brealey et al., 2008 : 16).
Agency cost merupakan biaya yang timbul dalam rangka mengendalikan atau memonitor tindakan manajer agar sesuai dengan kepentingan principal. Dasar dari agency cost model ini adalah ketika manajer disadari bisa bertindak tidak sesuai dengan kepentingan investor / pemegang saham, maka pemegang saham menggunakan mekanisme tertentu untuk mengontrol tindakan manajer tersebut. Salah satu dari mekanisme ini adalah melalui pembayaran dividen dengan payout yang tinggi (Beiner, 2001).
Lebih lanjut, Fama dan Jensen (1983) dalam Farah Margaretha
(2009 : 1) menyatakan bahwa agency problem disebabkan adanya sistem pengembalian keputusan yang terpisah antara manajemen (implementation)
dan pihak pengawas (monitoring) dari keputusan-keputusan penting pada seluruh tingkatan organisasi. Sedangkan menurut Brigham dan Houston
(2009 : 26) masalah keagenan (agency problem) terjadi ketika manajer dari sebuah perusahaan memiliki kepemilikan saham biasa kurang dari 100 persen diperusahaan tersebut.
(19)
3 Jensen dan Meckling (1976) dalam Farah Margaretha (2009 : 2) mengungkapkan bahwa agency theory adalah pemisahan kepemilikan dan kekuasaan di dalam mengendalikan perusahaan, yang dapat menciptakan konflik kepentingan antara pemegang saham perusahaan (principal) dan para manajer (agen). Alasannya di karenakan bahwa para manajer sering menggunakan sumber daya perusahaan untuk keuntungan atau kepentingan mereka sendiri, maka hal tersebut secara negatif dapat mempengaruhi kekayaan pemegang saham, dimana pengaruh konflik antara pemilik dengan pengelola (manajer) ini menyebabkan harga saham terkoreksi, kerugian ini merupakan agency cost of equity bagi perusahaan dan itu berarti berpengaruh juga terhadap nilai perusahaan.
Masalah keagenan tentunya akan menimbulkan kerugian. Karena konflik kepentingan antara agen dan pemilik ini dapat menimbulkan biaya yang di sebut dengan biaya keagenan (Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, 2008 : 1) . Jensen dan Meckling (1976) dalam Etty M.Nasser (2008 : 2) menyatakan ada tiga biaya keagenan, antara lain : (1) Monitoring cost (biaya monitoring), yaitu biaya untuk membatasi aktivitas yang di lakukan agen. (2)
Bonding cost (biaya hutang), yaitu biaya karena penggunaan hutang oleh manajemen (agency) dan pengeluaran karena hilangnya keindependenan atau efisiensi (residual loss). (3) biaya ini tidak memiliki pengaruh langsung , biaya ini merupakan akibat berkurangnya kesejahteraan yang seharusnya diterima perusahaan. Jensen & Meckling (1976) dalam Bambang Sugeng
(20)
4
(2009:39) mengemukakan bahwa agency cost akan rendah di dalam
perusahaan dengan kepemilikan manajerial (managerial ownership) yang tinggi, karena hal ini memungkinkan adanya penyatuan antara kepentingan pemegang saham dengan kepentingan manajer yang dalam hal ini berfungsi sebagai agent dan sekaligus sebagai principal. Hal yang sama juga bisa terjadi di perusahaan di mana terdapat large block shareholder (pemegang saham dalam jumlah besar) yang biasanya terdiri dari para pemegang saham institusi (institutional shareholder) yang memiliki kemampuan tinggi unntuk mengendalikan manajer (Frankfurter & Wood, 1994). Adanya large block shareholder mengindikasikan tingkat dispersi dari pemegang saham oleh pihak luar perusahaan lebih kecil. Di dalam situasi demikian perusahaan tidak perlu membayar dividend payout yang tinnggi untuk mengedalikan agency cost. Rasionalnya adalah bahwa dengan managerial ownership yang tinggi
agency problem menjadi rendah antara manajer dengan pemegang saham, sedangkan dengan terdapatnya large block shareholder yang tinggi monitoring dapat dilakukan secara lebih efektif oleh pemegang saham.
Di Indonesia, institutional shareholder juga tampak sangat mendominasi struktur kepemilikan saham perusahaan-perusahaan go-public. Dari sampel perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini, diperoleh data rata-rata insider holding mencapai 20% dari total saham perusahaan yang beredar. Insiderholding merupakan porsi kepemilikan saham perusahaan oleh orang dalam perusahaan (pihak manajemen) relatif terhadap total saham
(21)
5
perusahaan yang beredar. Makin tinggi porsi kepemilikan jenis ini diharapkan semakin kecil konflik kepentingan antara manajemen dengan pemilik sebagaimana diindikasikan dalam agency theory, karena insider holding
mencerminkan penyatuan antara manajemen dengan pemilik (manajemen sekaligus berperan sebagai pemilik perusahaan). Di lain pihak, porsi
Institutional holding yang merupakan kepemilikan saham dari unsur investor lembaga rata-rata mencapai 49,9% atau bisa dikatakan separuh dari total saham perusahaan yang beredar.
Di Indonesia investor lembaga ini pada umumnya terdiri dari
perusahaan-perusahaan holding companies yang masih merupakan
perusahaan-perusahaan keluarga di mana pihak manajemen perusahaan masih merupakan bagian dari perusahaan-perusahaan keluarga tersebut (Sudarma, 2004 ) dalam Bambang Sugeng (2009:39). Dengan demikian, walaupun
institutional holding tergolong outsider’s holding bersama dengan pemegang saham yang berasal dari publik (masyarakat), namun boleh dikatakan status sebagai outsider dari institutional holding tersebut menjadi semu, karena dalam kenyataannya mereka memiliki afiliasi yang kuat dengan manajemen, bahkan dikatakan pula bahwa manajemen sebagai kepanjangan tangan dari
institutional holders tersebut.
Berdasarkan sampel perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 25 perusahaan, terdapat 45% atau sekitar 12 perusahaan yang merupakan perusahaan holding company. Dengan kondisi yang seperti ini,
(22)
6
walaupun institusional ownership tergolong outsider ownership bersama dengan pemegang saham yang berasal dari public (masyarakat), namun dapat dikatakan status sebagai outsider dari institutional ownership tersebut menjadi semu, karena dalam kenyataannya mereka memiliki afiliasi yang kuat dengan manajemen, dengan kondisi seperti maka fungsi institutional ownership
sebagai sarana monitoring terhadap manajemen tidak dapat berjalan secara efektiv akibatnya agency problem tidak dapat dikurangi. Atas dasar fenomena tersebut maka menarik untuk meneliti kembali sejauh mana struktur kepemilikan mempengaruhi nilai perusahaan.
Selain struktur kepemilikan, alternatif lain yang dapat digunakan untuk mengurangi agency problem dan agency cost berdasarkan penelitian
Jensen dan Meckling (1976) dalam A.W. Djabid (2009 : 250) adalah melalui keputusan keuangan yaitu kebijakan hutang dan kebijakan dividen.
Kebijakan hutang berdasarkan agency theory dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengurangi agency cost dan agency problem. Hutang dapat menurunkan agency cost karena hutang dapat menurunkan excess cash flow
yang ada dalam perusahaan sehingga menurunkan kemungkinan pemborosan yang di lakukan oleh manajemen (Jensen dan Mecling, 1976 dalam Etty M.Nasser, 2008 : 3). Dengan adanya debt yang besar manajemn berupaya meningkatkan laba agar perusahaan dapat membayarkan kewajibannya. Peningkatan hutang tersebut di kaitkan dengan meningkatnya harga saham
(23)
7
dan penurunan hutang menyebabkan penurunan nilai perusahaan (Masulis, 1988 dalam Tendi Haruman, 2008 : 153).
Di sisi lain, trade off model (Siaw, 1999 dalam Dermawan Sjahrial, 2008 : 203)mengungkapkan bahwa konsekuensi dari penggunaan hutang oleh perusahaan adalah meningkatnya biaya keagenan hutang (debt agency cost)
dan biaya kebangkrutan (bancruptcy cost). Menurut trade off model
penggunaan utang akan meningkatkan nilai perusahaan tetapi hanya sampai titik tertentu. Setelah titik tersebut, penggunaan hutang justru akan menurunkan nilai perusahaan karena kenaikan keuntungan dari penggunaan hutang tidak sebanding dengan kenaikan biaya financial distress dan debt agency cost. (Dermawan Sjahrial, 2008 : 203).
Di lingkungan perusahaan go public di Indonesia, kebijakan struktur modal mereka pada umumnya menunjukan kondisi yang relatif unik. Dari keseluruhan sampel penelitian, diperoleh data tentang rasio leverage yaitu rata-rata sebesar 45%, bahkan berdasarkan data yang diperoleh tidak sedikit perusahaan memiliki rasio leverage di atas 50%, hal tersebut menunjukan bahwa rata-rata setengah dari total nilai asset perusahaan dibiayai dari sumber dana utang bahkan tidak sedikit perusahaan yang justru lebih banyak menggunakan sumber dana utang dibanding modal sendiri. Berdasarkan
agency theory (Jensen dan Meckling, 1976) penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan, sedangkan menurut trade off model (Siaw, 1999 dalam Dermawan Sjahrial, 2008 : 203) penggunaan hutang yang tinggi
(24)
8
akan menyebabkan penurunan nilai perusahaan. Berdasarkan kondisi ini, maka menarik untuk meneliti sejauh mana kebijakan hutang mempengaruhi nilai perusahaan.
Keputusan keuangan lainnya yang digunakan untuk mengurangi
agency problem dan agency cost menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam
A.W. Djabid (2009 : 250) adalah dengan kebijakan dividen. Menurut A.W. Djabid (2009 : 250) pembayaran dividen akan membuat pemegang saham mempunyai tambahan return selain capital gain. Dividen juga membuat pemegang saham mempunyai kepastian pendapatan dan mengurangi agency cost of equity karena tindakan perquisites yang dilakukan manajemen terhadap cash flow perusahaan seiring dengan menurunnya biaya monitoring
karena pemegang saham yakin bahwa kebijakan manajemen akan menguntungkan dirinya, dengan begitu nilai perusahaan akan meningkat. Namun di sisi lain, dengan semakin tingginya dividen yang dibagikan, mengakibatkan pendapatan yang diperoleh perusahaan makin banyak yang dialokasikan ke dividen dibandingkan ke laba ditahan. Laba ditahan yang rendah mengakibatkan kesempatan investasi menjadi berkurang. Di lain pihak, perusahaan dituntut untuk terus tumbuh. Dengan demikian untuk dapat melaksanakan investasi tersebut, maka kekurangan dana investasi dari laba ditahan dapat dipenuhi dari external financing yaitu dengan penggunaan hutang, namun penggunaan hutang ini akan menyebabkab meningkatnya resiko perusahaan terutama resiko kebangkrutan (Dermawan Sjahrial, 2008 :
(25)
9
311). Inisiasi dividen merupakan pembayaran dividen pertama yang dilakukan oleh perusahaan setelah IPO. Sedangkan kebijakan inisiasi dividen merupakan kebijakan yang terkait dengan keputusan tentang besarnya payout
dan timing dari dividen pertama pasca IPO. Inisiasi dividen merupakan indikasi pertama yang bersifat publik tentang kesediaan manajer perusahaan untuk mendistribusikan kelebihan kas kepada para pemegang saham dibanding menginvestasikannya ke dalam proyek- proyek baru (Sharma, 2001:4). Dhaliwal, et al. (2003) dalam Bambang Sugeng (2009:37) berargumen bahwa dengan melakukan inisiasi dividen reguler, manajer ingin menunjukkan komitmennya kepada pemegang saham untuk secara konsisten melakukan pendistribusian kas dividen reguler untuk waktu yang tak terbatas. Kebijakan inisiasi dividen merupakan salah satu kebijakan keuangan yang lebih bersifat strategik dibanding kebijakan dividen reguler. Kebijakan inisiasi dividen yang diambil oleh perusahaan membawa konsekuensi tanggung jawab perusahaan secara financial yang cukup fundamental, karena sekali perusahaan memutuskan untuk memulai membayarkan dividen periodik (reguler), maka ia dituntut mampu menjaga konsistensi pembayaran dividen periodik yang sudah diawalinya tersebut. Inkonsistensi atau instabilitas dalam pembayaran dividen reguler bisa merusak reputasi manajer. Kesiapan perusahaan melakukan inisiasi dividen adalah didasarkan pada kemampuan finansial yang didukung oleh prospek kinerja perusahaan yang memadai. Oleh karena itu, diharapkan bahwa keputusan perusahaan untuk segera atau
(26)
10
menunda inisiasi dividennya akan memberikan sinyal tentang kinerja keuangan perusahaan. Bagi perusahaan yang mampu lebih awal / cepat membayarkan dividen pertamanya dipandang memiliki kemampuan finansial yang lebih baik untuk menjamin konsistensi pembayaran dividen reguler selanjutnya. Sedangkan perusahaan yang belum siap melakukan atau menunda pembayaran dividen pertamanya dipandang belum memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk maksud tersebut.
Perilaku kebijakan inisiasi dividen di kalangan perusahaan go-public
di Indonesia memang terlihat sangat bertolak belakang dari sudut pandang argumen yang dikemukakan oleh Sharma (2001) dalam Bambang Sugeng
(2009:37), bahkan dari perilaku perusahaan di Amerika umumya. Perilaku kebijakan inisiasi dividen yang ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan yang baru go-public di Indonesia ini mengundang beberapa pertanyaan fundametal yang perlu diklarifikasi secara empiris. Di antara pertanyaan fundamental tersebut adalah dari perspektif agency cost model, salah satu model eksplanasi utama kebijakan dividen yang berbasis pada relevance of dividend proposition, yaitu ”Apakah perilaku kebijakan inisiasi dividen di lingkungan perusahaan-perusahaan go-public baru di Indonesia yang terkesan unik tersebut memiliki relevansi dengan mekanisme monitoring oleh pemegang saham terhadap manajemen sebagaimana dicerminkan pada sruktur kepemilikan dan struktur modal perusahaan?” Dalam konteks agency cost model yang dikembangkan oleh Michael Jensen dan William Meckling,
(27)
11
kebijakan dividen digunakan untuk meminimalisasi agency cost yang timbul dari potensi conflict of intersts antara agent (manajer) dengan principal
(pemilik perusahaan) akibat adanya pemisahan di antara kedua belah pihak tersebut. Agency cost merupakan biaya yang timbul dalam rangka mengendalikan atau memonitor tindakan manajer agar sesuai dengan kepentingan principal. Dasar dari agency cost model ini adalah ketika manajer disadari bisa bertindak tidak sesuai dengan kepentingan investor/pemegang saham, maka pemegang saham menggunakan mekanisme tertentu untuk mengontrol tindakan manajer tersebut. Salah satu dari mekanisme ini adalah melalui pembayaran dividen dengan payout yang tinggi (Beiner, 2001) dalam Bambang Sugeng (2009:39).
Namun, keefektivan kebijakan hutang dan kebijakan dividen dalam rangka mengurangi agency problem dan dalam menciptakan nilai perusahaan tidak terlepas dari peran struktur kepemilikan khususnya insider ownership
dan institutional ownership. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Eastabrook
(1984) dalam Bambang Sugeng (2009 : 39) menyatakan bahwa efektivitas dividen dan hutang sebagai salah satu sarana monitoring bergantung pada keberadaan sarana-sarana monitoring lainnya, dalam hal ini yaitu struktur kepemilikan.
Penelitian mengenai pengaruh struktur kepemilikan terhadap nilai perusahaan telah dilakukan oleh Etty M. Nasser (2008) yang menemukan bahwa struktur kepemilikan memiliki pengaruh yang negatif terhadap nilai
(28)
12
perusahaan. Tendi Haruman (2008) juga menemukan bahwa struktur
kepemilikan berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Sedangkan Indo Yama Nasarudin dan Umi Maimunah (2009) menemukan bahwa struktur kepemilikan tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Animah dan Rahma Sri Ramadhani (2008) membuktikan bahwa struktur kepemilikan tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
Penelitian mengenai pengaruh struktur kepemilikan terhadap kebijakan dividen telah dilakukan oleh Tendi Haruman (2008) yang menemukan bahwa struktur kepemilikan berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. Sedangkan Bambang Sugeng (2009) menemukan bahwa struktur kepemilikan tidak mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dividen.
Agus Harjito dan Nurfauziah (2006) menemukan bahwa struktur kepemilikan tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
Penelitian mengenai pengaruh kebijakan dividen terhadap nilai perusahaan dilakukan oleh Sujoko dan Ugy Soebiantoro (2007) menemukan bahwa kebijakan dividen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Sedangkan Tendi Haruman (2008) menemukan bahwa kebijakan dividen berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan.
Penelitian mengenai pengaruh struktur modal (Leverage) terhadap nilai perusahaan juga dilakukan oleh Sujoko dan Ugy Soebiantoro (2007)
yang menemukan bahwa Leverage mempunyai pengaruh negatif dan
(29)
13
Berdasarkan uraian diatas, dimana terdapat keunikan dari karakteristik perusahaan-perusahaan go public di Indonesia dan dengan adanya hasil penelitian yang berbeda-beda mengenai konsep penerapan agency problem
dalam menciptakan nilai perusahaan pada perusahaan-perusahaan go public di Indonesia, peneliti tertarik untuk menguji kembali konsistensi dari faktor-faktor agency problem yang terdiri dari struktur kepemilikan, struktur modal dan kebijakan dividen dalam menciptakan nilai perusahaan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka penelitian ini mengambil judul
“ANALISIS KETERKAITAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI AGENCY PROBLEM SERTA PENGARUHNYA
TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (STUDI KASUS PADA
PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BEI )”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan di teliti di rumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh struktur kepemilikan saham terhadap struktur modal pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia ?
2. Bagaimana pengaruh struktur kepemilikan saham terhadap kebijakan dividen pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia ?
3. Bagaimana pengaruh struktur kepemilikan saham terhadap nilai perusahaan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia ?
(30)
14
4. Bagaimana pengaruh struktur modal terhadap kebijakan dividen perusahaan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia ?
5. Bagaimana pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia ?
6. Bagaimana pengaruh kebijakan dividen terhadap nilai perusahaan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan peneliti dalam melekukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis pengaruh struktur kepemilikan saham terhadap struktur modal pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
2. Untuk menganalisis pengaruh struktur kepemilikan saham terhadap kebijakan dividen pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 3. Untuk menganalisis pengaruh struktur kepemilikan saham terhadap nilai
perusahaan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
4. Untuk menganalisis pengaruh struktur modal terhadap kebijakan dividen perusahaan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
5. Untuk menganalisis pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
6. Untuk menganalisis pengaruh kebijakan dividen terhadap nilai perusahaan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
(31)
15
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini merupakan pelatihan intelektual yang diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai faktor-faktor yang berhubungan agency theory dan pengaruhnya terhadap nilai perusahaan.
2. Sebagai tambahan informasi bagi pihak manajemen perusahaan dan para investor yang berhubungan dengan agency theory, khususnya tentang struktur kepemilikan dan implikasinya terhadap kebijakan dividen dan struktur modal perusahaan sebagai alat monitoring untuk meminimumkan
agency cost.
3. Sebagai bahan pertimbangan kepada para investor atau para calon investor untuk menilai apakah keberadaan mereka telah cukup efektif atau belum dalam melekukan monitoring terhadap manajemen, karena berhubungan dengan modal yang diinvestasikan, sehingga mereka dapat menentukan apakah akan menjual atau membeli saham pada perusahaan manufaktur yang go public di Bursa Efek Indonesia.
4. Untuk peneliti selanjutnya dan akademisi penelitian ini diharapkan akan melengkapi temuan-temuan empiris yang telah ada di bidang manajemen keuangan dan akuntansi untuk kemajuan dan pengembangan ilmiah di masa yang akan datang.
(32)
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori
1. Agency Theory
Brigham and Houston (2009:26) mendefinisakan teori keagenan
(agency teory) sebagai suatu hubungan dimana para manajer diberi kekuasaan oleh para pemilik perusahan, yaitu pemegang saham, untuk membuat keputusan, dimana hal ini menciptakan konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori keagenan (agency teory). Agency theory membahas hubungan antara pemberi kerja (principal) dan penerima amanah (agen) untuk melaksanakan pekerjaan. Dalam konteks ini, yang di maksud principal adalah para pemegang saham sedangkan agen (agency) adalah manajemen pengelola perusahaan. Selanjutnya, principal akan memberikan hak pada orang lain yang disebut agen untuk menjalankan haknya. Principal menyediakan fasilitas dan dana untuk menjalankan perusahaannya, sedangkan manajemen mempunyai kewajiban mengelola apa yang diamanatkan oleh para pemegang saham kepadanya .
Menurut agency theory Jensen dan Meckling (1976) dalam Moeljadi
(2006 : 3), perusahaan yang memisahkan fungsi pengelolaan dengan fungsi kepemilikan akan rentan terhadap konflik keagenan (agency conflict). Penyebab timbulnya konflik keagenan ini adalah karena para pengambil keputusan tidak perlu menanggung resiko sebagai akibat adanya kesalahan dalam pengambilan
(33)
17
keputusan bisnis atau tidak dapat meningkatkan nilai perusahaan. Resiko tersebut sepenuhnya di tanggung oleh pemilik. Karena tidak menanggung resiko dan mendapat tekanan dari pihak lain dalam mengamankan investasi para pemegang saham, maka pihak manajemen cenderung untuk menyetujui pengeluaran atau pos – pos biaya yang bersifat konsumtif dan tidak produktif. Hal ini menyebabkan manurunnya nilai perusahaan yang dilihat dengan menurunnya tingkat kesejahteraan para pemegang saham.
Penyebab lain konflik antara manajer dengan shareholder adalah karena keputusan pendanaan. Pemegang saham hanya mau peduli pada resiko sistematik (systematic risk) dari saham perusahaan, karena mereka melakukan investasi pada portofolio yang terdiversifikasi dengan baik. Namun manajer sebaliknya, mereka lebih berhubungan dengan risiko perusahaan secara keseluruhan.
a. Hubungan Keagenan
Menurut Lukas Atmaja (2008:12), agency relationship (hubungan keagenan) muncul ketika satu atau lebih individu (majikan) menggaji individu lain (agen atau karyawan) untuk bertindak atas namanya, mendelegasikan kekuasaan untuk membuat keputusan kepada agen.
Menurut Brigham dan Houston (2009:26) Hubungan Keagenan
(agency relationship) terjadi ketika satu atau lebih individu, yang disebut sebagai principal menyewa individu atau organisasi lain, yang disebut
(34)
18
sebagai agen, untuk melakukan sejumlah dan mendelegasikan kewenangan untuk membuat keputusan kepada agent tersebut.
Sedangkan, menurut (Lukas Setia Atmaja, 2008 : 12), Dalam manajemen keuangan, hubungan keagenan utama terjadi di antara pihak-pihak berikut :
1) Pemegang Saham (Shareholders) dengan Manajer.
Problem keagenan (agency problem) antara pemegang saham
(shareholders) dengan manajer potensial terjadi bila manajemen tidak memiliki saham mayoritas perusahaan. Pemegang saham tentu menginginkan manajer bekerja dengan tujuan memaksimumkan kemakmuran pemegang saham. Sebaliknya, manajer perusahaan bisa saja bertindak tidak untuk memaksimumkan kemakmuran pemegang saham, tetapi memaksimumkan kemakmuran mereka sendiri. Maka terjadilah
conflict of interest. Untuk meyakinkan bahwa manajer bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan pemegang saham, pemegang saham harus mengeluarkan biaya yang disebut agency cost yang meliputi : pengeluaran untuk monitoring kegiatan manajer, pengeluaran untuk membuat suatu struktur organisasi yang meminimalkan tindakan-tindakan manajer yang tidak diingikan, serta opportunity cost yang timbul akibat kondisi dimana manajer tidak dapat segera mengambil keputusan tanpa persetujuan pemegang saham.
(35)
19
Pengawasan secara total terhadap kegiatan para manajer akan memecahkan masalah keagenan, tetapi dibutuhkan biaya yang mahal dan kurang efisien. Solusi yang lebih baik adalah memberi suatu paket kompensasi berupa gaji tetap ditambah bonus kepemilikan perusahaan (saham perusahaan) jika kinerja mereka bagus. Selain itu, agency problem antara pemegang saham dengan manajemen perusahaan dapat dikurangi dengan cara : (1) kekhawatirkan untuk di-PHK karena kinerja yang dinilai kurang memuaskan, dan (2) ketakutan mengalami hostile take-over atau kondisi dimana perusahaan diambil alih secara paksa oleh pihak lain. Kondisi ini mungkin terjadi jika nilai perusahaan turun karena mis-management. Jika hostile take-over terjadi, biasanya manajemen lama akan diganti karena dianggap sebagai sumber masalah.
2) Shareholders dengan Kreditor (Bondholders)
Agency problem juga muncul antara kreditor (pemberi hutang), misalnya pemegang obligasi perusahaan (bondholders) dengan pemegang saham (stockholders) yang diwakili oleh manajemen perusahaan. Adapun penyebab konflik tersebut diantaranya :
a) Manajemen mengambil proyek-proyek yang resikonya lebih besar daripada yang diperkirakan oleh kreditor, atau
b) Perusahaan meningkatkan jumlah hutang hingga mencapai tingkatan yang lebih tinggi daripada yang diperkirakan kreditor.
(36)
20
Kedua tindakan diatas akan meningkatkan risiko financial
perusahaan, selanjutnya akan menurunkan nilai pasar hutang/obligasi perusahaan yang belum jatuh tempo. Kreditur dirugikan jika perusahaan mengambil proyek yang terlalu beresiko karena hal ini akan meningkatkan risiko kebangkrutan perusahaan. Dilain pihak, jika proyek beresiko tinggi tersebut memberikan hasil yang bagus, kompensasi yang diterima kreditor (bunga) tidak ikut naik. Kreditur yang bijak akan menyadari kondisi ini sehingga pada umumnya mereka akan membuat rambu-rambu bagi pihak debitur. Rambu-rambu ini, disebut restrictive debt covenant yaitu perjanjian hutang yang bersifat membatasi yang disepakati bersama pada saat pinjaman diberikan. Termasuk didalamnya pembatasan terhadap pembayaran dividen kepada para pemegang saham. b. Pendekatan untuk mengurangi Agency Problem
Untuk meminimumkan agency problem dalam perusahaan,
diperlukan biaya yang disebut agency cost. Agency cost merupakan biaya yang muncul karena menggunakan hutang dan melibatkan hubungan antara
stockholder dan bondsholders ( Dermawan Sjahrial, 2008 : 202). Jensen dan Meckling (1976) dalam Etty M.Nasser (2008 : 2) mendefinisikan agency cost sebagai jumlah dari : (1) pengeluaran biaya untuk monitoring oleh pemilik (principal), dan (2) pengeluaran karena penggunaan hutang oleh
manajemen (agency) dan pengeluaran karena karena kehilangan
(37)
21 Jensen dan Meckling (1976) dalam Dermawan Sjahrial (2008 : 204), keputusan struktur modal yang dilakukan oleh manajer adalah untuk menyeimbangkan agency cost of debt dengan agency cost of equity. Untuk mengatasi agency problem tersebut dapat di lakukan dengan beberapa cara, yaitu (Farah Margaretha, 2009 : 5) :
1. Pendekatan dengan cara meningkatkan insider ownership. Menurut pendekatan ini, agency problems bisa dikurangi bila manajer mempunyai kepemilikan saham dalam perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). Dengan adanya kepemilikan saham, maka insider akan merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambilnya, demikian juga kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Dengan demikian, kepemilikan saham merupakan insentif bagi para manajer dalam perusahaan untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan meningkatkan nilai perusahaan, juga menggunakan hutang secara optimal sehingga akan meminimumkan agency cost.
2. Pendekatan pengawasan eksternal. Pendekatan ini dilakukan melalui penggunaan hutang. Peningkatan penggunaan debt financing akan mempengaruhi pemindahan equity capital. Jensen (1996) dalam Farah Margareta (2008 : 5) menyatakan bahwa dengan adanya hutang dapat digunakan untuk mengendalikan penggunaan free cash flow secara berlebihan oleh manajemen, dengan demikian menghindari investasi yang sia-sia. Penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan.
(38)
22
Peningkatan hutang tersebut dikaitkan dengan meningkatnya harga saham perusahaan (Masulis,1988 dalam Tendi Haruman, 2008 : 153). Di sisi lain, timbul masalah jika hutang yang tinggi tidak diikuti dengan penggunaan yang hati-hati, karena adanya kecenderungan perilaku
opportunistic oleh insider, sehingga biaya keagenan akan semakin tinggi dan pada akhirnya juga merugikan pemegang saham.
3. Instituonal investor sebagai monitoring agents. εoh’d, et al., (1998)
dalam Etty M. Nasser (2008 : 3) menyatakan bahwa bentuk distribusi saham (shareholders dispersion) antara pemegang saham dari luar (outside shareholders) yaitu institusional investors dapat mengurangi
agency cost. Karena kepemilikan mewakili suatu sumber kekuasaan (source of power) yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap keberadaan manajemen, maka konsentrasi atau penyebaran kekuasaan menjadi suatu hal yang relevan. Adanya kepemilikan oleh investor – investor institusional seperti bank, asuransi, perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi lain dalam bentuk perusahaan akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja insiders.
4. Dengan Mekanisme Pembayaran Dividen
Dengan menggunakan mekanisme pembayaran dividen, menurut Rozeff (1982) seperti yang dikutif dalam Tendi Haruman (2008 : 151) masalah keagenan dapat dikurangkan atau diturunkan dengan mekanisme
(39)
23
pembayaran dividen. Dividen disini berperan sebagai salah satu bentuk penawaran distribusi pendapatan, karena menurut A. W. Djabid (2009 : 250) dengan pembayaran dividen pemegang saham melihat bahwa pengelola perusahaan sudah melakukan tindakan yang sesuai dengan keinginan mereka, sehingga akan mengurangi konflik keagenan. Tetapi disisi lain pembayaran dividen akan juga menimbulkan biaya dari sumber internal perusahaan yang tidak lagi banyak untuk memenuhi kebutuhan investasi perusahaan, sehingga mendorong pengelola perusahaan untuk memenuhi kebutuhan dananya dari pihak eksternal guna mengisi kembali dana yang telah dikeluarkan dalam bentuk dividen.
2. Nilai Perusahaan
Beberapa konsep nilai yang menjelaskan nilai suatu perusahaan adalah : nilai nominal, nilai pasar, nilai intrinsic, nilai buku dan nilai liquidasi (Keown, 2007 : 849).
Nilai nominal adalah nilai yang tercantum secara formal dalam anggaran dasar perseroan, disebut secara eksplisit dalam neraca perusahaan, dan juga ditulis jelas dalam surat saham kolektif. Nilai pasar, sering juga disebut kurs adalah harga yang terjadi dari proses tawar-menawar dipasar saham. Nilai intrinsic, merupakan konsep yang paling abstrak, karena mengacu pada perkiraan nilai riil suatu perusahaan. Nilai perusahaan dalam konsep nilai
(40)
24
perusahaan sebagai entitas bisnis yang memiliki kemampuan menghasilkan keuntungan di kemudian hari. Sedangkan nilai buku adalah nilai perusahaan yang dihitung dengan dasar konsep akuntansi. Secara sederhana dihitung dengan cara membagi selisih antara total aktiva dan total hutang dengan jumlah saham yang beredar. Nilai likuidasi, adalah nilai jual seluruh asset perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban yang harus dipenuhi. Nilai sisa itu merupakan bagian para pemegang saham. Nilai likuidasi bisa di hitung dengan cara yang sama dengan menghitung nilai buku, yaitu berdasarkan neraca proforma yang disiapkan ketika suatu perusahaan akan dilikuidasi.
Jika mekanisme pasar berfungsi dengan baik, maka harga saham tidak mungkin berada di bawah nilai likuidasi. Karena nilai likuidasi ini hanya dihitung bila perusahaan akan dilikuidasi maka investor bisa menggunakan nilai buku sebagai alat pengganti untuk tujuan yang sama yaitu memperkirakan batas bawah harga saham. Namun demikian ada beberapa catatan yang harus diperhatikan dalam memahami konsep nilai buku ini. Pertama, sebagian besar asset dinilai dengan nilai historis, karena itu pada beberapa asset nilai jualnya bisa jauh lebih tinggi dari nilai bukunya. Kedua, di dalam asset kadang terdapat aktiva tak berwujud, yang dalam likuidasi sering tidak memiliki nilai jual. Ketiga, nilai buku sangan dipengaruhi oleh metode dan estimasi akuntansi seperti metode penyusutan aktiva tetap, metode penilaian persediaan, dan lain-lain. Dengan demikian nilai buku sulit digunakan sebagi metode untuk menentukan nilai perusahaan. Selanjutnya, nilai intrinsic juga sulit di gunakan
(41)
25
sebagi alat untuk menentukan nilai perusahaan. Hal ini karena sangat sulit untuk menentukan nilai intrinsic suatu perusahaan, karena untuk menentukan nilai intrinsic perusahaan oarng membutuhkan kemampuan mengindetifikasi variabel-variabel signifikan yang menentukan keuntungan suatu perusahaan, dan variabel ini berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Karena itulah, maka nilai pasar (market value) digunakan dengan alasan kemudahan data didasarkan pada penilaian moderat.
Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukan kemakmuran pemegang saham juga akan meningkat. Kekayaan pemegang saham dan perusahan direpresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari keputusan investasi, kebijakan dividen, dan keputusan pendanaan (Brigham dan Houston, 2009:19).
Dalam penelitian ini rasio yang digunakan adalah rasio nilai pasar, seperti yang di jelaskan di atas. Menurut Mamduh M. Hanafi (2008:840) rasio pasar adalah rasio yang mengukur harga pasar relatif terhadap nilai buku. Sudut pandang dari rasio ini lebih banyak berdasar pada sudut investor meskipun pihak manajemen juga berkepentingan terhadap rasio-rasio ini.
Sedangkan menurut Brigham dan Houston (2009 : 110) rasio nilai pasar
(market value ratio), akan menghubungkan harga saham perusahaan pada laba, arus kas, dan nilai buku persahamnya. Rasio-rasio ini dapat memberikan
(42)
26
indikasi kepada manajemen mengenai apa yang dipikirkan oleh para investor tentang kinerja masa lalu dan prospek perusahaan dimasa mendatang.
Nilai perusahaan atau harga dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain :
a. Proyeksi Laba (Profitabilitas)
Investor pada umumnya melakukan investasi pada perusahaan yang mempunyai profit atau laba cukup baik dan mempunyai prospek yang cukup cerah dimasa datang, maka investor mau melakukan investasi pada perusahaan tersebut sehingga akan mempengaruhi harga saham perusahaan.
b. Earning per Share
Sebagai seorang investor yang melakukan investasi pada perusahaan, akan menerima laba atas saham yang dimiliki. Semakin tinggi laba per saham yang diberikan oleh perusahaan, maka tingkat pengembalian akan baik sehingga mendorong investor melakukan investasi yang lebih besar lagi, yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan.
c. Tingkat Resiko Pengembalian
Apabila tingkat resiko dan proyeksi laba yang diharapkan perusahaan tinggi, juga akan mempengaruhi harga saham perusahaan. Biasanya semakin tinggi resiko, maka tingkat pengembalian yang diharapkan investor akan semakin besar.
(43)
27
d. Kebijakan Pembagian Dividen
Perusahaan dalam mengalokasikan laba usahanya memiliki dua alternatif, yaitu apakah laba akan dibagikan dalam bentuk dividen kepada para pemegang atau laba akan ditahan untuk membiayai investasi mendatang. Disinilah perusahan dituntut untuk dapat mebuat kebijakan dividen yang tepat.
Indikator-indikator yang mempengaruhi nilai perusahaan diantaranya adalah :
1) Market to Book Ratio (MBR).
Market to book ratio (MBR) merupakan perbandingan antara harga pasar perlembar saham terhadap nilai buku equitas perlembar saham (Brigham and Houston, 2009 : 112), MBR ini memberikan indikasi tentang bagaimana investor memandang suatu perusahaan. Perusahaan yang tingkat pengembalian atas ekuitasnya relatif tinggi biasanya menjual sahamnya dengan penggandaan nilai buku yang lebih tinggi daripada perusahaan lain yang tingkat pengembaliannya rendah. 2) Price Earning Ratio (P/E)
Price Earning Ratio (P/E) merupakan rasio harga pasar persaham terhadap terhadap laba persaham (Mamduh Hanafi, 2008 : 85). Rasio ini menunjukan berapa dolar / rupiah yang harus dibayar investor untuk setiap $1 laba periode berjalan (Brigham dan Houston, 2009 : 110). Semakin besar PER, maka semakin besar pula kemungkinan perusahaan
(44)
28
untuk tumbuh sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan, sedangkan dari segi investor (Mamduh Hanafi, 2008 : 85).
Price Earning Ratio (PER) menurut Brigham dan Weston
(2001:305) adalah rasio harga per saham terhadap laba per saham. Rasio ini menunjukkan berapa Rupiah yang harus dibayarkan oleh investor untuk setiap Rp 1 laba periode berjalan.
Menurut Arief Sugiono (2009:84) Rasio Price Earning Ratio
(PER) diperoleh dari harga pasar saham biasa dibagi dengan laba per saham sehingga semakin tinggi rasio ini akan mengindikasikan bahwa kinerja perusahaan dengan semakin baik.
Price Earning Ratio merupakan suatu rasio yang lazim dipakai untuk mengukur harga pasar (market price) setiap lembar saham biasa dengan laba per lembar saham (Simamora, 2000:531).
Brigham dan Houston (2001:110) menyebutkan bahwa PER menunjukkan berapa banyak jumlah uang yang dikeluarkan oleh para investor untuk membayar setiap Dolar laba yang dilaporkan.
Sedangkan Desmond Wira (2011:76) mendefinisikan bahwa Price Earning Ratio (PER) adalah rasio yang dihitung dengan membagi harga saham saat ini dengan Earning Per Share (EPS) nya. Price Earning Ratio
(45)
29
(PER) menggambarkan seberapa banyak investor berani menghargai saham itu.
Angka rasio ini digunakan oleh para investor untuk memprediksi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba (earning power) di masa mendatang (Dwi Prastowo, 2002:96). PER menjadi rendah nilainya bisa karena harga saham cenderung semakin turun atau karena meningkatnya laba bersih perusahaan. Penafsiran terhadap rasio ini juga dipengaruhi oleh persepsi pemodal terhadap kualitas perusahaan dan trend pendapatannya, risiko relatif, penggunaan metode akuntansi alternatif dan faktor-faktor lain.
Adler Haymans Manurung (2004:27) menyatakan bahwa PER dapat digunakan untuk berbagai pihak atau investor untuk membeli saham. Investor akan membeli suatu saham perusahaan dengan PER yang kecil, karena PER yang kecil menggunakan laba bersih per saham yang cukup tinggi dan harga yang rendah.
Gregorius Sihombing (2008:87) PER adalah perbandingan harga sebuah saham dengan laba bersih untuk setiap lembar saham perusahaan itu. PER merupakan suatu ukuran murah dan mahalnya harga sebuah saham jika dibandingkan dengan harga saham lainnya untuk suatu industri yang serupa.
(46)
30 Toto Prihadi (2010:232) PER adalah indikator yang mengukur besar nilai (value) yang diapresiasi oleh investor terhadap nilai perusahaan.
3) Prive to Book Value (PBV)
PBV atau rasio harga per nilai buku merupakan hubungan antara harga pasar saham dengan nilai buku per lembar saham (Jones, 2000: 274).
Rasio Price to Book Value (PBV) merupakan rasio untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan. Rasio ini mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen dan organisasi sebagai perusahaan yang terus tumbuh. Rasio PBV merupakan perbandingan antara harga saham dengan nilai buku ekuitas.
3. Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen merupakan keputusan keuangan yang berkaitan dengan penentuan berapa besarnya laba yang tersedia bagi para pemegang saham biasa yang dibagikan yang dibagikan kepada para pemegang saham biasa sebagai dividen dan berapa banyak jumlah yang ditahan sering disebut dengan kebijakan dividen (Warsono, 2003 : 271). Rasio pembayaran dividen (Dividen payout Ratio) menentukan jumlah laba yang dapat ditahan sebagai sumber pendanaan. Semakin besar laba
(47)
31
ditahan, maka semakin dikit jumlah laba yang dialokasikan untuk pembayaran dividen.
Rasio antara dividen dan laba bersih sering disebut sebagai
dividend payout ratio (DPR). Karena kelebihan laba bersih di atas dividen itu menjadi laba ditahan maka keputusan DPR inclusive dengan keputusan mengenai laba ditahan (Suwaldiman dan Aziz, 2006:). Sepintas, para pemegang saham akan merasa senang apabila bagian dari laba bersih yang dibagikan sebagai dividen ini semakin besar. Akan tetapi, apabila DPR ini semakin besar, berarti laba ditahan semakin menciut. Dengan demikian, keputusan dividen akan mengacu pada suatu kebijakan dividen (dividend policy) yang optimal terutama disesuaikan dengan konsep tujuan memaksimumkan nilai perusahaan.
Ahmad Rodoni dan Herni Ali (2010 : 125) mengatakan bahwa kebijakan dividen yang optimal (optimal dividend policy) perusahan adalah kebijakan yang menciptakan keseimbangan di antara dividen saat ini dan pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang yang memaksimalkan nilai perusahaan.
Menurut agency theory (Jansen and Mackling : 1976) dalam
Farah Margaretha (2009 : 5) salah satu pendekatan untuk meminimumkan agency problem adalah dengan mekanisme pembayaran dividen.
(48)
32
εenurut Rozeff (198β) dan εoh’d et.al,. (1998) dalam Tendi
Haruman (2008 : 151) masalah keagenan dapat diturunkan dengan mekanisme pembayaran dividen, karena dengan pembayaran dividen pemegang saham melihat bahwa pengelola perusahaan telah melakukan tindakan yang sesuai dengan keinginan mereka, sehingga akan mengurangi konflik keagenan. Selain agency theory, terdapat beberapa teori yang menjelaskan mengenai kebijakan dividen, antara lain (Dermawan Sjahrial, 2008 : 311) :
a. Teori Dividen Tidak Relevan dari Modigliani dan Miller
Modigliani dan Miller (MM) berpendapat, nilai suatu perusahaan tidak ditentukan oleh besar kecilnya Dividen Payout Ratio, tapi ditentukan oleh laba bersih sebelum pajak (EBIT) dan kelas risiko perusahaan. Jadi menurut MM, dividen tidak relevan untuk diperhitungkan karena tidak akan meningkatkan kesejahteraan pemegang saham. Menurut MM kenaikan nilai perusahaan dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan atau earning power dari asset perusahaan.
b. Teori The Bird in The Hand
Gordon dan Litner menyatakan bahwa biaya modal sendiri perusahaan akan naik jika dividen payout rendah karena investor lebih suka menerima dividen daripada capital gains. Menurut mereka, investor
(49)
33
memandang dividen yield lebih pasti daripada capital gains. Perlu diingat bahwa dilihat dari sisi investor, biaya modal sendiri dari laba ditahan (Ks) adalah tingkat keuntungan yang disayratkan investor pada saham. Ks adalah keuntungan dari capital gains (capital gains yield) ditambah keuntungan dari capital gains (capital gains yield). Menurut MM pendapat ini merupakan suatu kesalahan karena pada akhirnya investor akan kembali menginvestasikan dividen yang diterima pada perusahaan yang sama atau perusahaan yang memiliki resiko yang hampir sama (Abdul Halim, 2005:124).
c. Teori Perbedaan Pajak
Teori ini diajukan oleh Litzenberger dan Ramaswarmy.
Menyatakan bahwa karena ada pajak terhadap keuntungan dividen dan
capital gains, para investor lebih menyukai capital gains karena dapat menunda pembayaran pajak. Oleh karena itu investor mensyaratkan suatu tingkat keuntungan yang lebih tinggi pada saham yang memberikan
dividen yield tinggi, capital gains yield rendah dari pada saham dengan
dividen yield rendah, capital gains yield tinggi. d. Teori Signaling Hypothesis
Terdapat bukti empiris bahwa jika ada kenaikan dividen, sering diikuti dengan kenaikan harga saham. Sebaliknya penurunan dividen pada umumnya menyebabkan haraga saham turun. Fenomina ini dapat
(50)
34
dianggap sebagai bukti bahwa para investor lebih menyukai dividen dari pada capital gains. Seperti teori dividen yang lain, teori signaling hypothesis ini juga sulit dibuktikan secara empiris. Adalah nyata bahwa perubahan dividen mengandung beberapa informasi. Tapi sulit dikatakan apakah kenaikan dan penurunan harga setelah adanya kenaikan dan penurunan dividen semata-mata disebabkan oleh efek sinyal atau disebabkan karena efek sinyal dan preferensi terhadap dividen.
e. Teori Clientele Effect
Teori ini menyatakan bahwa kelompok (clientele) pemegang saham yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan. Kelompok pemegang saham yang membutuhkan penghasilan pada saat ini lebih menyukai suatu Dividen Payout Ratio yang tinggi. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang tidak begitu membutuhkan uang saat ini lebih senang jika perusahaan menahan sebagian besar laba bersih perusahaan. Kelompok pemegang saham yang membutuhkan penghasilan pada saat ini akan lebih menyukai suatu dividend payout ratio (DPR) yang tinggi. Sebaliknya, kelompok pemegang saham yang tidak begitu membutuhkan uang saat ini akan lebih senang jika perusahaan menahan sebagian laba bersih perusahaan (Abdul Halim, 2005).
(51)
35
Adapun rasio yang digunakan sebagai indikator dari kebijakan dividen adalah Dividen Payout Ratio (DPR) dan Dividend Yield (DY). Dividen Payout Ratio (DPR) merupakan rasio yang memperlihatkan bagian earning (pendapatan) yang dibayarkan sebagai dividen kepada investor. Rasio ini diukur dengan membagi jumlah dividen perlembar saham dengan laba perlembar saham. Perusaahaan yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi akan mempunyai rasio pembayaran
dividen yang rendah, sebaliknya perusahaan yang tingkat
pertumbuhannya rendah akan mempunyai rasio yang tinggi (Mamduh Hanafi, 2009:86). Dividend Yield merupakan rasio dari dividend per share terhadap share price dan merefleksikan berapa tingkat pendapatan / yield berupa dividen yang diperoleh dari investasi terhadap per lembar saham perusahaan. Indikator ini mengindikasikan besarnya dividen yang didistribusikan kepada pemegang saham relatif terhadap harga pasar saham perusahaan (Barclay, et al., 1995 dan Sprenman & Gantenbein,
2001) dalam Bambang Sugeng (2009:43).
Menurut Mamduh Hanafi (2008 : 85), dari segi investor, rasio
dividen yield sangat berarti karena dividen yield merupakan sebagian dari total return yang akan diperoleh investor. Bagian return yang lain adalah
capital gains, yang diperoleh dari selisih positif antara harga jual dengan harga beli. Biasanya perusahaan yang mempunyai prospek pertumbuhan yang tinggi akan mempunyai dividen yield yang rendah, karena dividen
(52)
36
sebagian besar akan diinvestasikan kembali, dan juga karena harga dividen yang tinggi (PER yang tinggi) yang mengakibatkan dividen yield
akan menjadi kecil. Sebaliknya, perusahaan yang mempunyai prospek pertumbuhan yang rendah akan memberikan dividen yang tinggi dan dengan demikian mempunyai dividen yield yang rendah pula .
Ahmad Rodoni dan Herni Ali (2010:125) menyatakan setiap perubahan dalam kebijakan pembayaran dividen akan memiliki dua dampak yang berlawanan yaitu apabila dividen akan dibayarkan semua, maka keputusan cadangan terabaikan dan sebaliknya apabila laba akan ditahan semua kepentingan pemegang saham akan uang kas akan terabaikan. Untuk menjaga kedua kepentingan tersebut, maka manajer dapat menempuh kebijakan yang optimal. Kebijakan dividen yang optimal merupakan kebijakan yang menciptakan keseimbangan antara dividen saat ini dan pertumbuhan dimasa yang akan datang, sehingga dapat dimaksimumkan laba dan mempengaruhi nilai perusahaan.
Dividen Yield merupakan salah satu dari market value ratio, rasio ini merupakan perbandingan antara dividen per lembar saham terhadap harga saham (Lukas Setia Atmaja, 2008 : 417).
4. Struktur Modal
Menurut Eugene F. Brigham dan Joel F.Houston (2001:5), struktur modal adalah bauran dari utang, saham preferen, dan saham biasa yang direncanakan perusahaan untuk menambah modal. Kemudian,
(53)
37 James C. Van Horne (2005:232), mendefinisikan struktur modal sebagai berikut : Struktur modal adalah bauran atau proporsi pendanaan permanen jangka panjang perusahaan yang diwakili oleh hutang, saham preferen, dan ekuitas saham biasa.
Menurut Ahmad Rodoni dan Indoyama Nasaruddin (2007:45), struktur modal (capital structure) adalah sesuatu yang berkaitan dengan struktur pembelanjaan permanen perusahaan yang terdiri dari hutang jangka panjang dan modal sendiri. Selain itu, menurut Bambang Riyanto
(2008:22), struktur modal adalah pembelanjaan permanen dimana mencerminkan perimbangan antara hutang jangka panjang dengan modal sendiri.
Dan menurut Dilek Teker, Ozlem Tasseven, dan Ayca Tukel
(2009:179), The Capital Structure of a company consist of a particular combination of debt and equity issues to relieve potential pressures on its long term financing.
Frank J. Fabozzi dan Pamela P. Peterson (2003:583), mendefinisikan struktur modal sebagai berikut : The Combination of debt and equity used to finance it a firms projects is referred to as its capital structure. Selain itu, menurut Ross et.all (2003:6), Capital structure : the mixture of debt and equity maintained by a firm.
(54)
38
Pengertian struktur modal menurut Bambang Riyanto (2001:145) adalah perimbangan atau perbandingan antar jumlah hutang jangka panjang dengan modal sendiri. Oleh karena itu, struktur modal di proxy
dengan Debt to Equity Ratio (DER), yang merupakan perbandingan antara total hutang terhadap modal sendiri.
Struktur modal ini merupakan masalah penting bagi perusahaan karena baik atau buruknya struktur modal akan mempunyai efek langsung terhadap posisi keuangan perusahaan. Struktur modal yang dapat memaksimumkan nilai perusahaan atau harga saham adalah struktur modal yang optimal.
Sedangkan menurut James C. Van Horne (2005:237), struktur modal optimal adalah struktur modal yang meminimalkan biaya modal perusahaan dan karenanya memaksimumkan nilai perusahaan.
Struktur modal turut memadukan sumber dana permanen yang digunakan perusahaan untuk memaksimumkan nilai perusahaan (Harmiza
dan Yudhanta,2008:56).
Yang menjadi permasalahan dari struktur modal adalah bagaimana perusahaan dengan cepat memadukan komposisi dana permanen yang digunakannya dengan mencari paduan dana yang dapat meminimumkan biaya modal perusahaan dan dapat memaksimalkan harga saham. Hal
(55)
39
inilah yang menjadi tujuan akhir dari struktur modal, yakni membuat komposisi sumber pembiayaan yang paling optimal ( Ahmad Rodoni dan Herni Ali, 2010:138).
Dari referensi-referensi di atas, maka daat disimpulkan bahwa struktur modal menggambarkan proporsi antara hutang jangka panjang dan modal sendiri.
Dalam penelitian ini Struktur Modal di proxy kan oleh Debt to Equity Ratio (DER) dan Long Term Debt Ratio (LTDR).
Teori struktur modal menjelaskan apakah ada pengaruh perubahan struktur modal terhadap nilai perusahaan, jika keputusan investasi dan kebijkan dividen dipegang konstan. Dengan kata lain, jika perusahaan mengganti sebagian modal sendiri dengan hutang atau sebaliknya apakah harga saham akan berubah, apabila perusahaan tidak merubah keputusan keuangan lainnya. Dengan kata lain, jika perubahan struktur modal tidak merubah nilai perusahaan, berarti tidak ada struktur modal yang terbaik. Tetapi jika merubah struktur modalnya, ternyata nilai perusahaan berubah, maka akan diperoleh struktur modal yang terbaik. Semua struktur modal adalah baik. Struktur modal yang dapat memaksimumkan nilai perusahaan, atau harga saham, adalah struktur modal yang terbaik (Husnan, 2004:263).
(56)
40
Menurut Moeljadi (2006:244), terdapat tiga teori utama yang menjelaskan tujuan perusahaan memaksimumkan kekayaan pemegang saham. Ketiga teori itu beruapaya menjelaskan suatu permasalahan mengenai bagaiman struktur modal dapat memaksimumkan nilai perusahaan. Ketiga teori tersebut dijelaskan sebagai berikut :
a. Teori Tradisional
Pendekatan tradisional menyatakan bahwa ada struktur modal optimal yang dapat memaksimumkan nilai pasar perusahaan dengan cara meminimumkan biaya modal rata-rata (average cost of capital) . Salah satu versi teori ini dikembangkan secara sistematis oleh Ezra Solomon. Solomon mengatakan bahwa struktur modal optimal terjadi apabila kelebihan debt to equity ratio di atas average cost of capital dan dikatakan minimum.
b. Pendekatan Modigliani dan Miller (MM) tanpa pajak
Teori yang dikembangkan oleh Modigliani dan Miller
mengasumsikan bahwa pasar modal bersifat sempurna dan tidak ada pajak . Dalam teori ini Modigliani dan Miller (MM) menyatakan bahwa nilai perusahaan dan posisi kemakmuran pemegang saham tidak dipengaruhi oleh struktur modal. Dan dalam artikelnya, MM menunjukkan bahwa pendekatan tradisional adalah tidak benar. Mereka
(57)
41
menunjukkan kemungkinan munculnya Arbitrase yang akan membuat harga saham (nilai perusahaan) yang tidak menggunakan hutang, akhirnya sama.
Terdapat beberapa asumsi yang dipegang oleh Modigliani dan
Miller, antara lain bahwa pasa modal sempurna dimana investor bertindak rasional, overall cost of capital (Ko) adalah konstan pada
semua derajat leverage pada risiko bisnis yang sama dan pada ukuran usaha yang sama pula. Pada waktu perusahan menghasilkan arus pendapatan yang sama, risiko bisnis sama, dan nilai pasar yang sama, tidak ada struktur modal yang optimal pada risiko bisnis yang sama dan tentu saja bahwa pajak dianggap tidak ada.
Sedangkan Ross et. all (2003:575) menyimpulkan teori MM
proportion I sebagai berikut : “The propotition that the value of the firm
independent of the firm capital structure “ .
c. Pendekatan Modigliani dan Miller dengan pajak
Pada tahun 1963, MM menerbitkan artikel sebagai lanjutan teori MM tahun 1958. Asumsi yang diubah adalah pajak terhadap penghasilan perusahaan (Corporate Income taxes).
Dengan adanya pajak ini, MM menyimpulkan bahwa penggunaan hutang (Leverage) akan meningkatkan nilai perusahaan karena biaya
(58)
42
bunga hutang adalah biaya yang mengurangi pembayaran pajak (a tax deductible expense ).
Dan Ross et. all (2003:576), menyimpulkan teori MM propotion II
sebagai berikut : “the propotion that a firm cost of equity capital is a positive linear function of the firm capital structure “ .
5. Struktur Kepemilikan
Prosentase kepemilikan ditentukan oleh besarnya prosentase jumlah saham terhadap keseluruhan saham perusahaan. Seseorang yang memiliki saham dari satu perusahaan dapat dikatakan sebagai pemilik perusahaan walaupun jumlah sahamnya hanya beberapa lembar. Struktur kepemilikan saham terdiri dari insider ownership, institusional ownership.
a. Insider Ownership
Insider ownership merupakan kepemilikan saham yang dimiliki oleh pihak manajerial yaitu direktur dan komisaris. Kepemilikan oleh manajerial ini dihitung dari rasio yang dimiliki oleh direktur dan komisaris perusahaan pada akhir tahun terhadap total jumlah saham yang beredar (Itturiga dan Sanz, 1998 dalam Untung W. dan Hartini,
2006:6).
Menurut Jensen and Mackling (1976) dalam A.W. Djabid (2009 : 250) pendekatan untuk mengurangi agency problem dan agency cost
(59)
43
adalah dengan cara meningkatkan insider ownership. Menurut
pendekatan ini, agency problems bisa dikurangi bila manajer mempunyai kepemilikan saham dalam perusahaan. Dengan adanya kepemilikan saham, maka insider akan merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambinya, demikian juga kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Dengan demikian, kepemiliakna saham meruapakan insentif bagi para manajer dalam perusahaan untuk menungkatkan kinerja perusahaan dan meningkatkan nilai perusahaan, juga menggunakan hutang secara optimal sehingga akan meminimumkan agency cost.
b. Institusional Ownership.
Institusional ownership merupakan tingkat kepemilikan saham yang dimiliki oleh institusional. Institusional ownership dapat dihitung dengan cara membandingkan proporsi yang dimiliki oleh institusi seperti lembaga keuangan, asuransi, serta perusahan lain (Bathala, et al.,
1994 dalam A.W. Djabid, 2009 : 250).
Peningkatan kepemilikan oleh institusi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengurangi agency problem dan agency
cost. εenurut εoh’d, et.al. (1998) dalam Farah Margaretha (2008 : 5)
menyatakan bahwa institusional investor dapat mengurangi agency cost. Karena dengan adanya kepemilikan oleh investor-investor institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan
(60)
44
oleh institusi lain dalam bentuk perusahaan akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja insider
(A.W. Djabid, 2009 : 250).
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berhubungan dengan agency theory, struktur modal, kebijakan dividen, dan nilai perusahaan, telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, sehingga dapat ditarik beberapa kesimpulan untuk tujuan pengembangan penelitian :
Lisa Marlina dan Clara D. (2009), menguji Pengaruh Cash Position, Debt To Equity Ratio, Dan Return On Assets Terhadap
Dividend Payout Ratio. Dengan menggunakan Regresi Linear Berganda (Multiple Regression), indikator seperti Cash Position (CP), Debt to Equity Ratio (DER), Return On Assets (ROA) diteliti. Dan hasilnya menunjukkan bahwa Secara simultan, variabel Cash Position, Debt to Equity Ratio, dan Return On Assets berpengaruh signifikan terhadap
Dividend Payout Ratio. Secara parsial, variabel Cash Position dan
Return On Assets berpengaruh positif dan signifikan terhadap Dividend Payout Ratio, sedangkan Debt to Equity Ratio tidak mempunyai pengaruh yang signifikan.
Etty M.Nasser (2008) meneliti tentang pengaruh struktur kepemilikan dan dewan komisaris independen terhadap nilai perusahaan dengan manajemen laba dan kebijakan hutang sebagai variabel
(61)
45 intervening. Sampel penelitian adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI dari tahun 2002 sampai 2004 yang di ambil dengan menggunakan purposive sampling sebanyak 37 perusahan. Variabel dependen adalah nilai perusahaan yang di ukur dengan Tobin’s Q, sedang variabel independen terdiri dari kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan komisaris independen. Hasil study ini menunjukan bahwa kepemilikan oleh manajerial dan kepemilikan institusional memiliki pengaruh negatif terhadap nilai perusahaan, sedangkan untuk dewan komisaris berpengaruh positif terhadap nilain perusahan, dan untuk kebijakan hutang terdapat hubungan positif terhadap nilai perusahaan.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Tendi Haruman (2008) meneliti mengaenai Struktur Kepemilikan, Keputusan Keuangan, dan Nilai Perusahaan. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktir yang terdaftar di BEI pada tahun 1994-1995. Sebanyak 94 perusahaan diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan metode
purposive sampling. Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi variabel utama (struktur kepemilikan, keputusan pendanaan, keputusan investasi, kebijakan dividen, dan nilai perusahaan ) dan variabel control
(struktur asset, ukuran perusahan, risiko, profitabilitas, likuiditas, dan pertumbuhan penjualan). Metode analisis yang di gunakan adalah dengan regresi bertahap. Hasil studi menunjukan secara simultan
(62)
46
struktur kepemilikan berpengaruh terhadap keputusan keuangan dan nilai perusahan ( market value of equity ), sedangkan indikator fundamental perusahaan memiliki pengaruh yang proporsinya relatif kecil terhadap keputusan keuangan dan nilai perusahaan.
Kemudian, Indoyama dan Umi Maimunah (2009) dengan tema
penelitian “Pengaruh Struktur Kepemilikan Saham, Struktur εodal,
Faktor Intern dan Faktor Ekstern, terhadap Nilai Perusahaan”. Penelitian
ini mengambil populasi perusahaan-perusahan go public yang terdaftar di BEI tahun 2003 sampai dengan tahun 2006. Untuk penentuan sampel menggunakan purposive sampling. Penelitian ini dalah menggunakan analisis Structural Equation Modeling (SEM). Hasilnya penelitian ini di dapat bahwa variabel struktur kepemilikan saham (kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional), factor ekstern (tingkat suku bunga, keadaan pasar modal, pertumbuhan pasar), dan factor intern (
profitabilitas, pembayaran dividen, ukuran perusahaan) memiliki hubungan yang negatif dan signifikan tarhadap struktur modal
(leverage). Sedangkan terhadap nilai perusahaan ketiga variabel di atas berpengaruh secara positif dan signifikan. Dan untuk pengujian pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan di dapat hubungan negatif dan signifikan.
Penelitian lainnya oleh Ugy Soebiantoro dan Sujoko (2007) yang menguji tentang pengaruh struktur kepemilikan, leverage, faktor
(1)
154
NIL = - 0.0019*KEP, Errorvar.= 1.00, R² = 0.00 (0.10)
-0.018
Correlation Matrix of Independent Variables KEP
---1.00
Covariance Matrix of Latent Variables STR DIV NIL KEP ---STR 1.00
DIV -0.06 1.00
NIL -0.13 0.00 1.00
KEP 0.23 -0.26 0.00 1.00
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 23
Minimum Fit Function Chi-Square = 39.17 (P = 0.019)
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 39.27 (P = 0.019) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 16.27
90 Percent Confidence Interval for NCP = (2.74 ; 37.65) Minimum Fit Function Value = 0.40
Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.16 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.028 ; 0.38) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.085 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.035 ; 0.13) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.11 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.84
90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.70 ; 1.06) ECVI for Saturated Model = 0.91
ECVI for Independence Model = 4.25
Chi-Square for Independence Model with 36 Degrees of Freedom = 402.27 Independence AIC = 420.27
Model AIC = 83.27 Saturated AIC = 90.00 Independence CAIC = 452.72 Model CAIC = 162.58
Saturated CAIC = 252.23 Normed Fit Index (NFI) = 0.90
(2)
155
Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.93 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.58 Comparative Fit Index (CFI) = 0.96 Incremental Fit Index (IFI) = 0.96 Relative Fit Index (RFI) = 0.85
Critical N (CN) = 106.23
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.71 Standardized RMR = 0.11
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.92
Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.84 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.47
Summary Statistics for Standardized Residuals
Smallest Standardized Residual = -2.81 Median Standardized Residual = 0.00 Largest Standardized Residual = 2.03 Stemleaf Plot
- 2|855 - 2|442 - 1|986 - 1|33222210 - 0|6
- 0|42200000000 0|2
0|7
1|013444444 1|579 2|00
Largest Negative Standardized Residuals Residual for PER and DY -2.81 The Modification Indices Suggest to Add the
Path to from Decrease in Chi-Square New Estimate DY NIL 9.6 -0.02 Time used: 0.016 Seconds
(3)
156
LAMPIRAN 5
Modifikasi Model III
Analisis SEM
DATE: 9/10/2011 TIME: 15:59
LISREL 8.80 (STUDENT EDITION) BY
Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom
This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A.
Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140
Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-2006 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention.
Website: www.ssicentral.com
The following lines were read from file D:\uji tgl 10 sept\UJI 5.spj: UJI 5
Raw Data from file 'D:\uji tgl 10 sept\DATA AWAL.psf' Sample Size = 100
Latent Variables KEP STR DIV NIL Relationships
SKM = KEP SKI = KEP
(4)
157
DER = STR LDR = STR DPR = DIV DY = DIV MBR = NIL PER = NIL PBV = NIL STR = KEP DIV = KEP STR NIL = KEP STR NIL
Set Error Covariance of DER to 0.001 Set Error Covariance of DY to 0.001 Set Error Covariance of SKI to 0.001 Set Error Covariance of MBR to 0.001 Set Covariance of PER and LDR
Set Covariance of LDR and DER Set Covariance of DY and NIL Path Diagram
Wide Print Print Residuals End of Problem
Sample Size = 100 UJI 5
LISREL Estimates(Intermediate Solution) Measurement Equations
DER = 1.01*STR, Errorvar.= 0.0010, R² = 1.00 LDR = - 0.23*STR, Errorvar.= 0.12 , R² = 0.30 (0.23) (0.10)
-0.98 1.20
DPR = 4.28*DIV, Errorvar.= 3.70 , R² = 0.83 (0.76)
4.87
DY = 0.14*DIV - 0.022*NIL, Errorvar.= 0.0010, R² = 0.95 (0.0017) (0.0050)
81.28 -4.35
MBR = 1.34*NIL, Errorvar.= 0.0010, R² = 1.00 PER = 4.16*NIL, Errorvar.= 38.65, R² = 0.31 (0.46) (5.31)
8.98 7.28
PBV = 1.30*NIL, Errorvar.= 0.045 , R² = 0.97 (0.017) (0.0063)
76.48 7.24
SKM = 0.063*KEP, Errorvar.= 0.0068 , R² = 0.37 (0.0097) (0.00094)
(5)
158
SKI = - 0.21*KEP, Errorvar.= 0.0010, R² = 0.98 (0.016)
-13.65
Error Covariance for LDR and DER = 0.50 (0.24)
2.10
Error Covariance for PER and LDR = 0.77 (0.20)
3.78
Structural Equations
STR = 0.23*KEP, Errorvar.= 0.95 , R² = 0.052 (0.10) (0.14)
2.28 6.91
DIV = - 0.0089*STR - 0.26*KEP, Errorvar.= 0.93 , R² = 0.067 (0.23) (0.44) (2.95)
-0.039 -0.58 0.32
NIL = - 0.13*STR + 0.028*KEP, Errorvar.= 0.98 , R² = 0.017 (0.087) (0.14) (0.24)
-1.53 0.20 4.05
Reduced Form Equations
STR = 0.23*KEP, Errorvar.= 0.95, R² = 0.052 (0.10)
2.28
DIV = - 0.26*KEP, Errorvar.= 0.93, R² = 0.067 (0.44)
-0.59
NIL = - 0.0027*KEP, Errorvar.= 1.00, R² = 0.00 (0.13)
-0.020
Correlation Matrix of Independent Variables KEP
---1.00
Covariance Matrix of Latent Variables STR DIV NIL KEP ---STR 1.00
DIV -0.07 1.00
NIL -0.13 0.00 1.00
(6)
159
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 23
Minimum Fit Function Chi-Square = 28.78 (P = 0.19)
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 29.64 (P = 0.16) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 6.64
90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 24.82) Minimum Fit Function Value = 0.29
Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.067 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.25) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.084 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.10) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.42
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.74
90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.68 ; 0.93) ECVI for Saturated Model = 0.91
ECVI for Independence Model = 4.25
Chi-Square for Independence Model with 36 Degrees of Freedom = 402.27 Independence AIC = 420.27
Model AIC = 73.64 Saturated AIC = 90.00 Independence CAIC = 452.72 Model CAIC = 152.95
Saturated CAIC = 252.23 Normed Fit Index (NFI) = 0.93 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.98 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.59 Comparative Fit Index (CFI) = 0.98 Incremental Fit Index (IFI) = 0.98 Relative Fit Index (RFI) = 0.89 Critical N (CN) = 144.22
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.71 Standardized RMR = 0.096
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.94
Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.88 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.48
Summary Statistics for Standardized Residuals Smallest Standardized Residual = -3.40 Median Standardized Residual = 0.00 Largest Standardized Residual = 2.09
Largest Negative Standardized Residuals Residual for SKM and MBR -3.40 Residual for SKM and PBV -3.35 Time used: 0.016 Seconds