Efektivitas Antibiotik Yang Digunakan Pada Pasien Pasca Operasi Appendisitis di RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Efektivitas Antibiotik yang Digunakan pada Pasca

Operasi Apendisitis Di RUMKITAL dr. Mintohardjo

Jakarta Pusat

SKRIPSI

R.M. RENDY HIDAYATULLAH

NIM: 1110102000045

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

2014M/1435H


(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Efektivitas Antibiotik yang Digunakan pada Pasca Operasi

Apendisitis Di RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

RM RENDY HIDAYATULLAH

NIM : 1110102000045

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

2014M/1435H


(3)

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar,

Nama : RM Rendy Hidayatullah NIM : 1110102000045

Tanda Tangan :


(4)

iv

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama : RM Rendy Hidayatullah NIM : 1110102000045

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Efektivitas Antibiotik Yang Digunakan Pada Pasien Pasca Operasi Appendisitis di RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.

Disetujui Oleh :

Pembimbing I

Dr.Delina Hasan,M.Kes.Apt NIP.195602101987032003

Pembimbing II

Dra.Hefni Warnetty,M.Farm.Apt

NIP. 195503301983032001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(5)

v

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : RM Rendy Hidayatullah NIM : 111010200045

Program Studi : Farmasi

Judul : Efektivitas Antibiotik Yang Digunakan Pada Pasien Pasca Operasi Appendisitis di RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr.Delina Hasan, M.Kes,Apt ( ………. ) Pembimbing II : Dra.Hefni Warnetty, M.Farm, Apt ( ………. ) Penguji I : Yardi, M.Si, Apt, Ph.D ( ………. ) Penguji II : Dr. Azrifitria, M.Si, Apt ( ………. )

Ditetapkan di : Ciputat


(6)

vi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : RM Rendy Hidayatullah NIM : 1110102000045

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul :

Efektivitas Antibiotik yang digunakan pada Pasca Operasi Apendisitis Di RUMKITAL dr. Mintohadjo Jakarta Pusat

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat

Pada tanggal : 12 Desember 2014

Yang menyatakan,


(7)

vii ABSTRAK

Nama : RM Rendy Hidayatullah Program Studi : Farmasi

Judul :Efektivitas Antibiotik Yang Digunakan Pada Pasien Pasca Operasi Appendisitis di RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.

Appendisitis adalah penyakit yang ditimbulkan akibat tersumbatnya lumen apendiks oleh berbagai hal. Tindakan pada kasus apendisitis tanpa komplikasi adalah pembedahan apendiktomi dimana tindakan ini memiliki resiko infeksi. Pemberian antibiotik dapat menurunkan resiko infeksi pada luka operasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas antibiotika yang digunakan pada pasien pasca operasi apendisitis di RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat yang dilakukan cross sectional dengan pendekatan retrospektif yang dilakukan pengamatan pada 67 pasien. Jenis antibiotik yang paling banyak digunakan adalah ceftriaxone sebesar 56,70%. Kelompok usia yang paling banyak mengalami appendiitis pada rentang 13-40 tahun 79,10%. Berdasarkan jenis kelamin pasien yang paling banyak terkena appendisitis adalah perempuan 73,13%. Ditinjau dari lama pemberian mulai dari yang terbesar berturut-turut adalah 3 hari 58,21%, 4 hari 23,88%, kemudian 5 hari 17,91%. Ceftriaxone memiliki tingkat kesembuhan yang tertinggi yaitu 31,34% pada lama pemberian 3 hari, 11,94% pada lama pemberian 4 hari, dan untuk lama pemberian 5 hari 5,97%. kondisi terakhir pasien appendisitis setelah dilakukan pembedahan dan perawatan, maka didapat data yang paling besar adalah keadaan luka yang recovery 86,57% dan keadaan luka tidak recovery 13,43%.


(8)

viii ABSTRACT

Name : RM Rendy Hidayatullah Departement : Pharmacy

Title : Effectiveness of Antibiotics Used In Patients Post-Surgery Appendicitis in RUMKITAL dr. Mintohardjo Central

Jakarta.

Appendicitis is a disease caused by blockage of the lumen of the appendix by a variety of things. Action in cases of uncomplicated appendicitis is surgery apendiktomi where this action has the risk of infection. Antibiotics can reduce the risk of surgical site infections. This study aims to determine the effectiveness of antibiotics used in patients with postoperative appendicitis in RUMKITAL dr. Mintohardjo Central Jakarta conducted a cross-sectional retrospective approach was observed in 67 patients. Type most widely used antibiotic is ceftriaxone at 56.70%. The age group most experienced appendiitis in the range of 13-40 years of 79.10%. Based on the sex of the patients most affected are women 73.13% appendicitis. Judging from the duration of administration ranging from the largest row is 58.21% 3 days, 4 days 23.88%, 17.91% and then 5 days. Ceftriaxone has the highest cure rate is 31.34% in the duration of 3 days, 11.94% in the duration of 4 days, and for a duration of 5 days 5.97%. last condition appendicitis patients after surgery and treatment, the importance of the data that most of it is a state of injury and circumstances recovery 86.57% 13.43% wound did not recovery. Keywords: Antibiotics, postoperative, Appendicitis


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka pemenuhan tugas akhir sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, yang senantiasa diberikan sejak masa perkuliah sampai saat penulisan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. DR. (hc) dr. M.K. Tadjudin ,Sp.And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. Umar Mansur ,M.Sc. Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr.Delina Hasan,M.Kes.Apt selaku pembimbing pertama dan Dra.Hefni Warnetty,M.Farm.Apt selaku pembimbing kedua yang telah membantu, membimbing, dan memberikan ilmu kepada penulis, serta meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dari awal penelitian sampai pada penyusunan skripsi ini selesai.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di jurusan Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Kedua orang tua penulis, ayahanda R Imron Fauzi, ibunda RA Umi Kalsum dan juga adik-adikku RA Rizka Hidayati dan RA Lailatuistianah yang tak


(10)

x

henti-hentinya mendoakan dan memberikan bantuan moril, materil, serta spiritual hingga skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang sebaik-baiknya atas bantuan kalian.

6. Kepada Diah Novitasari,S.pd yang senantiasa memberikan penulis semangat dan telah menjadi tempat berkeluh kesah penulis selama proses penyusunan skripsi ini

7. Kepada Pemprov Sumatera Selatan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program beasiswa santri jadi dokter Sumatera Selatan.

8. Keluarga Besar Santri Jadi Dokter Sumatera Selatan 2010 (Bayu, Harun, Zata, Ayu, Ana, Rusti, Rosi, Arum, Finti, Iid dkk) yang senantiasa memberikan penulis dukungan, semangat, dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Teman-teman the Pavilion & friends ( Dani, Chandra, Dwikky, Erwin, Farur, Denny, Mirza, Hadi, Hapit, Atras) yang senantiasa selalu menghibur dan memberikan support kepada penulis.

10. Teman-teman Andalusia farmasi angkatan 2010 yang telah berjuang bersama-sama untuk menyelesaikan studi ini.

11. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan agar tercapainya kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi kalangan akademis dan dunia ilmu pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa farmasi, serta bagi masyarakat pada umumnya.

Jakarta, Desember 2014 Penulis


(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2. Tujuan Khusus ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1 Teoritis ... 4

1.4.2. Metodologi ... 4

1.4.3. Aplikatif ... 4

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks ... 6

2.1.1 Anatomi Apendiks ... 6

2.1.1. Fisiologi Apendiks ... 7

2.2. Apendisitis ... 7

2.2.1 Definisi ... 7

2.2.2. Etiologi ... 8

2.2.3. Gambaran Klinis dan Gejala Apendisitis ... 9

2.2.4. Patofisiologi ... 10


(12)

xii

2.2.6. Tata Laksana Apendisitis ... 15

2.3. Infeksi Luka Operasi... 16

2.3.1 Definisi ... 16

2.3.2. Patogenesis ... 17

2.3.3. Klasifikasi Infeksi Luka Operasi... 17

2.4. Antibiotik ... 19

2.4.1 Definisi ... 19

2.4.2. Resistensi Antibiotik ... 24

2.4.3. Mekanisme Resistensi ... 25

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL ... 26

3.1. Kerangka Konsep... 26

3.2. Definisi Operasional ... 27

BAB IV METODOLOGI PENELITAN ... 29

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

4.2. Desain Penelitian ... 29

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 29

4.3.1. Populasi ... 29

4.3.2. Sampel ... 29

4.3.3. Kriteria Inklusi dan Ekslusi Sampel... 30

4.4. Prosedur Penelitian ... 30

4.4.1. Persiapan ( Permohonan Izin Penelitian) ... 30

4.4.2. Pelaksanaan Pengumpulan Data ... 30

4.4.3. Pengolahan Data ... 31

4.4.4. Analisis Data ... 31

BAB V HASIL PENELITIAN ... 32

5.1. Hasil Penelitian ... 32

5.1.1. Jumlah Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ... 32

5.1.2. JumlahPasien Berdasarkan Kelompok Usia ... 33

5.1.3. Jumlah Pasien Berdasarkan Lama Penggunaan Antibiotik Pasca Operasi Appendisitis ... 34

5.1.4. Jenis Antibiotik Yang Dipakai pada Pasien Pasca Operasi Apendisitis ... 35

5.1.5. Kondisi Terakhir Pasien Setelah Dirawat ... 36

5.1.6. Lama penggunaan dan Jenis Antibiotik yang digunakan pada Pasien yang Recovery ... 37


(13)

xiii

5.1.7. Lama penggunaan dan Jenis Antibiotik yang digunakan pada Pasien yang

tidak Recovery ... 38

BAB VI PEMBAHASAN ... 39

6.1. Pembahasan ... 39

6.1.1. Karakteristik Pasien ... 39

6.1.2. Antibiotika ... 41

6.1.3. Keadaan Terakhir Pasien Pasca Operasi ... 44

6.1.4. Lama Penggunaan Antibiotik dan Jenis Antibiotik yang Digunakan ... 45

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

7.1. KESIMPULAN ... 46

7.2. SARAN ... 46


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Anatomi Apendiks ...………... 6 Gambar 3.1: Kerangka Konsep ... 26 Gambar 5.1: Distribusi Subjek yang Mendapatkan Tindakan Apendiktomi

Berdasarkan Jenis Kelamin………... 32 Gambar 5.2: Distribusi Subjek yang Mendapatkan Tindakan Apendiktomi

Berdasarkan Kelompok Usia ………... 33 Gambar 5.3: Distribusi Subjek yang Mendapatkan Tindakan Apendiktomi

Berdasarkan Lama Penggunaan Antibiotik………... 34 Gambar 5.4: Jenis Antibiotik yang Dipakai Pada Pasien Apendisitis…...……….. 35

Gambar 5.5: Distribusi Subjek yang Mendapatkan Tindakan Apendiktomi

Berdasarkan Kondisi Terakhir Pasien………... 36 Gambar 5.6: Lama Penggunaan dan Jenis Antibiotik yang Digunakan pada Pasien

Recovery ... 37 Gambar 5.7: Lama Penggunaan dan Jenis Antibiotik yang Digunakan pada Pasien


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1: Definisi Operasional…………..………...……… 27

Tabel 1 : Pasien Bedah Apendisitis di Instalasi Rawat Inap RUMKITAL dr. Mintohardjo…...…..……….

53

Tabel 2 : Distribusi Subjek yang Mendapatkan Tindakan Apendiktomi Berdasarkan Jenis Kelamin………...

57

Tabel 3 : Distribusi Subjek yang Mendapatkan Tindakan Apendiktomi Berdasarkan Kelompok Usia ………...

57

Tabel 4 : Distribusi Subjek yang Mendapatkan Tindakan Apendiktomi Berdasarkan Lama Penggunaan Antibiotik………...

58

Tabel 5 : Jenis Antibiotik yang Dipakai Pada Pasien Apendisitis…...………... 58

Tabel 6 : Distribusi Subjek yang Mendapatkan Tindakan Apendiktomi Berdasarkan Kondisi Terakhir Pasien………...

59

Tabel 7 : Lama Penggunaan dan Jenis Antibiotik yang Digunakan pada Pasien Recovery ...

59

Tabel 8 : Lama Penggunaan dan Jenis Antibiotik yang Digunakan pada Pasien Tidak Recovery ...


(16)

1

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

1.1.Latar Belakang

Apendiks veriformis merupakan suatu struktur berbentuk seperti jari yang menempel pada sekum di kuadran bawah abdomen. Walaupun apendiks veriformis diketahui tidak mempunyai fungsi apapun, ia dapat meradang dan menimbulkan penyakit yang disebut apendisitis1.

Apendisitis merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi di Amerika Serikat yang melanda lebih dari seperempat juta pasien pertahun2. Resiko terjadinya appendisitis adalah sekitar 7 %, yang terjadi pada setiap kelompok usia, dari anak-anak sampai orang tua, tetapi yang paling lazim pada remaja dan dewasa muda3.

Apendisitis akut merupakan salah satu penyebab penyakit yang banyak terjadi pada abdomen dan ditampilkan sebagai akut abdomen. Insiden apendisitis lebih tinggi pada negara berkembang daripada negara maju, karena saat ini negara berkembang pola makannya berubah menjadi makanan kurang serat dibanding negara maju4.

Kemudian dari data yang dirilis oleh Depkes RI pada tahun 2008 jumlah penderita appendicitis di indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang5.

Tindakan pada kasus apendisitis tanpa komplikasi adalah pembedahan apendiktomi. Apendiktomi adalah bedah pemotongan apendik yang mengalami radang atau infeksi6. Apendiktomi konvensional telah menjadi prosedur operasi standar untuk pengobatan Apendisitis selama lebih dari satu abad, sejak dijelaskan oleh McBurney pada tahun 1894 dan masih tetap prosedur pilihan utama. Selanjutnya, karena perkembangan operasi endoskopi, Semm memperkenalkan usus buntu laparoskopi (LA) di 19817. Kedua metode tersebut memiliki resiko infeksi luka operasi yang berbeda setelah pembedahannya, dapat berasal dari faktor pembedahannya: tipe


(17)

2

prosedur bedah (bersih, bersih terkontaminasi,terkontaminasi, dan kotor), lama pembedahannya, derajat pencemaran luka selama pembedahan, maupun faktor penderita itu sendiri.8 Infeksi luka operasi (ILO) telah dilaporkan salah satu penyebab paling umum dari infeksi nosokomial, 20-25% dari semua infeksi nosokomial di seluruh dunia adalah infeksi luka operasi. ILO bertanggung jawab terhadap peningkatan biaya, morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan bedah operasi dan terus menjadi masalah besar di seluruh dunia. Secara global, tingkat infeksi luka operasi (ILO) dilaporkan berkisar dari 2,5% menjadi 41,9%. Di Amerika Serikat, sekitar 2% sampai 5% dari 16 juta pasien yang menjalani prosedur bedah setiap tahun memiliki infeksi situs bedah pasca operasi9.

Penelitian yang dilakukan oleh National Nosocomial Infection Surveilans (NNIS) dari Center of Desease Control (C.D.C) pada bulan Januari 1980 sampai Desember 1984 mendapatkan 6,2 per 1000 pasien terkena ILO dan ini mengakibatkan pertambahan biaya antara 400 US dollar sampai 2600 US dollar. Kerugian yang diderita Amerika Serikat infeksi luka operasi (ILO) ini sebesar 130 juta sampai 845 juta US dollar pertahun6.

Menurut penelitian Society for Surgery of the Alimentary Tract (SSAT), 2007 infeksi pada apendisitis adalah polimikrobial dan karakter utama bakterinya adalah anaerobik dan Gram negatif, sedangkan menurut Richard, 1999 bakteri yang menyebabkan infeksi appendisitis adalah Gram negatif basili, anaerob. Infeksi juga sering terjadi karena adanya bakteri yang sudah ada pada feses manusia apabila terjadi timbunan tinja yang keras (fekalit akibat konstipasi atau penyumbatan jaringan, yaitu Escherichia Coli3.

Warnetty melaporkan bahwa pasien yang menjalani operasi apendiktomi di Rumah Sakit Mintohardjo selama tahun 2010, terdapat 202 pasien yang menjalani apendiktomi, 136 pasien atau 67,25% diantaranya adalah pasien perempuan, sedangkan sisanya 66 pasien atau 32,75% adalah pasien laki-laki11.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencegah terjadinya ILO dengan tujuan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien bedah. Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam upaya pencegahan


(18)

infeksi bedah yaitu teknik pembedahan, perawatan pra dan pasca bedah, serta penggunaan antibiotik6. Pemberian antibiotik ini dapat menurunkan resiko luka infeksi sebesar 30-65%. Dalam hal ini untuk menilai efektifitas dari antibiotik salah satunya dapat dilihat dari jenis antibiotik, dosis, frekuensi, dan lama perawatan pasien12.

Penggunaan antibiotik di rumah sakit merupakan pemberian antibiotik dalam upaya preventif untuk mencegah terjadinya infeksi daerah operasi. Pemberian antibiotik harus jelas karena resistensi bakteri semakin berkembang sehubung dengan penggunaan antibiotik tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya antibiotik diberikan seminimal mungkin dan spektrum aktivitas obat yang digunakan sebaiknya sesempit mungkin. Meskipun prinsip penggunaan antibiotik dalam operasi telah ditetapkan, masih terdapat penggunaan yang tidak sesuai13.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masih tingginya angka pasien yang menjalani apendiktomi di RUMKITAL dr. Mintohardjo sehingga resiko terjadinya infeksi luka operasi semakin besar. Selain itu dengan adanya peningkatan resistensi antibiotik yang mengakibatkan semakin lamanya rawat inap, peningkatan biaya pengobatan, terdapat resiko kecacatan dan kematian, serta dapat mengakibatkan tuntutan pasien maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai efektivitas dari antibiotik pasca operasi apendisitis yang digunakan di RUMKITAL dr. Mintohardjo.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Masih tingginya angka kejadian apendisitis di Indonesia, menurut Depkes RI pada tahun 2008 jumlah penderita appendisitis di indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat pada tahun 2009 menjadi 596.132 orang. 2. Masih tingginya angka pasien yang menjalani apendiktomi di

RUMKITAL dr. Mintohardjo, menurut Warnetty selama tahun 2010 mencapai 202 pasien yang menjalani apendiktomi.


(19)

4

3. Belum diketahuinya efektivitas penggunaan Antibiotik yang digunakan pada pasca operasi apendisitis di RUMKITAL dr Mintohardjo Jakarta Pusat.

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Diketahuinya efektivitas antibiotika yang digunakan pada pasien pasca operasi apendisitis di RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya jeni-jenis antibiotik yang digunakan pada pasien pasca operasi apendisitis di RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.

2. Diketahuinya lama penggunaan antibiotik pada pasien pasca operasi apendisitis di RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.

1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, menambah ilmu pengetahuan serta wawasan, khususnya mengenai efektivitas antibiotik yang digunakan pada pasien pasca operasi apendisitis.

1.4.2.Metodologi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai metode dalam penanganan kasus-kasus Apendisitis yang ada di Rumah Sakit.

1.4.3.Aplikatif

Secara aplikatif hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan ataupun acuan dalam pemberian dan peningkatan mutu pelayanan medik terutama pengobatan dalam hal penatalaksanaan kasus apendisitis di rumah sakit yang terkait.


(20)

1.5.Ruang Lingkup Penelitian

Dari uraian latar belakang diatas terlihat banyak sekali masalah tentang penggunaan antibiotik, namun dalam penelitian ini hanya di batasi pada efektivitas antibiotik yang digunakan pada pasien pasca operasi apendisitis. Desain yang digunakan adalah cross sectional dengan pendekatan retrospektif Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2014 sampai Oktober 2014 di Rumah Sakit Angkatan LAut dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.


(21)

6

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Anatomi dan Fisiologi Apendiks 2.1.1Anatomi Apendiks

Menurut Smeltzer dalam Brunner & Suddarth, apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi (apendicitis)14. Menurut Oswari, apendiks terletak di daerah sekum di ujung tenia (pita otot). Panjang pendeknya usus buntu itu tidak berpengaruh terhadap terjadinya peradangan. Ujung usus buntu dapat terletak pada semua arah caecum misalnya dapat sampai ke panggul, ke sakrum atau melilit ke usus halus. Letak yang paling banyak ditemui adalah retrosekal (di belakang sekum)15.


(22)

2.1.1.Fisiologi Apendiks

Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir dimuara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymfoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi, namun demikian pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan jumlah jaringan limfa di saluran cerna, dan seluruh tubuh16.

2.2.Apendisitis 2.2.1 Definisi

Apendisitis adalah penyakit yang ditimbulkan akibat tersumbatnya lumen apendiks oleh berbagai hal seperti cacing, kotoran penderta yang mengeras, benda asing (biji), dan tumor usus. Sumbatan ini menyebabkan produksi lendir apendiks tidak tersalurkan ke usus besar, dan berakibat pada pembengkakan serta terjadinya infeksi di apendiks. apendiks hanya mempunyai satu saluran pembuangan yaitu usus besar, jadi jika salurannya tersumbat maka produksinya akan menumpuk. Radang usus buntu bersifat akut atau kronis, bila tidak diatasi akan berakibat pada pecahnya usus buntu dan berakhir dengan kematian penderita. dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur17.


(23)

8

2.2.2.Etiologi

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfa, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris terdapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolityca15.

Diantara beberapa faktor diatas, maka yang paling sering ditemukan dan kuat dugaannya sebagai penyebab adalah faktor penyumbatan (obstruksi) oleh tinja/feces dan hyperplasia jaringan limfoid, sumbatan benda keras termasuk biji-bijian. Sumbatan atau pembesaran inilah yang menjadi media bagi bakteri untuk berkembang biak. Perlu diketahui bahwa dalam tinja/feces manusia sangat mungkin sekali telah tercemari oleh bakteri/kuman Escherichia coli, inilah yang sering kali mengakibatkan infeksi yang berakibat pada peradangan usus buntu17.

Makan cabai bersama bijinya atau jambu klutuk beserta bijinya sering kali tak tercerna dalam tinja dan menyelinap ke saluran appendiks sebagai benda asing. Begitu pula terjadinya pengerasan tinja/feces (konstipasi) dalam waktu lama sangat mungkin ada bagiannya yang terselip masuk ke saluran apendiks yang pada akhirnya menjadi media kuman/bakteri bersarang dan berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan usus buntu tersebut17.

Menurut penelitian epidemiologis menunjukkan kebiasaan makan-makanan rendah serat akan mengakibatkan konstipasi yang dapat menimbulkan apendisitis. Hal tersebut akan meningkatkan tekanan intrasekal, sehingga timbul sumbatan fungsional appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon17.

Organisme lain, termasuk anaerob juga dapat menyebabkan inflamasi apendiks. Kadang-kadang cacing, terutama Enterobius vermicularis dan Ascaris lumbricoides dapat mempercepat dan


(24)

mengakibatkan terjadinya kolik (rasa nyeri). Setelah terjadinya obstruksi karena sebab apapun dapat menyebabkan tekanan keluar dari apendiks dan menghasilkan luka pada jaringan, sehingga menyebabkan invasi leukosit, pembentukan nanah, dan gangrene apabila tidak segera ditangani maka apendiks akan mengalami perforasi18.

2.2.3.Gambaran Klinis dan Gejala Apendisitis

Apendisitis merupakan indikasi yang umumnya diterapi dengan operasi (klasifikasi bersih terkontamiasi) atau pemotongan apendisitis. Apabila tidak segera dilakukan pembedahan, maka dapat terjadi ganggrene atau erforasi sehingga infeksi dapat menyebar dirongga abdomen. Hal ini dapat mengancam jiwa kerena tingkat komplikasi yang tinggi. Gejala yang dirasakan penderita tergantung stadium dan letak apendiks. Gejala awal apendisitis adalah rasa nyeri yang samar didaerah epigastrium disekitar umbilicus atau peri umbilicus, dimana nyeri yang terjadi akibat gerakan peristaltik apendiks untuk menghilangkan benda yang merintangi tersebut. Pada pemeriksaan fisik pasien terlihat pucat, adanya nyeri tekan, nyeri lepasdan tahan otot dititik MC Burney18.

Gejala apendisitis bervariasi tergantung stadiumnya: a. Apendisitis akut.

Gejala yang ditimbulkan adalah demam tinggi, muntah-muntah, nyeri perut kanan bawah, untuk berjalan sakit sehingga agak tebongkok, namun tidak semua orang akan menunjukan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang atau muntah-muntah saja (nadiana) kondisi ini memerlukan intervensi bedah.

b. Apendisitis kronik .

Pada stadium ini gejala yang ditimbulkan sedikit mirip dengan sakit maag dimana terjadi nyeri samar didaerah sekitar pusar dan terkadang dmam yang hilang timbul. Sering kali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu


(25)

10

akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada apendisitis akut. Biasanya ditandai dengan adanya penebalan dinding-dinding organ akibat peradangan akut sebelumnya.

2.2.4.Patofisiologi

Apendiks (usus buntu) pada keadaan inflamasi, menyebabkan kontrasksi otot apendiks terganggu, pada keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15-25 cmH2O (satuan untuk mengukur

nafas pada respiratoi dan ventilator) dan meningkat menjadi 30-50 cmH2O pada waktu kontraksi, pada keadaan normal tekanan pada

lumen sekum antara 3-4 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan tekanan

yang berakibat cairan didalam lumen apendiks terdorong masuk kedalam sekum, cairan lendir yang dihasilkan sebanyak 1-2ml perhari. Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gus-Associated Lymphoid Tissues (GALD) dan hasil sekresi yang dominan adala IgA yang berguna dalam mengontrol prolifasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lain19.

Faktor utama penyebab terjadinya appendisitis akut pada dasarnya adalah obstuksi lumen apendiks, obstruksi bagian distal kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet rendah serat. Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen sekum, yang diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan berkembang biaknya bakteri. Penyebab utama konstipasi adalah diet rendah serat, diet rendah serat dapat menyebabkan feses menjadi memadat, lebih lengket, dan berbentuk makin besar, sehingga membutuhkan waktu transit yang lebih lama didalam kolon, juga dapat mengubah kandungan bakteri. Proses awal appendisitis terjadi 12-24 jam pertama, apabila terjadi obstruksi terus menerus mukus akan terakumulasi sehingga menyebabkan tekanan intra lumen meningkat yang dapat memicu translokasi kuman dan peningkatan jumlah kuman didalam lumen apendiks, gangguan sirkulasi limfe, menyebabkan udem sehingga


(26)

mempermudah invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa, menyebabkan ulserasi mukosa apendiks yang disebut apendisitis fokal. Obstruksi yang berkelanjutan menyebabkan gangguan sirkulasi vaskuler yang dapat menyebabkan udem bertambah berat dan penanahan pada dinding apendiks, ini disebut apendisitis akuta surpuratif. Pada keadaan lebih lanjut terjadi gangguan sirkulasi arterial yang menyebabkan terjadinya ganggren yang disebut apendisitis ganggrenosa. Bila tekanan semakin meningkat akan terjadi perforasi didaerah yang mengalami ganggrene tersebut, material intralumen yang infeksius akan keluar kedalam rongga peritonium dan terjadi peritonitis lokal. Apabila terjadi penanahan maka akan terbentuk suatu rongga yang berisi nanah disekitar apendiks, terjadi keadaan yang disebut abses periapendikular, bila keadaan tubuh membaik maka proses akan terlokalisir, tetapi bila keadaan tubuh tidak membaik maka akan terjadi peritoniti general. Pemakaian antibiotik dapat mengubah berlangsungnya proses tersebut sehingga dapat terjadi keadaan seerti appendisitis rekurens, appendisitis kronis. Apendisitis rekurens adalah appendisitis yang secara klinis memberikan serangan yang berulang, sedangkan apendisitis kronis adalah apendisitis yang secara klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu19.

Kadang-kadang apendisitis terjadi tanpa adanya obstruksi, ia terjadi karena adanya penyebaran infeksi dari organ lain secara hematogen ke apendiks. Terjadi abscessmultiple kecil pada apendiks dan pembesaran lnn.mesentricaregional. Karena terjadi tanpa obstruksi maka gambaran klinis tentunya berbeda dengan gejala obstruksi tersebut diatas19.


(27)

12

2.2.5.Penegakan Diagnosis

Pemeriksaan dan diagnosa penyakit apendisitis dapat dilakukan dengan beberapa pemerikasaan yaitu dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi (apendicogram, ultrasonografi, Ct-Scan) dan Laparoscopy diagnostic20.

2.2.5.1.Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada apendisitis akut, dengan pengamatan akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut dimana dinding perut tampak mengencang (distensi), pada perabaan (palpasi) di daerah perut kanan bawah seringkali bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri, ini adalah kunci dari diagnosis apendisitis akut. Kemudahan atau kesulitan pada gerakan mencapai posisi terlentang bias digunakan sebagai tanda ada atau tidaknya iritasi peritoneum lokalista, sebelum dilakukan pemeriksaan fisik dilakukan biasanya pasien ditanya titik area nyeri yang ditimbulkan, sehingga dapat menjadi bukti tegas bagi iritasi peritoneum lokalista. Palpasi dilakukan dengan lembut dari sisi kiri ke sisi kanan abdomen untuk menilai rigiditasnya, tujuannya adalah untuk mengetahui apakah pasien mengalami iritasi peritoneum atau tidak, tapi palpasi tidak bias dijadikan pedoman dikarenakan rasa nyeri yang dirasakan berdasarkan lokasi apendiks20.

Karena banyak kemungkinan sebab lain keadaan intraabdomen akut atau bahkan sistemik bias meniru apendisitis akut, sehingga tidak mungkin membuat diagnosis spesifik. Macam-macam pemeriksaan fisik dilakukan20:

a. Inspeksi

Inspeksi pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasanya ditemukan distensi perut


(28)

b. Palpasi

Palpasi dinding abdomen dilakukan dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi, ditekan dengan sangat pelan dan halus, pada berbagai tempat pada dinding perut ( dinamakan pemerikasaan raba dangkal-superfisial), kemudian baru dilakukan pemeriksaan raba dalam

c. Auskultasi

Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakan diagnosis appendicitis, tetapi apabila telah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltic usus

d. Rectal Toucher / colok dubur

Colok dubur juga tidak banyak membantu dalam penegakan diagnosis appendicitis. Pemeriksaan ini dilakukan apabila letak apendiks sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri kemungkinan letak apendiks yang meradang didaerah pelvis

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis appendicitis akut. Pemeriksaan tambahan dilakukan apabila ada keragu-raguan atau untuk menyingkirkan diagnosis.20

2.2.5.2.Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium pada pasien yang dicurigai apendisitis biasanya meliputi hitung jumlah dan jenis sel darah lengkap dan urinalisis. Leukositosis moderat biasanya terjadi pada pasien apendisitis (75%) dengan jumlah leukosit berkisar antara 10.000-18.000 sel/mL dengan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh sel polimorfonuklear. Sekalipun demikian, tidak adanya leukositosis tidak menutup kemungkinan terjadinya apendisitis. Pada urinalisis terdapat peningkatan berat jenis urin, terkadang


(29)

14

ditemukan hematuria, piuria, dan albuminuria. Obat-obatan antibiotik dan steroid dapat mempengaruhi hasil laboratorium20.

2.2.5.3.Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu mengevaluasi pasien dengan kecurigaan apendisitis meliputi foto polos abdomen dan toraks, ultrasonography (USG), CT-Scan, dan laparoskopi diagnostik20.

a. Ultrasonography

Ultrasonography (USG) telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis akut maupun appendisitis dengan abses, ultrasonography sangat bermanfaat terutama bagi wanita hamil dan anak-anak, tingkat keakuratannya paling tinggi (93-98%), tetapi sulit dilakukan pada dewasa karena jumlah lemak dan gas yang banyak sehingga apendiks sulit terlihat.untuk dapat mendiagnosis appendisitis akut akut diperlukan keahlian, ketelitian dan sedikit penekanan transduser pada abdomen. Akurasi penggunaan USG ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan kemampuan pemeriksa. Pada pemeriksaan appendisitis dengan menggunakan USG ditemukan fekalit, udara intralumen, penebalan dinding apendiks dan adanya pengumpulan cairan. Apabila apendiks mengalami perforasi akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara maka abses apendiks dapat diidentifikasi.

b. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)

CT-scan dapat melihat jelas gambaran apendiks. Namun dalam pemeriksaan normal apendiks jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan skrinning in, gambaran penebalan dinding apendiks dan jaringan sekitar yang melekat mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-scan mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi serta akurasi yang baik


(30)

untuk mendeteksi appendisitis. Pemeriksaan ini terbatas digunakan pada wanita hamil dan anak-anak karena menggunakan radiasi.

c. Laparoskopi Diagnostik

Laparoskopi mulai ada sejak awal abad ke-20, namun penggunaannya untuk kelainan intraabdominal baru berkembang sejak tahun 1970-an. Dibidang bedah, laparoskopi dapat digunakan sebagai alat diagnosis dan terapi, disamping dapat mendiagnosis appendisitis secara langsung, laparoskopi juga dapat digunakan untuk melihat keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini sangat bermanfaat terutama pada pasien wanita, pasien obesitas. Pada apendisitis akut, laparoskopi diagnosis biasa dilanjutkan dengan apendiktomi laparoskopi.

2.2.6.Tata Laksana Apendisitis

Apendisitis umumnya ditangani dengan membuang apendiks (operasi), jika ditemukan apendisitis biasanya dokter menyarankan untuk melakukan pembedahan tanpa diagnosa lebih lanjut. Pembedahan yang dilakukan segera dapat menurunkan kemungkinan apendiks lebih parah21.

Apendiktomi adalah operasi pemotongan apendik yang mengalami radang atau infeksi6. Menurut Krob dikutip dari Warnetty (2012), tata laksana pada kasus apendisitis tanpa komplikasi adalah apendiktomi, apendiktomi dibagi menjadi 2 yaitu secara laparotomi (metode konvensional) atau menggunakan laparoskopi11.

2.2.5.1.Apendiktomi Konvensional

Cara pembedahan yang konvensional atau terbuka dilakukan dengan membuat irisan pada bagian perut kanan bawah. Panjang sayatan kurang dari 3 inci (7,6 cm). Dokter bedah kemudian mengidentifikasi semua organ-organ dalam perut dan


(31)

16

memeriksa adanya kelainan organ atau penyakit lainnya. Lokasi apendiks ditarik ke bagian yang terbuka. Para dokter bedah memisahkan apendiks dari semua jaringan di sekitarnya dan diletakan pada cecum kemudian menghilangkannya. Jaringan tempat apendiks menempel sebelumnya, yaitu cecum, ditutup dan dimasukkan kembali ke perut. Lapisan otot dan kulit kemudian dijahit11.

2.2.5.2.Apendiktomi Laparoskopi

Apendiktomi laparoskopi menggunakan tiga lobang sebagai akses, lubang pertama dibuat dibawah pusar, fungsinya untuk memasukkan kamera super mini yang terhubung ke monitor kedalam tubuh, lewat lubang itu pula sumber cahaya di masukkan, sementara dua lubang lain di posisikan sebagai jalan masuk peralatan bedah seperti penjepit atau gunting. Kemudian kamera dan alat-alat khusus dimasukan melalui sayatan tersebut dengan bantuan peralatan tersebut, ahli bedah mengamati organ abdominal secara visual dan mengindetifikasi apendiks. Kemudian apendiks dipisahkan dari semua jaringan yang melekat, kemudian apendiks diangkat, dan dipisahkan dari cecum. Apendiks dikeluarkan melalui salah satu sayatan11. Beberapa studi telah melaporkan bahwa laparoskopi mempunyai resiko ILO lebih rendah daripada operasi terbuka21.

2.3.Infeksi Luka Operasi 2.3.1 Definisi

Infeksi Luka Operasi adalah infeksi yang terjadi pada luka akibat prosedur bedah invasif. Infeksi Luka Operasi (ILO) atau Infeksi Tempat Pembedahan (ITP)/ Surgical Site Infection (SSI) adalah infeksi pada luka operasi atau organ/ruang yang terjadi dalam 30 hari paska operasi atau dalam kurun 1 tahun apabila terdapat implant. Sumber bakteri pada ILO dapat berasal dari pasien, dokter dan tim, lingkungan, dan termasuk juga instrumentasi21. Menurut Djojosugito10, luka operasi


(32)

dinyatakan infeksi bila didapat pus pada luka operasi, bila temperatur > 37,5°C pada axiler, keluar cairan serous (exudat) dari luka operasi, sekitar luka operasi oedema dan kemerahan.

2.3.2.Patogenesis

Perkembangan ILO tergantung pada kontaminasi dari situs luka pada akhir bedah prosedur dan secara khusus berkaitan dengan patogenisitas dan inokulum mikroorganisme ini, nilai terhadap respon kekebalan inang. Mikroorganisme yang menyebabkan ILO biasanya berasal dari pasien (endogen infeksi), yang hadir pada kulit mereka atau dari viskus dibuka. Infeksi eksogen terjadi ketika mikroorganisme dari instrumen atau lingkungan teater mencemari situs di operasi, ketika mikroorganisme dari lingkungan mencemari luka traumatis, atau ketika mikroorganisme mendapatkan akses ke luka setelah operasi, sebelum luka tersebut ditutup22.

2.3.3.Klasifikasi Infeksi Luka Operasi

Klasifikasi SSI menurut The National Nosocomial Surveillence Infection (NNIS) terbagi menjadi dua jenis yaitu insisional dibagi menjadi superficial incision SSI yangmelibatkan kulit dan subkutan dan yang melibatkan jaringan yang lebih dalam yaitu, deep incisional SSI. Lebih jauh, menurut NNSI, kriteria untuk menentukan jenis SSI adalahsebagai berikut23:

a. Superficial Incision SSI ( ILO Superfisial )

Merupakan infeksi yang terjadi pada kurun waktu 30 hari paska operasi dan infeksi tersebut hanya melibatkan kulit dan jaringan subkutan pada tempat insisi dengan setidaknya ditemukan salah satu tanda sebagai berikut :

1) Terdapat cairan purulen.

2) Ditemukan kuman dari cairan atau tanda dari jaringan superfisial.

3) Terdapat minimal satu dari tanda-tanda inflammasi 4) Dinyatakan oleh ahli bedah atau dokter yang merawat.


(33)

18

b. Deep Insicional SSI ( ILO Dalam )

Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan jaringan yang lebih dalam ( contoh, jaringan otot atau fasia ) pada tempat insisi dengan setidaknya terdapat salah satu tanda :

1) Keluar cairan purulen dari tempat insisi.

2) Dehidensi dari fasia atau dibebaskan oleh ahli bedah karena ada tanda inflammasi.

3) Ditemukannya adanya abses pada reoperasi, PA atau radiologis.

4) Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter yang merawat c. Organ/ Space SSI ( ITP organ dalam )

Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan suatu bagian anotomi tertentu (contoh, organ atau ruang) pada tempat insisi yang dibuka atau dimanipulasi pada saat operasi dengan setidaknya terdapat salah satu tanda :

1) Keluar cairan purulen dari drain organ dalam 2) Didapat isolasi bakteri dari organ dalam 3) Ditemukan abses


(34)

2.4.Antibiotik yang digunakan pada Apendisitis 2.4.1 Definisi

Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme24. Antibiotik yang relatif non-toksik bagi pejamunya digunakan sebagai agen kemoterapeutik dalam pengobatan penyakit infeksi pada manusia, hewan, dan tanaman. Istilah ini sebelumnya digunakan terbatas pada zat yang dihasikan oleh mikroorganisme, tetapi penggunaan istilah ini meluas meliputi senyawa sintetik dan semisintetik dengan aktivitas kimia yang mirip25.

Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut harus bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes. Namun, sifat toksisitas selektif yang absolut belum atau mungkin tidak akan diperoleh25.

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, antibiotik memiliki dua aktivitas yaitu bakteriostatik dan bakterisid. Bakteriostatik bersifat menghambat pertumbuhan mikroba sedangkan bakterisid bersifat membunuh mikroba26.

a. Cefotaxime

Cefotaxime merupakan antibiotic golongan sefalosporin generasi ketiga yang lebih aktif terhadap Gram negative, termasuk Enterobacteriaceaedan pseudomonas, tetapi kurang ktif terhadap coccus Gram positif dibanding generasi pertama. Spectrum antibakterinya lebih luas dibandingkan generasi sebelumnya, secara umum generasi ini aktif terhadap Gram negative yang telah kebal, lebih tahan terhadap betalaktamase, tetapi kurang aktif terhadap Gram positif.

Mekanisme kerja. Seperti halnya antimikroba betalaktam lain yakni Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan dengan satu atau lebih ikatan protein - penisilin (penicillin-binding proteins-PBPs)


(35)

20

yang selanjutnya akan menghambat tahap transpeptidasi sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri sehingga menghambat biosintesis dinding sel. Bakteri akan mengalami lisis karena aktivitas enzim autolitik (autolisin dan murein hidrolase) saat dinding sel bakteri terhambat.

Farmakokinetik. Cefotaxime diberikan dengan injeksi sebagai garam natrium. Ia secara cepat diabsorbsi setelah injeksi IM dan berarti konsentrasi puncak plasma 12-20 mikrogram/mL yang telah dilaporkan 30 menit setelah dosis 0,5 dan 1 g Cefotaxime. Waktu paruh plasma dari Cefotaxime kira-kira 1 jam. Waktu paruh meningkat pada balita dan pasien dengan beberapa kerusakan ginjal. Efek penyakit hati dari Cefotaxime dan metabolitnya bervariasi, tapi secara umum penyesuaian dosisnya tidak harus dipertimbangakan secara cermat.40% Cefotaxime dilaporkan berikatan dengan protein plasma. Cefotaxime secara luas didistribusikan alam jaringan tubuh, konsentrasi terapetik diterima dalam CSF terutama ketika terjadi meningitis. Cefotaxime menyilang plasenta dan konsentrasi rendah telah dideteksi ada pada air susu.

Efek samping. Efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip dengan reaksi alergi yang ditimbulkan oleh penisilin.Reaksi mendadak yaitu anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang umumnya terjadi pada pasien dengan alergi berat, sedangkan pada alergi penisilin ringan atau sedang kemungkinannya kecil. Dengan demikian pada pasien dengan pasien alergi penisilin berat, tidak dianjurkan penggunaan sefalosforin atau kalau sangat diperlukan harus diawasi sungguh-sungguh.Sefalosforin spectrum generasi ketiga memiliki potensial untuk kolonisasi dan superinfeksi dengan organisme resisten seperti Pseudomonas aeruginosa, Candida, enterococci, pada daerah yang bervariasi dalam tubuh, meskipun secara umum menjadi rendah dengan sefotaksim.

Indikasi. Infeksi yang disebabkan oleh Gram Positif atau Gram Negatif, gonore, bedah, Haemophilus epiglottitis dan meningitis32.


(36)

Interaksi obat. Probenecid dapat menurunkan eliminasi sefalosporin sehingga meningkatkan konsentrasi sefalosporin dalam darah.; Kombinasi Furosemid, Amonoglikosida dengan Cefotaxim dapat meningkatkan efek nefrotoksik30.

b. Ceftazidime

Mekanisme kerja. Ceftazidime merupakan antibiotika sefalosporin semisintetik yang bersifat bakterisidal. Mekanisme kerja antibakteri dengan menghambat enzym yang bertanggung jawab terhadap sintesis dinding sel. Secara in vitro Ceftazidime dapat mempengaruhi mikroorganisme dalam range/spektrum yang luas, termasuk strain yang resisten terhadap gentamicin dan aminoglikosid lainnya. Selain itu Ceftazidime sangat stabil terhadap sebagian besar beta-laktamase, plasmid dan kromosomal yang secara klinis dihasilkan oleh kuman gram negatif dan dengan demikian Ceftazidime aktif terhadap beberapa strain resisten terhadap ampisilin dan sefalosporin lainnya.

Farmakokinetik.Seftazidim diabsorpsi baik setelah pemberian IM, Ceftazidime didistribusi secara luas menembus plasenta dan memasuki ASI dalam konsentrasi rendah.>90% dieksresikan oleh ginjal tanpa perubahan, waktu paruhnya 1,4-2 jam

Efek samping. Reaksi hipersensitivitas (urticaria, pruritus, ruam, reaksi parah seperti anaphylaxis bisa terjadi); Efek GI (diare, N/V, diare/radang usus besar); Efek lainnya (infeksi candidal).

Indikasi. Infeksi yang disebabkan oleh Gram Positif atau Gram Negatif32.

Dosis. Dewasa : 1- 6 gram/hari, dalam 2 – 3 dosis terbagi32.

c. Ceftriaxone

Mekanisme kerja. Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan dengan satu atau lebih ikatan protein - penisilin (penicillin-binding proteins-PBPs) yang selanjutnya akan menghambat tahap transpeptidasi sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri sehingga


(37)

22

;menghambat biosintesis dinding sel. Bakteri akan mengalami lisis karena aktivitas enzim autolitik (autolisin dan murein hidrolase) saat dinding sel bakteri terhambat.

Farmakokinetik. Absorbsi Ceftriaxone di saluran cerna buruk, karena itu diberikan secara parentral. Konsentrasi plasma sekitar 40 dan 80µg/ mL telah dilaporkan 2 jam setelah injeksi IM 0,5 dan 1g Ceftriaxone. t½ eliminasi Ceftriaxone tidak tergantung pada dosis dan bervariasi antara 6 dan 9 jam, tetapi dapat diperpanjang pada neonatus. t½ eliminasi tidak berubah pada pasien dengan gangguan ginjal, tetapi mengalami penurunan terutama ketika ada gangguan hati. Ceftriaxone secara luas didistribusikan dalam jaringan tubuh dan cairan. Umumnya mencapai konsentrasi terapeutik dalam CSF.Melintasi plasenta dan konsentrasi rendah telah terdeteksi dalam ASI konsentrasi tinggi dicapai dalam empedu. Sekitar 33 hingga 67 % Ceftriaxone diekskresikan dalam urin, terutama oleh filtrasi glomerulus, sisanya diekskresikan dalam empedu dan akhirnya ditemukan dalam kotoran (feses)

Efek samping. Gangguan lambung-usus, perubahan hematological, reaksi kulit, gangguan koagulasi, nyeri pada tempat penyuntikan, sakit kpela, pusing, agranulositosis

Indikasi. Infeksi yang disebabkan oleh Gram Positif atau Gram Negatif, gonore, bedah32.

Dosis. 1-2 gram satu kali sehari32.

Interaksi obat. Sefalosporin : meningkatkan efek antikoagulan dari derivat kumarin (Dikumarol dan Warfarin); Agen urikosurik: (Probenesid, Sulfinpirazon) dapat menurunkan ekskresi sefalosporin, monitor efek toksik.

d. Cefpiron

Mekanisme kerja. Sefalosporin generasi keempat; memiliki cakupan gram negatif sebanding dengan ceftazidime tapi gram positif cakupan yang lebih baik (dibandingkan dengan ceftriaxone); antibiotik yang


(38)

terbaik beta-laktam dalam pemakaian IM; memiliki kapasitas yang kurang baik untuk menyeberangi penghalang darah-otak dan dengan demikian tidak digunakan untuk pengobatan meningitis

Farmakokinetik. Penyerapan IM cepat dan lengkap , waktu puncak dalam plasma: 0.5-1.5 jam (IV); 1-2 jam (IM), didistribusikanmenembus ke dalam cairan peradangan pada konsentrasi 80% dari tingkat serum dan mukosa bronkial ke pada konsentrasi 60% dari kadar plasma melintasi penghalang darah-otak. Sedikit dimetabolisme di hati . Waktu paruh: 2 jam, diekskresi melalui urin (obat 85% dalam bentuk utuh)

Efek samping. Reaksi hipersensitif, gangguan gastrointestinal, nyeri dada, takikardi, batuk, sakit tenggorokan, dyspnea, sakit kepala, pusing, ansietas, kebingungan, reaksi lokal.

Indikasi. Infeksi yang disebabkan oleh Gram Positif atau Gram Negatif, gonore, bedah32.

Dosis.1 g IM / IV tiap 12 jam32.

e. Metronidazole

Metronidazole adalah (1b-hidroksi-etil)2-metil-5-nitriimidazol yang berbentuk kristal kuning muda dan sedikit larut dalam air atau alkohol. Metronidazole merupakan obat antibakteri dan anti protozoa sintetik derivat nitroimidazole yang mempunyai aktivitas bakterisid, amebisid dan trikomonosid. Metronidazol diindikasikan untuk pengobatan Uretritis & vaginitis, amubiasis, infeksi anaerob (terutama pasca bedah) dan Giardiasis26.

Mekanisme kerja. Dalam sel atau mikroorganisme metronidazol mengalami reduksi menjadi produk polar. Hasil reduksi ini mempunyai aksi antibakteri dengan jalan menghambat sintesa asam nukleat, mempengaruhi anaerob yang mereduksi nitrogen membentuk intermediet26.

Farmakokinetik.1 jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg per oral diperoleh kadar plasma kira-kira 10 μg/mL. Waktu paruhnya 8-10


(39)

24

jam diekskresikan melalui urin dalam bentuk asal dan bentuk metabolit, juga diekskresikan melalui air liur, air susu, cairan vagina, dan cairan seminal dalam kadar yang rendah26.

Efek Samping. Rasa tidak enak pada mulut, lidah berbulu halus, ggn sal cerna. Angioedema. Anoreksia, nyeri ulu hati, keiang,neuropati periter, ruam kulit, pruritus, leukopenia ringan. Jarang, anafilaksis28.

Indikasi. Gonore, bedah, Haemophilus epiglottitis dan meningitis32.

Dosis. Dosis dewasa adalah 7,5 mg /kg setiap 6 jam (sekitar 500 mg untuk orang dewasa 70 kg), maksimum 4 g sehari selama 7-10 hari32.

Interaksi obat. Efek Cytochrome P450 : menghambat CYP2C8/9 (lemah), 3A4 (moderate);Meningkatkan efek/toksisitas : Etanol dapat menyebabkan reaksi seperti disulfiram. Warfarin dan metronidazol dapat meningkatkan bleeding time (PT) yang menyebabkan perdarahan. Simetidin dapat meningkatkan kadar metronidazol.;Metronidazol dapat menghambat metabolisme cisaprid, menyebabkan potensial aritmia; hindari penggunaan secara bersamaan. Metronidazol dapat meningkatkan efek/toksisitas lithium. Metronidazol dapat meningkatkan efek/toksisitas;benzodiazepin tertentu, calcium channel blocker, siklosporin, turunan ergot, HMG-Coa reduktase inhibitor tertentu, mirtazapine, nateglinid, nefazodon, sildenafil ( dan PDE-5 inhibitor yang lain), takrolimus, venlafaxine, dan substrat CYP3A4 yang lain.;Menurunkan efek: fenobabital, fenobarbital (inducer enzim yang lain), dapat menurunkan efek dan waktu paro metronidazol29.

2.4.2. Resistensi Antibiotik

Resistensi antibiotik terjadi ketika mikroorganisme mengalami perubahan yang menyebabkan obat yang diberikan untuk menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme tersebut menjadi tidak efektif lagi. Hal ini menjadi perhatian serius karena dapat menyebabkan kematian, menyebar, dan membebankan biaya yang besar pada individu dan masyarakat27.


(40)

2.4.3. Mekanisme Resistensi

Supaya dapat bekerja efektif, antibiotik harus dapat mencapai target dalam bentuk yang aktif, berikatan dengan target dan dapat mempengaruhi fungsinya. Bakteri dapat menjadi resisten terhadap antibiotik secara umum dapat melalui 3 mekanisme 27:

1. Antibiotik tidak mencapai tempat kerjanya di sel bakteri. Mekanisme yang terjadi karena bakteri mengurangi kegiatan transport aktif yang memasukan antibiotik ke dalam sel (misalnya gentamisin). Mekanisme lain ialah pada bakteri gram negatif, molekul antibiotik dapat menembus dinding luar dan masuk melalui lubang-lubang kecil yang disebut porin. Bila lubang kecil ini menghilang atau bermutasi maka masuknya antibiotik ini akan terhambat.

2. Antibiotik tidak aktif. Hal ini sering mengakibatkan resistensi terhadap golongan aminoglikosida dan beta-laktam karena bakteri mampu membuat enzim yang merusak kedua golongan obat tersebut.

3. Mikroba mengubah tempat ikatan (binding site). Mekanisme ini terjadi pada Staphylococcus aureus yang resisten terhadap metisilin. Bakteri ini mengubah penicillin binding protein sehingga afinitasnya menurun terhadap metisilin dan antibiotik beta-laktam lainnya.

Penyebaran resistensi pada bakteri dapat terjadi secara vertikal (diturunkan ke generasi berikutnya) atau yang lebih sering terjadi adalah secara horizontal dari suatu sel donor. Sifat resistensi dapat dipindahkan melalui proses mutasi, transduksi, transformasi dan konjugasi.

Resistensi antibiotik dapat terjadi disebabkan oleh mekanisme sel mikroorganisme sendiri, misal mikroorganisme menghasilkan enzim yang merusak aktivitas obat atau karena penggunaan antibiotik yang tidak rasional28.


(41)

26

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL

3.1.Kerangka Konsep

Recovery

Memenuhi Kriteria Inklusi Rekam Medik Pasien Apendisitis Januari – Desember

2013

Pencatatan rekam medis

Karakteristik Pasien:

- Jenis Kelamin - Umur

Tidak recovery

Obat Antibiotika:

- Jenis Antibiotik

- Lama penggunaan


(42)

3.2.Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Mengukur Skala

Ukur Keterangan

1 Karakteristik Pasien

1) Jenis Kelamin

2) Usia

Kondisi fisik yang menentukan status seseorang laki-laki atau perempuan Usia pasien yang menjalani operasi apendisitis

Melakukan pencatatan status pasien dengan tabel Check List Melakukan pencatatan usia pasien dengan tabel Check List

Nominal Rasio 1. Laki-laki 2. Perempuan <15 tahun 15-30 tahun 31-45 tahun 45-60 tahun >60 tahun31

2 Lama Penggunaan Antibiotik

Adalah lama waktu yang digunakan dalam pemberian antibiotik ke pasien sampai antibiotik tersebut dihentikan Melakukan pencatatan lama waktu pasien dirawat dengan penggunaan antibiotik kontinyu

3 Antibiotik Adalah obat yang digunakan pada pasien bedah appendisitis Melakukan pencatatan jenis antibiotik yang digunakan pasien dengan tabel Check List

Nominal Nama Antibiotik


(43)

28

4 Recovery Jika keadaan luka membaik, luka kering, nyeri berkurang, atau sudah sembuh Suhu tubuh normal (36-37.5oc), kadar leukosit normal (5000-10000µl)

Mengamati dan mencatat status pasien dengan tabel Check List

Nominal 1. recovery 2. Tidak recovery

5 Efektivitas Seberapa baik terapi antibiotik yang diberikan dapat

menyembuhkan pasien

Mengamati dan mencatat status pasien dengan tabel Check List

Nominal 1. Efektif 2. Tidak efektif


(44)

29

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat pada bulan Mei 2014 sampai Oktober 2014.

4.2.Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional (potong lintang), yaitu pengumpulan data variabel untuk mendapatkan gambaran ketepatan penggunaan antibiotik pasca operasi pada pasien pada waktu tertentu. Pengumpulan data dilakukan dengan metode retrospektif yaitu suatu penelitian berdasarkan rekam medis pasien, melihat kebelakang pada peristiwa yang terjadi dimasa lalu, dalam hal ini dilihat dari rekam medis pasien periode Januari 2013 sampai Desember 2013.

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder, yaitu berupa catatan rekam medis pasien apendisitis di Ruang Rawat Inap RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat selama periode Januari 2013 sampai Desember 2013.

4.3.Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1.Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien apendisitis yang dirawat RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat pada periode Januari 2013 sampai Desember 2013.

4.3.2.Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai sampel penelitian yaitu sebanyak 144 pasien.


(45)

30

4.3.3.Kriteria Inklusi dan Ekslusi Sampel

a. Kriteria inklusi penelitian ini adalah:

1) Pasien yang menderita penyakit apendisitis kronik 2) Pasien berusia diatas 12 tahun

b. Kriteria ekslusi penelitian ini adalah:

1) Pasien apendisitis yang memiliki penyakit komplikasi 2) Pasien mengalami perforasi

3) Rekam medis yang tidak lengkap, hilang, dan tidak jelas

4.4.Prosedur Penelitian

4.4.1.Persiapan ( Permohonan Izin Penelitian)

Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah kepada RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat. Penyerahan surat persetujuan penelitian dari RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.

4.4.2.Pelaksanaan Pengumpulan Data

a. Penelusuran data pasien dirawat di RUMKITAL dr. Mintohardjo Jakarta Pusat dari bulan Januari 2013 sampai dengan bulan Desember 2013.

b. Proses pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi. c. Pengambilan dan pencatatan data hasil rekam medis berupa nomor

rekam medis, identitas pasien (nama dan jenis kelamin), tanggal perawatan, diagnosa, data penggunaan obat (jenis antibiotik, regimen dosis, dan lama penggunaan ) diruang Administrasi Medis.


(46)

4.4.3.Pengolahan Data

a. Editing data

Sebelum melakukan penilaian terhadap data mentah, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kembali kebenaran data yang diperoleh dan mengeluarkan data yang tidak memenuhi kriteria penelitian.

b. Coding data

Peneliti melakukan coding terhadap data yang terpilih dari proses seleksi untuk mempermudah analisis di program Microsoft Excel. Coding berupa kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori.

c. Entry data

Peneliti memasukan data yang telah dilakukan proses coding ke dalam program Microsoft Excel dalam bentuk tabel d. Cleaning data

Kegiatan pembersihan data dilakukan untuk mengecek kembali sebelum dilakukan analisis lebih lanjut.

4.4.4.Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji statistik. Data-data yang telah dilakukan pengolahannya dengan benar selanjutnya dianalisis dengan uji statistik untuk memperoleh gambaran distribusi setiap variabel penelitian. Variabel yang diteliti meliputi jenis-jenis antibiotik pilihan yang digunakan pasca operasi apendisitis, dan penggunaan antibiotik pasca operasi apendisitis meliputi lama penggunaan antibiotik dan kondisi terakhir pasien sesudah terapi.


(47)

32

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1.Hasil Penelitian

Didapatkan 58 data rekam medis dari populasi total 144 pasien rawat inap di RUMKITAL dr Mintohardjo Jakarta Pusat selama Periode Januari sampai Desember 2013 dan memenuhi kriteria inklusi penelitian, hasil penelitian ini ditujukan untuk menjawab perumusan masalah dari tujuan penelitian yang diinginkan, untuk mengetahui efektivitas antibiotik yang digunakan pada pasca operasi pasien apendisitis.

5.1.1.Jumlah Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Hasil pengamatan data rekam medis tentang jenis kelamin pasien appendisitis yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo Jakarta Pusat selama Januari sampai Desember 2013 dapat dilihat pada gambar 5.1.

Gambar 5.1. Distribusi Subjek yang Mendapat Tindakan Appendiktomi Berdasarkan Jenis Kelamin Di RS. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2013

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Laki-Laki

Perempuan 29.31

70.69

%


(48)

Berdasarkan distribusi jenis kelamin yang terdapat pada gambar 5.1, pasien berkelamin perempuan mempunyai persentase lebih besar dibandingkan pasien berkelamin laki-laki; yaitu sebanyak 70,69%, sedangkan sisanya adalah pasien berkelamin laki-laki.

5.1.2.JumlahPasien Berdasarkan Kelompok Usia

Hasil pengamatan data rekam medis tentang kelompok usia pasien appendisitis yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo Jakarta Pusat selama Januari sampai Desember 2013 dapat dilihat pada gambar 5.2.

Gambar 5.2. Distribusi Subjek yang Mendapat Tindakan Appendiktomi Berdasarkan Kelompok Usia Di RS. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2013

Pada gambar 5.2, terlihat distribusi kelompok usia pasien. Kategori mengenai pasien dikelompokan menjadi 5 kelompok usia, antara lain: usia < 15 tahun, usia 15-30 tahun, usia 31-45 tahun, usia 46-60 tahun, usia >60 tahun (manula). Persentase pasien terbesar pada kelompok usia 15-30 tahun yaitu mencapai 55,17%. Umur minimum pasien yang

0 10 20 30 40 50 60

<15 15-30 31-45 46-60 >60

5.17

55.17

24.14

10.34

5.17 %


(49)

34

menjalani operasi appendiktomi berumur 13 tahun, maksimum berumur 65 tahun, modus terbesar pada umur 30 tahun.

5.1.3.Jumlah Pasien Berdasarkan Lama Penggunaan Antibiotik Pasca Operasi Appendisitis

Hasil Pengamatan data rekam medis tentang lama perawatan pasien appendisitis yang telah menjalani rawat inap di Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo Jakarta Pusat selama Jamuari sampai Desember 2013. Dapat dilihat pada gambar 5.3.

Gambar 5.3. Distribusi Subjek yang Mendapat Tindakan Appendiktomi Berdasarkan Lama Penggunaan Antibiotik Di RS. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2013

Berdasarkan lama hari perawatan pada gambar 5.3 dapat dilihat bahwa lama hari perawatan terbanyak adalah selama 3 hari 62,07 %, sedangkan lama hari perawatan yang paling sedikit adalah selama 5 hari yaitu 17,24%.

0 10 20 30 40 50 60 70

3 Hari 4 hari 5 hari

62.07

20.69

17.24 %


(50)

5.1.4.Jenis Antibiotik Yang Dipakai pada Pasien Pasca Operasi Apendisitis

Pada penelitian ini diamati jenis antibiotik yang paling banyak digunakan oleh pasien appendisitis yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo Jakarta Pusat selama Januari sampai Desember 2013. Jenis antibiotik yang paling banyak digunakan dapat dilihat pada gambar 5.4.

Gambar 5.4. Jenis Antibiotik Yang Dipakai pada Pasien Pasca Operasi Apendisitis Di RS. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2013

Pada gambar 5.4, terlihat distribusi jenis antibiotik yang dipakai di Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo Jakarta Pusat. Jenis antibiotik yang dipakai terbagi menjadi 2 golongan terapi yaitu antibiotik terapi tunggal dan terapi kombinasi. Antibiotik yang paling banyak digunakan adalah ceftriaxone 55,17%, kemudian diikuti oleh cefotaxime 18,97%, kombinasi cefotaxime + metronidazol 8,62%, setelah itu kombinasi ceftriaxone + metronidazole 5,17%, selebihnya penggunaan antibiotik yang digunakan baik tunggal maupun kombinasi rata-rata dibawah 4%.

0 10 20 30 40 50 60

18.97

55.17

3.45 3.45

8.62

5.17

1.72 3.45 %


(51)

36

5.1.5.Kondisi Terakhir Pasien Setelah Dirawat

Hasil Pengamatan data rekam medis tentang hasil kondisi pasien appendisitis yang telah menjalani rawat inap di Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo Jakarta Pusat selama Januari sampai Desember 2013. Dapat dilihat pada gambar 5.5.

Gambar 5.5. Distribusi Subjek yang Mendapat Tindakan Appendiktomi BerdasarkanKondisi Terakhir Pasien Setelah Dirawat Di RS. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2013

Dari gambar 5.5 terlihat bahwa kondisi terakhir pasien yang mengalami keadaan luka pasien recovery adalah 89,66% dan 10,34% tidak recovery.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

recovery tidak recovery

89.66

10.34 %


(52)

5.1.6.Lama penggunaan dan Jenis Antibiotik yang digunakan pada Pasien yang Recovery

Hasil Pengamatan data rekam medis tentang lama penggunaan dan jenis antibiotik pada pasien yang recovery di Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo Jakarta Pusat selama Januari sampai Desember 2013. Dapat dilihat pada gambar 5.6.

Gambar 5.6. Lama penggunaan dan Jenis Antibiotik yang digunakan pada Pasien yang Recovery Di RS. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2013

Pada gambar 5.6 terlihat bahwa antibiotik yang memiliki tingkat kesembuhan yang paling tinggi pada lama penggunaan 3 hari adalah ceftriaxone 32,75%, kemudian kombinasi cefotaxime dan metronidazole 10,34% selebihnya tingkat kesembuhan penggunaan antibiotik baik tunggal maupun kombinasi dibawah 6%, untuk lama penggunaan 4 hari adalah ceftriaxone 15,52%, setelah itu cefotaxime 6,90%, selebihnya dibawah 4%, pada lama penggunaan 5 hari antibiotik yang memiliki tingkat kesembuhan yang paling tinggi adalah ceftriaxone 3,45%.

5.17 0.69 3.45 32.75 15.52 3.45

1.72 1.72

10.34

3.45 3.45

1.72 1.72 1.72

0 5 10 15 20 25 30 35

3 hari 4 hari 5 hari

% Lama Penggunaan cefotaxime ceftriaxone cifoperazone cefotaxime+metronidazole ceftriaxone+metronidazole ciperazone+metronidazole ceftadizin+metronidazole cefpiron


(53)

38

5.1.7.Lama penggunaan dan Jenis Antibiotik yang digunakan pada Pasien yang tidak Recovery

Hasil Pengamatan data rekam medis tentang lama penggunaan dan jenis antibiotik pada pasien yang tidak recovery di Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo Jakarta Pusat selama Januari sampai Desember 2013. Dapat dilihat pada gambar 5.7.

Gambar 5.7. Lama penggunaan dan Jenis Antibiotik yang digunakan pada Pasien yang tidak Recovery Di RS. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2013

Pada gambar 5.7 dapat dilihat bahwa pasien yang tidak recovery paling tinggi adalah cefotaxime dan ceftriaxone yaitu 3,45% pada lama penggunaan 3 hari

3.45

1.72 3.45

1.72 1.72 1.72

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

3 hari 5 hari

%

Lama penggunaan

cefotaxime ceftriaxone

ceftriaxone+metronidazol ceflazidine+metronidazole


(54)

BAB VI PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang hanya dapat memberikan gambaran dari faktor-faktor yang diteliti. Sehingga penelitian ini tidak dapat memberikan informasi mengenai hubungan korelasi dan hubungan sebab akibat dari faktor-faktor yang diteliti. Selanjutnya data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah retrospektif yaitu suatu penelitian berdasarkan rekam medis pasien, melihat kebelakang pada peristiwa yang terjadi dimasa lalu, dalam hal ini dilihat dari rekam medis pasien periode Januari 2013 sampai Desember 2013.

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data retrospektif dari medical record. Pencatatan data yang hanya diambil dari medical record sangat terbatas sehingga masih ada data yang diperlukan untuk mendukung analisis dalam penelitian ini tetapi tidak tercantum dalam medical record tersebut.Kedua hal diatas (desain penelitian deskriptif dan pengumpulan data secara retrospektif) merupakan keterbatasan dalam penelitian tersebut.

6.1.Pembahasan

Appendisitis adalah penyakit yang ditimbulkan akibat tersumbatnya lumen apendiks oleh berbagai hal seperti cacing, fecalith, benda asing, dan tumor usus. Sumbatan ini menyebabkan produksi lendir apendiks tidak tersalurkan kedalam usus besar, dan berakibat pada pembengkakan kemudian disusul dengan proses infeksi sehingga gejalanya adalah mula-mula suatu obstruksi ileus ringan yakni : Kolik, mual, muntah, anoreksia dan sebagainya yang kemudian mereda karena sudah jadi paralitik ileus. Kemudian disusul oleh gejala keradangan yakni : nyeri tekan, defans muscular, subfebril dan sebagainya33.

6.1.1.Karakteristik Pasien a. Jenis Kelamin

Berdasarkan analisis deskriptif pada gambar 5.1, mengenai apendisitis menurut jenis kelamin menunjukan bahwa pasien apendisitis yang paling banyak adalah perempuan yaitu pasien


(55)

40

70,69% dan laki-laki sebanyak 29,31%. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Padang tahun 2011, yang menyatakan apendisitis lebih banyak diderita oleh wanita yaitu sebesar 51,70% pasien dan laki-laki sebesar 48,30% pasien34. Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan di RUMKITAL dr Mintohardjo Jakarta yang menyatakan bahwa apendisitis lebih banyak terjadi pada pasien wanita dibandingkan pasien laki-laki11. Tetapi, hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Anderson et al, yang menyebutkan bahwa apendisitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan rasio 55,84% berbanding 44,16% pasien35.

b. Usia

Berdasarkan analisis data pada gambar 5.2 mengenai jumlah pasien berdasarkan kelompok usia, maka dapat diketahui bahwa pada rentang usia 15-30 tahun merupakan kelompok usia yang paling banyak mengalami appendisitis yaitu 55,17%. Hasil tersebut sama seperti penelitian yang dilakukan Hartwig Korner et al36 , dimana kebanyakan pasien yang menderita apendisitis pada rentang umur 13-40 tahun dengan median umur pasien yang menjalani apendiktomi adalah 22 tahun. Selain itu Hamilton dan Rose menyatakan bahwa apendisitis bisa terjadi pada semua umur dan jenis kelamin, namun lebih sering terjadi pada laki-laki pada masa pubertas hingga umur 25 tahun, ini menunjukan bahwa usia produktif banyak menderita penyakit tersebut. Hal ini menyebabkan terganggu produktivitas seseorang, sehingga dapat mengganggu penghasilan orang tersebut37.

Penyebab paling banyak terjadinya apendisitis adalah penyumbatan lumen apendiks, pada usia remaja dan dewasa kemungkinan terjadinya penyumbatan lebih besar, karena makanan yang kurang terjaga dan kurang diperhatikan. Usia


(56)

remaja dan dewasa adalah saat-saat produktivitas dan aktivitas yang tinggi, hormon dan kelenjar yang diproduksi apendiks meningkat, termasuk lendir yang diproduksi oleh apendiks meningkat dari biasanya ( 1-2 ml per hari ), sehingga pada usia remaja dan dewasa lebih banyak terjadi apendisitis apabila apendiks tidak terjaga dengan baik. Sedangkan pada anak-anak apendisitis banyak terjadi karena omentum (sebagai pertahanan terhadap radang apabila terjadi infeksi pada apendiks) masih pendek38.

6.1.2.Antibiotika

a. Jenis Antibiotik

Berdasarkan gambar 5.4 Antibiotik yang paling banyak digunakan adalah ceftriaxone 55,17%, kemudian diikuti oleh cefotaxime 18,97%.

Antibiotik golongan sefalosporin banyak digunakan secara luas diberbagai instansi kesehatan termasuk rumah sakit, karena Sefalosporin ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu aktif terhadap bakteri Gram Positif maupun Gram Negatif, tetapi spektrum masing-masing antibiotik bervariasi. Generasi pertama yang paling efektif terhadap gram positif tetapi spektrum antibakterinya lebih sempit dibandingkan dengan generasi berikutnya, terutama aktif terhadap Cocus. Kecuali Enterococcus, E.coli, Salmonella sp., K,pneumoniae38.Indikasi untuk generasi pertama adalah untuk mengatasi infeksi kulit pada tindakan bedah dan kontaminasi karena flora kulit. Sefalosporin generasi kedua agak kurang aktif terhadap bakteri Gram Positif tetapi lebih aktif terhadap Bakteri Gram Negatif38. Semua antibiotik ini diberikan secara parenteral dan intramuskular karena tidak tahan asam lambung. Generasi ketiga lebih aktif lagi terhadap Gram negatif, termasuk Enterobacteriaceae dan Pseudomonas yang memiliki spektrum


(57)

42

luas. Spektrum antibiotiknya luas dibanding generasi sebelumnya, secara umum turunan antibiotik ini aktif terhadap bakteri Gram negatif yang lebih resisten terhadap beta-laktamase, tetapi kurang efektif terhadap bakteri Gram positif39. Sefalosporin yang digunakan adalah ceftriaxone yang merupakan sefalosporin generasi ketiga yang aktif melawan Enterobacteria. Ceftriaxone efektif terhadap infeksi Gram positif seperti Sthapylococcus sp, dan Streptococcus sp, serta Gram negatif anaerob B.fragilis. Ceftriaxone tidak tahan terhadap asam lambung oleh karena itu diberikan secara iv dan im dengan waktu paruh 8 jam40. Ceftriaxone paling banyak digunakan dengan dasar pertimbangan memiliki indeks terapi yang baik, toksisitas yang rendah, penetrasi jaringan baik, tidak ada problem koagulase, dan waktu paruhnya paling panjang untuk semua golongan sefalosporin. Cefotaxime merupakan sefalosporin generasi ketiga yang diindikasikan sebagai antibiotik untuk mengurangi resiko infeksi pada pembedahan yang aktif melawan bakteri Gram positif dan Gram negatif.41 Aktivitas Cefotaxime lebih besar terhadap bakteri Gram negatif sedangkan aktivitas terhadap bakteri lebih kecil, tetapi beberapa streptococcus sangat sensitif terhadap cefotaxime Antibiotik cefotaxime diabsorpsi kecil di dalam saluran pencernaan, sehingga diberikan secara iv dan im, serta mempunyai waktu paruh pendek yaitu 1 jam. Sefotaksim merupakan antibiotik spektrum luas sehingga dapat mengubah flora normal usus dan dapat menyebabkan pertumbuhan berlebih Clostridia42. Menurut Wells pada tahun 2009, untuk appendisitis tanpa gangren, perforasi direkomendasikan hanya diberikan antibiotik yang aktif melawan bakteri anaerob fakultatif dan obligat anaerob, serta murah dan efektif pada konsentrasi kecil43.

Pemilihan antibiotik pada pasien apendisitis di Rumah Sakit dr. Mintohardjo berbeda dengan antibiotik yang direkomendasikan Handbook of Antimicrobial Therapy dan


(1)

35 Nn. IL p 21 37.7 12000 Cefotaxime 2x1 gr 5 tidak membaik 36 Nn. L

p

23 36.2 6300

Cefotaxime+Metronidazole 2x1 gr 3 membaik 3x500 mg

37 Nn. M p 25 37.6 10200 Ceftriaxone 1x1 gr 3 tidak membaik

38 Ny. M

p

39

Ceftriaxone+Metronidazole 2x1 gr 5 tidak membaik

37.6 10500 3x500 mg

39 Ny. P p 36 36 8100 Ceftriaxone 2x1 gr 3 membaik

40 Ny. R p 30 36.5 9300 Ceftriaxone 2x1 gr 3 membaik

41 An. S p 15 36.5 9700 Ceftriaxone 2x1 gr 4 membaik

42 Ny. Y

p

30 36 8600

Cefotaxime+Metronidazole 2x1 gr 3 membaik 3x500 mg

43 Tn. NY l 49 36 9100 Ceftriaxone 2x1 gr 3 membaik

44 Tn. R l 48 36.5 9600 Cefotaxime 2x1 gr 4 membaik

45 Ny. N

p

38 36 8900

Cefotaxime+Metronidazole 2x1 gr 3 membaik 3x500 mg

46 Nn. SD p 24 36 7800 Cefotaxime 2x1 gr 5 membaik

47 Tn. MF l 21 36 8300 Cefotaxime 2x1 gr 4 membaik

48 An. Al l 17 36 9200 Ceftriaxone 1x1 gr 3 membaik

49 Tn. A l 30 36 8700 Ceftriaxone 2x1 gr 3 membaik

50 Tn. D

l

42 36 8800

Cefotaxime+Metronidazole 2x1 gr 3 membaik 3x500 mg

51 Tn. D l 36 36.4 6800 Ceftriaxone 2x1 gr 4 membaik

52 Tn. G l 24 36 7400 Ceftriaxone 2x1 gr 3 membaik

53 Tn. K l 48 36 9800 Ceftriaxone 2x1 gr 3 membaik


(2)

56

3x500 mg

55 Tn. M

l

47 36 7900

Cefotaxime+Metronidazole 2x1 gr 3 membaik 3x500 mg

56 Tn. S l 31 36 8600 Ceftriaxone 2x1 gr 3 membaik

57 Tn. T

l

61 36.5 7400

Ciperazone+Metronidazole 2x1 gr 3 membaik 3x500 mg

58 Tn. Y

l 33 36 7200

Ceftriaxone+Metronidazole 2x1 gr 4 membaik 3x500 mg


(3)

57

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

Tabel 2

Distribusi Subjek yang Mendapat Tindakan Appendiktomi

Berdasarkan Jenis Kelamin Di RS. Mintohardjo Periode

Januari-Desember 2013

Jenis Kelamin

Jumlah

Persentase (%)

Laki-laki

17

29,31

Perempuan

41

70,69

Jumlah

58

100

Tabel 3

Distribusi Subjek yang Mendapat Tindakan Operasi Appendiktomi

Berdasarkan Kelompok UsiaDi RS. Mintohardjo Periode

Januari-Desember 2013

Kelompok Usia

(tahun)

Jumlah

Persentase

(%)

<15

3

5,17

15-30

32

55,17

31-45

14

24,14

46-60

6

10,34

>60

3

5,17


(4)

58

Tabel 4

Distribusi Subjek yang Mendapat Tindakan Appendiktomi

Berdasarkan Lama Hari Pemberian Antibiotik

Di RS. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2013

No

Lama

Pemberian

(hari)

Jumlah

Persentase

(%)

1

3

36 62,07

2

4

12 20,69

3

5

10 17,24

Jumlah

58 100

Tabel 5

Jenis Antibiotik Yang Dipakai pada Pasien Pasca Operasi Apendisitis

Di RS. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2013

Jenis Antibiotik

N

Persentase

(%)

Terapi Tunggal

cefotaxime

11

18,97

ceftriaxone

32

55,17

cifoperazone

2

3,45

cefpiron

2

3,45

Terapi Kombinasi

cefotaxime+metronidazole

5

8,62

ceftriaxone+metronidazole

3

5,17

ciperazone+metronidazole

1

1,72

ceftadizin+metronidazole

2

3,45


(5)

Tabel 6

Distribusi Subjek yang Mendapat Tindakan Appendiktomi

BerdasarkanKondisi Terakhir Pasien Setelah Dirawat

Di RS. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2013

Tabel 7

Lama Penggunaan dan Jenis Antibiotik pada Pasien yang

Recovery

Penilaian Klinis

Jumlah

Persentase

(%)

Keterangan

Recovery

52

89,66

Efektif

Tidak recovery

6

10,34

Tidak Efektif

Jumlah

58

100

Lama Penggunaan

Jenis Antibiotik

n

%

3 hari

cefotaxime

3

5,17

ceftriaxone

19

32,75

cifoperazone

1

1,72

cefotaxime+metronidazole

6

10,34

ceftriaxone+metronidazole

2

3,45

ciperazone+metronidazole

1

1,72

4 hari

cefotaxime

4

6,90

ceftriaxone

9

15,52

ceftriaxone+metronidazole

2

3,45

ceftadizin+metronidazole

1

1,72

5 hari

cefotaxime

2

3,45

ceftriaxone

2

3,45

cifoperazone

1

1,72


(6)

60

Tabel 8

Lama Penggunaan dan Jenis Antibiotik pada Pasien yang Tidak

Recovery

Lama Penggunaan

Jenis Antibiotik

n

%

3 hari

cefotaxime

2

3,45

ceftriaxone

2

3,45

ceftriaxone+metronidazole

1

1,72

5 hari

cefotaxime

1

1,72

ceflazidin+metronidazole

1

1,72