Evaluasi Kualitatif Antibiotik Meropenem pada Pasien Sepsis BPJS di RUMKITAL Dr. Mintohardjo
EVALUASI KUALITATIF PENGGUNAAN
ANTIBIOTIK MEROPENEM PADA PASIEN SEPSIS
BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO TAHUN
2014
SKRIPSI
ATHIROTIN HALAWIYAH
NIM: 1111102000075
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JUNI 2015
(2)
EVALUASI KUALITATIF PENGGUNAAN
ANTIBIOTIK MEROPENEM PADA PASIEN SEPSIS
BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO TAHUN
2014
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
ATHIROTIN HALAWIYAH
1111102000075
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JUNI 2015
(3)
Skripsi ini adalah karya saya sendiri,
dan semua sumber balk yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Athirotin Halawiyah
NIM : 1111102000075
•
Tanda Tangan
. op
1 6P/
(4)
Nama : Athirotin Halawiyah
NIM : 1111102000075
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : EVALUASI KUALITATIF PENGGUNAAN
ANTIBIOTIK MEROPENEM PADA PASIEN SEPSIS BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO TAHUN 2014
Disetujui Oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
A1111.111.
Drs. M. Samsul Arifin, W. Apt
97211292005012004
Letkol Laut/K/NRP.12154/P
Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(5)
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Athirotin Halawiyah
NIM : 1111102000075
Program Studi : Fannasi
Judul Slcripsi : EVALUASI KUALITATIF PENGGLTNAAN
ANTIBIOTIK MEROPENEM PADA PASIEN SEPSIS BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO TAHUN 2014
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I : Dr. Azrifitria M.Si., Apt
Pembimbing II : Drs. M. Samsul Arifin W.,Apt
Penguji I : Yardi Ph.D., Apt
Penguji II : Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt
Ditetapkan di : Ciputat
(6)
(7)
ABSTRACT
Name : Athirotin Halawiyah
Program Study : Pharmacy
Title : Qualitative Evaluation of Meropenem Use in Social Health Insurance Sepsis Patient in Naval Hospital Dr. Mintohardjo 2014
Sepsis is a systemic and deleterious body response to infection.
Sepsispatientsrequire abroad-spectrumantibiotictherapywhen thepathogenic
bacteria that infects the bodyis unknown. Meropenem is a broad spectrum antibiotic that has a high potential as an empirical and definitive therapy against serious infections caused by multi-drug resistant organism (MDRO) The antibiotic resistance may emerge as a result of inappropriate use of antibiotic. This study aimed to evaluate the quality (appropriateness) use of meropenem in Naval
Hospital Dr. Mintohardjo using Gyssens’ flowchart. Certain parameters have been
analyzed, which are the adequacy of the data, indication, antibiotic choice, duration, dosage, interval, route and timing of antibiotic usage.This is retrospective study using descriptive-case study approach. Data for this study
were drawn from patient’s medical records from January-December 2014 periode. The data retrieval was done by using the total sampling technique, where 26 samples were obtained in accordance with the study inclusion criteria. Patient characteristics were observed, showed that the most common sepsis type is nosocomial sepsis (42%), disease comorbidity is cerebrovascular sepsis (29%), the mean duration of treatment is 20 days, the number of drug received are 13 and the number of antibiotic received is 3. Meropenem was given as empirical therapy in 24 patients (92,3%) and definitive therapy in 2 patients (7.7%). The result of the qualitative evaluation of meropenem use showed that 15% were appropriate (category 0), and 85% were inappropriate (category I-VI). The inappropriate use of meropenem, 9% due to inappropriate dose, 24 % innapropriate interval, 6% duration too long, 49% because there were alternatives that more effective, 3% alternatives that have narrower spectrum, and 9% data insufficiency. Referring to this result, the use of antibiotic meropenemin patients with sepsis in RUMKITAL Dr.Mintohardjo requires efforts in improving the quality of use and prevention of meropenem resistance.
(8)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur tak terhingga saya panjatkan kepada Allah azza
wa jalla yang telah memberikan segala bentuk kasih sayangNya kepada saya. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Berkat rahmat dan pertolongan Allah, penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Kualitatif Antibiotik Meropenem
pada Pasien Sepsis BPJS di RUMKITAL Dr. Mintohardjo” bertujuan untuk
memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak mulai dari masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi, sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt dan Bapak Drs. M. Samsul Arifin W., Apt
selaku dosen pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah banyak memberikan bimbingan, ilmu, waktu, dan tenaga, dalam penelitian ini.
2. Prof. Dr. Arief Sumantri S.KM, M.KM selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak motivasi dan dukungan.
4. Ibu Dr. Hj. Delina Hasan, M.Kes, Apt selaku dosen Penasehat Akademik
(PA) atas motivasi dan bantuan selama empat tahun penulis menimba ilmu di Farmasi UIN
5. Bapak dan Ibu dosen pengajar Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu dan teladan selama masa perkuliahan.
6. Bapak Ari, Ibu Esti dan seluruh civitas RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang
(9)
7. Harta saya yang paling berharga, Abi H. Muhammad Syarofuddin Turmudzi Hudan dan Ibu Dra. Hj. Rohmatin Maghfuroh atas kasih sayang, doa, teladan, dukungan dan bimbingan yang tak henti mengalir. Terima kasih telah
menjadi murobbi ruhy. Insyaallah rumah di surga tersedia untuk Abi dan Ibu.
8. Adik-adik saya yang sangat saya sayangi, Muhammad Saad Yumnan dan
Ahmad Ubaidunnur, terima kasih untuk selalu mendukungku. Semoga kita selalu berbakti kepada Abi dan Ibu serta selalu dalam naungan kasihNya.
9. Sahabat-sahabat tersayang; Nur Azizah dan Ratu Fauziyah, ketika
persahabatan berarti saling menginspirasi dan menguatkan. Terima kasih telah membersamaiku dalam suka dan duka.
10. Teman-teman terdekat; Umniyaty Mufidah dan Syaima, terima kasih
menemaniku selama 3 tahun di perantauan. Semoga kita tetap berteman hingga akhir hayat.
11. Keluarga Forum Lingkar Pena Ciputat; Kholik, Kak Andik, Tiara, Kak Amal,
Eza, Kak Ali Rif’an dan teman-teman serta senior yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk kebersamaan, kekeluargaan dan pembelajaran selama ini. Penulis merasa beruntung mengenal kalian.
12. Teman-teman yang melaksanakan penelitian di RUMKITAL Dr.
Mintohardjo; Bilqis, Nikmah, Dana, Tari, Pipit, terima kasih untuk semangat yang terus kita nyalakan bersama-sama.
13. Teman-teman seperjuangan Farmasi angkatan 2011, terima kasih atas
persaudaraan dan pertemanan yang berkesan selama 4 tahun ini.
14. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
kelancaran pengerjaan skripsi ini.
Semoga Allah azza wa jalla membalas kebaikan semua pihak yang telah
membantu. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap kritik dan saran atas kekurangan dan keterbatasan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat untuk banyak pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Ciputat, 1 Juni 2015
(10)
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Athirotin Halawiyah
NIM : 1111102000075
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi
demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui/karya ilmiah saya, dengan judul :
EVALUASI KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK MEROPENEM PADA PASIEN SEPSIS BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO
TAHUN 2014
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di : Ciputat Pada Tanggal : 1 Juni 2015
Yang menyatakan,
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan ... 4
1.3.1. Tujuan Umum ... 4
1.3.2. Tujuan Khusus ... 4
1.4. Manfaat Hasil Penelitian ... 4
1.4.1. Manfaat Teoritis ... 4
1.4.2. Manfaat Praktis ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1. Antibiotik ... 5
(12)
2.1.2. Penggolongan Antibiotik ... 5
2.1.2.1.Antibiotik Berdasarkan Spektrum Aktivitas .. 5
2.1.2.2.Antibiotik Berdasarkan Mekanisme Kerja .... 5
2.1.2.3.Antibiotik Berdasarkan Struktur Kimia ... 6
2.1.3. Penggunaan Antibiotik ... 7
2.1.4. Resistensi Antibiotik ... 8
2.1.5. Evaluasi Penggunaan Antibiotik ... 11
2.1.5.1. Penilaian Kualitas Antibiotik ... 11
2.2. Meropenem ... 14
2.2.1. Mekanisme Kerja ... 14
2.2.2. Indikasi ... 14
2.2.3. Dosis ... 14
2.2.4. Efek samping ... 15
2.2.5. Farmakokinetik ... 15
2.2.6. Kepekaan Bakteri Patogen Terhadap Meropenem .... 16
2.2.7. Potensi Interaksi Obat ... 16
2.3. Sepsis ... 16
2.3.1. Definisi Sepsis ... 16
2.3.2. Patogenesis Sepsis ... 17
2.3.2.1.Mekanisme yang Mungkin Terjadi ... 17
2.3.2.2.Fase-fase Respon Inflasi ... 18
2.3.3. Diagnosis ... 21
2.3.4. Manajemen Sepsis Berat ... 23
2.3.4.1.Terapi Antimikroba ... 25
2.4. BPJS ... 27
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 28
3.1. Jenis Penelitian ... 28
(13)
3.3. Populasi dan Sampel ... 28
3.3.1. Populasi ... 28
3.3.2. Sampel ... 29
3.4. Tempat dan Waktu Penelitian ... 29
3.5. Definisi Operasional ... 29
3.6. Prosedur Penelitian ... 33
3.6.1. Persiapan (permohonan izin) ... 33
3.6.2. Pengumpulan Data Penelitian ... 33
3.6.3. Pengolahan Data ... 34
3.6.4. Analisis Data ... 34
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36
4.1. Hasil Penelitian ... 37
4.1.1. Karakteristik Pasien ... 37
4.1.2. Peta Resistensi Mikroorganisme ... 39
4.1.3. Evaluasi Antibiotik ... 42
4.2. Pembahasan Penelitian ... 44
4.2.1. Karakteristik Pasien ... 44
4.2.2. Peta Resistensi Mikroorganisme ... 47
4.2.3. Evaluasi Antibiotik ... 50
4.3. Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian ... 58
4.3.1. Kekuatan Penelitian ... 58
4.3.2. Keterbatasan Penelitian ... 58
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 59
5.1. Kesimpulan ... 59
5.2. Saran ... 59
(14)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 2 3 4 5
Diagram Alir Gyssens ...
Struktur Meropenem ………...
Pelepasan mediator yang diinduksi endotoksin ... Pelepasan mediator yang diinduksi superantigen ...
Kerangka Konsep Penelitian ………...
13 14 19 20 28
(15)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1. 2.2. 3.1. 4.1.
4.2.
4.3.
4.4.
4.5. 4.6.
4.7.
Kriteria Diagnosis Sepsis………...
Manajemen Sepsis Berat ………...
Definisi Operasional ... ………...
Karakteristik Pasien Sepsis yang Menerima Antibiotik
Meropenem ... ………...
Data Jumlah Spesimen Uji Sensitivitas Antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2014 ... Data Jumlah Kuman yang Terlibat dalam Pembuatan Peta Resistensi Bakteri terhadap Antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo periode Januari-Desember2014 ... Data Profil Kuman Berdasarkan Jenis Spesimen Uji Sensitivitas Antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode
Januari-Desember 2014………...
Hasil Evaluasi Penggunaan Antibiotik Meropenem (n=26) ... Rincian Ketidakrasionalan Penggunaan Antibiotik Meropenem (n=34)………... Jenis Antibiotik Alternatif yang Lebih Efektif ...
22 23 30
38
40
40
41 42
43 43
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 2 3
4
Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian ...
Rekapitulasi Data Pasien ………...
Rekapitulasi Hasil Evaluasi Meropenem Berdasarkan Kategori
Gyssens ………...
Laporan Peta Resistensi Bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo Tahun 2014 ...
66 67
85
(17)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang
Infeksi merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di Indonesia. Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering dijumpai adalah infeksi oleh bakteri. Pemberian antibiotik masih merupakan pilihan utama untuk mengatasi infeksi saat ini (Rosita, 2013).
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini yang dibuat secara semi-sintesis juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay dan Rahardja, 2010). Antibiotik
merupakan obat yang paling banyak diresepkan di dunia. Pada tahun 2006, World
Health Organization (WHO) melaporkan bahwa lebih dari seperempat anggaran
rumah sakit dikeluarkan untuk biaya penggunaan antibiotik (Lestari, et al 2011).
Manfaat penggunaan antibiotik tidak perlu diragukan, akan tetapi penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan bakteri resisten terhadap antibiotik. Resistensi bakteri terhadap antimikroba menjadi masalah penting pelayanan
kesehatan. Infeksi yang disebabkan bakteri multi-drug resistant (MDR)
berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas karena terapi empiris sering kali tidak tepat. Sehingga, antibiotik lini kedua atau ketiga harus diberikan. Pemberian antibiotik lini kedua dan ketiga ini sering kali kurang efektif, kemungkinan terjadi efek samping lebih besar dan biaya yang dibutuhkan lebih besar (AMRIN-study, 2002).
Salah satu kondisi yang membutuhkan antibiotik adalah sepsis. Sepsis adalah respon tubuh terhadap infeksi yang bersifat sistemik dan merusak. Sepsis dapat menyebabkan sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat ditandai dengan disfungsi organ akut. Syok septik adalah sepsis parah disertai hipotensi yang tidak membaik dengan resusitasi cairan. Sepsis berat dan syok septik adalah masalah besar untuk pelayanan kesehatan. Sepsis berat dan syok septik terjadi pada jutaan
(18)
orang tiap tahun, dan membunuh satu di antara empat penderitanya (Dellinger et
al,2012)
Sepsis paling banyak disebabkan oleh bakteri Gram-positive, diikuti oleh bakteri Gram-negative dan kombinasi dari keduanya. Pasien dengan sepsis berat atau syok septik memerlukan terapi antibiotik berspektrum luas sampai bakteri patogen dan data kerentanan bakteri terhadap anbiotiknya didapatkan. Setelah bakteri patogen teridentifikasi, de-eskalasi harus dilakukan dengan memilih agen
antimikroba yang sesuai dengan bakteri patogen, aman dan cost effective
(Dellinger et al, 2012)
Meropenem adalah agen antibakteri berspektrum luas yang termasuk dalam golongan karbapenem. Untuk menangani infeksi, meropenem diindikasikan sebagai terapi empiris sebelum mikroorganisme penyebab infeksi teridentifikasi dan juga untuk penyakit yang disebabkan oleh satu bakteri atau banyak bakteri baik pada orang dewasa maupun anak-anak (Baldwin, 2008). Efek samping meropenem yang sering terjadi adalah diare, kulit kemerahan, mual dan muntah, dan inflamasi di tempat injeksi yang terjadi pada <2,5% pasien (Lowe, 2000).
Meropenem tidak diabsorbsi setelah pemberian oral. Meropenem dapat berpenetrasi dengan baik ke dalam sebagian besar jaringan termasuk paru-paru, jaringan intrabdomen, cairan interstitial, cairan peritoneal dan cairan serebrospinal. Waktu paruh meropenem kurang lebih 1 jam. Meropenem dieliminasi terutama melalui ginjal (Lowe, 2000)
Pada tahun 2008, Meropenem Yearly Susceptibility Test Information
Collection (MYSTIC) melaporkan kepekaan bakteri patogen terhadap
meropenem adalah sebagai berikut: Pseudomonas aeruginosa (439 strain, 85,4%
peka), Enterobacteriaceae (1537 strain, 97,3% peka), methicillin-susceptible
staphylococci (460 strain, 100% peka), Streptococcus pneumoniae (125 strain,
80,2% pada meningitis susceptibility breakpoint), streptococci lain (159 strain,
90-100% peka), Acinetobacter spp. (127 strain, 45,7% peka) (Rhomberg dan
Jones, 2009). Dengan meningkatnya penggunaan antibiotik meropenem di rumah sakit, kemungkinan resistensi harus diwaspadai (Mardiastuti, 2007).
Penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan secara kualitas dengan metode Gyssens berdasarkan data rekam medik dan kondisi klinis pasien (Permenkes,
(19)
2011). Penilaian kualitas penggunaan antibiotik dilakukan untuk mengetahui
rasionalitas penggunaan antibiotika. Gyssens et al mengembangkan evaluasi
penggunaan antibiotika untuk menilai ketepatan penggunaan antibiotika seperti: ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian (Pamela, 2011). Salah satu dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik menurut Permenkes (2011) adalah data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang
tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat. Berdasarkan Surviving Sepsis
Campaign, pemilihan antibiotik untuk pasien sepsis harus berpedoman pada pola
prevalensi bakteri lokal (Dellinger et al, 2012).
Pada tahun 2014 pemerintah mulai memberlakukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Implementasi JKN menuntut rumah sakit untuk dibayar secara prospektif
berdasarkan diagnosa pasien bukan atas dasar tindakan (fee for service) artinya
semakin singkat lama hari rawat pasien maka profit RS akan semakin baik karena sumber daya yang dikeluarkan rumah sakit lebih efisien (Setiawan dan Ramadani, 2014). Penggunaan antibiotik yang terkendali dapat mencegah munculnya resistensi dan menghemat penggunaan antibiotik, yang pada akhirnya akan mengurangi beban biaya perawatan pasien, mempersingkat lama perawatan, penghematan bagi rumah sakit serta meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit (Permenkes, 2011)
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai kualitas penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis rawat inap BPJS di RUMKITAL Dr. Mintohardjo.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, disusunlah rumusan penelitian sebagai berikut:
Bagaimanakah kualitas penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis BPJS di ruang rawat inap RUMKITAL Dr. Mintohardjo ditinjau dari ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian
(20)
antibiotik serta dikaitkan dengan data peta resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum:
Melakukan evaluasi kualitas penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis BPJS di RUMKITAL Dr. Mintohardjo berdasarkan kategori Gyssens.
1.3.2. Tujuan Khusus:
1. Menentukan karakteristik pasien sepsis yang menerima antibiotik
meropenem
2. Memperoleh data peta resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik
3. Menilai kualitas penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis BPJS
berdasarkan kategori Gyssens
1.4. Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk : 1.4.1.Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan dalam bidang kefarmasian khususnya pada bidang evaluasi antibiotik
1.4.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan untuk RUMKITAL Dr. Mintohardjo dalam hal peningkatan penggunaan antibiotik meropenem yang rasional
(21)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Antibiotik
2.1.1. Definisi Antibiotik
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini yang dibuat secara semi-sintesis juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay dan Rahardja, 2010)
Pengertian antibiotik secara sempit adalah senyawa yang dihasilkan oleh
berbagai jenis mikroorganisme (bakteri, fungi, actinomycetes) yang menekan
pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Penggunaannnya secara umum sering kali memperluas istilah antibiotik meliputi senyawa antimikroba sintetik, seperti
sulfonamida dan kuinolon (Brunton et al, 2006)
2.1.2. Penggolongan Antibiotik
2.1.2.1 Antibiotik Berdasarkan Spektrum Aktifitas
Berdasarkan spektrum aktivitas, antibiotik dibagi menjadi dua golongan, yaitu (Tjay dan Rahardja, 2010):
a. Antibiotik aktivitas sempit (narrow spectrum)
Obat-obat ini terutama aktif terhadap beberapa jenis kuman saja, misalnya penisilin-G dan penisilin-V, eritromisin, klindamisin, kanamisin, dan asam fusidat hanya bekerja terhadap kuman Gram positif. Sedangkan streptomisin, gentamisin, polimiksin-B, dan asam nalidiksat khusus aktif terhadap kuman Gram negatif.
b. Antibiotik aktivitas luas (broad spectrum)
Antibiotik berspektrum luas bekerja terhadap lebih banyak kuman, baik jenis kuman Gram positif maupun Gram negatif. Misalnya sulfonamida, ampisilin, sefalosforin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin
2.1.2.2.Antibiotik Berdasarkan Mekanisme Kerja
Berdasarkan mekanisme kerja, antibiotik dibagi sebagai berikut: (Brunton et al, 2006)
(22)
a. Agen yang menghambat sintesis dinding sel bakteri, termasuk kelas β -laktam misalnya penisilin, sefalosporin, karbapenem
b. Agen yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme,
meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan kebocoran komponen intraseluler, termasuk polimiksin, agen antifungi polien (nistatin dan amfoterisin)
c. Agen yang mengganggu fungsi subunit ribosom 30S atau 50S sehingga
menghambat sintesis protein secara reversibel, biasanya bersifat bakteriostatik misalnya kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin, klindamisin, streptogramin
d. Agen yang berikatan dengan subunit ribosom 30S dan mengubah sintesis
protein, biasanya bersifat bakterisid, misalnya aminoglikosida
e. Agen yang mempengaruhi metabolisme asam nukelat bakteri, seperti
rifamisin (rifampin dan rifabutin)
f. Antimetabolit, seperti trimethoprim dan sulfonamid, yang memblok enzim
esensial untuk metabolisme folat
2.1.2.3.Antibiotik Berdasarkan Struktur Kimia
Berdasarkan struktur kimianya, antibiotika dapat digolongkan sebagai berikut: (Mutschler, 1991)
a. Antibiotik beta laktam, yang termasuk antibiotik beta laktam yaitu penisilin
(contohnya: benzyl penisilin, oksisilin, fenoksimetilpenisilin, ampisilin),
sefalosporin (contohnya: azteonam) dan karbapenem (contohnya:
imipenem)
b. Tetrasiklin, contoh: tetrasiklin, oksitetrasiklin, demeklosiklin.
c. Kloramfenikol, contoh: tiamfenikol dan kloramfenikol
d. Makrolida, contoh: eritromisin dan spiramisin.
e. Linkomisin, contoh: linkomisin dan klindamisin
f. Antibiotik aminoglikosida, contoh: streptomisin, neomisin, kanamisin,
gentamisin dan spektinomisin
g. Antibiotik polipeptida (bekerja pada bakteri gram negatif), contoh:
(23)
h. Antibiotik polien (bekerja pada jamur), contoh: nistatin, natamisin, amfoterisin dan griseofulvin
2.1.3. Penggunaan Antibiotik
Berdasarkan tujuan penggunaannya, antibiotik dibedakan menjadi antibiotik terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi dapat dibedakan menjadi antibiotik untuk terapi empiris dan terapi definitif.
Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi dan penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan biologi. Indikasi penggunaannya adalah apabila ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paliing sering menjadi penyebab infeksi (Permenkes, 2011)
Rute pemberian oral merupakan pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Adapun lama pemberian antibiotik empiris adalah jangka waktu 48-72 jam (Permenkes, 2011).
Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik untuk terapi empiris adalah: (Permenkes, 2011)
1. Data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas
atau di rumah sakit setempat
2. Kondisi klinis pasien
3. Ketersediaan antibiotik
4. Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang
terinfeksi
5. Untuk infeksi yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan
antibiotik kombinasi
Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik adalah eradikasi dan penghambatan
(24)
pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi (Permenkes, 2011)
Rute pemberian oral merupakan pilihan pertama. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera diganti dengan peroral.Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai dengan diagnosis awal yang telah
dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data
mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (Permenkes, 2011)
Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik untuk terapi definitif: (Permenkes, 2011)
1. Efikasi dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik
2. Sensitivitas
3. Biaya
4. Kondisi klinis pasien
5. Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit
6. Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium RS)
7. Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini
8. Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang diberikan pada jaringan atau cairan tubuh yang belum terinfeksi, namun diduga kuat akan terkena infeksi. Antibiotik profilaksis diindikasikan ketika besar kemungkinan terjadi infeksi, atau terjadi infeksi kecil yang berakibat fatal. Penggunaan antibiotik profilaksis dibedakan menjadi antibiotik profilaksis bedah dan non bedah (Permenkes, 2011)
2.1.4. Resistensi Antibiotik
Resistensi dibedakan sebagai kejadian tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang
seharusnya atau pada kadar hambat minimalnya. Multiple drug resistance
merupakan resistensi pada mikroorganisme terhadap dua atau lebih obat maupun
(25)
pernah dipaparkan pada mikroba tersebut namun cara kerjanya mirip dengan antimikroba lain yang sudah mengalami resistensi (Tripathi, 2003)
Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotik terjadi berdasarkan salah satu atau lebih mekanisme berikut: (Jawetz, 1997)
a. Bakteri dapat mensintesis enzim inaktivator antibiotik. Misalnya
Staphylococcus resisten terhadap penisilin G karena dapat menghasilkan betalaktamase yang merusak antibiotik tersebut.
b. Bakteri dapat mengubah permeabilitas membrannya terhadap molekul
antibiotik, misalnya pada penggunaan tetrasiklin yang hanya akan dapat masuk ke dalam sel bakteri yang rentan (sensitif), namun tidak ditemukan pada beberapa bakteri yang resisten.
c. Bakteri dapat mengembangkan perubahan struktur sasaran molekul
antibiotik, contohnya resistensi pada beberapa bakteri terhadap antibiotik golongan aminoglikosida merupakan proses yang berkaitan dengan hilang atau berubahnya struktur protein spesifik pada subunit ribosom 30S bakteri yang merupakan reseptor pada bakteri yang sensitif.
d. Bakteri mampu mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung
dihambat oleh molekul antibiotik, misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi bersifat seperti sel mamalia yang dapat langsung menggunakan asam folat.
e. Bakteri mampu mengembangkan perubahan enzim, yakni enzim tersebut
dapat melakukan fungsi metabolismenya, bamun tidak rentan dipengaruhi oleh molekul antibiotik, misalnya pada beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, enzim dihidropteroat sintetase pada mikroorganisme tersebut mempunyai afinitas terhadap sulfonamid yang jauh lebih tinggi daripada afinitasnya terhadap PABA.
Faktor-faktor yang memudahkan berkembangnya resistensi di klinik adalah sebagai berikut: (Utami, 2012)
1. Penggunaan antibiotik yang irasional, misalnya periode penggunaan terlalu
singkat, dosis terlalu rendah, diagnosis awal yang salah, atau digunakan dalam potensi yang tidak adekuat
(26)
2. Faktor pasien, contohnya pasien dengan pengetahuan yang salah akan cenderung mengganggap wajinya pemberian antibiotik dalam penanganan penyakit apapun meskipun disebabkan oleh virus misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat. Dengan adanya kesalahan tersebut, pasien dengan kemampuan finansial yang baik akan meminta diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan, bahkan membeli antibiotik sendiri tanpa peresepan dan dokter (self medication), sedangkan pasien dengan kemampuan finansial rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi, padahal terapi dengan antibiotik harus dituntaskan.
3. Faktor peresepan, yakni seringkali ditemukan kesulitan dalam menentukan
antibiotik yang tepat pada banyak tenaga klinis yang disebabkan kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya
4. Penggunaan monoterapi, karena dibandingkan dengan penggunaan terapi
kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi
5. Gaya hidup, terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci tangan
setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai untuk memeriksa pasien
6. Penggunaan di rumah sakit, yakni adanya infeksi endemik atau epidemik
yang memicu penggunaan antibiotik yang lebih masif di rumah sakit. Selain itu, kombinsi pemakaian antibiotik yang lebih intensif dan lebih lama dengan banyakanya pasien yang rentan terhadap infeksi yang berada di rumah sakit akan memudahkan terjadinya infeksi nosokomial. Hal ini juga dapat meningkatkan resistensi mikroba endemik tersebut terhadap antibiotik yang digunakan.
7. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak, misalnya pada beberapa
antibitoik yang juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak atau digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak dengan dosis subterapeutik akan meningkatkan resiko terjadinya resistensi pada berbagai mikroba.
(27)
8. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi, didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah antibiotik yang beredar semakin luas.
9. Penelitian, yaitu kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk
menemukan antibiotik baru.
10. Pengawasan, yaitu lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam
distribusi dan pemakaian antibiotik. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotik meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu, masalah pengawasan juga terkait dengan kurangnya komitmen dari instansi terkait, baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi.
2.1.5. Evaluasi Penggunaan Antibiotik
Evaluasi penggunaan antibiotik bertujuan untuk: (Permenkes, 2011)
a. Mengetahui jumlah atau konsumsi penggunaan antibiotik di rumah sakit
b. Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik di rumah
sakit
c. Sebagai dasar untuk melakukan surveilans penggunaan antibiotik di rumah
sakit secara sistematik dan terstandar.
2.1.5.1. Penilaian Kualitas Antibiotik
Kualitas penggunaan antibiotik dinilai dengan menggunakan data yang terdapat pada Rekam Pemberian Antibiotik (RPA), catatan medik pasien dan kondisi klinis pasien. Penilaian dilakukan dengan menggunakan alur penilaian dan klasifikasi/kategori Gyssens dkk. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian diagnosis (gejala klinis dan hasil laboratorium), indikasi, regimen dosis, keamanan dan harga (Permenkes, 2011).
Kategori hasil penilaian kualitatif penggunaan antibiotik adalah sebagai berikut: (Gyssens IC, 2005):
Kategori 0 = penggunaan antibiotik tepat/bijak
Kategori I = penggunaan antibiotik tidak tepat waktu
(28)
Kategori IIB = penggunaan antibiotik tidak tepat interval
Kategori IIC = penggunaan antibiotik tidak tepat cara/rute pemberian Kategori IIIA = penggunaan antibiotik terlalu lama
Kategori IIIB = penggunaan antibiotik terlalu singkat Kategori IVA = ada antibiotik lain yang lebih efektif
Kategori IVB = ada antibiotik lain yang kurang toksik/lebih aman Kategori IVC = ada antibiotik lain yang lebih murah
Kategori IVD = ada antibiotik lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit
Kategori V = tidak ada indikasi penggunaan antibiotik
Kategori VI = data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi.
(29)
Gambar 1. Diagram Alir Gyssens
Sumber: Gyssen (2005), dalam Permenkes (2011)
(30)
Diagram alir ini merupakan alat penting untuk menilai kualitas penggunaan antibiotik. Pengobatan dapat tidak sesuai dengan alasan yang berbeda pada saat yang sama dan dapat ditempatkan dalam lebih dari satu kategori. Dengan alat ini, terapi empiris dapat dinilai, demikian juga terapi definitif setelah hasil pemeriksaan mikrobiologi diketahui (Gyssens, 2005)
2.2. Meropenem
Gambar 2. Struktur Meropenem
(Sumber: Craig, 1997)
Meropenem merupakan antibiotik lini ketiga dari golongan karbapenem. Meropenem merupakan antibiotik spektrum luas yang aktif melawan bakteri gram negatif, bakteri gram positif dan bakteri anaerob. Meropenem memiliki kestabilan tinggi terhadap hidrolisis oleh serin beta-laktamase. Berbeda dengan golongan karbapenem terdahulu (imipenem/silastatin), meropenem relatif stabil oleh enzim dehydropeptidase-I (DHP-I) (Baldwin, 2008)
2.2.1. Mekanisme Kerja
Meropenem menganggu sintesis dinding sel bakteri, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri dan menyebabkan kematian sel. Meropenem berpenetrasi dengan cepat ke dalam dinding sel bakteri dan berikatan dengan penicillin-binding proteins (PBP) dengan afinitas yang tinggi, sehingga menginaktivasi bakteri (Baldwin, 2008)
2.2.2. Indikasi
Meropenem diindikasikan sebagai terapi empiris sebelum mikroorganisme penyebab infeksi teridentifikasi dan juga untuk penyakit yang disebabkan oleh
(31)
satu bakteri atau banyak bakteri baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
Meropenem disetujui di USA untuk digunakan dalam terapi complicated
intraabdominal infection, complicated skin and skin structure infection dan meningitis yang disebabkan oleh bakteri (Baldwin, 2008). Di negara lain meropenem juga disetujui untuk digunakan dalam terapi pneumonia nosokomial, septikemia, infeksi saluran kencing, febrile neutropenia, cystic fibrosis dan community acquired pneumonia (Baldwin, 2008).
2.2.3 Efek Samping
Efek samping meropenem yang sering terjadi adalah diare, kulit kemerahan, mual dan muntah, dan inflamasi di tempat injeksi yang terjadi pada <2,5% pasien (Lowe, 2000)
2.2.4. Dosis
Dosis orang dewasa berkisar pada 1,5-6 gram/hari setiap 8-12 jam, tergantung tipe dan keparahan infeksi, kepekaan mikroorganisme dan kondisi pasien. Dosis orang dewasa disarankan pada anak-anak dengan berat badan lebih dari 50 kilogram. Pada bayi dan anak-anak berusia antara 3 bulan-12 tahun, dosis yang direkomendasikan adalah 10-40 mg/kg diberikan secara intravena (Baldwin, 2008)
2.2.5. Farmakokinetik
Meropenem tidak diabsorbsi setelah pemberian oral. Meropenem dapat berpenetrasi dengan baik ke dalam sebagian besar jaringan termasuk paru-paru, jaringan intrabdomen, cairan interstitial, cairan peritoneal dan cairan serebrospinal. Waktu paruh meropenem kurang lebih 1 jam. Meropenem dieliminasi terutama melalui ginjal (Lowe, 2000)
Pada lansia, penurunan klirens meropenem berhubungan dengan penurunan kreatinin klirens karena usia dan kemungkinan diperlukan penurunan dosis. Farmakokinetik meropenem tidak berubah pada pasien dengan kerusakan hati (Baldwin, 2008)
(32)
2.2.6. Kepekaan Bakteri Patogen terhadap Meropenem
Pada tahun 2008, Meropenem Yearly Susceptibility Test Information
Collection (MYSTIC) melaporkan kepekaan bakteri patogen terhadap
meropenem adalah sebagai berikut: Pseudomonas aeruginosa (439 strain, 85,4%
peka), Enterobacteriaceae (1537 strain, 97,3% peka), methicillin-susceptible
staphylococci (460 strain, 100% peka), Streptococcus pneumoniae (125 strain,
80,2% pada meningitis susceptibility breakpoint), streptococci lain (159 strain,
90-100% peka), Acinetobacter spp. (127 strain, 45,7% peka) (Rhomberg dan
Jones, 2009).
Secara umum, pola kepekaan bakteri gram negatif terhadap meropenem
masih cukup baik di beberapa negara, namun untuk P. aeruginosa terlihat
kepekaannya mulai menurun di Eropa dan Amerika. Dengan meningkatnya penggunaan antibiotik meropenem di rumah sakit, kemungkinan resistensi harus diwaspadai (Mardiastuti, 2007).
2.2.7. Potensi Interaksi Obat
Penggunaan bersama meropenem dengan probenesid menyebabkan peningkatan waktu paruh dan konsentrasi plasma meropenem karena adanya kompetisi terhadap sekresi tubular aktif. Penggunaan bersama meropenem dengan
probenesid tidak direkomendasikan (Baldwin, 2008)
Meropenem dapat menurunkan konsentrasi serum asam valproat, sehingga menghasilkan level subterapeutik pada beberapa individu. Sebagai catatan, telah dilaporkan adanya interaksi yang sama asam valproat dengan golongan karbapenem lain, yaitu panipenem/betampiron sehingga diperkirakan interaksi dengan asam valproat merupakan interaksi yang dipengaruhi golongan (Baldwin, 2008)
2.3. Sepsis
2.3.1. Definisi Sepsis
Pada tahun 1992, konferensi konsensus American College of Chest
Physician (ACCP) dan Society of Critical Care Management (SCCM)
(33)
dikatakan mengalami SIRS jika ditemukan lebih dari satu tanda berikut: (Levy et
al, 2003)
- Temperatur lebih dari 38 ◦C atau kurang dari 36 ◦C
- Detak jantung lebih dari 90 kali per menit
- Hiperventilasi yang ditandai dengan laju pernapasan lebih dari 20 kali/menit
atau PaCO2 kurang dari 32 mmHg
- Jumlah sel darah putih lebih dari 12.000 sel/µL atau kurang dari 4000
sel/µL
Bone et al (1992) mendefinisikan sepsis sebagai SIRS dan infeksi. Sepsis adalah respon tubuh terhadap infeksi yang bersifat sistemik dan merusak. Sepsis dapat menyebabkan sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat ditandai dengan disfungsi organ akut. Sedangkan syok septik adalah sepsis berat disertai hipotensi
yang tidak membaik dengan resusitasi cairan (Dellinger et al, 2012).
Beberapa definisi terkait lainnya adalah community-acquired sepsis yang
didefinisikan sebagai kejadian infeksi di luar rumah sakit atau dua hari pertama perawatan di rumah sakit kecuali pasien pernah dirawat di rumah sakit 30-90 hari sebelumnya, dirawat di panti jompo, melakukan hemodialisis atau menggunakan
alat intravaskular dalam jangka panjang; nosocomial yang didefinisikan sebagai
infeksi yang terjadi selama perawatan di rumah sakit (2 hari atau lebih setelah masuk rumah sakit) atau didapatkan selama 30-90 hari setelah pulang dari rumah sakit, sedang melakukan hemodialisis, tinggal di panti jompo atau memiliki alat intravaskular jangka panjang (SWAB, 2010).
2.3.2. Patogenesis Sepsis
2.3.2.1.Mekanisme yang Mungkin Terjadi
Patogenesis sepsis dapat dijelaskan dalam tiga mekanisme yang melibatkan pelepasan mediator sehingga menghasilkan respon inflamasi sistemik:
(Sagy et al, 2013)
a. Mekanisme 1: respon proinflamasi
Teori dibalik mekanisme ini berhubungan dengan pelepasan mediator proinflamasi yang berlebihan dan menyebabkan inflamasi serta tanda klinis SIRS.
(34)
b. Mekanisme 2: kegagalan Compensatory Antiiflammatory Response (CARS) untuk bekerja
Ketidakseimbangan antara respon proinflamasi dengan respon inflamasi dipercaya terjadi selama infeksi. Hal ini menyebabkan mediator proinflamasi untuk menginduksi proses inflamasi yang berlebihan.
c. Mekanisme 3: immunoparalisis
Mediator proinflamasi membanjiri dan memparalisasi sistem imun. Hal ini
menginduksi penurunan imun, menyebabkan ketidakmampuan
menetralisir patogen.
2.3.2.2.Fase-fase Respon Inflamasi
Terdapat tiga fase dalam patogenesis SIRS: (Sagy et al, 2013)
a. Pelepasan toksin bakteri
Invasi bakteri ke dalam jaringan tubuh adalah sumber toksis berbahaya. Toksin tersebut bisa dinetralkan dan dibersihkan sistem imun atau sebaliknya. Toksin berikut biasa dilepaskan bakteri gram negatif dan bakteri gram positif:
- Bakteri gram negatif: lipopolisakarida (LPS)
- Bakteri gram positif: asam lipoteikoat (LPA), muramil dipeptida (MDP),
staphylococcal toxic shock syndrome toxin (TSST), streptococcal pyrogenic toxin (SPE)
b. Pelepasan mediator sebagai respon terhadap infeksi
- Infeksi bakteri gram negatif dan gram positif dengan pelepasan endotoksin
Efek pelepasan endotoksin seperti lipopolisakarida (LPS) diperkirakan terjadi saat infeksi bakteri gram negatif. Adapun pada saat infeksi gram positif, diperkirakan terjadi pelepasan asam lipoteikoat (LPA). Kedua toksin tersebut mempengaruhi fungsi makrofag sehingga terjadi pelepasan
mediator. Proses ini melibatkan toll-like receptor (TLR)-2 dan TLR-4.
Reseptor tersebut, bersama dengan co-reseptor CD-14 mengenali toksin
yang dilepaskan saat toksis menempel di dinding makrofag. Jika LPS
memerlukan LPS-binding protein (LBP) sebelum dikenali makrofag. LTA
(35)
Gambar 3. Pelepasan mediator yang diinduksi endotoksin
Sumber: Sagy et al, 2013
- Infeksi bakteri gram positif dengan pelepasan eksotoksin (superantigen)
Superantigen mengaktivasi limfosit T dan memicu produksi interleukin 2
(IL-2) dan interferon gamma (IFN-ɣ). IL-2 adalah mediator proinflamasi
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, proliferasi, diferensiasi sel T untuk
menjadi sel T efektor dengan peningkatan kemampuan memori. IFN-ɣ
adalah mediator dengan sifat antivirus, immunoregulator dan antitumor.
IFN-ɣ juga mengaktivasi sintesis nitrit oksida dan membantu migrasi
leukosit. Keduanya memicu makrofag untuk melepaskan IL-1 dan faktor nekrosis tumor alfa. IL-1 dan faktor tumor nekrosis alfa adalah stimulan penting untuk menciptakan respon inflamasi sebagai respon terhadap infeksi.
(36)
Gambar 4.Pelepasan mediator yang diinduksi superantigen
Sumber: Sagy et al, 2013
- Peran mediator (sitokin) dalam sepsis
Ada dua tipe mediator yang dilepaskan sebagai respon terhadap infeksi yaitu mediator proinflamasi dan antiinflamasi. Diasumsikan bahwa respon inflamasi yang menyebabkan sepsis berasal dari kelebihan mediator proinflamasi dan kegagalan CARS untuk mensupresi imun. Sebaliknya, apabila CARS dipicu secara berlebihan maka imunoparalisis terjadi menyebabkan ketidakmampuan imun untuk bekerja.
Pertama, sitokin proinflamasi. Stimulasi makrofag menyebabkan produksi
sejumlah besar TNF-α, IL-1 dan IL-6. TNF-α adalah sitokin yang paling
berperan dalam sepsis dan dilepaskan pertama kali. Mediator proinflamasi lain memfasilitasi inflamasi dengan meningkatkan adhesi sel endotelial-leukosit, menginduksi nitrit oksida, pelepasan asam arakidonat, dan mengaktivasi komplemen kaskade. Selain itu, mediator proinflamasi meningkatkan koagulasi dengan meningkatkan level faktor koagulasi jaringan dan koagulan membran. Mediator tersebut menghambat aktivitas koagulan dengan meningkatkan thrombomodulin dan menginhibisi fibrinolisis.
(37)
Kedua, sitokin antiinflamasi. Berlawanan dengan sitokin proinflamasi,
sitokin antiinflamasi menghambat inflamasi dengan penghambatan TNF-α,
augmentasi reaktan fase akut dan imunoglobulin serta penghambatan fungsi limfosit T. Mediator antiinflamasi juga menghambat aktivasi sistem koagulasi. Respon mediator antiinflamasi ini menyediakan mekanisme feedback negatif untuk mengatur penurunan sintesis mediator proinflamasi dan memodulasi efeknya sehingga menjaga homostasis dan mencegah SIRS.
c. Efek kelebihan mediator spesifik
SIRS dihasilkan dari respon proinflamasi yang berlebihan. Sebaliknya, jika CARS bekerja berlebihan maka terjadi imunosupresi yang tidak tepat. Jika keseimbangan antara proinflamasi dan CARS terganggu maka homeostasis tidak terjaga dan perkembangan klinis terhadap disfungsi organ bisa terjadi.
2.3.3. Diagnosis
Berdasarkan International Guideline for Management of Severe Sepsis and
(38)
Tabel 2.1.Kriteria Diagnosis Sepsis Variabel umum
Demam (>38,3°C) Hipotermia (<36°C)
Detak jantung >90/menit lebih dari dua angka di atas nilai normal sesuai usia Takipnea
Perubahan status mental
Edema signifikan atau keseimbangan positif cairan >20 mL/kg selama 24 jam Hiperglikemia (glukosa plasma) >140 mg/dL atau 7.7. mmol/L tanpa adanya diabetes
Variabel inflamasi Leukositosis (WBC count >12.000 µL-1)
Leukopenia (WBC count <4000 µL-1)
WBC count normal dengan lebih dari 10% bentuk immature Plasma C-reactive protein lebih dari dua angka di atas nilai normal
Variabel hemodinamik Hipotensi arteri (SBP <90 mmHg, MAP <70mmHg
Variabel disfungsi organ Hipoksemia arteri (Pao2/Fio2 <300)
Oliguria akut (keluaran urin <0,5 mL/kg/jam setidaknya selama 2 jam meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan yang cukup )
Peningkatan kreatinin >0,5 mg/dL atau 44,2 µmol/L Koagulasi abnormal (INR >1,5 atau PTT >60 detik) Ileus
Thrombocytopenia (platelet count <100.000 µL-1)
Hiperbilirubinemia (plasma total bilirubin >4 mg atau 70 µmol/L) Variabel perfusi jaringan
Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L) Penurunan refill kapiler
(39)
2.3.4. Manajemen Sepsis Berat
Berdasarkan International Guideline for Management of Severe Sepsis and
Septic Shock tahun 2012, berikut ini adalah rekomendasi manajemen untuk sepsis berat:
Tabel 2.2. Manajemen Sepsis Berat A. Resusitasi awal
a. Resusitasi kuantitaif pada pasien dengan hipoperfusi yang diinduksi
sepsis setelah perubahan cairan awal atau konsentrasi laktat dalam darah
≥ 4 mmol/L. Tujuan selama 6 jam pertama resusitasi adalah:
b. Tekanan vena sentral 8-12 mmHg
c. Tekanan arteri rata-rata (MAP) ≥ 65 mmHg
d. Keluaran urin ≥ 0,5 mL/kg/jam
e. Vena central (vena cava superior) atau saturasi oksigen vena 70% atau
65%
f. Pada pasien dengan peningkatan level laktat maka target resusitasi adalah
untuk menormalkan laktat
B. Skrining untuk sepsis dan perkembangan kondisi
a. Skrining rutin terhadap potensi infeksi pasien sakit kritis untuk
menentukan implementasi awal terapi
b. Usaha peningkatan kondisi pasien sepsis berat berbasis rumah sakit
C. Diagnosis
a. Kultur sebelum terapi antimikroba jika tidak ada keterlambatan
signifikan (>45 menit) dalam memulai penggunaan antimikroba. Paling tidak dua set kultur darah (baik aerob maupun nonaerob) ditentukan sebelum terapi antimikroba
b. Penggunaan 1,3 beta-D-glucan assay, mannan dan anti-mannan antibody
assay jika tersedia dan candidiasis invasif terdapat dalam diagnosis penyebab infeksi
c. Kajian imaging dilakukan untuk mengkonfirmasi sumber infeksi
potensial
D. Terapi antimikroba
(40)
syok sepsis dan sepsis tanpa syok sepsis sebagai tujuan terapi
b. Terapi empiris awal satu atau dua obat yang memiliki aktivitas melawan
bakteri patogen dan yang berpenetrasi dalam konsentrasi adekuat ke dalam jaringan yang diasumsikan menjadi sumber sepsis.
c. Regimen antibiotik harus dinilai setiap hari untuk melakukan de-eskalasi
d. Gunakan level rendah prokalsitonin atau biomarker serupa untuk
membantuk klinisi mengehntikan antibiotik empriis pada pasien yang tampak sepsis pada awalnya, tetapi tidak menunjukkan bukti sepsis lebih lanjut
e. Terapi empiris kombinasi untuk pasien neutropeni dengan sepsis berat
dan untuk pasien yang susah diterapi, patogen MDR seperti Acinetobacter dan Pseudomonas spp. Untuk pasien dengan infeksi berat berkaitan dengan gagal napas dan syok septik, terapi kombinasi dengan
beta-laktam extended spectrum dan baik aminoglikosida atau
fluoroquinolone untuk P.aeruginosa. Kombinasi beta-laktam dan
makrolida untuk pasien dengan syok septic digunakan untuk infeksi Streptococcus pneumoniae. Terapi kombinasi empiris tidak boleh diberikan lebih dari 3-5 hari. De-eskalasi ke terapi tunggal paling sesuai harus dilakukan segera profil kepekaan bakteri diketahui.
f. Durasi terapi biasanya 7-10 hari, lebih dari itu mungkin sesuai untuk
pasien yang memiliki respon klinis yang lambat, undrainable foci of
infectioni, bakteremia dengan S. aureus, beberapa fungi dan infeksi virus atau defisiensi immunologi termasuk neutropenia
g. Terapi antivirus harus dimulai sedini mungkin pada pasien dengan sepsis
berat atau syok septik karena virus.
h. Agen antimikroba tidak boleh digunakan pada pasien dengan kondisi
inflamasi parah yang disebabkan karena noninfeksi. E. Kontrol sumber
a. Diagnosis infeksi secara anatomik memerlukan pertimbangan apakah
kontrol sumber perlu dilakukan atau tidak secepat mungkin, dan intervensi dilakukan selama 12 jam pertama setelah diagnosis dibuat, jika mungkin.
(41)
b. Ketika infeksi nekrosis peripancretic diidentifikasi sebagai sumber infeksi potensial, intervensi definitif baiknya ditunda sampai adanya pembatasan yang adekuat terhadap jaringan yang terinfeksi dan tidak.
c. Ketika kontrol sumber pada pasien sepsis berat dibutuhkan, intervensi
yang efektif adalah yang paling tidak menyakitkan secara fisiologis
(misal, perkutan daripada surgical drainage untuk abses)
d. Jika alat akses intravaskular adalah sumber sepsis berat atau syok septik,
alat tersebut harus dilepaskan setelah akses vaskular lain terpasang. F. Pencegahan infeksi
a. Dekontaminasi oral dan digestive secara selektif harus diajukan dan
diinvestigasi sebagai metode untuk mengurangi kejadian pneumonia yang berhubungan dengan ventilator. Pengukuran kontrol infeksi ini dapat dimulai dalam pengaturan pelayanan kesehatan dan are dimana metode ini efektif
b. klorheksidin glukonat oral digunakan dalam bentuk dekontaminasi
orofaringeal untuk menurunkan resiko pneumonia yang berhubungan dengan ventilator pada pasien dengan sepsis berat.
(Sumber: Dellinger et al, 2012)
2.3.4.1.Terapi Antimikroba
Stichting Werkgroep Antibioticabeleid (SWAB), sebuah badan yang mengurus kebijakan antibiotik di Belanda membagi terapi antibiotik empiris sepsis menjadi dua yaitu terapi untuk sepsis tanpa lokasi infeksi yang jelas dan
terapi untuk sepsis dengan adanya lokasi infeksi yang dicurigai. Istilah yang
berhubungan dengan sepsis tanpa lokasi infeksi yang jelas yaitu community
acquired, yang didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi di luar rumah sakit atau terjadi pada dua hari pertama perawatan di rumah sakit kecuali untuk pasien yang dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu 30-90 hari sebelumnya, tinggal di panti jompo, melakukan hemodialisis dan memakai alat intravaskular dalam
waktu lama. Hospital acquired didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi selama
(42)
30-90 hari setelah keluar dari perawatan di rumah sakit, melakukan hemodialisis dan memakai alat intravaskular dalam waktu lama (SWAB, 2010).
Rekomendasi terapi untuk community acquired sepsis menurut SWAB
tanpa neutropenia dan tanpa lokasi infeksi yang jelas adalah sefalosporin generasi kedua atau ketiga atau amoksisilin dikombinasikan dengan aminoglikosida + asam klavulanat. Adapun terapi untuk sepsis dengan lokasi infeksi yang dicurigai dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan lokasi infeksi:
a. Sepsis dan hospital acquired pneumonia
Dalam beberapa studi tidak ditemukan perbedaan antara karbapenem dengan beta-laktam tunggal atau dikombinasikan dengan kuinolon dan aminoglikosida (SWAB, 2010). Sementara guideline lain merekomendasikan
seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-sulbaktam (Bugano et al, 2008).
Meropenem dilaporkan berhubungan dengan penurunan kegagalan terapi dibandingkan dengan kombinasi ceftazidime dan aminoglikosida (SWAB, 2010)
b. Urosepsis
SWAB (2010) merekomendasikan sefalosporin generasi kedua atau ketiga atau kombinasi amoksisilin dan gentamisin.
c. Intraabdominal sepsis
Untuk pasien dengan community acquired intraabdominal sepsis SWAB
merekomendasikan sefalosporin generasi ketiga dikombinasikan dengan metronidazole dengan atau tanpa aminoglikosida atau amoksisilin + asam klavulanat dengan atau tanpa aminoglikosida. Sedangkan untuk pasien nosocomial intraabdominal sepsis adalah sefalosporin dikombinasikan dengan metronidazol dan aminoglikosida atau amoksisilin + asam klavulanat atau piperacilin/tazobactam dengan atau tanpa aminoglikosida (SWAB, 2010).
Guideline lain merekomendasikan meropenem dan amikasin (Bugano et al, 2008)
d. Sepsis dan skin and structure infection
Antibiotik yang direkomendasikan untuk uncomplicated skin and structure
infection adalah flukloksasilin. Sedangkan untuk uncomplicated skin and structure infection adalah amoksisilin + asam klavulanat.
(43)
2.4. BPJS
Berdasarkan UU No. 24 tahun 2011, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disebut BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial BPJS terbagi menjadi dua, yaitu BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS kesehatan berfungsi
menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan. Untuk program Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, implementasinya dimulai sejak 1 Januari 2014. Program tersebut selanjutnya disebut dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Tujuan pelaksanaan JKN adalah untuk memberikan perlindungan kesehatan dalam bentuk manfaat pemeliharaan kesehatan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah
(44)
BAB 3
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan desain case
study. Pengambilan data pasien dilakukan secara retrospektif, melalui pengumpulan data dari rekam medis pasien rawat inap yang menerima antibiotika meropenem di RUMKITAL Dr. Mintoharjo, selama periode Januari-Desember 2014.
3.2. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 5. Kerangka Konsep Penelitian
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien Sepsis di ruang rawat inap RUMKITAL Dr. Mintoharjo periode Januari-Desember 2014.
26 rekam medis pasien yang menggunakan antibiotik meropenem yang memenuhi
kriteria inklusi
Kualitas penggunaan antibiotik meropenem
Rasional (kategori 0)
Tidak rasional (kategori I-VI)
Parameter Gyssens: (Pamela, 2011)
- ketepatan indikasi,
- ketepatan pemilihan
berdasarkan efektivitas
- toksisitas
- harga
- lama pemberian
- dosis
- interval pemberian
- rute pemberian
(45)
Subjek dipilih harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
Kriteria inklusi adalah:
a. Semua pasien sepsis rawat inap BPJS yang menggunakan antibiotik
meropenem di ruang rawat inap RUMKITAL Dr. Mintoharjo periode Januari-Desember 2014
b. Subjek penelitian adalah semua usia
c. Rekam medik yang lengkap dan jelas terbaca
Kriteria eksklusi adalah:
a. Pasien tidak dalam rentang terapi yang dapat dievaluasi
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria
inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu
semua pasien yang memenuhi kriteria diambil sebagai sampel penelitian. Dari hasil uji pendahuluan didapatkan 41 rekam medis pasien sepsis yang menerima antibiotik meropenem tetapi hanya 26 pasien yang masuk kriteria inklusi. Sebanyak 15 rekam medis pasien sepsis dieksklusi karena data rekam medis yang hilang atau tidak memenuhi rentang terapi.
3.4. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang administrasi medis RUMKITAL Dr. Mintoharjo Jakarta Pusat pada bulan Februari 2015-selesai. Pengambilan data dilakukan bulan Februari-Maret 2015. Pengolahan data dan analisis data dilakukan bulan April-Mei 2015.
3.5. Definisi operasional
(46)
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara dan Alat
Ukur Skala Ukur Keterangan
1 Karakteristik
Pasien Jenis Kelamin Umur Keparahan sepsis Jenis terapi Jenis sepsis
Kondisi fisik yang menentukan status seseorang laki-laki atau perempuan
Usia pasien yang
menjalani terapi
berdasarkan ulang tahun terakhir
Keparahan sepsis
yang dialami
pasien
Jenis terapi
antibiotika
meropenem yang
diberikan kepada
pasien
Jenis sepsis yang dialami pasien
Melihat
pencatatan status pasien di rekam medis
Melihat
pencatatan status pasien di rekam medis
Melihat pencatatan
diagnosis pasien di rekam medis
Melihat pencatatan
pemberian obat
dan hasil kultur pasien di rekam medis
Melihat pencatatan
diagnosis pasien di rekam medis
Nominal Kategori Nominal Nominal Nominal 1. Laki-laki 2. Perempuan 1. Balita 2. Kanak-Kanak 3. Remaja Awal 4. Remaja Akhir 5. Dewasa Awal 6. Dewasa Akhir 7. Lansia Awal 8. Lansia Akhir 9. Manula
1. Sepsis 2. Sepsis berat 3. Syok septik
1. Empiris 2. Definitif
1. Nosocomial sepsis
2. Community acquired sepsis Intraabdominal sepsis
(47)
No Variabel Definisi Cara dan Alat
Ukur Skala Ukur Keterangan
Komorbidit as
Lama perawatan
Jumlah obat yang diterima
Jumlah antibiotik yang diterima
Keberadaan dua
penyakit atau lebih dalam satu waktu pada satu pasien
Lama hari rawat
pasien di ruang
rawat inap
RUMKITAL Dr.
Mintohardjo
Jumlah obat yang
digunakan pasien
selama masa
perawatan
Jumlah antibiotik
yang digunakan
pasien selama masa perawatan
Melihat pencatatan
diagnosis pasien di rekam medis
Melihat
pencatatan status pasien di rekam medis
Melihat pencatatan formulir
pemberian obat di rekam medis Melihat pencatatan formulir
pemberian obat di rekam medis
Nominal
Rasio
Rasio
Rasio
3. Community acquired
pneumonia sepsis 4. Hospital acquired
pneumonia sepsis 5.Urosepsis
1.Renal disease Cerebrovascula r disease 2.Congestive heart failure 3.Diabetes with chronic
complication 4.Diabetes 5.Peripheral vascular disease
1. <10 hari 2.10-20 hari 3. 20-30 hari 4. >30 hari
1. 1-10 obat 2. 10-20 obat 3. >20 obat
1. 1-2 antibiotik 2. 3-4 antibiotik 3. ≥ 5 antibiotik
(48)
No Variabel Definisi Cara dan Alat
Ukur Skala Ukur Keterangan
2 Resistensi Tingkat resistensi
mikroorganisme
penyebab infeksi
terhadap antibiotik
Melihat hasil uji
sensitivitas di
laporan peta
resistensi
mikroorganisme
Nominal 1. Sensitif
2. Intermediet 3. Resisten
3 Kualitas
penggunaan antibiotik Ketepatan indikasi Ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas Toksisitas Harga Ketepatan penggunaan antibiotik
meropenem yang
dievaluasi dengan kategori Gyssens
Pemberian antibiotik
meropenem sesuai
dengan indikasi
yang benar sesuai diagnosa dokter
Pemilihan antibiotik
meropenem yang
tepat sesuai dengan hasil kultur dan peta kuman atau literatur terkait
Kemampuan antibiotik
meropenem untuk menimbulkan
kerusakan dalam
tubuh
Harga antibiotik
sesuai dengan
peraturan yang
berlaku
Mengevaluasi kualitas antibiotik meropenem
sesuai dengan
parameter Gyssens
Melihat
pencatatan status pasien di rekam medis
Melihat
pencatatan status pasien di rekam medis
Melihat
pencatatan status pasien di rekam medis
Melihat
pencatatan status pasien di rekam medis Nominal Nominal Nominal Nominal Rasio 1. Rasional 2. Tidak rasional
1. Tepat 2. Tidak tepat
1. Tepat 2. Tidak tepat
1. Toksik 2. Tidak toksik
(49)
No Variabel Definisi Cara dan Alat
Ukur Skala Ukur Keterangan
Lama pemberian Dosis Interval pemberian Rute pemberian Waktu pemberian
Waktu yang
digunakan dalam
pemberian
antibiotik ke pasien
Takaran antibiotik
meropenem yang
diberikan
Jarak waktu antar pemberian
antibiotik meropenem
Jalur antibiotik
meropenem masuk ke dalam tubuh
Waktu pada saat antibiotik
meropenem diberikan
Melihat
pencatatan status pasien di rekam medis
Melihat
pencatatan status pasien di rekam medis
Melihat
pencatatan status pasien di rekam medis
Melihat
pencatatan status pasien di rekam medis
Melihat
pencatatan status pasien di rekam medis Nominal Nominal Nominal Nominal Nominal 1. Tepat 2. Tidak tepat
1. Tepat 2. Tidak tepat
1. Tepat 2. Tidak tepat
1. Tepat 2. Tidak tepat
1. Tepat 2. Tidak tepat
3.6. Prosedur Penelitian
3.6.1. Persiapan (Permohonan Izin)
Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah kepada RUMKITAL Dr. Mintoharjo. Penyerahan surat persetujuan penelitian dari RUMKITAL Dr. Mintoharjo kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.
3.6.2. Pengumpulan Data Penelitian
(50)
a. Pengumpulan data sekunder yang diawali dengan mengumpulkan data resistensi kultur bakteri yang mungkin menyebabkan infeksi di RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Kultur bakteri tersebut diperoleh dari beberapa pasien selama tahun 2014. Masing-masing kultur tersebut sudah ditetapkan resistensinya terhadap berbagai antibiotik. Data resistensi bakteri yang didapatkan kemudian dikelompokkan berdasarkan jenis bakteri dan dihitung resistensinya terhadap berbagai antibiotik bertujuan untuk memperoleh gambaran resistensi bakteri tersebut terhadap antibiotik yang digunakan.
b. Pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi. Data rekam medis
dari pasien tersebut kemudian didokumentasikan berupa nomor rekam medis, usia pasien, jenis kelamin, diagnosis, dan data penggunaan obat.
c. Data dari rekam medis pasien dan peta resistensi bakteri terhadap
antibiotik dianalisis dan dievaluasi menggunakan metode Gyssens
3.6.3. Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari rekam medis pasien kemudian diolah dengan
menggunakan program Statistical Package for the Social Science (SPSS) edisi
16.0 .
Proses pengolahan data meliputi langkah sebagai berikut: a. Editing
Proses ini meliputi pemeriksaan kelengkapan data yang akan diolah, koreksi kesalahan data dan eksklusi data-data yang tidak dibutuhkan sehingga prngolahan data lebih mudah dan dapat dilakukan peneliti dengan baik
b. Coding
Proses ini merupakan pemberian kode berupa angka terhadap data-data yang terdiri dari beberapa kategori dalam satu variabel
c. Input data, yaitu kegiatan memasukkan data yang akan diolah ke dalam program
d. Cleaning data¸ atau pemeriksaan kembali untuk memastikan data benar dan siap diolah
(51)
3.6.4. Analisis data
a. Evaluasi kualitas penggunaan antibiotika
Evaluasi kualitas penggunaan antibiotika berdasarkan alur Gyssens meliputi kelengkapan data, indikasi penggunaan antibiotika, pemilihan antibiotika berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis, rute dan interval serta waktu pemberian antibiotik. Pedoman yang digunakan
untuk penelitian antara lain International Guideline for Management Severe
Sepsis and Septic Shock 2012, peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo dan literatur terkait lainnya. Hasil evaluasi yang didapatkan kemudian dinyatakan dengan persentase.
b. Analisis data
Analisis data dilakukan secara deskriptif, yakni analisis menggambarkan data yang diperoleh dari selama penelitian secara sederhana sehingga dapat dibaca dan dianalisis secara sederhana (Nursalam, 2008). Data akan dipaparkan dalam
(52)
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan terhadap regimen antibiotik meropenem yang diterima pasien sepsis di ruang rawat inap RUMKITAL Dr. Mintohardjo selama periode Januari-Desember 2014.Pada penelitian ini dilakukan evaluasi kualitas penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis yang dilakukan berdasarkan kategori Gyssens. Parameter kualitas penggunaan antibiotik berdasarkan kategori Gyssens antara lain ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga, lama pemberian, dosis, interval pemberian, rute
pemberian, dan waktu pemberian (Pamela, 2011). Berdasarkan Surviving Sepsis
Campaign, pemilihan antibiotik untuk pasien sepsis harus berspektrum luas untuk melawan bakteri patogen yang mungkin menginfeksi dan harus berpedoman pada pola prevalensi bakteri lokal. Mengacu pada hal tersebut, kualitas penggunaan antibiotik meropenem juga berpedoman dari peta resistensi bakteri terhadap antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Peta resistensi bakteri yang digunakan sebagai pedoman ini tidak dapat digeneralisir untuk digunakan di seluruh rumah sakit karena jenis bakteri yang ditemukan di setiap rumah sakit berbeda-beda. Bakteri yang terdapat di lingkungan rumah sakit dapat menyebabkan infeksi nosokomial, salah satunya adalah sepsis. Pembuatan peta resistensi berasal dari hasil uji kultur mikrobiologi terhadap sampel yang diambil dari pasien yang menderita infeksi namun tidak kunjung sembuh. Sampel yang digunakan dalam pembuatan peta resistensi misalnya darah, urin, sputum, jaringan dan cairan tubuh pasien.
Peta resistensi tersebut digunakan untuk mengidentifikasi ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas dan harga yang merupakan salah satu faktor penilaian kerasionalan penggunaan antibiotik berdasarkan kategori Gyssens. Antibiotik yang diberikan dinilai efektif apabila sensitivitasnya terhadap bakteri yang menyebabkan sepsis masih cukup tinggi, dimana resistensi bakteri terhadap antibiotik kurang dari 50% yang berarti efektivitas antibiotik dalam menghambat pertumbuhan bakteri tersebut masih tinggi (Fathni, 2012). Apabila hasil uji kultur negatif atau tidak dilakukan uji kultur, maka terapi dianggap terapi empiris. Pada
(53)
penelitian ini ditemukan populasi pasien sepsis yang menerima antibiotik meropenem sebesar 41 pasien. Dari populasi tersebut didapatkan sampel sebesar 26 pasien yang termasuk dalam kriteria inklusi.
4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Karakteristik Pasien
Data yang diperoleh dari rekam medis pasien menunjukkan bahwa pasien sepsis yang menerima antibiotik meropenem terdiri dari 14 orang laki-laki (53,8%) dan 12 orang perempuan (46,2%).
Penggolongan usia pasien berdasarkan Departemen Kesehatan RI (DEPKES) 2009. DEPKES RI mengklasifikasikan usia manusia menjadi delapan kelompok, yaitu balita (0-5 tahun), kanak-kanak (6-11 tahun), remaja awal (12-16 tahun), remaja akhir (17-25 tahun), dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45 tahun), lansia awal (46-55 tahun), lansia akhir (56-65 tahun), dan manula (65 tahun ke atas). Berdasarkan kelompok usia, dapat dilihat bahwa rentang usia 46 tahun sampai 55 tahun (lansia awal) adalah usia pasien terbanyak yang ditemukan. Jika digabungkan dengan kelompok usia yang lebih tua, yaitu lansia akhir dan manula maka didapatkan persentase pasien lanjut usia sebesar 51,6 %.
Karakteristik pasien berdasarkan keparahan sepsis juga diamati dan terbagi menjadi tiga kategori yaitu sepsis, sepsis berat dan syok septik. Data yang diamati dari rekam medis pasien menunjukkan bahwa 19 pasien (73,1%) didiagnosis sepsis, 3 pasien didiagnosis sepsis berat (11,5%) dan 4 pasien (15,4%) didiagnosis syok septik. Jenis terapi pasien dibedakan menjadi jenis terapi empiris dan definitif. Sebanyak 24 pasien (92.3%) menerima meropenem sebagai terapi empiris dan 2 pasien sebagai terapi definitif (7.7%). Jenis sepsis yang dialami pasien diamati dari rekam medis dan dibedakan menjadi sepsis tanpa lokasi infeksi yang dicurigai dan sepsis dengan infeksi yang dicurigai. Sepsis tanpa
lokasi infeksi yang dicurigai dibagi menjadi community acquired sepsis dan
nosocomial sepsis. Sepsis dengan lokasi infeksi yang diketahui dibagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan lokasi infeksi. Hasil pengamatan pada rekam medis
menunjukkan nosocomial sepsis (11 pasien, 42%) adalah jenis sepsis terbanyak
(1)
135
II Dosis, Interval, Rute
a Dosis tepat √ b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-VI
√ KESIMPULAN: Kategori IVA
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi b. Indikasi pemberian antibiotik: berdasarkan diagnosis dan data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin (efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien - Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
(2)
136
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 7 hari. Secara umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008) sehingga pemberian tidak dianggap terlalu lama.
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 25 termasuk dalam kategori IVA.
No: 26 Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif b Alternatif lebih
tidak toksik
√ c Alternatif lebih
murah
√ d Spektrum
alternatif lebih sempit
√ III Lama pemberian
a Terlalu lama √
(3)
137
II Dosis, Interval, Rute
a Dosis tepat √ b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-VI
√ KESIMPULAN: Kategori
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi b. Indikasi pemberian antibiotik: berdasarkan diagnosis dan data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin (efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien - Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
(4)
138
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 11 hari. Secara umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008) sehingga pemberian tidak dianggap terlalu lama.
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 26 termasuk dalam kategori IVA
(5)
1
3
9
Lampiran 4. Laporan Peta Resistensi Bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo Tahun 2014
Spesies Bakteri
Status Resistensi Terhadap Antibiotik (%)
AM C AK AM P CF P CT X CP R
CAZ CRO C CIP FO
S CN IP M K M E M INA NE T O F X P RC
VA LEV FE
P
Z
O
X
Bakteri Gram Positif Kokus Streptococcus
Sp
S 60 40 80 20 - 40 20 40 40 40 80 40 80 - 40 0 - 20 - 40 60 40 40
I 20 0 0 0 - 20 20 0 20 40 20 0 0 - 0 0 - 40 - 40 0 0 0
R 20 60 20 80 - 40 60 60 40 20 0 60 20 - 60 100 - 40 - 20 40 60 60
Staphylococcus aureus
S 38 50 17 20 - 12 21 25 25 21 63 37 63 - 42 4 - 17 - 37 25 30 30
I 4 8 13 13 - 17 12 8 4 4 0 0 0 - 0 4 - 4 - 8 13 8 0
R 58 42 70 57 - 71 67 67 71 75 37 63 37 - 58 92 - 79 - 55 62 62 70
Bakteri Gram Negatif Batang
Alkaligenes sp S - 26 - 20 7 0 23 7 23 23 47 17 33 13 37 13 30 20 17 - 30 13 10
I - 10 - 10 10 0 13 7 0 13 13 3 3 3 3 3 3 7 10 - 13 13 3
R - 64 - 70 83 100 64 86 77 47 40 80 64 84 60 84 67 73 73 - 57 74 87
Pseudomonas sp
S - 59 - 35 12 0 44 6 0 12 53 29 47 0 47 6 47 29 29 - 59 35 0
I - 18 - 12 12 0 23 12 0 41 18 6 6 0 0 6 0 24 12 - 0 18 0
R - 23 - 53 76 100 23 82 100 57 29 65 47 100 53 88 53 47 59 - 41 47 100
Coliform S - 40 - 16 0 5 11 5 19 43 57 19 30 8 35 16 21 19 11 - 19 5 3
I - 14 - 5 0 5 8 3 8 19 8 5 5 8 0 8 3 5 11 - 8 14 11
R - 46 - 79 100 90 81 92 73 38 35 76 64 84 65 76 76 76 78 - 73 81 86
Eschericia coli S - 65 - 18 24 15 29 24 38 18 76 41 76 21 88 15 59 24 15 - 38 38 29
I - 15 - 8 6 6 9 6 6 18 0 0 0 24 0 21 15 15 9 - 3 6 21
R - 20 - 74 70 79 62 70 56 64 24 59 24 75 12 64 26 61 76 - 59 56 50
Proteus sp. S - 53 - 13 0 7 20 7 20 20 40 27 54 7 60 7 47 13 20 - 27 27 7
I - 20 - 13 13 7 33 13 0 20 13 20 13 7 0 0 6 13 13 - 13 20 13
R - 27 - 74 87 86 47 80 80 60 47 53 33 86 40 93 47 74 67 - 60 53 80
(6)
1
4
0
sp I - 17 - 0 0 0 0 0 0 0 16 17 0 17 0 0 0 0 0 - 17 0 0
R - 50 - 50 50 50 50 50 50 50 17 50 33 50 33 50 50 50 50 - 33 50 50
Keterangan: S= Sensitif; I= Intermediat; R= Resisten; AMC: Amoksisilin sulfat; AK= Amikasin sulfat, AMP= Ampisilin; CFP= Sefoperazon; CTX= Sefotaksim;
CPR= Sefrozil; CAZ= Seftazidim; CRO= Seftriakson; C= Kloramfenikol; CIP= Siprofloksasin; E= Eritromisin; FOS= Fosfomisin’ GN= Gentamisin; IPM= Imipenem;
K= Kanamisin; MEM= Meropenem; NA= Asam nalidiksat; NET= Netilsimin; OFX= Ofloksasin; TZP= Piperasilin tazobactan; TE= Tetrasiklin; VA= Vankomisin; LEV= Levofloksasin; ZOX= Seftizoksim; FEP= Sefepim